Share

Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya
Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya
Author: THANISA

Peluru, Darah dan Takdir

Author: THANISA
last update Last Updated: 2025-03-05 14:09:58

Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.

Dor! Dor! Dor!

Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?

Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.

Elera membeku.

Pria itu berusaha berjalan lebih jauh, tetapi beberapa detik kemudian, lututnya melemas dan ia jatuh bertumpu pada satu tangan. Napasnya berat, darahnya bercampur dengan hujan yang membasahi trotoar.

Tanpa sadar, langkah Elera bergerak maju.

"Tuan, Anda butuh bantuan medis!"

Mata abu-abu tajam menatapnya, penuh kewaspadaan meskipun tubuhnya jelas melemah. Hujan turun semakin deras, tapi tatapan pria itu membuatnya bergidik. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bahaya.

"Bawa aku dari sini," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.

Sebelum Elera bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki cepat mendekat. Dari gang yang sama, muncul empat pria bersenjata, ekspresi mereka penuh niat membunuh.

Salah satu dari mereka mengangkat senjata.

Dor!

Peluru pertama mengenai tiang lampu di samping mereka. Elera menjerit, tubuhnya refleks menunduk.

Pria di depannya—Leon—berusaha berdiri dengan sisa tenaganya dan langsung menembakkan satu peluru ke arah musuh.

Dor! Dor!

Salah satu pria bersenjata jatuh, tapi yang lain membalas. Braak! Kaca jendela kafe di samping mereka hancur berkeping-keping akibat rentetan tembakan. Elera terengah, jantungnya berdetak liar. Ini bukan perampokan. Ini perang.

Leon menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia meraih bahu Elera dan mendorongnya ke belakang mobil terdekat sebagai perlindungan.

"Kalau kau tidak mau mati, masuk ke mobil dan bawa aku pergi dari sini."

Otaknya menolak, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Elera merogoh kunci mobilnya dan berlari ke sisi pengemudi. Tapi mereka tidak bisa pergi begitu saja. Musuh sudah mengepung. Dari kaca spion, Elera melihat tiga mobil hitam berhenti di ujung blok, menutup jalan keluar mereka. Lebih banyak pria bersenjata keluar dari dalamnya.

Sial.

Leon menyadari situasi itu, matanya menyipit. Tangannya bergerak cepat memasukkan peluru baru ke dalam pistolnya. "Begitu aku bilang jalan, gaspol."

"Apa?!" Elera hampir berteriak. "Kita tidak bisa keluar dari sini! Mereka menutup jalan!"

Leon menatapnya sekilas. "Percayalah. Aku punya cara."

Tepat saat musuh mulai menembak lagi, Leon keluar dari balik mobil, menembak dengan presisi yang mengerikan. Dua pria jatuh seketika.

Elera mencengkeram kemudi erat, napasnya tercekat.

"JALAN!"

Tanpa berpikir panjang, Elera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil melesat, menerobos hujan dan suara tembakan. Musuh mulai mengejar. Salah satu mobil hitam yang tadi menghalangi jalan ikut melaju di belakang mereka.

Leon, meskipun terluka, berhasil duduk di kursi penumpang sambil mengisi ulang amunisinya. Ia membuka jendela, menoleh ke belakang, lalu mengangkat pistolnya.

Dor! Dor!

Braak!

Kaca depan mobil musuh pecah, membuat pengemudinya kehilangan kendali dan menabrak trotoar.

Tapi mereka belum selesai. Dua mobil lain masih mengejar. Elera menggigit bibirnya, matanya fokus ke jalan yang licin. Tangannya gemetar di atas kemudi, tapi ia tetap memacu mobil dengan kecepatan penuh.

"Sial, sial, sial! Aku bukan pengemudi aksi, tahu!" teriaknya.

Leon hanya menyeringai tipis meskipun kesakitan. "Sekarang kau jadi satu."

Suara tembakan masih menggema, mobil mereka berbelok tajam di tikungan, hampir menabrak truk yang melaju dari arah berlawanan.

Elera berteriak panik. "Kita akan mati!"

"Belok kanan sekarang!" perintah Leon.

Dengan naluri bertahan hidup, Elera membanting setir ke kanan, memasuki jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Mobil musuh tidak sempat mengerem dan melewati mereka, kehilangan jalur pengejaran.

