Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.
Dor! Dor! Dor!
Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?
Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.
Elera membeku.
Pria itu berusaha berjalan lebih jauh, tetapi beberapa detik kemudian, lututnya melemas dan ia jatuh bertumpu pada satu tangan. Napasnya berat, darahnya bercampur dengan hujan yang membasahi trotoar.
Tanpa sadar, langkah Elera bergerak maju.
"Tuan, Anda butuh bantuan medis!"
Mata abu-abu tajam menatapnya, penuh kewaspadaan meskipun tubuhnya jelas melemah. Hujan turun semakin deras, tapi tatapan pria itu membuatnya bergidik. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bahaya.
"Bawa aku dari sini," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Sebelum Elera bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki cepat mendekat. Dari gang yang sama, muncul empat pria bersenjata, ekspresi mereka penuh niat membunuh.
Salah satu dari mereka mengangkat senjata.
Dor!
Peluru pertama mengenai tiang lampu di samping mereka. Elera menjerit, tubuhnya refleks menunduk.
Pria di depannya—Leon—berusaha berdiri dengan sisa tenaganya dan langsung menembakkan satu peluru ke arah musuh.
Dor! Dor!
Salah satu pria bersenjata jatuh, tapi yang lain membalas. Braak! Kaca jendela kafe di samping mereka hancur berkeping-keping akibat rentetan tembakan. Elera terengah, jantungnya berdetak liar. Ini bukan perampokan. Ini perang.
Leon menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia meraih bahu Elera dan mendorongnya ke belakang mobil terdekat sebagai perlindungan.
"Kalau kau tidak mau mati, masuk ke mobil dan bawa aku pergi dari sini."
Otaknya menolak, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Elera merogoh kunci mobilnya dan berlari ke sisi pengemudi. Tapi mereka tidak bisa pergi begitu saja. Musuh sudah mengepung. Dari kaca spion, Elera melihat tiga mobil hitam berhenti di ujung blok, menutup jalan keluar mereka. Lebih banyak pria bersenjata keluar dari dalamnya.
Sial.
Leon menyadari situasi itu, matanya menyipit. Tangannya bergerak cepat memasukkan peluru baru ke dalam pistolnya. "Begitu aku bilang jalan, gaspol."
"Apa?!" Elera hampir berteriak. "Kita tidak bisa keluar dari sini! Mereka menutup jalan!"
Leon menatapnya sekilas. "Percayalah. Aku punya cara."
Tepat saat musuh mulai menembak lagi, Leon keluar dari balik mobil, menembak dengan presisi yang mengerikan. Dua pria jatuh seketika.
Elera mencengkeram kemudi erat, napasnya tercekat.
"JALAN!"
Tanpa berpikir panjang, Elera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil melesat, menerobos hujan dan suara tembakan. Musuh mulai mengejar. Salah satu mobil hitam yang tadi menghalangi jalan ikut melaju di belakang mereka.
Leon, meskipun terluka, berhasil duduk di kursi penumpang sambil mengisi ulang amunisinya. Ia membuka jendela, menoleh ke belakang, lalu mengangkat pistolnya.
Dor! Dor!
Braak!
Kaca depan mobil musuh pecah, membuat pengemudinya kehilangan kendali dan menabrak trotoar.
Tapi mereka belum selesai. Dua mobil lain masih mengejar. Elera menggigit bibirnya, matanya fokus ke jalan yang licin. Tangannya gemetar di atas kemudi, tapi ia tetap memacu mobil dengan kecepatan penuh.
"Sial, sial, sial! Aku bukan pengemudi aksi, tahu!" teriaknya.
Leon hanya menyeringai tipis meskipun kesakitan. "Sekarang kau jadi satu."
Suara tembakan masih menggema, mobil mereka berbelok tajam di tikungan, hampir menabrak truk yang melaju dari arah berlawanan.
Elera berteriak panik. "Kita akan mati!"
"Belok kanan sekarang!" perintah Leon.
Dengan naluri bertahan hidup, Elera membanting setir ke kanan, memasuki jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Mobil musuh tidak sempat mengerem dan melewati mereka, kehilangan jalur pengejaran.
Leon mendesah lega. "Bagus. Sekarang menuju distrik barat."
