Lampu kamar belum dimatikan saat Leon berdiri di balkon kamar mereka, mengenakan kaus hitam polos dan celana longgar. Hanya suara lembut angin malam dan debur pelan ombak buatan dari kolam di halaman yang terdengar.Elera keluar dari kamar mandi, rambutnya basah dan berantakan, mengenakan piyama santai. Dia memandang punggung Leon yang menghadap luar, tubuhnya tampak tegak… tapi napasnya berat.“Leon,” panggilnya pelan.Tanpa menoleh, Leon mengangkat tangannya, seolah mengundang Elera untuk mendekat.“Kadang aku berpikir,” katanya tanpa basa-basi, “bagaimana hidup kita kalau sejak awal aku bukan siapa-siapa. Bukan anak dari sistem yang busuk. Bukan pewaris jalur abu-abu. Mungkin… kamu nggak perlu kehilangan apa-apa.”Elera berdiri di sisinya sekarang, memandang wajah suaminya dari samping. Mata itu tampak jauh—penuh pertarungan batin.“Waktu kamu jatuh dan hampir kehilangan nyawamu di tangan orang-orang itu, aku sadar… aku nggak akan pernah bisa keluar dari semua ini dengan bersih. Ta
Malam itu, Elera duduk di meja kerja kecil di kamar mereka. Semua sudah tenang. Alva sudah tertidur pulas dengan boneka prajurit kecilnya, Rafael pun berjaga di lantai bawah.Namun, tidak dengan pikirannya. Ia memandangi layar ponselnya. Pesan terakhir dari Leon hanya singkat.“Ada rapat mendadak. Jangan tunggu.”Tapi Elera bukan wanita biasa yang bisa diam.Tangannya dengan cepat membuka folder dokumen digital rumah sakit. Sebuah akses tak biasa dilaporkan di bagian data pribadi pasien VIP sore tadi. Mata Elera menyipit. Nama pasien yang coba diakses?Dirinya.Jantungnya berdetak cepat. Tak ada yang berhak membuka itu selain dia, Kai, atau Leon. Tapi IP yang tercatat... bukan dari internal rumah sakit.Elera menekan tombol panggilan cepat. “Kai, bisa ke rumah sekarang?”Kai hanya menjawab, “Lima belas menit.”Lima belas menit kemudian...Kai berdiri di ruang keluarga, masih dengan hoodie dan celana olahraga.“Ini... bukan hal kecil,” ucapnya sambil melihat layar ponsel Elera. “Seseor
Malam mulai turun dengan tenang, tapi di dalam rumah keluarga Santiago… ketenangan itu hanya sementara.“Operasi Jebakan Papa dimulai!” bisik Alva sambil merangkak di balik sofa.Elera yang sedang menyapu remahan biskuit di lantai hanya menggeleng pelan. “Kalau kamu bikin perang, jangan bikin medan perang juga, Nak…”“Tapi Mama… ini important mission!” Alva berseru, lengkap dengan kaus kamuflase dan headband buatan dari dasi lama Leon.Dari arah pintu belakang, suara langkah kaki terdengar. Leon baru saja kembali dari panggilan pekerjaan. Tanpa curiga, ia berjalan ke arah dapur sambil membuka jasnya dan menghela napas. “Alva, Papa pulang—”TAP!Leon melangkah dan langsung—brukk!—terpeleset karena licin.“Aaaaaa—”KRAK!Sesuatu meledak di bawah kakinya—bukan bom sungguhan, tentu saja, tapi balon berisi bedak bayi. Asap putih mengepul. Dan dari belakang lemari, Alva melompat keluar sambil berteriak, “Jebakan berhasil! Panglima musuh terkena ranjau!”Leon terdiam di lantai. Wajahnya berl
Pagi itu, Elera bangun lebih dulu. Udara masih dingin, dan aroma kopi yang samar dari dapur membuat hatinya terasa tenang. Ia memandangi Leon yang masih terlelap, rambutnya sedikit berantakan, nafasnya teratur. Di balik wajah tenangnya, Elera tahu ada badai yang sedang disembunyikan oleh pria itu—badai yang tak pernah benar-benar reda sejak kejadian beberapa waktu lalu.Elera mendekat, menyentuh pipi Leon lembut. “Kau terlalu tenang untuk seseorang yang menyembunyikan dendam,” gumamnya.Tapi ternyata Leon sudah bangun.Tangannya mencengkeram pergelangan Elera, perlahan, tanpa menyakitinya. Tatapannya tajam, tapi tidak marah—hanya terlalu jujur.“Dan kau terlalu tenang untuk seseorang yang masih menyalahkan dirinya sendiri,” balas Leon, suaranya berat, bangunannya masih setengah sadar, namun nadanya penuh kontrol seperti biasa.Elera tersenyum tipis. Mereka saling memahami, terlalu dalam sampai bisa membedah emosi satu sama lain hanya dengan napas. Namun justru karena itu… terkadang sa
Malam semakin larut, namun suasana di rumah terasa hangat dan ceria. Alva yang terbuai dengan mainan barunya, terus berlari-lari kecil di sekitar ruang keluarga, sesekali berhenti untuk menembak sasaran yang ada. Elera dan Leon duduk di sofa, menikmati kehadiran mereka yang kembali menjadi utuh.Maya, yang sedang duduk di dekat jendela, memandang bintang di langit malam, dengan senyum lembut. Tanpa ragu, dia bangkit dari kursinya dan memanggil Alva."Alva, ayo sini sebentar. Tante mau ajak kamu melakukan sesuatu yang spesial."Alva langsung menghentikan kegiatannya, berlari kecil menghampiri Maya. "Apa itu, Tante Maya?" tanya Alva dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu."Tante mau ajak kamu menyapa adik bintang," jawab Maya sambil mengajak Alva menuju ke jendela. Di luar sana, langit malam begitu terang, dihiasi oleh kilauan bintang-bintang yang bersinar.Elera, yang kini duduk lebih santai di samping Leon, memandang mereka dengan tatapan penuh haru. "Menyapa adik bintang, ya? Itu
