Share

Terjerat Pesona Nyonya Bos
Terjerat Pesona Nyonya Bos
Penulis: Riri Rimausa

Pagi yang Buruk

Braakkk…

Suara keras berasal dari pot jatuh dan menyebabkan sepatu flat seorang wanita yang sudah bersih dan berwarna putih menjadi kotor. Belum lagi lantai yang semula bersih dan mengkilap kini turut kotor akibat tanah berserakan.

"Ya ampun, Damar! Bisa nggak sih kamu berguna sedikit? Tiap hari cuma main tanah sama tanaman!"

Wanita pemilik sepatu tersebut meradang. Setelah bersiap cukup lama di dalam kamar, tiba-tiba saja usahanya yang memakan waktu harus sia-sia akibat insiden pagi ini.

Namun si pria muda berambut ikal yang mana tadi tengah membawa pot tersebut membulatkan netranya. Kata maaf yang sudah berada di ujung lidah pun dia urungkan.

"Maksud Mba Tari Apa? Mba pikir bercocok tanam seperti ini tidak ada gunanya? Mba Tari salah besar!"

"Halah. Kalau ada gunanya, apa selama kamu bermain tanah dan tanaman seperti itu sudah menghasilkan duit? Tidak 'kan?!"

Baru saja Damar mengayunkan tangannya hendak menampar wanita yang mana adalah kakak kandungnya sendiri, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya keluar untuk melerai.

"Sudah! sudah! Tari! Damar! Kalian ini sudah dewasa, kenapa masih saja ribut seperti anak kecil sih?

Wanita paruh baya tersebut adalah ibu dari Damario dan Gantari. Memiliki dua orang anak yang kerjaannya selalu ribut, kadang membuat beliau pusing.

Ditambah lagi si Damar yang benar-benar berbeda haluan dari semuanya. Disaat kakak perempuannya saja masih sibuk bekerja di kantor keluarga bersama sang suami dan papanya, si bungsu malah memilih untuk bercocok tanam layaknya petani.

"Mba Tari yang mulai tuh, Bu."

Damar berucap sambil membereskan tanaman obat yang baru saja dibeli lewat aplikasi online. Rencananya sang pria yang memiliki gelar sarjana pertanian itu akan membuat apotik hidup di taman belakang. Dia merasa sayang jika tanah dibiarkan kosong begitu saja. Hanya ditumbuhi rumput yang tak berguna.

"Kenapa jadi aku? Jelas-jelas kamu yang sudah membuat semuanya jadi berantakan. Coba aja kamu tidak bawa tanaman seperti itu, kita bertabrakan pun tidak akan seheboh ini."

Sang ibu yang mana bernama Diyah Purwati hanya bisa menghela nafas. Sungguh sebuah pemandangan yang selalu membuatnya jengkel jika dihadapkan dengan pertengkaran kedua anaknya.

"Tari, cepat berangkat. Nanti kamu telat lagi," titah Bu Diyah kepada putri sulungnya itu.

Gantari pun tersenyum, dia merasa dibela dan menatap sang adik dengan tatapan penuh mengejek. Setelah menyaksikan Tari pergi bersama suami dan anaknya dengan mobil, kini tinggallah Damar dan Bu Diyah saja yang ada di rumah. Sedangkan sang ayah sedang tugas di luar kota sejak seminggu yang lalu.

"Damar, Ibu sudah capek dengan semua ini."

Mendengar ucapan ibunya, membuat Damar mengernyitkan dahi. Dia tidak paham capek dengan urusan apa, karena sedari tadi mereka hanya berdiam diri.

"Maksud Ibu?"

Bu Diyah menghembus kasar, "Kamu tidak usah berpura-pura. Sejak awal kamu juga tahu…

Sebagai titik penengah, akan tetapi Bu Diyah tidak terlihat sebagai penengah karena dia lebih condong pada Gantari. Dia menyalahkan Damar yang tidak mau menuruti saran dari keluarganya untuk kuliah di jurusan bisnis dan meneruskan perusahaan keluarga.

Alhasil, Gantari yang sudah memiliki anak harus ikut turun tangan mengelola perusahaan karena mengandalkan suaminya saja juga tidak cukup.

Sementara Damar yang digadang-gadang bisa melanjutkan perusahaan ayahnya, malah tidak tertarik sama sekali dengan dunia bisnis. Bukan. Lebih tepatnya tidak suka dunia perkantoran, karena bisnis tidak melulu tentang pekerjaan kantor.

"Hah? Jadi Ibu masih menyalahkan Aku hanya karena ambil jurusan yang sesuai passion-ku?"

Damar geleng-geleng kepala, sungguh dia merasa keluarganya begitu egois. Bisa-bisanya memaksakan sesuatu yang tidak dia sukai. Bukankah melakukan pekerjaan dengan terpaksa malah berakibat fatal?

