Gavin menuruni anak tangga dengan dasi biru langit yang sudah terikat rapi di lehernya. Ia menatap layar ponselnya tanpa sedikit pun melirik Alexa yang sibuk menyiapkan sarapan di meja makan.
"Pagi," katanya singkat, tanpa usaha untuk terlihat ramah. Alexa tersenyum tipis meski hatinya terasa perih. "Pagi juga, Gavin," balasnya sambil menata pancake hangat, telur orak-arik, dan secangkir kopi hitam favorit suaminya di meja makan. Gavin duduk di kursi, langsung melanjutkan mengetik pesan di ponselnya tanpa melihat sarapan yang telah tersaji. Alexa mencoba mencairkan suasana. "Kamu pulang larut lagi malam ini?" tanyanya pelan, berharap setidaknya mendapat sedikit perhatian. Tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya, Gavin hanya mengangguk. "Ya, ada kerjaan." Jawabannya terdengar datar, seolah itu hal yang tidak perlu didiskusikan. Alexa terdiam, berusaha menyembunyikan rasa kecewanya. Jawaban itu sudah terlalu sering ia dengar. Keheningan mengisi ruang makan, hanya diiringi suara sendok garpu yang sesekali berbunyi. Setelah meneguk kopinya dengan cepat, Gavin berdiri sambil merapikan dasinya. "Oh, nanti sore Kak Liam datang. Dia akan tinggal di sini sementara waktu," katanya tanpa nada khusus. Alexa memandang Gavin dengan kening berkerut. "Kak Liam? Kenapa dia tinggal di sini?" Sambil memasukkan dokumen ke dalam tas kerjanya, Gavin menjawab tanpa menatapnya. "Dia baru cerai. Mau fokus kerja di sini dan bantu aku di perusahaan." "Baiklah," kata Alexa pelan, meski ia merasa aneh dengan keputusan itu. "Aku akan siapkan kamar tamu." Gavin mengangguk kecil, tanpa menambahkan terima kasih atau senyum. Ia berjalan keluar rumah dengan langkah terburu-buru, meninggalkan Alexa di ambang pintu yang hanya bisa memandang mobilnya melaju menjauh. Setelah pintu tertutup, Alexa menghela napas panjang. Sudah beberapa bulan belakangan sikap Gavin berubah. Ia semakin dingin, bahkan seolah tak peduli lagi padanya. Alexa tahu penyebabnya: Gavin kecewa karena ia belum juga hamil setelah setahun menikah. Alexa telah memeriksakan diri ke dokter, dan hasilnya menunjukkan tidak ada masalah dengan dirinya. Namun, meski ia berusaha keras, takdir belum juga memberikan mereka seorang anak. "Aku juga tak tahu harus bagaimana lagi," gumamnya sambil menyeka meja makan yang baru saja ditinggalkan Gavin. Selesai membereskan dapur, Alexa melangkah ke kamar tamu untuk mempersiapkan kamar bagi Liam. Ia membuka jendela kamar itu, membiarkan udara segar masuk sambil menata tempat tidur dengan seprai bersih. "Setidaknya ada orang lain di rumah ini," gumam Alexa pelan, mencoba menghibur dirinya yang merasa sepi. ....... Alexa duduk sendirian di ruang tamu setelah seharian membersihkan rumah. Matanya menatap kosong ke arah jendela, memandangi taman yang perlahan diselimuti senja. Tangannya memegang secangkir teh yang mulai dingin, sementara pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Dulu, saat SMA, Liam adalah seniornya. Bukan hanya itu, Gavin juga seniornya, tapi sifat mereka berbeda. Gavin lebih pendiam dan serius, sementara Liam selalu penuh energi, ramah, dan karismatik. Sosok Liam sering menjadi pusat perhatian, baik di kelas maupun di ekstrakurikuler teater yang mereka ikuti bersama. Alexa masih ingat bagaimana mereka pertama kali bicara. Waktu itu, ia terlambat membawa properti untuk latihan drama, dan Liam yang membantunya membawakan beberapa barang. "Kalau mau jadi aktris hebat, kamu harus belajar lebih disiplin," ujarnya sambil tersenyum kecil, nada bicaranya tegas tapi bersahabat. Sejak itu, mereka beberapa kali berbicara, meski hanya sekedar urusan latihan atau diskusi tentang naskah. Bagi Alexa yang pemalu, Liam adalah senior yang ia kagumi diam-diam. Setiap kali Liam