Elera masih bernapas terengah-engah, keringat bercampur dengan hujan di dahinya. "Kau gila."
Leon meliriknya sekilas, ekspresinya tetap santai meskipun darah masih mengalir dari lukanya. "Dan kau baru saja menyelamatkan seorang mafia."
Safe house itu terasa lebih besar dari yang Elera duga. Begitu ia memasuki ruangan utama, matanya langsung disambut oleh interior megah yang terasa kontras dengan situasi Leon yang masih berlumuran darah.
Leon berjalan santai ke arah sofa besar, tapi Elera langsung menyusulnya dengan wajah murka. "Duduk. Jangan banyak bergerak."
Leon hanya mendesah dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan elegan. "Santai, Dokter. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."
"Oh ya?" Elera melipat tangan di dada, menatap darah yang sudah mulai mengering di kemejanya. "Karena menurutku, orang yang ‘baik-baik saja’ tidak berjalan-jalan dengan lubang peluru di tubuhnya!"
Dante, yang berdiri di sudut ruangan sambil menyaksikan interaksi ini, terkekeh. "Wow, bos. Sepertinya kau mendapatkan dokter yang lebih cerewet daripada yang biasanya."
Leon menatap Dante sekilas sebelum kembali menatap Elera. "Aku sudah melalui yang lebih buruk."
"TIDAK PEDULI!" Elera mendekat dan menekan bahu Leon dengan kasar agar dia tidak bisa bangun. "Aku tidak peduli seberapa kebal kau terhadap rasa sakit, kau tetap manusia, Leon! Kau bisa mati karena pendarahan atau infeksi!"
Leon mengangkat satu alis, tampak sedikit terhibur. "Jadi kau peduli padaku, ya?"
Elera mendelik tajam. "Aku peduli pada pasienku, bukan padamu secara khusus. Jadi diam dan biarkan aku bekerja."
Leon menahan tawa kecil sementara Elera menarik peralatan medis seadanya yang diberikan Dante. Setelah membersihkan tangannya, ia mulai membuka kemeja Leon tanpa peringatan.
Leon menegang. "Biasanya wanita setidaknya makan malam dulu sebelum mencoba melepas bajuku."
Elera berhenti sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi. "Aku bisa saja menjahit luka ini tanpa anestesi, tahu?"
Dante langsung tertawa keras. "Bos, aku rasa kau akhirnya bertemu seseorang yang tidak takut padamu."
Leon hanya mendesah lelah. "Baiklah, lakukan saja."
Elera mulai bekerja. Ia membersihkan luka dengan tekanan agak keras, sengaja tidak terlalu lembut sebagai bentuk hukuman karena kebodohan Leon.
Leon mengerang pelan. "Astaga, kau bisa sedikit lebih lembut?"
"Oh, maaf," kata Elera datar. "Aku lupa bahwa Tuan Mafia ini punya ambang batas sakit selektif."
Leon menutup matanya sejenak, menikmati momen ketika seseorang berani berbicara kasar padanya tanpa rasa takut. "Kau benar-benar dokter yang menyebalkan."
"Dan kau pasien terburuk yang pernah kutangani," balas Elera tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Leon.
Dante yang sejak tadi menonton hanya bisa menggelengkan kepala, senyum geli masih terpampang di wajahnya. "Dokter, aku menyukaimu lebih dari yang kupikirkan."
Elera mendengus. "Sayangnya, aku tidak bisa berkata sama."
Leon menahan tawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali serius ketika rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa. Elera menutup luka dengan perban bersih, lalu menarik napas lega.
"Selesai. Tapi kau harus istirahat. Aku tidak mau melihatmu bangun dan bertingkah seolah kau tidak terluka!"
Leon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Dokter, kau harus mulai terbiasa. Aku tidak akan diam terlalu lama."
Elera berdecak kesal. "Ya Tuhan, kau keras kepala."
Leon mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. "Dan kau tidak biasa berhadapan dengan pria sepertiku, kan?"
Jantung Elera sedikit berdebar, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku sudah cukup banyak berurusan dengan pasien keras kepala sepertimu."
Dante tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku merasa drama ini akan jadi tontonan yang menarik."
