Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.
Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.
Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi.
"Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."
Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."
Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"
Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."
Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."
Dante yang berdiri di sudut ruangan tertawa kecil, sementara Leon hanya menatapnya dengan ekspresi datar. "Kau pikir setelah semua yang terjadi malam ini, mereka akan membiarkanmu pergi begitu saja?"
"Apa maksudmu?" Elera menyipitkan matanya, tidak suka dengan nada suara Leon.
Leon menyandarkan dirinya ke sofa dengan santai, meskipun jelas masih menahan nyeri di perutnya. "Sergio Serrano tahu bahwa ada seseorang yang menolongku malam ini. Kau sudah terlihat, Elera. Jika mereka menemukan identitasmu, kau akan jadi target mereka."
Jantung Elera mencelos. "Jadi maksudmu… aku bisa dibunuh?"
Leon mengangguk. "Kau cukup pintar untuk memahami situasinya."
Elera terdiam, otaknya berusaha mencerna semua informasi ini. Ini terlalu cepat, terlalu kacau. Ia hanya ingin menjalani hidupnya sebagai dokter, bukan terlibat dalam perang mafia.
Namun, sebelum ia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat.
"Hah, ini benar-benar kejutan."
Suara familiar itu membuat Elera menoleh, dan matanya membelalak saat melihat sosok pria yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Kai?!"
"Jadi benar kau, Elera." Kai, pria dengan jas putih yang menunjukkan statusnya sebagai seorang dokter, menyeringai lebar. "Aku pikir mataku salah lihat saat mendapat laporan tentang seorang dokter wanita yang menangani si singa liar ini."
Elera mengerjap, masih belum bisa memproses fakta bahwa Kai Armand, seniornya di universitas dulu, kini berdiri di depan matanya—dan ternyata dokter pribadi Leon.
"Tunggu… kau?" Elera menatapnya dengan bingung.
Kai mengangguk santai. "Yap. Aku dokter pribadi pria ini." Ia melirik Leon dengan ekspresi geli. "Tapi ternyata aku datang terlambat karena dia sudah menemukan pengganti yang cukup berbakat."
Leon mendengus. "Terlambat adalah hal yang sudah biasa darimu."
Kai terkekeh. "Ya, ya. Aku memang tidak pernah buru-buru, apalagi kalau aku tahu pasienku ini masih bisa bertahan hidup."
Elera menatapnya tak percaya. "Kau dokter pribadi macam apa yang tidak segera tiba saat tuannya sekarat?"
Kai tersenyum miring, lalu duduk di kursi di seberang Leon. "Karena aku tahu dia tidak akan mati. Lagipula…"Kai menatap Leon dengan tatapan menggoda. "Aku juga tahu dia sudah menemukan seseorang yang bisa menghadapinya."
Dante tertawa kecil. "Haha! Jadi kau juga menyadarinya, Kai?"
Kai mengangguk, lalu menatap Elera dengan ekspresi penuh nostalgia. "Kau tahu, Leon, aku sudah lama mengenal wanita ini. Dan kalau kau pikir dia hanya dokter biasa, kau salah besar."
Leon menatap Kai malas. "Aku yakin kau akan mengatakan sesuatu yang menggangguku."
Kai tertawa pelan. "Elera adalah wanita paling keras kepala di universitas kami. Bahkan para profesor pun kewalahan berdebat dengannya."
Elera hanya mendesah dan menyilangkan tangan. "Aku tidak sekeras kepala itu."
Kai menoleh padanya dengan alis terangkat. "Oh ya? Kau ingat saat kau menantang dekan karena dia bilang wanita lebih baik jadi dokter anak daripada ahli bedah trauma?"
Elera memutar matanya. "Aku hanya mengatakan bahwa kompetensi tidak ditentukan oleh gender."
Kai menyeringai. "Dan kau ingat saat kau pergi ke Sudan untuk jadi relawan di zona perang selama enam bulan tanpa memberi tahu keluargamu?"
Elera menghela napas panjang. "Itu adalah kesempatan langka, dan aku ingin membantu."
Kai menoleh ke Leon dengan ekspresi penuh kemenangan. "Lihat? Dia ini tidak punya rasa takut, Leon. Bahkan medan perang pun tidak bisa membuatnya mundur. Aku rasa kau akhirnya menemukan lawan yang sepadan."
Leon mengamati Elera dengan tatapan baru, seolah menilai ulang wanita di depannya. Ia sudah menduga bahwa Elera bukan wanita biasa, tetapi fakta bahwa dia pernah berada di zona perang? Itu membuatnya semakin menarik.
Elera menatap Kai dengan kesal. "Kau bisa berhenti memberikan ceramah tentang masa laluku?"
Kai hanya terkekeh. "Aku hanya ingin Leon tahu bahwa dia tidak bisa menakutimu dengan cara biasa."
Leon hanya tersenyum tipis. "Aku tidak berencana menakutinya. Tapi aku juga tidak akan membiarkannya pergi."
Elera mendelik. "Aku tidak akan tinggal di sini, Leon."
