Hujan turun deras malam itu. Kota diterangi oleh lampu jalan yang berpendar suram, aspal basah memantulkan cahaya merah dari lampu lalu lintas. Elera baru saja menyelesaikan shift panjang di rumah sakit. Matanya lelah, tubuhnya ingin segera beristirahat, tetapi semua itu sirna ketika suara tembakan pertama meledak di kejauhan.
Dor! Dor! Dor!
Elera langsung menoleh. Sumber suara itu berasal dari gang sempit di seberang jalan, hanya beberapa blok dari rumah sakit. Lampu-lampu jalan berkedip, bayangan hitam dari beberapa pria bersenjata tampak berlarian di balik gedung.Jantungnya berdebar cepat. Apa itu? Polisi? Perampokan?
Tetapi saat ia hendak berpaling dan berjalan cepat ke arah mobilnya, sosok pria tinggi berjas hitam muncul dari salah satu gang.Ia berjalan tertatih, jasnya berlumuran darah yang semakin lama semakin pekat terkena air hujan. Tangan kirinya mencengkeram perutnya yang terluka, sementara tangan kanannya masih menggenggam pistol dengan erat.
Elera membeku.
Pria itu berusaha berjalan lebih jauh, tetapi beberapa detik kemudian, lututnya melemas dan ia jatuh bertumpu pada satu tangan. Napasnya berat, darahnya bercampur dengan hujan yang membasahi trotoar.
Tanpa sadar, langkah Elera bergerak maju.
"Tuan, Anda butuh bantuan medis!"
Mata abu-abu tajam menatapnya, penuh kewaspadaan meskipun tubuhnya jelas melemah. Hujan turun semakin deras, tapi tatapan pria itu membuatnya bergidik. Ada sesuatu dalam sorot matanya—bahaya.
"Bawa aku dari sini," gumamnya, suaranya rendah dan nyaris tenggelam dalam suara hujan.
Sebelum Elera bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki cepat mendekat. Dari gang yang sama, muncul empat pria bersenjata, ekspresi mereka penuh niat membunuh.
Salah satu dari mereka mengangkat senjata.
Dor!
Peluru pertama mengenai tiang lampu di samping mereka. Elera menjerit, tubuhnya refleks menunduk.
Pria di depannya—Leon—berusaha berdiri dengan sisa tenaganya dan langsung menembakkan satu peluru ke arah musuh.
Dor! Dor!
Salah satu pria bersenjata jatuh, tapi yang lain membalas. Braak! Kaca jendela kafe di samping mereka hancur berkeping-keping akibat rentetan tembakan. Elera terengah, jantungnya berdetak liar. Ini bukan perampokan. Ini perang.
Leon menggertakkan giginya. Dengan cepat, ia meraih bahu Elera dan mendorongnya ke belakang mobil terdekat sebagai perlindungan.
"Kalau kau tidak mau mati, masuk ke mobil dan bawa aku pergi dari sini."
Otaknya menolak, tapi tubuhnya bereaksi lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, Elera merogoh kunci mobilnya dan berlari ke sisi pengemudi. Tapi mereka tidak bisa pergi begitu saja. Musuh sudah mengepung. Dari kaca spion, Elera melihat tiga mobil hitam berhenti di ujung blok, menutup jalan keluar mereka. Lebih banyak pria bersenjata keluar dari dalamnya.
Sial.
Leon menyadari situasi itu, matanya menyipit. Tangannya bergerak cepat memasukkan peluru baru ke dalam pistolnya. "Begitu aku bilang jalan, gaspol."
"Apa?!" Elera hampir berteriak. "Kita tidak bisa keluar dari sini! Mereka menutup jalan!"
Leon menatapnya sekilas. "Percayalah. Aku punya cara."
Tepat saat musuh mulai menembak lagi, Leon keluar dari balik mobil, menembak dengan presisi yang mengerikan. Dua pria jatuh seketika.
Elera mencengkeram kemudi erat, napasnya tercekat.
"JALAN!"
Tanpa berpikir panjang, Elera menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil melesat, menerobos hujan dan suara tembakan. Musuh mulai mengejar. Salah satu mobil hitam yang tadi menghalangi jalan ikut melaju di belakang mereka.
Leon, meskipun terluka, berhasil duduk di kursi penumpang sambil mengisi ulang amunisinya. Ia membuka jendela, menoleh ke belakang, lalu mengangkat pistolnya.
Dor! Dor!
Braak!
Kaca depan mobil musuh pecah, membuat pengemudinya kehilangan kendali dan menabrak trotoar.