Elera menutup kotak medisnya dengan keras, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius. "Kau masih harus banyak beristirahat. Kalau kau berani bergerak terlalu banyak, aku sendiri yang akan membuatmu pingsan."
Leon hanya tersenyum miring, menikmati bagaimana dokter itu bisa mendominasi percakapan tanpa rasa takut. "Baiklah, Dokter. Aku akan mencoba menaatimu… untuk sementara."
Elera mendesah panjang. "Kita lihat saja nanti."
Di sudut ruangan, Dante hanya bisa tersenyum lebar. Sepertinya, untuk pertama kalinya, ada seseorang yang benar-benar bisa menantang bosnya tanpa takut kehilangan nyawa.Dan jujur saja, dia cukup menikmati melihatnya.Elera melepas sarung tangannya dan membereskan peralatan medis seadanya yang baru saja digunakan untuk menangani luka Leon. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut, melainkan karena frustrasi."Baiklah, aku sudah melakukan tugasku." Ia menatap Leon yang kini duduk bersandar di sofa dengan mata tertutup. "Sekarang aku akan pulang."Leon membuka matanya, menatapnya sekilas sebelum dengan santai menjawab, "Tidak."Elera mengerutkan kening. "Apa maksudmu tidak?"Leon menghembuskan napas pelan, lalu duduk lebih tegak. "Kau tidak bisa pergi sekarang. Itu terlalu berbahaya."Elera mendengus. "Bahaya? Aku bukan bagian dari ini semua. Aku hanya kebetulan lewat, menyelamatkanmu, dan sekarang tugasku sudah selesai. Aku harus pulang, Leon."Dante yang berdiri di sudut rua
Elera duduk di atas ranjang empuk dengan tangan terlipat di dada, mata tajam menatap pintu kamar yang tertutup rapat.Safe house? Tempat ini lebih mirip hotel bintang lima daripada tempat persembunyian. Tetapi tetap saja, ia merasa seperti tahanan.Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa hidupnya berubah drastis dalam semalam. Dari seorang dokter trauma yang sibuk di rumah sakit, kini ia menjadi ‘tamu’ dalam dunia seorang pria berbahaya.Leon Santiago.Memikirkan nama itu saja sudah cukup membuatnya mendengus kesal."Astaga, kenapa aku bisa terjebak dalam kekacauan ini?" gumamnya sambil memijat pelipisnya.Di luar, suara langkah kaki mendekat.Elera langsung menegang. Pintu terbuka tanpa ketukan, dan pria yang ada dalam pikirannya kini berdiri di hadapannya.Leon.Ia masih mengenakan kemeja hitamnya yang sedikit berantakan, luka di tubuhnya masih terlihat, tetapi auranya tetap tajam dan mendominasi."Kau tidak bisa terus mengunci diri di sini," ucapnya santai, seolah-olah ia sedang memb
Maya mondar-mandir di ruang tamu apartemen Elera, wajahnya penuh kekhawatiran dan frustrasi. Ponselnya tergenggam erat di tangan, siap menelepon polisi kapan saja.Seharusnya mereka sudah berada di Pattaya sekarang, menikmati liburan yang telah direncanakan berbulan-bulan. Tapi nyatanya? Sahabatnya malah menghilang tanpa kabar.Klik!Suara kunci berputar.Maya langsung menoleh ke arah pintu. Begitu pintu terbuka, sosok yang sejak tadi ia tunggu akhirnya muncul."ELERA!"Ia langsung berlari dan memeluk sahabatnya erat, hampir membuat Elera kehilangan keseimbangan."Ya Tuhan, kau ke mana saja?! Aku sudah hampir gila!"Elera tersenyum tipis, membalas pelukan itu dengan tepukan pelan di punggung Maya. "Aku baik-baik saja, Ma."Namun, Maya langsung menarik diri dan menatapnya penuh selidik."Tidak! Kau tidak baik-baik saja! Kau menghilang semalaman, tidak menjawab telepon, lalu tiba-tiba kembali seperti ini?"Elera membuka mulutnya untuk berbicara, tetapi sebelum ia sempat mengeluarkan satu
