Apa mereka beneran putus? Jangan ketinggalan baca terus kelanjutan ceritanya yaa ... ^^
Kelopak mata Sarah langsung terbuka. Nafasnya tercekat. Ia menoleh cepat ke arah sumber suara. "Apa?"Hardian berdiri di sisi ranjang, menatap ibunya lurus-lurus. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh tekanan."Aku tanya sekali lagi, Ma. Mama sebegitu cintanya sama Adit, ya?"Sarah nyaris tidak bisa berkata-kata. Mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Tangannya refleks menarik selimut lebih tinggi, seolah bisa menyembunyikan kegugupannya di balik kain tipis itu."Hardian ... itu bukan pertanyaan yang bisa Mama jawab dengan gampang," gumamnya pelan."Aku nggak minta jawaban gampang," potong Hardian cepat. "Aku minta jawaban jujur. Jelas. Tanpa dibungkus kalimat yang halus atau dibelok-belokin. Aku udah cukup besar untuk tahu semuanya. Aku nggak anak kecil lagi. Aku dua puluh satu tahun, Ma. Aku berhak tahu. Jangan pernah menutup-nutupi sesuatu dari aku!”Sarah terdiam. Pandangannya mengarah ke langit-langit, lalu ke wajah putranya."Selama ini aku pikir kita keluarga yan
Sarah berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Adit. Tapi Adit tidak melepaskannya. Ia masih menggenggam kuat, seolah takut Sarah benar-benar akan hilang jika genggaman itu terlepas."Adit ... lepaskan," kata Sarah pelan tapi tegas.Namun Adit tetap diam. Matanya menatap lurus ke wajah Sarah, seolah mencari celah, mencari sisa-sisa keraguan di mata perempuan itu.Sarah menarik tangannya sekali lagi, dan kali ini, dengan sedikit tenaga, ia berhasil melepaskannya.Adit hanya bisa menatap tangan kosongnya. Lalu, dengan suara lirih, ia berkata, "Sarah, aku mau pakai sisa satu syarat yang aku punya sekarang."Sarah terkejut. Ia menatap Adit sambil mengernyit. "Kamu masih kepikiran dengan syarat itu?"Wajah Adit serius. Ia mengangguk. “Masih berlaku kan syaratnya? Aku nggak mau kita putus, Sarah. Aku gunain sisa satu syarat itu agar kita tetap sama-sama lagi.”Sarah mendengus kecil, nyaris tertawa. Tapi senyum itu pahit. “Adit ... aku sudah bilang, ingin kita putus. Ini keputusan yang n
Bukannya menjauh dan keluar ruangan, Adit malah mendekat pelan. Wajahnya penuh kekhawatiran, dan tanpa sadar tangannya menggenggam tangan Sarah yang terasa dingin."Sarah, aku ke sini karena cemas sama kamu," ucap Adit, suaranya pelan, nyaris bergetar. "Aku kirim pesan, kamu balas mau ketemu aku juga. Jadi ... aku pikir... kita bisa... kembali lagi."Nada terakhir kalimat itu makin melemah. Di hadapan wanita yang sedang berbaring lemah itu, Adit terlihat lebih rapuh dari biasanya. Ia tidak tahu apakah kata-katanya terdengar menyedihkan atau malah memaksa. Tapi ia bicara jujur dari hatinya.Sarah diam beberapa detik. Mata sayunya menatap wajah Adit yang terlihat lelah dan penuh harap. Sesuatu dalam dirinya luluh. Ia tidak mengucapkan apa-apa, tapi membiarkan Adit tetap duduk di kursi kecil di samping ranjangnya. Tak melepaskan genggaman tangan mereka.Dari ambang pintu, Hardian menatap mereka dalam diam. Ada sesuatu di wajahnya, antara kesal, kasian, dan bingung. Tapi tak lama kemudian,
Hardian masih berdiri di depan Adit dengan rahang mengeras, tapi sorot matanya berubah. Ada sedikit keraguan yang muncul di sana.Adit menatapnya dengan penuh tanya, menunggu jawaban dari semua kebingungan yang berputar-putar di kepalanya."Gue tanya sekali lagi, Hardi. Kenapa lu yang bawa hapenya Sarah? Dia ke mana? Dia kenapa?!" suara Adit terdengar gemetar, separuh karena gugup, separuh lagi karena firasatnya yang makin nggak enak. “Enggak mungkin handphone Sarah disita sama lu kan?!”Hardian terdiam. Ia menunduk sebentar, menghela napas panjang."Nyokap gue pingsan tadi sore," ucapnya akhirnya, datar.Adit terbelalak. "Apa?! Sarah pingsan? Dia kenapa? Kok bisa pingsan?!”Hardian mengangguk pelan, masih berusaha menjaga nada bicara supaya tidak terdengar terlalu emosional. Tapi jelas-jelas ia sendiri juga sedang bingung dan khawatir."Pagi tadi dia katanya udah ngerasa nggak enak badan. Tapi tetep maksa ke luar, bilang ada yang harus dia temui. Gue sempat cegah, tapi lo tau sendiri
Satu notifikasi masuk.Adit menoleh cepat, jantungnya berdetak seperti genderang perang. Tangannya sedikit gemetar saat membuka layar ponsel. Dan di sana, nama yang ia tunggu-tunggu muncul, Sarah.Dengan napas tertahan, ia membuka pesannya."Adit, baiklah. Aku akan temui kamu malam ini. Tapi bukan di tempat biasa kita makan, ya. Kita ketemu di Taman Kota. Jam 7 malam."Adit terdiam sejenak. Rasanya seperti baru saja mendapat oksigen setelah hampir tenggelam. Ia membaca ulang pesan itu, memastikan tidak salah baca. Lalu, tanpa pikir panjang, ia mengetik balasan."Makasih, Sarah. Aku akan datang. Jam 7 di Taman Kota."Setelah itu, ia tidak bisa berhenti tersenyum. Meskipun singkat, pesan itu membawa harapan. Setidaknya Sarah belum sepenuhnya menutup pintu. Masih ada celah, sekecil apapun, untuk memperbaiki semuanya. Walau semalam Sarah sudah mengatakan putus padanya.‘Untung aja aku ngikutin saran dari Tigar untuk pakai sisa satu syarat permintaan itu ...,’ katanya di dalam hati.***Wa
Pagi itu, mata Adit terasa berat. Kurang tidur, jelas. Semalaman ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri, tak juga bisa terlelap. Sisa luka di tangan kirinya masih terasa nyut-nyutan, namun yang lebih parah tetap luka di dalam dadanya.Pikirannya dipenuhi dua hal: Sarah, dan saran dari Tigar. Satu permintaan yang tersisa dari janji Sarah. Apakah itu masih berlaku? Apakah Sarah masih akan menganggapnya serius?Satu permintaan yang belum ia gunakan.Dan pagi ini, Adit merasa mungkin ia harus mencobanya. Meskipun hatinya ragu, meskipun otaknya bilang kemungkinan ditolak lebih besar, ia tetap ingin mencoba. Setidaknya, agar tidak menyesal.Dengan kopi pahit yang hampir tidak disentuh, Adit berangkat kerja lebih pagi dari biasanya. Jam masih menunjukkan pukul tujuh kurang saat ia sampai di kantor. Ruangan masih sepi, hanya ada Pak Satpam dan dua OB yang sedang membereskan pantry.Ia langsung menuju lantai tiga, tempat divisi editorial berada. Komputernya ia nyalakan, tapi pikirannya tidak