Leon menyandarkan diri ke sofa, ekspresinya kembali dingin. "Kalau begitu, kau bebas pergi. Tapi jangan salahkan aku kalau nanti kau ditemukan mati di selokan besok pagi."
Elera mengepalkan tangannya. "Kau mengancamku?"
Leon menatapnya lama, lalu mengangkat bahu santai. "Bukan ancaman, hanya kenyataan. Musuhku sekarang tahu kau terlibat. Jika kau pergi, aku tidak akan repot-repot menyelamatkanmu lagi."
Dante bersiul pelan. "Sial, bos. Itu terdengar manis dan kejam dalam satu kalimat."
Kai tertawa kecil. "Selamat, Elera. Sepertinya kau resmi menjadi bagian dari kekacauan ini."
Elera menutup wajahnya dengan tangan, berusaha meredam keinginannya untuk berteriak. "Aku benci kalian semua."
Dante menepuk pundaknya dengan ekspresi terhibur. "Selamat datang di dunia kami, Dokter."
Leon menatap Elera yang masih sibuk menggerutu sambil merapikan peralatan medisnya. Nada suaranya tajam, ekspresinya penuh ketegasan, dan gerakannya cekatan. Ia bukan tipe wanita yang gentar menghadapi situasi sulit—dan itu membuatnya terasa… familiar.
Ada sesuatu tentang wanita ini. Caranya berbicara tanpa rasa takut, sorot matanya yang penuh determinasi, bahkan cara ia menatapnya seolah enggan tunduk di bawah kendali siapa pun. Leon merasa pernah melihat tatapan itu sebelumnya.
Pikirannya kembali ke lima tahun lalu—masa yang sudah lama ia kubur. Waktu itu, ia berada di ambang kehancuran, dikepung oleh musuh-musuh yang menginginkannya mati. Namun, seseorang datang di saat genting, memberikan bantuan tak terduga yang membuatnya bisa bertahan. Seorang kepala polisi… pria yang cukup berani untuk menentang sistem demi keadilan.
Matanya menyipit, menelusuri wajah Elera dengan lebih dalam. Dia tidak bisa mengingatnya dengan pasti, tetapi perasaan itu tetap ada—seakan-akan dia pernah melihat wanita ini di suatu tempat, di masa lalu yang tidak bisa ia sentuh dengan jelas.
Namun, sebelum pikirannya bisa menggali lebih dalam, Elera menoleh dengan tatapan penuh amarah. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Ada yang salah?"
Leon tersenyum kecil, menyembunyikan pikirannya. "Tidak. Hanya merasa kau sedikit terlalu berani untuk seseorang yang baru saja bertemu denganku."
Elera mendengus. "Aku tidak takut padamu, Leon."
Ya. Sama seperti pria itu.
Leon tidak menjawab, tetapi di dalam kepalanya, benih-benih ingatan mulai bersemi. Siapa sebenarnya wanita ini?
Malam itu turun perlahan di atas mansion Santiago. Langit berwarna ungu tua dengan semburat jingga terakhir tergantung di ujung cakrawala. Di salah satu kamar yang tenang, Elera duduk bersandar di headboard tempat tidur, mengenakan daster hangat sambil menyusui salah satu bayi mereka yang mulai mengantuk. Bayi satunya sudah tertidur di ranjang kecil di sebelah tempat tidur mereka, napasnya teratur dan tenang.Pintu kamar terbuka pelan. Leon masuk dengan langkah berat, seakan beban dunia tergantung di pundaknya. Matanya sembab meski ia mencoba menyembunyikannya, rambutnya sedikit acak-acakan, dan ia masih mengenakan kemeja tanpa dikancingkan penuh, seolah bergegas keluar beberapa jam lalu dan tak sempat merapikan diri.Elera menatapnya pelan. “Sayang… sudah pulang?”Leon tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju ranjang, duduk di tepi, dan menunduk—bahunya turun naik menahan napas yang berat.Elera segera memindahkan si kecil yang sudah mengantuk ke boks, lalu meraih Leon. Ia menggengga
Suasana di kamar Kai masih tenang seperti biasanya, hanya ditemani suara detak alat pemantau dan bisikan lembut angin dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai bergoyang pelan, menciptakan bayangan samar di dinding, seolah waktu sendiri tengah menanti.Di sisi ranjang, Rachele duduk dengan tubuh sedikit condong ke depan, dagunya bertumpu pada tangan yang disilangkan di atas lutut. Rambutnya diikat asal, jaket medis dilipat rapi di kursi belakangnya. Sudah berapa lama dia duduk di sana? Entahlah. Tapi setiap kali ada waktu luang—dan kadang bahkan saat seharusnya dia tidak punya waktu—Rachele akan kembali ke ruangan ini.Memandangi Kai."Sudah cukup tidur, Dokter Sok Jenius…" gumamnya pelan. “Kalau kau terus begini, aku yang akan jadi gila.”Jari-jarinya menggenggam ringan tangan Kai yang dingin. Rachele menghela napas dan memejamkan mata sejenak, mencoba mengusir rasa letih dan… takut. Tapi saat ia hampir menarik tangannya kembali, tiba-tiba jari Kai bergerak.Sedikit. Hampir tak kentara