Hening.Ketegangan menggantung di udara seperti pisau yang siap menebas kapan saja. Diego Alvarez berdiri tegap di ambang pintu apartemen, tatapannya tajam menusuk langsung ke arah Leon Santiago. Tidak ada yang berbicara, tetapi setiap detik yang berlalu terasa begitu berat, membuat Elera tanpa sadar menggenggam erat koper di tangannya.Leon tetap dalam posisi santainya, kedua tangan dimasukkan ke saku celana, tetapi Elera melihat sesuatu yang berbeda—rahangnya menegang, tatapannya lebih gelap dari biasanya.Maya berdiri di samping Elera, menelan ludah dengan gugup sebelum akhirnya melangkah maju."Ayah…?"Diego akhirnya mengalihkan pandangannya ke putrinya. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegasan dalam suaranya."Maya, sayang, aku akan menjelaskan nanti. Sekarang aku perlu bicara dengan Leon."Maya mengernyit, jelas tidak puas dengan jawaban itu, tetapi akhirnya mengangguk. Tatapannya masih penuh tanda tanya, tetapi ia memilih untuk diam… untuk saat ini.Diego kembali menatap Leon
Hening.Suasana di dalam apartemen semakin menegang saat pintu akhirnya terbuka, dan Diego melangkah masuk dengan ekspresi serius. Maya dan Elera langsung menoleh, ingin tahu apa yang baru saja dibicarakan oleh ayah Maya dan Leon di luar.Di belakang Diego, Leon berjalan masuk dengan langkah santai, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih dingin, lebih tajam, lebih bertekad.Elera merasakan firasat buruk.Maya menatap ayahnya dengan penuh selidik. "Ayah, kau bicara apa dengan dia?"Diego tidak langsung menjawab, tetapi ia menatap Leon sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mendengar keputusannya. Sekarang, giliran Elera yang memutuskan."Elera mengerutkan kening. "Memutuskan apa?"Leon menyelipkan satu tangan ke dalam saku celana, suara rendahnya terdengar mantap dan tak terbantahkan."Kau akan ikut denganku."Hening.Elera menatapnya dengan tidak percaya, lalu mendengus pelan. "Kau bercanda, kan?"Leon tetap menatapnya tanpa ekspresi. "Tidak. Aku tidak bercanda."Elera
Perjalanan menuju rumah baru itu tidak berjalan dengan tenang, sama sekali tidak.Di kursi belakang, Elera duduk dengan tangan terlipat di dada, menatap Leon tajam. Sementara itu, Leon tetap bersikap santai, menanggapi setiap protesnya dengan ekspresi dingin seolah tidak peduli.Di kursi pengemudi, Dante hanya bisa menahan tawa, menikmati pertengkaran kecil yang terjadi di belakangnya."Aku tidak percaya aku harus ikut denganmu!" gerutu Elera, menggerutu untuk kesekian kalinya sejak mereka meninggalkan apartemennya.Leon tetap tenang, matanya tetap lurus ke depan. "Kau tidak punya pilihan, Dokter."Elera mendesis. "Oh, aku punya banyak pilihan, kau saja yang tidak memberikannya padaku!"Leon meliriknya sekilas sebelum kembali menatap jalan. "Kalau begitu, silakan keluar dari mobil ini sekarang juga. Lihat seberapa jauh kau bisa bertahan di luar sana dengan Sergio yang mengincarmu."Elera terdiam sejenak, tetapi bukan karena ia kalah. Lebih karena ia tahu Leon benar.Dante menyeringai d
Elera menatap kosong ke arah layar ponselnya, jari-jarinya masih ragu untuk mengetik. Setelah percakapan gila dengan Leon tadi, otaknya masih berusaha mencerna kenyataan bahwa pria itu benar-benar baru saja melamarnya.Melamar.Untuk menikah.Dengan dia.Elera memijat pelipisnya, menghela napas panjang. Dia butuh seseorang untuk menertawakan semua ini bersamanya, atau setidaknya, seseorang yang bisa membantunya berpikir lebih jernih.Jadi, tanpa pikir panjang lagi, dia menekan nomor Maya.Dreet. Dreet. Dreet.Panggilan tersambung hanya dalam dua detik."AKHIRNYA KAU MENELPON!" Suara Maya langsung melengking di telinganya.Elera menjauhkan ponsel dari telinganya sejenak sebelum kembali mendekatkannya. "Maya, tolong, jangan berteriak—""JANGAN BERTERIAK?! ELERA VASQUEZ, KAU MENGHILANG SELAMA SEMINGGU DAN SEKARANG BARU MENELPONKU?! APA KAU TAHU SEBERAPA BANYAK PERTANYAAN YANG KUPUNYA?!"Elera menghela napas panjang, berusaha meredam emosi sahabatnya. "Maya, aku tidak punya banyak waktu un