memimpin latihan atau memberikan arahan, Alexa merasa ada semangat yang menyebar ke seluruh tim. Namun, setelah Liam lulus dan memilih kuliah di luar negeri, semua itu menghilang. Tidak ada lagi kabar, tidak ada lagi senyum hangat itu. Hidup terus berjalan, dan Alexa pun akhirnya melupakan sosoknya. Sampai hari pernikahannya dengan Gavin. Hari itu, Alexa terkejut saat melihat Liam di antara para tamu. Ia tidak menyangka akan bertemu kembali dengan senior yang dulu ia kagumi. Bahkan lebih mengejutkan lagi saat Gavin memperkenalkan Liam sebagai kakaknya. "Alexa, kenalin, ini Kak Liam, kakakku yang paling menyebalkan," ujar Gavin dengan nada bercanda, sambil menepuk bahu Liam. "Dia baru pulang dari luar negeri untuk menghadiri pernikahan kita." Alexa hanya bisa tersenyum kaku, masih sulit memproses fakta bahwa Liam, yang hanya terpaut satu tahun dari Gavin, adalah kakak iparnya sekarang. Liam tersenyum ramah seperti biasanya dan berkata, "Jadi ini istri Gavin? Dunia memang kecil sekali." Kalimat itu membuat Alexa tersenyum canggung, mengenang masa-masa mereka di SMA. Namun, setelah hari pernikahan itu, Liam kembali menghilang dari kehidupannya. Sepertinya kesibukan pekerjaan di luar negeri membuatnya jarang pulang ke rumah keluarga. Hingga kini, ketika Liam memutuskan untuk tinggal di rumah ini, semua kenangan itu kembali menyeruak. Alexa menghela napas panjang. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mengusir rasa nostalgia yang tiba-tiba membanjiri pikirannya.Pov AlexaSetelah menerima pesan dari Gavin, Alexa hanya bisa termenung di kamar. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab.“Padahal sekarang hari libur,” gumamnya pelan sambil menatap layar ponsel di tangannya. “Pekerjaan apa sih, Vin, sampai kamu nggak pulang malam ini?”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Suara pintu kamar yang terbuka pelan membuat Alexa tersentak dari lamunannya. Ia segera menoleh, mengira Gavin sudah pulang. Namun, yang muncul di ambang pintu justru Liam.“Kak Liam?” tanya Alexa. “Gavin belum pulang?” tanya Liam, memecah keheningan malam.Alexa mengangguk sambil menghela napas. “Iya, Kak. Katanya ada pekerjaan mendadak,” jawabnya pelan, nada suaranya terdengar lelah dan sedikit ragu.“Kalian kan sekantor. Apa Kak Liam tahu pekerjaan apa yang dimaksud Gavin?” tanyanya.Alexa menatap Liam, seolah berharap menemukan jawaban yang bisa menenangkan hatinya. Namun, Liam hanya menggeleng pelan. “Aku nggak tahu, Lex,” ucapnya dengan na
Pov GavinGavin duduk di dalam mobil, matanya menatap jalanan yang berlalu begitu cepat di depannya. Ia merasakan kegelisahan yang terus menghantui sejak pagi tadi. Dengan tergesa-gesa, ia menghentikan mobilnya di depan rumah dan segera keluar.Pintu rumah dibuka dengan cepat, langkah Gavin terdengar berat namun penuh kecemasan. “Amara! Di mana Zain?” serunya, suaranya penuh kekhawatiran.Amara muncul dari ruang tengah, wajahnya terlihat lelah dan cemas. “Zain di sini, Gavin. Dia masih panas,” jawabnya sambil menggendong bayi mereka yang baru berusia satu bulan.Gavin mendekat, melihat Zain yang terbaring lemah di pelukan ibunya. Wajah kecil itu terlihat pucat, matanya setengah tertutup. Gavin perlahan mengulurkan tangan, membelai kepala Zain dengan lembut.“Zain…” panggilnya pelan, seolah tak ingin mengganggu kenyamanan anaknya. Ia mencoba menenangkan dirinya sendiri, meski hatinya terasa mencelos melihat kondisi putranya.Amara memandang Gavin, lalu berkata, “Kita harus segera bawa