Pagi itu di mansion Santiago, udara terasa lebih tenang. Tidak ada lagi suara tangis yang menyesakkan, tak ada langkah tergesa yang menggema di lorong. Namun di balik ketenangan itu, dua pria yang pernah hampir kehilangan segalanya tengah menyusun langkah balasan.Leon duduk tegak di ruang kendali, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya yang belum sepenuhnya pulih. Meski tubuhnya masih menyimpan bekas luka, sorot matanya kembali tajam—penuh kendali, penuh rencana.Dante berdiri di sebelahnya, dikelilingi layar-layar besar yang menampilkan data, peta digital, rekaman tersembunyi, dan catatan lama yang telah dibongkar kembali. Tangannya lincah mengetik di atas keyboard, sementara matanya menyisir jejak yang tertinggal dari pergerakan Sergio.“Tiga jalur pengiriman terakhir milik mereka sudah kukaji,” ucap Dante tanpa melepaskan pandangan dari layar. “Dua palsu. Tapi yang satu ini—” ia mengetuk titik merah yang berkedip di peta, “—mengarah ke gudang tempat kau ditahan. Jeja
Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka kembali ke mansion Santiago.Leon kini pulih hampir sepenuhnya. Bekas luka di tubuhnya masih membekas, tapi jiwanya telah bangkit. Tak ada waktu untuk terbaring lebih lama. Setiap malam ia berdiri di ruang kendali bersama Dante dan Rafael, memeriksa rekaman, melacak jejak, menyusun ulang peta kekuatan, mencari titik kelemahan musuh.“Tak mungkin Sergio bergerak sendiri. Ada jaringan baru di bawah tanah yang kita belum tahu,” gumam Leon saat berdiri di depan papan besar penuh peta dan kabel penghubung antar-foto.Rafael mengangguk. “Kemungkinan mereka menyusup ke salah satu jalur lama yang dulu sempat ditutup ayahmu. Aku akan ke medan. Cek langsung.”Leon mengangguk pelan. “Hati-hati.”Namun tak peduli seberapa dalam dia menyelam ke perang rahasia ini, tak peduli seberapa sering dia mengulang-ulang briefing dan menggeledah dokumen lama...Satu hal tetap mengganggu pikirannya.Kai. Masih belum bangun.Setiap malam, Leon menyempatkan diri masuk ke
Pagi itu langit cerah di atas pangkalan militer yang selama beberapa hari terakhir menjadi saksi perjuangan antara hidup dan mati. Suasana perlahan mulai melunak, ketegangan yang sempat menggantung kini tergantikan oleh kesibukan persiapan kepulangan.Leon duduk di kursi roda, wajahnya lebih segar meski bekas luka masih tampak jelas di sisi pelipis dan lengan. Di sisinya berdiri Dante dan Rafael, sibuk mengatur dokumen dan keamanan untuk perjalanan udara.“Jangan pakai kursi roda,” gerutu Leon pelan, meski tak ada tenaga untuk benar-benar bangkit. “Ini memalukan.”Dante menyeringai. “Coba kau jalan sendiri, baru bisa protes. Dan lagi, kau tetap kelihatan berbahaya meski duduk, percaya saja.”Di sisi lain ruangan, Maya memeriksa berkas medis dan mengangguk pada petugas medis militer yang akan mendampingi mereka selama penerbangan. “Leon bisa terbang. Kondisinya stabil. Hanya butuh perawatan lanjutan di rumah, dan sedikit—banyak—istirahat,” katanya sambil menatap tajam ke arah Leon.Leo
Di dalam ruang operasi yang disinari cahaya putih terang, hiruk pikuk ketegangan berubah menjadi irama sunyi yang teratur.Hanya suara mesin monitor, detak pelan ventilator, dan instruksi-instruksi tajam namun tenang dari dua dokter perempuan terdengar bergema.Maya dan Elera bekerja seperti dua sisi mata pisau.Lincah. Presisi. Tajam dalam pengambilan keputusan.Tubuh Kai terbujur dengan luka terbuka di sisi perutnya, ginjal kirinya sudah sebagian ditambal dan diperkuat. Tapi pembuluh darah halus di sekitarnya masih rapuh—salah sedikit saja, Kai bisa kehilangan fungsi ginjal sepenuhnya.“Ler, aku tahan arteri ini. Fokus pada tambalan jaringan. Jangan sampai bocor sedikit pun,” kata Maya tanpa perlu menatap Elera.Elera mengangguk, tangannya tetap bergerak cepat. “Kau pikir aku lupa siapa gurunya kita berdua?”Maya menyeringai tipis. “Oh, dia akan sangat sombong kalau sadar nanti. Mungkin bilang dia pingsan hanya untuk nguji kemampuan kita.”Elera tertawa kecil, meski wajahnya tetap f