Ruangan itu dipenuhi ketegangan saat Diego Alvarez menatap Leon dan Elera tanpa ekspresi. Mata tajamnya menembus mereka, seolah mencoba menilai apa yang sebenarnya terjadi.Maya duduk di sofa dengan tangan disilangkan, jelas menikmati momen ini."Jelaskan," ulang Diego dengan nada lebih dalam.Leon tetap berdiri dengan tenang, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. "Kami datang untuk membicarakan sesuatu denganmu."Diego menaikkan satu alis, lalu menatap ke arah Elera yang sejak tadi berdiri canggung di samping Leon."Elera," suaranya lebih lembut saat berbicara padanya. "Apa kau baik-baik saja?"Elera mengangguk cepat, tetapi kemudian menelan ludah sebelum berbicara. "Paman… aku hanya ingin bertanya sesuatu padamu."Diego mengisyaratkan agar mereka duduk. Elera langsung menurut, tetapi Leon tetap berdiri, memilih untuk menyandarkan tubuhnya ke tiang kayu di sisi ruangan."Apa yang ingin kau tanyakan?"Elera menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian. "Paman… bagaim
Malam semakin larut, dan suara monitor detak jantung yang lembut menjadi satu-satunya irama di ruangan rawat inap itu. Lampu temaram menyinari sudut-sudut sunyi rumah sakit, membuat dunia seolah tertidur.Kecuali Elera.Ia menatap langit-langit dengan mata terbuka lebar, tanpa ekspresi. Tangannya berada di atas perutnya yang rata, yang kini terasa sunyi. Tidak ada gerakan. Tidak ada denyut. Hampa.Pandangan matanya perlahan beralih ke sisi ranjang.Di sana, Leon tertidur di kursi panjang, dengan kepala miring ke samping, tubuh sedikit membungkuk dan satu tangannya masih menggenggam tangan Elera. Dalam tidur yang tak lelap itu, guratan halus kelelahan dan kekhawatiran tampak jelas di wajah suaminya. Mata Leon sedikit bengkak, rahangnya mengeras, dan bibirnya mengepal, seolah menahan semua yang tak sempat diungkapkan siang tadi.Elera menatap wajah itu dengan sesak yang tak tertahankan."Aku bahkan tidak bisa melindungi mereka... aku hampir kehilangan semuanya," batinnya gemetar. Tangan
Ruang dokter kandungan di lantai tiga rumah sakit itu biasanya dipenuhi harapan, tawa, dan rencana masa depan. Tapi pagi ini, hanya keheningan berat yang menggantung di udara.Leon duduk di sofa dengan Alva yang telah tertidur di pelukannya, wajah sang anak masih lembap bekas tangisan semalam. Pria itu terlihat lebih pucat dari biasanya, sorot matanya kosong namun penuh kegelisahan. Dulu, dia bisa menghadapi bahaya dengan ketenangan seorang pemimpin. Tapi kali ini… dia hanyalah seorang suami dan ayah yang menunggu kepastian tentang dua orang yang paling dicintainya.Ketika Maya dan Kai masuk, langkah mereka pelan. Saling pandang dengan ragu, seakan berharap satu sama lain akan berbicara lebih dulu. Tapi tidak ada cara mudah untuk ini.Leon langsung berdiri, menaruh Alva yang masih tidur di sofa.“Bagaimana keadaannya?” tanya Leon, suaranya rendah namun jelas memaksa, penuh harap dan takut sekaligus.Maya menelan ludah. Kai menunduk.“Elera stabil. Operasinya berjalan lancar. Fisiknya
Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar keluarga itu, menyinari perlahan ranjang besar tempat tiga sosok terbaring santai. Leon membuka mata lebih dulu, menyadari bahwa ada dua kepala kecil—satu besar dan satu sangat kecil—yang menempel di dada dan lengannya.Alva sudah terbangun sejak tadi, tapi alih-alih membuat kekacauan, bocah itu hanya berbaring tenang sambil memeluk perut bundanya. Tangannya yang mungil membentuk lingkaran di perut Elera yang mulai sedikit menonjol.“Adik cepat datang ya,” bisiknya, pelan tapi penuh cinta. “Aku udah punya banyak mainan buat kamu.”Leon menahan senyum. Dia tak menyangka putranya bisa sedewasa itu di usianya yang belum genap tiga tahun.Elera mengerjap pelan, menggeliat sedikit, lalu tersenyum saat melihat kedua lelaki kecil dan besar itu memandanginya.“Pagi...” gumamnya.“Pagi,” jawab Leon lembut, mencium keningnya.“Adik belum datang,” Alva mengeluh kecil, masih menempel di perut bundanya. “Aku udah tunggu lama.”Elera tertawa. “Adik belum
Kepala rumah sakit Dr. Raymond belum lama duduk di ruangannya pagi itu saat sekretarisnya masuk sambil membawa secangkir kopi dan wajah ragu-ragu.“Ada panggilan penting, Pak. Dari... Tuan Leon.”Raymond menaikkan alis. “Pagi-pagi begini?”Sekretaris itu mengangguk. “Katanya, urgent family matter.”Dengan penasaran, Raymond mengambil telepon di meja dan menekan tombol sambungan. “Halo, Leon?”“Dokter Raymond,” suara Leon terdengar tegas namun santai di ujung sana. “Aku ingin melakukan sedikit penyesuaian.”Raymond menyandarkan tubuh ke kursi, sudah terbiasa dengan gaya langsung Leon. “Penyesuaian seperti apa? Jangan bilang kamu mau bangun tower baru di atas atap gedung RS.”“Bukan,” balas Leon. “Ini soal Elera. Dia sedang hamil, dan aku tidak ingin dia terlalu lelah. Aku minta agar jam praktik dan jadwal operasinya dipangkas—sebisa mungkin hanya menangani pasien ringan atau observasi saja.”Raymond tertawa pelan. “Leon... dia spesialis trauma bedah. Pasien ringan itu bukan menunya.”“
Setelah pengumuman kecil namun mengguncang pagi itu, Alva tampak semakin sibuk dengan “misi” barunya. Dengan ekspresi serius dan mulut cemberut khas anak-anak, ia berkeliling rumah dengan langkah kecilnya yang cepat, membawa boneka dinosaurus di tangan kanan dan mainan stetoskop mainan di lehernya.Elera, yang sedang duduk bersandar di sofa dengan Leon di sampingnya, tertawa melihat tingkah anak mereka. "Sepertinya dia benar-benar menyiapkan diri jadi kakak," katanya, mengusap perutnya yang masih rata tapi kini terasa berbeda.Leon melirik Alva yang sedang mendekat sambil menggertak bonekanya. "Dinosaurus jahat nggak boleh dekat-dekat adik!" serunya sambil menunjuk lantai dengan dramatis. "Adik masih kecil!"Elera menutup mulut menahan tawa, sementara Leon berpura-pura serius. “Tuan Jenderal,” katanya dengan nada formal, “kami sebagai rakyatmu siap menerima tugas.”Alva dengan cepat mendekat, menunjuk Leon dan berkata, “Papa jaga Mama! Aku jaga rumah!”Leon menegakkan badan, memberi h
Pagi itu, Leon berangkat lebih awal dari biasanya. Ia harus melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Surabaya. Sebelum pergi, ia sempat mengecup kening Elera yang masih setengah tertidur, membisikkan kata-kata lembut agar istrinya beristirahat dengan baik.Elera menggeliat kecil di tempat tidur, mendengar suara langkah kaki Leon menjauh. Rumah terasa sedikit sunyi tanpa kehadiran suaminya yang biasanya terlalu protektif dan selalu memastikan dirinya dalam pelukan sebelum pergi.Saat matahari naik perlahan di langit, Elera mempersiapkan diri untuk masuk kerja siang ini. Namun, ada sesuatu yang aneh.Tubuhnya terasa berbeda.Bukan hanya rasa lelah biasa, bukan hanya sisa rasa capek karena bermain sepanjang hari sebelumnya dengan Alva dan pasukan kecil mereka. Ini... sensasi yang sangat familiar.Sama seperti dulu, sebelum Alvario hadir dalam hidup mereka.Dengan jantung berdebar, Elera membuka laci kecil di meja riasnya. Di dalamnya, tersimpan beberapa test pack yang pernah ia simpan—han