Inara, Baskara, Gavin, Liam, dan Alexa berkumpul di ruang tamu. Di sudut ruangan, koper milik Inara dan Baskara sudah siap untuk dibawa. Suasana terasa sedikit hening, seakan semua orang merasa berat untuk berpisah.“Ibu sama Ayah pamit pulang ya, Alexa,” ujar Inara dengan nada lembut. Ia mendekati Alexa, menunduk, lalu menyentuh perut menantunya dengan penuh kasih. “Nenek pamit dulu, ya. Nanti nenek kapan-kapan ke sini lagi.”Alexa tersenyum tipis, matanya mulai berkaca-kaca. “Padahal Alexa senang banget ada Ibu sama Ayah di sini. Jadi ada teman ngobrol dan nggak kesepian.”Inara melirik tajam ke arah Gavin, matanya menyorotkan teguran. “Tuh, denger ucapan istri kamu, Gavin. Dia itu kesepian di rumah sendirian. Apa kamu nggak kasihan?”Gavin menghela napas panjang, mencoba membela diri. “Kan aku kerja, Bu. Bukannya sengaja ninggalin Alexa sendirian.”Inara mendesah, mengangkat alisnya dengan ekspresi penuh sindiran. “Alasan terus. Kalau kamu memang sibuk kerja, setidaknya pikirin jug
Malam telah tiba ketika Gavin akhirnya pulang ke rumah, sekitar lima menit setelah Liam tiba lebih dulu. Suasana di ruang makan terlihat sibuk. Inara sedang mengatur hidangan di meja makan, sementara Baskara membantu istrinya dengan membawa piring tambahan.Di dapur, Alexa yang terlihat sedikit lebih segar setelah istirahat turun dari tangga dan langsung menghampiri Inara."Bu, aku bantu, ya?" ujar Alexa lembut, menawarkan diri.Inara menoleh dan menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gak usah, Alexa. Kamu masih perlu banyak istirahat. Duduk saja, biar Ibu yang urus semuanya."Alexa ragu sejenak, tapi akhirnya menurut. Ia melangkah pelan ke meja makan dan duduk di kursi yang biasa ia tempati. Liam yang sedang menuangkan air ke gelas menoleh ke arah Alexa.“Kamu udah mendingan, Alexa?” tanyanya penuh perhatian.Alexa mengangguk kecil. "Udah lebih baik, Kak. Makasih." Tak lama kemudian, Gavin masuk ke ruang makan, meletakkan tas kerjanya di sudut ruangan. Matanya sekilas menyapu suasana d
Liam keluar dari kamar Alexa dengan langkah pelan, memastikan pintu tertutup rapat tanpa suara. Sesaat ia berdiri di depan pintu, menarik napas panjang untuk menenangkan pikirannya yang kalut. Kemudian, ia menuruni tangga menuju dapur, di mana aroma masakan memenuhi udara.Inara terlihat baru saja selesai memasak. Ia menoleh ketika mendengar langkah kaki Liam mendekat. "Gimana Alexa?" tanyanya dengan nada lembut, meski wajahnya jelas memancarkan kekhawatiran.Liam membuka kulkas, mengambil segelas air putih, lalu meneguknya perlahan untuk meredakan tenggorokannya yang terasa kering. "Dia sudah tidur, Bu," jawabnya singkat.Inara mengangguk pelan, tapi ekspresinya berubah menjadi serius. "Seharusnya suaminya yang jaga dia, Liam. Kenapa malah kamu yang repot? Bukannya kamu juga punya kehidupan sendiri?"Liam terdiam sejenak, menggenggam erat gelas yang ada di tangannya. Pandangannya menatap kosong ke arah dapur sebelum akhirnya ia menjawab. "Itu juga gak sengaja, Bu. Aku ketemu Alexa di
Alexa dibaringkan di ranjang pemeriksaan, sementara Liam berdiri di sampingnya dengan ekspresi khawatir. Dokter, seorang pria paruh baya dengan kacamata bulat, mulai memeriksa tekanan darah Alexa dengan teliti.“Bagaimana, Dok?” tanya Liam, suaranya terdengar cemas.Dokter menatap Alexa yang tampak pucat sebelum menjawab, “Kondisinya cukup stabil sekarang, tapi tekanan darahnya sedikit rendah. Ibu Alexa, apa Anda sering merasa pusing atau lemas belakangan ini?”Alexa mengangguk pelan. “Iya, Dok. Beberapa hari terakhir, saya sering merasa pusing. Tapi saya pikir itu hanya kelelahan biasa.”Dokter mengangguk, mencatat sesuatu di buku catatannya. “Ini bisa jadi karena tekanan darah rendah yang dipengaruhi oleh stres atau kurangnya asupan nutrisi. Mengingat Anda sedang hamil, hal ini perlu mendapat perhatian khusus. Saya akan memberi resep vitamin tambahan untuk membantu menjaga stamina Anda. Dan, tolong hindari stres, ya.”Liam menyela, “Jadi, tidak ada yang serius, Dok?”“Tidak ada yang