Leon mendesah lega. "Bagus. Sekarang menuju distrik barat."

Elera masih bernapas terengah-engah, keringat bercampur dengan hujan di dahinya. "Kau gila."

Leon meliriknya sekilas, ekspresinya tetap santai meskipun darah masih mengalir dari lukanya. "Dan kau baru saja menyelamatkan seorang mafia."

Safe house itu terasa lebih besar dari yang Elera duga. Begitu ia memasuki ruangan utama, matanya langsung disambut oleh interior megah yang terasa kontras dengan situasi Leon yang masih berlumuran darah.

Leon berjalan santai ke arah sofa besar, tapi Elera langsung menyusulnya dengan wajah murka. "Duduk. Jangan banyak bergerak."

Leon hanya mendesah dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan elegan. "Santai, Dokter. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."

"Oh ya?" Elera melipat tangan di dada, menatap darah yang sudah mulai mengering di kemejanya. "Karena menurutku, orang yang ‘baik-baik saja’ tidak berjalan-jalan dengan lubang peluru di tubuhnya!"

Dante, yang berdiri di sudut ruangan sambil menyaksikan interaksi ini, terkekeh. "Wow, bos. Sepertinya kau mendapatkan dokter yang lebih cerewet daripada yang biasanya."

Leon menatap Dante sekilas sebelum kembali menatap Elera. "Aku sudah melalui yang lebih buruk."

"TIDAK PEDULI!" Elera mendekat dan menekan bahu Leon dengan kasar agar dia tidak bisa bangun. "Aku tidak peduli seberapa kebal kau terhadap rasa sakit, kau tetap manusia, Leon! Kau bisa mati karena pendarahan atau infeksi!"

Leon mengangkat satu alis, tampak sedikit terhibur. "Jadi kau peduli padaku, ya?"

Elera mendelik tajam. "Aku peduli pada pasienku, bukan padamu secara khusus. Jadi diam dan biarkan aku bekerja."

Leon menahan tawa kecil sementara Elera menarik peralatan medis seadanya yang diberikan Dante. Setelah membersihkan tangannya, ia mulai membuka kemeja Leon tanpa peringatan.

Leon menegang. "Biasanya wanita setidaknya makan malam dulu sebelum mencoba melepas bajuku."

Elera berhenti sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi. "Aku bisa saja menjahit luka ini tanpa anestesi, tahu?"

Dante langsung tertawa keras. "Bos, aku rasa kau akhirnya bertemu seseorang yang tidak takut padamu."

Leon hanya mendesah lelah. "Baiklah, lakukan saja."

Elera mulai bekerja. Ia membersihkan luka dengan tekanan agak keras, sengaja tidak terlalu lembut sebagai bentuk hukuman karena kebodohan Leon.

Leon mengerang pelan. "Astaga, kau bisa sedikit lebih lembut?"

"Oh, maaf," kata Elera datar. "Aku lupa bahwa Tuan Mafia ini punya ambang batas sakit selektif."

Leon menutup matanya sejenak, menikmati momen ketika seseorang berani berbicara kasar padanya tanpa rasa takut. "Kau benar-benar dokter yang menyebalkan."

"Dan kau pasien terburuk yang pernah kutangani," balas Elera tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Leon.

Dante yang sejak tadi menonton hanya bisa menggelengkan kepala, senyum geli masih terpampang di wajahnya. "Dokter, aku menyukaimu lebih dari yang kupikirkan."

Elera mendengus. "Sayangnya, aku tidak bisa berkata sama."

Leon menahan tawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali serius ketika rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa. Elera menutup luka dengan perban bersih, lalu menarik napas lega.

"Selesai. Tapi kau harus istirahat. Aku tidak mau melihatmu bangun dan bertingkah seolah kau tidak terluka!"

Leon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Dokter, kau harus mulai terbiasa. Aku tidak akan diam terlalu lama."

Elera berdecak kesal. "Ya Tuhan, kau keras kepala."

Leon mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. "Dan kau tidak biasa berhadapan dengan pria sepertiku, kan?"

Jantung Elera sedikit berdebar, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku sudah cukup banyak berurusan dengan pasien keras kepala sepertimu."