Tapi mereka belum selesai. Dua mobil lain masih mengejar. Elera menggigit bibirnya, matanya fokus ke jalan yang licin. Tangannya gemetar di atas kemudi, tapi ia tetap memacu mobil dengan kecepatan penuh.
"Sial, sial, sial! Aku bukan pengemudi aksi, tahu!" teriaknya.
Leon hanya menyeringai tipis meskipun kesakitan. "Sekarang kau jadi satu."
Suara tembakan masih menggema, mobil mereka berbelok tajam di tikungan, hampir menabrak truk yang melaju dari arah berlawanan.
Elera berteriak panik. "Kita akan mati!"
"Belok kanan sekarang!" perintah Leon.
Dengan naluri bertahan hidup, Elera membanting setir ke kanan, memasuki jalan sempit yang hanya cukup untuk satu mobil. Mobil musuh tidak sempat mengerem dan melewati mereka, kehilangan jalur pengejaran.
Leon mendesah lega. "Bagus. Sekarang menuju distrik barat."
Elera masih bernapas terengah-engah, keringat bercampur dengan hujan di dahinya. "Kau gila."
Leon meliriknya sekilas, ekspresinya tetap santai meskipun darah masih mengalir dari lukanya. "Dan kau baru saja menyelamatkan seorang mafia."
Safe house itu terasa lebih besar dari yang Elera duga. Begitu ia memasuki ruangan utama, matanya langsung disambut oleh interior megah yang terasa kontras dengan situasi Leon yang masih berlumuran darah.
Leon berjalan santai ke arah sofa besar, tapi Elera langsung menyusulnya dengan wajah murka. "Duduk. Jangan banyak bergerak."
Leon hanya mendesah dan menjatuhkan dirinya ke sofa dengan elegan. "Santai, Dokter. Aku sudah bilang, aku baik-baik saja."
"Oh ya?" Elera melipat tangan di dada, menatap darah yang sudah mulai mengering di kemejanya. "Karena menurutku, orang yang ‘baik-baik saja’ tidak berjalan-jalan dengan lubang peluru di tubuhnya!"
Dante, yang berdiri di sudut ruangan sambil menyaksikan interaksi ini, terkekeh. "Wow, bos. Sepertinya kau mendapatkan dokter yang lebih cerewet daripada yang biasanya."
Leon menatap Dante sekilas sebelum kembali menatap Elera. "Aku sudah melalui yang lebih buruk."
"TIDAK PEDULI!" Elera mendekat dan menekan bahu Leon dengan kasar agar dia tidak bisa bangun. "Aku tidak peduli seberapa kebal kau terhadap rasa sakit, kau tetap manusia, Leon! Kau bisa mati karena pendarahan atau infeksi!"
Leon mengangkat satu alis, tampak sedikit terhibur. "Jadi kau peduli padaku, ya?"
Elera mendelik tajam. "Aku peduli pada pasienku, bukan padamu secara khusus. Jadi diam dan biarkan aku bekerja."
Leon menahan tawa kecil sementara Elera menarik peralatan medis seadanya yang diberikan Dante. Setelah membersihkan tangannya, ia mulai membuka kemeja Leon tanpa peringatan.
Leon menegang. "Biasanya wanita setidaknya makan malam dulu sebelum mencoba melepas bajuku."
Elera berhenti sejenak, lalu menatapnya tanpa ekspresi. "Aku bisa saja menjahit luka ini tanpa anestesi, tahu?"
Dante langsung tertawa keras. "Bos, aku rasa kau akhirnya bertemu seseorang yang tidak takut padamu."
Leon hanya mendesah lelah. "Baiklah, lakukan saja."
Elera mulai bekerja. Ia membersihkan luka dengan tekanan agak keras, sengaja tidak terlalu lembut sebagai bentuk hukuman karena kebodohan Leon.
Leon mengerang pelan. "Astaga, kau bisa sedikit lebih lembut?"
"Oh, maaf," kata Elera datar. "Aku lupa bahwa Tuan Mafia ini punya ambang batas sakit selektif."
Leon menutup matanya sejenak, menikmati momen ketika seseorang berani berbicara kasar padanya tanpa rasa takut. "Kau benar-benar dokter yang menyebalkan."
"Dan kau pasien terburuk yang pernah kutangani," balas Elera tanpa mengalihkan pandangannya dari luka Leon.