Matahari sore menyinari taman belakang mansion Santiago dengan lembut. Rumput hijau yang terawat tampak berkilau keemasan, dan angin membawa aroma bunga segar yang baru saja mekar. Di tengahnya, sebuah tikar piknik sudah digelar rapi.Leon duduk bersandar di batang pohon, mengenakan kemeja santai dan celana linen. Di pangkuannya, Elera bersandar, rambutnya diikat longgar dan mengenakan gaun kasual berwarna pastel. Wajahnya bersinar lembut, penuh ketenangan dan kebahagiaan. Di depan mereka, Alva sedang bermain gelembung sabun yang ditiupkan oleh alat otomatis mungil—hadiah iseng dari Kai yang entah kenapa ternyata sangat berguna."Aku nggak ingat kapan terakhir kita bisa seperti ini. Santai. Tenang," bisik Elera sambil menggenggam tangan Leon yang membelai rambutnya.Leon menoleh dan mencium pelipisnya. "Dan utuh," tambahnya pelan. "Kamu, aku, dan Alva."Alva menjerit kecil kegirangan saat berhasil memecahkan gelembung sabun dengan kepalan mungilnya, lalu kembali berlari ke arah orang
Sore itu, setelah tawa dan kehebohan soal 'hukuman kerajaan', suasana di Mansion Santiago perlahan menjadi lebih tenang.Elera duduk santai di teras belakang bersama Leon dan Alva. Matahari mulai tenggelam, memandikan halaman dengan cahaya keemasan yang hangat.Leon memangku Elera di pangkuannya, sementara Alva duduk di samping mereka dengan mainannya.Sesekali Alva mengoceh dengan bahasa bayinya, membuat kedua orangtuanya tertawa lembut."Aku rindu momen santai seperti ini," gumam Elera sambil bersandar di dada Leon.Leon menunduk dan mengecup puncak kepala Elera. "Aku juga," katanya pelan, "keluarga kecilku adalah tempatku pulang."Alva yang sepertinya merasa diabaikan, langsung menarik tangan Leon sambil berkata, "Papa, mama, maen!"Leon tertawa dan membungkuk meraih Alva, mendudukkan si kecil di pangkuan mereka berdua.Mereka bertiga membentuk lingkaran kecil, begitu erat dan hangat."Kalau begini rasanya," kata Leon perlahan, sambil menatap kedua orang yang paling dicintainya,"a
Langkah Elera menuruni tangga pelan-pelan, masih setengah mengantuk, tapi hatinya penuh kehangatan.Begitu ia mencapai lantai bawah, pemandangan yang menantinya membuatnya ingin tertawa dan menangis sekaligus.Di ruang keluarga, Alva sedang duduk di pangkuan Leon, dengan Dante di samping mereka — meskipun Dante masih tampak setengah memegangi lukanya sambil berlagak sebagai 'penasihat kerajaan' Alva.Kai, di sudut lain, memeriksa sesuatu di tablet sambil sesekali mencuri pandang ke arah mereka, dan Maya... Maya sibuk mengenakan mahkota mainan di kepala Alva.Suasana terasa begitu penuh cinta dan tawa.Leon, yang mendengar langkah ringan Elera, langsung menoleh.Tatapan matanya melunak saat melihat istrinya berdiri di sana, mengenakan piyama yang ia pilihkan tadi — rambutnya sedikit berantakan, mata masih sayu, tapi... bagi Leon, dia tak pernah terlihat lebih cantik dari ini.Tanpa berkata apa-apa, Leon bangkit, menggendong Alva di satu tangan, lalu menghampiri Elera."Ratu kita sudah