Dante tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku merasa drama ini akan jadi tontonan yang menarik."

Elera menutup kotak medisnya dengan keras, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius. "Kau masih harus banyak beristirahat. Kalau kau berani bergerak terlalu banyak, aku sendiri yang akan membuatmu pingsan."

Leon hanya tersenyum miring, menikmati bagaimana dokter itu bisa mendominasi percakapan tanpa rasa takut. "Baiklah, Dokter. Aku akan mencoba menaatimu… untuk sementara."

Elera mendesah panjang. "Kita lihat saja nanti."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Saat Semua Terlihat Tenang

    Pagi datang dengan cahaya yang jinak.Tidak ada sirine. Tidak ada alarm. Tidak ada langkah tergesa.Seolah ledakan kemarin hanyalah mimpi buruk yang sudah dikubur rapi oleh matahari.Elera berdiri di dapur, rambutnya diikat seadanya, masih mengenakan kemeja rumah. Bayi kembar terlelap di baby cribportabel, napas mereka naik turun pelan—sinkron, damai. Alfa duduk di lantai, menyusun balok kayu sambil bersenandung lagu yang entah ia dengar dari mana.Leon masuk membawa dua cangkir teh. Ia meletakkan satu di depan Elera tanpa bicara—gerakan yang sudah menjadi kebiasaan lama, bahasa sunyi di antara mereka.“Kamu belum tidur,” kata Elera pelan.Leon mengangkat bahu. “Aku tidur nanti.”Elera menatapnya lama, lalu meraih tangannya. “Jangan hilang.”Leon menunduk, menyentuhkan dahinya ke dahi Elera. “Aku di sini.”Di sudut ruangan, Kai duduk di sofa, kaki diselonjorkan, terlihat jauh lebih baik dari beberapa minggu lalu. Wajahnya masih pucat, tapi matanya hidup—terlalu hidup untuk orang yang

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Di Antara Celoteh dan Api

    Pagi itu berjalan terlalu normal.Bahkan mencurigakan.Elera duduk di ruang makan dengan secangkir kopi yang akhirnya bisa ia minum selagi hangat—kemewahan kecil bagi ibu tiga anak dan dokter bedah dengan jadwal gila. Bayi kembar berada di baby chair, tangan kecil mereka sibuk memukul meja sambil mengeluarkan suara tidak jelas yang terdengar seperti debat serius.“Ba-ba-ba,”“Da!”Alfa berdiri di depan mereka seperti pembawa acara televisi.“Tenang, satu-satu ya. Gantian ngomong.”Kai duduk bersandar di kursi, masih dengan penyangga ringan di pinggang, menonton sambil tersenyum.“Dia bakal jadi diplomat atau jenderal kecil. Tidak ada opsi lain.”Leon masuk membawa piring. “Atau pengacara. Suaranya sudah seperti berdebat tanpa data.”Elera menoleh, senyum kecil muncul. “Jangan merusak momen keluarga dengan trauma profesimu.”Leon mendekat, mencium kening Elera cepat—gerakan kecil, tapi penuh makna.“Kamu kelihatan capek.”Elera mengangkat bahu. “Capek bahagia.”Leon tersenyum. “Itu cap

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Dendam yang Pernah Dikubur

    Lampu merah di layar ruang kontrol akhirnya padam, berganti hijau satu per satu. Sistem kembali stabil. Terlalu cepat untuk disebut aman, terlalu tenang untuk dipercaya.Leon berdiri tanpa bicara, kedua tangannya bertumpu di meja. Rahangnya mengeras, tapi matanya dingin—bukan panik, bukan marah. Ini wajah seseorang yang sedang mengunci semua emosinya demi satu tujuan: melindungi.Dante memecah sunyi.“Pesan itu datang dari server bayangan. Sengaja ditinggalkan. Mereka ingin kita tahu… mereka masih ada.”Leon mengangguk pelan. “Aku tahu.”Lalu, lebih pelan lagi, hampir seperti gumaman, “Dan mereka ingin aku bereaksi.”Kai menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Dan kamu tidak akan memberi mereka kepuasan itu, kan?”Leon meliriknya sekilas. “Tidak malam ini.”~~~~Lampu merah di layar ruang kontrol akhirnya padam, berganti hijau satu per satu. Sistem kembali stabil. Terlalu cepat untuk disebut aman, terlalu tenang untuk dipercaya.Leon berdiri tanpa bicara, kedua tangannya bertumpu di meja. Ra