Hujan rintik membasahi atap gudang tua di pinggiran kota. Suasana dalam ruang gelap itu hanya diterangi cahaya monitor dan pantulan layar peta digital yang terpampang besar di hadapan Leon, Dante, dan Rafael. Mereka sedang memeriksa kembali footage dari hari penyerangan Elera dan Alva.Leon, berdiri dengan tangan bersilang, rahangnya mengeras. Mata tajamnya menatap monitor tanpa berkedip. Di belakangnya, Dante menyisir rekaman dengan teliti."Lihat yang ini," kata Dante sambil memperbesar salah satu frame dari CCTV.Sebuah motor besar terekam berhenti beberapa detik sebelum penyerangan terjadi. Helm yang menutup penuh wajah pengendara, plat yang sudah dicopot—semuanya menunjukkan kesengajaan. Tapi bukan itu yang membuat Leon membeku."Gerakan tangan kirinya... dia bukan sekadar penyerang bayaran biasa," gumamnya pelan.Rafael, yang mengamati dari sisi lain, mengangguk. "Postur tubuh, kecepatan reaksi, bahkan cara dia menyeimbangkan motor… dia punya pelatihan."Leon mengepalkan tangann
Keesokan paginya, sinar matahari menerobos masuk lewat celah-celah gorden, membelai lembut wajah Elera yang masih tertidur di sisi Leon. Leon sudah bangun lebih dulu, namun tak beranjak, hanya menatap wajah istrinya yang damai—lebih damai dari hari-hari sebelumnya.Tiba-tiba, terdengar suara ribut kecil dari luar kamar."Ssst... jangan keras-keras, nanti Papa bangun!""Tapi aku mau cepet kasih ke Mama dan Papa!" suara Alva terdengar penuh semangat.Leon tersenyum kecil. Dia bangkit perlahan, membuka pintu kamar sedikit—dan mendapati Maya berdiri di depan kamar dengan tangan berusaha menahan Alva yang membawa nampan kecil berisi dua cangkir susu hangat dan roti panggang berbentuk hati yang, walau tidak sempurna, jelas dibuat dengan sepenuh hati."Papa!" seru Alva begitu melihat Leon. "Aku bikin sarapan buat Mama juga! Hari ini aku yang jaga Mama, Papa boleh istirahat!"Maya tertawa pelan."Dia bangun pagi-pagi dan langsung nyulik aku ke dapur. Nggak bisa dilarang."Leon membungkuk, mer
agi itu, Elera bangun lebih awal dari biasanya. Untuk pertama kalinya sejak kejadian tragis itu, dia menyiapkan sarapan sederhana untuk Alva—hanya roti panggang, irisan apel, dan sedikit kehangatan yang belum sempat ia berikan selama berminggu-minggu. Dari jendela dapur, suara kicauan burung dan tawa anak-anak dari taman dekat mansion terdengar seperti melodi pelan yang mengisi kekosongan hatinya.Sementara itu, Leon sudah berada di ruang kerjanya yang tersembunyi sejak subuh. Pundaknya tegang, matanya terfokus pada layar-layar besar yang memutar ulang rekaman serangan terhadap istri dan anaknya. Dante berdiri di dekat rak, sementara Kai duduk dengan tangan menyilang, menyaksikan sahabat mereka kembali masuk ke mode ‘berburu.’“Lo yakin kuat ngadepin ini sekarang, Leon?” Kai bertanya pelan. Suaranya datar, tapi sorot matanya penuh kekhawatiran.“Lo sendiri belum sepenuhnya pulih, bro.”Leon tak menjawab langsung. Dia hanya menekan jeda pada video, memperbesar bagian saat motor menyere
Suasana lounge dokter sore itu cukup sepi. Di balik jendela kaca besar, langit berwarna jingga keemasan menggantung di atas rumah sakit. Maya duduk di sofa dengan dua gelas kopi panas, sedangkan Kai sibuk mengobrak-abrik vending machine yang lagi mogok.Elera masuk dengan jas dokter menggantung di bahunya, wajahnya masih pucat, tapi tatapan matanya mulai hidup lagi.“Kalau vending machine itu kau banting, Kai, jangan harap aku mau pasang infusmu nanti,” gumam Maya tanpa menoleh.“Hah. Kau kira aku butuh infus? Aku sehat jiwa dan raga,” Kai menyeringai, lalu menoleh ke Elera, “Dan akhirnya sang ibu negara kembali bertugas.”Elera tersenyum kecil, duduk perlahan di sebelah Maya. “Jangan panggil aku begitu, Kai.”“Kenapa? Itu gelar resmi. Direktur rumah sakit. Istri pemilik. Cantik. Penuh luka batin. Kombinasi klasik novel drama kriminal.”Maya melempar tisu ke wajah Kai. “Dia baru pulih, jangan diganggu dulu.”Elera menghela napas pelan. “Enggak apa-apa, aku butuh diganggu. Kalau enggak