Dante yang sejak tadi menonton hanya bisa menggelengkan kepala, senyum geli masih terpampang di wajahnya. "Dokter, aku menyukaimu lebih dari yang kupikirkan."
Elera mendengus. "Sayangnya, aku tidak bisa berkata sama."
Leon menahan tawa kecil, tapi kemudian wajahnya kembali serius ketika rasa nyeri di tubuhnya semakin terasa. Elera menutup luka dengan perban bersih, lalu menarik napas lega.
"Selesai. Tapi kau harus istirahat. Aku tidak mau melihatmu bangun dan bertingkah seolah kau tidak terluka!"
Leon menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Dokter, kau harus mulai terbiasa. Aku tidak akan diam terlalu lama."
Elera berdecak kesal. "Ya Tuhan, kau keras kepala."
Leon mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. "Dan kau tidak biasa berhadapan dengan pria sepertiku, kan?"
Jantung Elera sedikit berdebar, tapi ia buru-buru mengalihkan pandangan. "Aku sudah cukup banyak berurusan dengan pasien keras kepala sepertimu."
Dante tertawa kecil dan menyandarkan tubuhnya ke dinding. "Aku merasa drama ini akan jadi tontonan yang menarik."
Elera menutup kotak medisnya dengan keras, lalu menatap Leon dengan ekspresi serius. "Kau masih harus banyak beristirahat. Kalau kau berani bergerak terlalu banyak, aku sendiri yang akan membuatmu pingsan."
Leon hanya tersenyum miring, menikmati bagaimana dokter itu bisa mendominasi percakapan tanpa rasa takut. "Baiklah, Dokter. Aku akan mencoba menaatimu… untuk sementara."
Elera mendesah panjang. "Kita lihat saja nanti."
Ruang operasi yang sudah lama terasa seperti medan pertempuran kini benar-benar memasuki fase paling genting.Kai, yang selama ini menjadi penopang semua orang, kini nyaris kehilangan hidupnya sendiri.Monitor detak jantung mendadak berbunyi panjang.Lurus.Garis datar.“Asystole!” seru salah satu asisten.Semua di ruangan seketika membeku.Namun dokter tua itu—seseorang yang dahulu membentuk Kai menjadi siapa dia sekarang—tidak goyah sedikit pun. Dengan tenang tapi sigap, ia memberikan perintah.“CPR. Sekarang. Siapkan adrenalin. Jangan berhenti.”Waktu terasa hampa. Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang penuh ketegangan, hanya diisi suara alat dan desahan panik.Lalu—Beep... beep...Monitor kembali menunjukkan denyut. Pelan. Lemah. Tapi ada.Kai masih bertahan.Dokter tua itu menarik napas dalam-dalam, menahan getaran di jemarinya.“Dia kembali… tapi ginjalnya masih dalam krisis. Aku tidak bisa melakukannya sendiri. Aku sudah tua dan tanganku mulai gemetar.”Ia memandang par
Jakarta sore itu diguyur hujan ringan. Langit mendung, tapi tidak segelap beberapa hari terakhir di hati keluarga Santiago.Di kamar utama mansion, Elera duduk memeluk kedua anak kembarnya yang tertidur di pelukannya. Wajahnya masih pucat, matanya sembab, namun ada sedikit warna yang kembali ke pipinya saat Maya masuk ke kamar, membawa kabar yang sejak tadi ditunggu-tunggu.“Leon… dia selamat, Ler. Operasinya berhasil,” ucap Maya pelan, tapi cukup jelas.Elera terdiam. Lalu air matanya jatuh—bukan karena duka, tapi karena lega yang hampir tak berani ia harapkan. Ia menggigit bibir, mengatur napas, lalu menunduk mencium kening kedua bayinya.“Terima kasih, Tuhan…,” bisiknya.Tak lama, Alva pun berlari masuk ke kamar, entah siapa yang memberitahunya, tapi bocah itu tak butuh banyak kata. Ia langsung memeluk mamanya dengan kencang.“Papa selamat, ya, Ma?” tanyanya dengan mata membulat.Elera mengangguk sambil tersenyum meski air mata belum sempat berhenti. “Iya, sayang. Papa sudah aman.”