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Gelombang Pertama

    Asap sudah mulai menipis, tapi atmosfer mansion tetap tebal dengan rasa waspada.Leon berdiri di tengah lorong, bahunya sedikit tegang, napasnya sudah kembali stabil—tapi matanya menyala seperti seseorang yang baru saja diusik di wilayahnya.Dante muncul dari balik pilar dengan tablet di tangan, langkahnya tajam.“Leon,” katanya, suara rendah. “Ada sesuatu yang lebih buruk dari sekadar penyusup.”Leon menatapnya. “Katakan.”“Jalur listrik koridor timur sempat mati selama tiga detik sebelum ledakan. Itu bukan kebetulan. Itu sinyal.”Leon mengerutkan kening. “Sinyal untuk siapa?”Dante melirik layar, jari-jarinya bergerak cepat. “Untuk orang di luar. Untuk memastikan mereka tahu kita sedang teralihkan.”Sementara itu, Elera di ruang tengah menidurkan bayi kembar yang mulai rewel, sementara Alfa duduk memeluk kakinya, matanya gelisah.“Mommy… itu tadi suara apa?” tanya Alfa pelan.Elera menepuk punggungnya lembut. “Hanya sesuatu yang papa sedang tangani. Tidak apa, sayang.”Nada suaranya

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Semakin Dekat

    Mansion Santiago pagi itu terasa lebih sunyi dari biasanya.Hanya suara langkah Leon yang berat, dentingan piring dari dapur, dan tawa kecil Alfa yang melintasi koridor.Alfa sedang “menyerang” Kai dengan tumpukan bantal sambil berteriak,“Serang, Paman Kai! Serang!”Kai tertawa terbahak-bahak, berusaha menangkis bantal-bantal itu.Elera menatap pemandangan itu sambil menahan senyum. Matanya lelah, tapi hatinya hangat.“Lihat ini,” gumamnya, “anak-anak ini bisa bikin kita lupa perang sebentar.”Leon, yang baru saja memeriksa laporan dari Dante, tersenyum tipis—hanya terlihat dari sudut matanya.Dia melangkah mendekati Elera, menaruh tangan di bahunya, lembut.“Kalau kamu lelah… istirahatlah. Aku yang akan jaga semuanya.”Elera menatapnya, tersentuh, tapi segera sadar—tidak ada waktu untuk terlalu larut dalam kelembutan itu.“Sepertinya… kita akan butuh semua energi hari ini,” katanya pelan.~~~Siang itu suasana mulai berubah.Dante menemukan pola baru di data cyber: ada jejak digital

  • Terjerat Pesona Mafia, Aku Tawanan Cintanya   Langkah Pertama Menuju Kekacauan

    Pagi di mansion Santiago selalu terasa lebih tenang daripada yang seharusnya. Cahaya matahari menyelinap dari celah tirai, menimpa lantai marmer yang dingin, seolah tak sadar kalau rumah itu sedang dipagari ancaman.Elera datang dari dapur dengan mug kopi, rambut masih sedikit berantakan, mata cekung karena semalaman begadang bersama Leon, Dante, dan yang lain.Kai sudah di ruang tengah, duduk dengan selimut di pangkuannya. “Pagi,” katanya sambil tersenyum kecil. “Jangan bilang kamu belum tidur?”Elera mendesah. “Setengah tidur. Leon masih ngotot baca semua laporan.”Dante muncul dari arah kantor Leon, mata merah karena kurang tidur. “Dia lagi mandi. Dan dia ngeluh airnya terlalu panas. Which is weird, karena itu suhu normal.”Maya muncul menyusul, menyeruput teh. “Itu bukan air panas. Itu mood-nya.”Kai terkekeh pelan. “Leon lagi mode siap perang.”“Yup.” Maya menepuk pundak Kai. “Kamu jangan ikutan mode perang. Kamu masih dalam mode ‘jangan bikin dokter bedah marah’.”“Aku nggak nga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status