Entahlah. Suasana hati Damar yang semula begitu semangat untuk rutinitasnya berkebun, mendadak hilang akibat insiden pagi. Rasanya akan percuma menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mengerti.

"Sudahlah, Bu. Capek ngomong sama kalian semua. Nggak akan pernah ngerti apa yang aku inginkan," pungkas Damar seraya mengibaskan tangannya.

Pria bertubuh jangkung itu melenggang ke taman belakang. Dia tidak melanjutkan rencananya untuk berkebun, melainkan hanya meletakkan tanaman dan pot yang hancur di pojokan. Suasana hati Damar sedang buruk, jika dilanjutkan untuk beraktivitas pun hasilnya tidak akan maksimal.

Si bungsu dari keluarga Adiwangsa itu mengambil jaket dan kunci motornya. Dia memutuskan untuk keluar sejenak, mencari udara segar atau hiburan untuk mengembalikan mood-nya yang rusak.

Sementara Bu Diyah masih berdiri di teras, dia tengah mengontrol emosi dengan tingkah anak laki-lakinya yang masih belum mau bergabung di perusahaan keluarga.

Padahal Damar tinggal masuk saja, tidak perlu acara wawancara dan segala proses perekrutan pegawai pada umumnya. Damar pun bebas memilih posisi mana yang dia mau. Akan tetapi kembali lagi, minat pria berusia dua puluh empat tahun itu lebih cenderung ke pertanian, bukan perkantoran.

Baru saja Bu Diyah hendak masuk, langkahnya terhenti saat Damar tiba-tiba keluar sambil mengenakan helm full face kebanggaannya.

"Mau kemana kamu, Damar?"

"Cari angin. Di rumah sumpeg dengerin Ibu ngomel terus," sahut Damar sambil terus berjalan menuju garasi.

"Damar!"

Sayangnya seruan Bu Diyah yang sudah naik satu oktaf itu tidak berefek apapun pada pria yang sedang badmood. Damar terus melajukan motor meskipun ibunya masih memanggil-manggil.

"Anak itu! Dasar susah diatur!"

Jebred!

Bu Diyah mengumpat seraya masuk dan menutup pintu dengan cukup keras.

Di jalanan begitu padat dan merayap. Niatan Damar untuk mencari udara itu salah besar. Itulah sebabnya dia tidak begitu suka tinggal di kota, walaupun rumah orang tuanya berada di pusat kota. Sudah dua puluh empat tahun Damar menjumpai pemandangan seperti itu, sungguh membosankan.

"Aish! Sial!"

Damar mengumpat sambil memukul stang motornya. Dia lupa jika suasana jalanan ibukota di pagi hari begitu macet. Kini suasana hatinya malah semakin buruk.

Ditengah banyaknya kerumunan kendaraan, ada seorang wanita yang mengenakan long-dress berwarna hitam, mengenakan topi hitam dan juga kacamata hitam menyeberang tepat di depan Damar berhenti.

Wanita tersebut terlihat kesusahan menyeberang karena tidak diberi jalan oleh para pengendara motor. Hal itu cukup membuat Damar semakin kesal.

Damar hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengangkat salah satu bibirnya. 'Dasar udik! Nyebrang aja nggak bisa. Pasti orang kampung dia,' batin Damar menerka-nerka.

Brukkk!

Tiiinnn…

Damar menekan tombol klakson dengan cukup keras karena wanita yang semenjak tadi menjadi pusat perhatian itu menabrak motornya.

"Woy! Orang kampung! Kalau menyeberang lewat jembatan sana! di Jakarta nggak bisa nyeberang kaya gitu!" seru Damar dengan kesal.

Wanita tersebut mengedarkan mata dan menemukan sebuah tangga yang menuju jembatan layang. Wajah putihnya langsung merona begitu tahu salah jalan.

"Ma-maaf, aku tidak tau. Tapi terima kasih," ucap wanita dengan rambut hitam dan terurai panjang.

Tidak ada yang bisa Damar lakukan selain menghela nafas menghadapi keburukan pagi ini. Diam-diam dia memperhatikan wanita yang sudah berada di seberang jalan dan hendak menaiki taksi. Sepertinya wanita itu baru saja turun dari kereta dan akan pergi menggunakan taksi tersebut.

"Cantik sih, tapi sayang udik," gumam Damar masih menatap ke seberang jalan."

Tiinn…Tin…Tiinn…

Damar tersentak kaget saat mendengar klakson yang bertubi-tubi dari arah belakang. Dia baru sadar ternyata tengah ditunggu deretan mobil di belakangnya untuk jalan.

Pria berambut ikal itu segera menarik gas dan melaju dengan kecepatan sedang. Dia berputar arah menuju jalan dimana wanita yang Damar sebut udik tadi naik taksi. Saking bingung dan tidak ada tujuannya sampai memutari jalan di tengah kemacetan.

"Loh, itu si udik 'kan?"

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status