Udara di ruang operasi bawah tanah itu tegang dan padat. Lampu sorot menggantung di atas meja operasi, menyinari tubuh Leon Santiago yang terbaring tak sadarkan diri—penuh luka, darah, dan bekas siksaan yang terlalu kejam untuk dibiarkan hanya sebagai masa lalu.Kai berdiri di sisi kanan meja operasi, jasnya sudah basah oleh darah—sebagian milik Leon, sebagian lagi miliknya sendiri. Tak ada yang tahu. Tak satu pun dari tim elite pasukan medis ini sadar bahwa Kai sendiri terluka cukup parah, sobek di sisi perutnya akibat tusukan tajam dari saat penyelamatan tadi.Tapi dia tidak peduli.Dia tidak akan meninggalkan Leon.Bukan setelah semua yang mereka lalui bersama.“Luka di toraks kanan—terlalu dalam. Siapkan dua kantong darah lagi! Gunting, pinset! Hati-hati, pembuluh arteri besar di sini,” perintah Kai tajam.Tangannya masih lincah, bergerak cepat menjahit pembuluh yang sobek, menyambung jaringan otot, menstabilkan organ dalam. Meski keringat dingin mengucur dari pelipis, dan pandang
Teriakan dan suara tembakan teredam menggema di seluruh gudang. Tim dari Diego bergerak cepat, seperti bayangan yang menghantam dari segala arah. Penjaga-penjaga Sergio tak sempat berteriak, tak sempat berpikir. Mereka jatuh satu demi satu, tersungkur tanpa suara di lantai beton berdebu, dilumpuhkan oleh keahlian para pemburu paling berbahaya yang pernah dilatih dalam gelapnya dunia bayangan.Dante menerobos pintu ruang utama dengan tendangan kuat, pistolnya terangkat. Napasnya berat, mata tajamnya menyapu ruangan yang penuh darah dan bau terbakar.Dan di tengah ruangan itu—Leon.Masih terikat. Masih berdarah. Tapi matanya terbuka. Menerkam. Napasnya kasar, tapi hidup."Leon!" suara Dante serak, tapi tegas.Kai datang dari sisi kanan dengan cepat, menembakkan jarum anestesi ke salah satu sisa penjaga yang berusaha menyerang dari balik pilar.WHUP!Lelaki itu jatuh seketika, tubuhnya kejang sebelum membeku.Dante segera mendekat, pisau di tangannya mengiris cepat tali pengikat yang me
Suara roda pesawat yang menyentuh landasan membawa satu getaran sunyi ke dalam malam. Tidak ada sambutan. Tidak ada hiruk-pikuk. Hanya dingin yang merayap di balik jaket kulit para pria yang turun dengan langkah pasti.Tim Dante, lengkap dengan Kai, Rafael, dan tiga anggota khusus dari jaringan Diego, mendarat diam-diam di sebuah bandara kecil yang tersembunyi dari radar sipil. Helikopter tak berlogo membawa mereka keluar jalur utama, langsung menuju wilayah luar kota tempat titik koordinat Leon ditemukan.Mereka tidak pergi ke hotel mewah.Sebaliknya, sebuah motel tua yang hampir ambruk, dengan dinding retak dan papan nama berkedip rusak, menjadi markas sementara mereka. Di tempat seperti ini, mata Sergio tak akan menjangkau. Dan itulah yang mereka butuhkan—bayangan.Dante membuka peta dan cetak biru gudang yang dikirim jaringan Diego. Di meja reyot dengan lampu gantung bergoyang pelan, mereka berkumpul. Rafael menyebarkan foto-foto satelit terbaru dan gambar drone kecil yang dikirim
Pagi itu, langit di atas mansion Santiago terlihat lebih kelabu dari biasanya. Seolah matahari pun enggan menampakkan diri. Di ruang makan, piring sarapan Alva masih penuh. Tangan kecilnya hanya memindah-mindahkan telur orak-arik dari sisi ke sisi. Tak ada celoteh ceria pagi hari. Tak ada tawa atau suara minta roti lebih.Rachele dan Kai memperhatikan dari kejauhan, bertukar pandang sejenak. Biasanya Alva akan bercerita panjang lebar tentang mimpi lucunya atau meminta Kai mengajari trik-trik baru yang "boleh dipakai kalau lagi darurat". Tapi hari ini… anak itu diam.Maya datang dengan mata lelah, tapi tetap mencoba tersenyum. “Pagi, Alva… nggak dimakan rotinya?”Alva hanya mengangguk pelan.Maya berjongkok di sampingnya. “Kamu kenapa, hm?”Alva menatap Maya. Mata cokelat besarnya terlihat lebih dalam dari biasanya. Dan kalimat yang keluar… membuat dada Maya sesak.“Papa hilang, ya?”Semua yang ada di ruangan itu terdiam.Maya mencoba tersenyum, meski bibirnya sedikit bergetar. “Papa…