Braakkk…
Suara keras berasal dari pot jatuh dan menyebabkan sepatu flat seorang wanita yang sudah bersih dan berwarna putih menjadi kotor. Belum lagi lantai yang semula bersih dan mengkilap kini turut kotor akibat tanah berserakan."Ya ampun, Damar! Bisa nggak sih kamu berguna sedikit? Tiap hari cuma main tanah sama tanaman!"Wanita pemilik sepatu tersebut meradang. Setelah bersiap cukup lama di dalam kamar, tiba-tiba saja usahanya yang memakan waktu harus sia-sia akibat insiden pagi ini.Namun si pria muda berambut ikal yang mana tadi tengah membawa pot tersebut membulatkan netranya. Kata maaf yang sudah berada di ujung lidah pun dia urungkan."Maksud Mba Tari Apa? Mba pikir bercocok tanam seperti ini tidak ada gunanya? Mba Tari salah besar!""Halah. Kalau ada gunanya, apa selama kamu bermain tanah dan tanaman seperti itu sudah menghasilkan duit? Tidak 'kan?!"Baru saja Damar mengayunkan tangannya hendak menampar wanita yang mana adalah kakak kandungnya sendiri, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya keluar untuk melerai."Sudah! sudah! Tari! Damar! Kalian ini sudah dewasa, kenapa masih saja ribut seperti anak kecil sih?Wanita paruh baya tersebut adalah ibu dari Damario dan Gantari. Memiliki dua orang anak yang kerjaannya selalu ribut, kadang membuat beliau pusing.Ditambah lagi si Damar yang benar-benar berbeda haluan dari semuanya. Disaat kakak perempuannya saja masih sibuk bekerja di kantor keluarga bersama sang suami dan papanya, si bungsu malah memilih untuk bercocok tanam layaknya petani."Mba Tari yang mulai tuh, Bu."Damar berucap sambil membereskan tanaman obat yang baru saja dibeli lewat aplikasi online. Rencananya sang pria yang memiliki gelar sarjana pertanian itu akan membuat apotik hidup di taman belakang. Dia merasa sayang jika tanah dibiarkan kosong begitu saja. Hanya ditumbuhi rumput yang tak berguna."Kenapa jadi aku? Jelas-jelas kamu yang sudah membuat semuanya jadi berantakan. Coba aja kamu tidak bawa tanaman seperti itu, kita bertabrakan pun tidak akan seheboh ini."Sang ibu yang mana bernama Diyah Purwati hanya bisa menghela nafas. Sungguh sebuah pemandangan yang selalu membuatnya jengkel jika dihadapkan dengan pertengkaran kedua anaknya."Tari, cepat berangkat. Nanti kamu telat lagi," titah Bu Diyah kepada putri sulungnya itu.Gantari pun tersenyum, dia merasa dibela dan menatap sang adik dengan tatapan penuh mengejek. Setelah menyaksikan Tari pergi bersama suami dan anaknya dengan mobil, kini tinggallah Damar dan Bu Diyah saja yang ada di rumah. Sedangkan sang ayah sedang tugas di luar kota sejak seminggu yang lalu."Damar, Ibu sudah capek dengan semua ini."Mendengar ucapan ibunya, membuat Damar mengernyitkan dahi. Dia tidak paham capek dengan urusan apa, karena sedari tadi mereka hanya berdiam diri."Maksud Ibu?"Bu Diyah menghembus kasar, "Kamu tidak usah berpura-pura. Sejak awal kamu juga tahu…Sebagai titik penengah, akan tetapi Bu Diyah tidak terlihat sebagai penengah karena dia lebih condong pada Gantari. Dia menyalahkan Damar yang tidak mau menuruti saran dari keluarganya untuk kuliah di jurusan bisnis dan meneruskan perusahaan keluarga.Alhasil, Gantari yang sudah memiliki anak harus ikut turun tangan mengelola perusahaan karena mengandalkan suaminya saja juga tidak cukup.Sementara Damar yang digadang-gadang bisa melanjutkan perusahaan ayahnya, malah tidak tertarik sama sekali dengan dunia bisnis. Bukan. Lebih tepatnya tidak suka dunia perkantoran, karena bisnis tidak melulu tentang pekerjaan kantor."Hah? Jadi Ibu masih menyalahkan Aku hanya karena ambil jurusan yang sesuai passion-ku?"Damar geleng-geleng kepala, sungguh dia merasa keluarganya begitu egois. Bisa-bisanya memaksakan sesuatu yang tidak dia sukai. Bukankah melakukan pekerjaan dengan terpaksa malah berakibat fatal?Entahlah. Suasana hati Damar yang semula begitu semangat untuk rutinitasnya berkebun, mendadak hilang akibat insiden pagi. Rasanya akan percuma menjelaskan sesuatu pada orang yang tidak mengerti."Sudahlah, Bu. Capek ngomong sama kalian semua. Nggak akan pernah ngerti apa yang aku inginkan," pungkas Damar seraya mengibaskan tangannya.Pria bertubuh jangkung itu melenggang ke taman belakang. Dia tidak melanjutkan rencananya untuk berkebun, melainkan hanya meletakkan tanaman dan pot yang hancur di pojokan. Suasana hati Damar sedang buruk, jika dilanjutkan untuk beraktivitas pun hasilnya tidak akan maksimal.Si bungsu dari keluarga Adiwangsa itu mengambil jaket dan kunci motornya. Dia memutuskan untuk keluar sejenak, mencari udara segar atau hiburan untuk mengembalikan mood-nya yang rusak.Sementara Bu Diyah masih berdiri di teras, dia tengah mengontrol emosi dengan tingkah anak laki-lakinya yang masih belum mau bergabung di perusahaan keluarga.Padahal Damar tinggal masuk saja, tidak perlu acara wawancara dan segala proses perekrutan pegawai pada umumnya. Damar pun bebas memilih posisi mana yang dia mau. Akan tetapi kembali lagi, minat pria berusia dua puluh empat tahun itu lebih cenderung ke pertanian, bukan perkantoran.Baru saja Bu Diyah hendak masuk, langkahnya terhenti saat Damar tiba-tiba keluar sambil mengenakan helm full face kebanggaannya."Mau kemana kamu, Damar?""Cari angin. Di rumah sumpeg dengerin Ibu ngomel terus," sahut Damar sambil terus berjalan menuju garasi."Damar!"Sayangnya seruan Bu Diyah yang sudah naik satu oktaf itu tidak berefek apapun pada pria yang sedang badmood. Damar terus melajukan motor meskipun ibunya masih memanggil-manggil."Anak itu! Dasar susah diatur!"Jebred!Bu Diyah mengumpat seraya masuk dan menutup pintu dengan cukup keras.Di jalanan begitu padat dan merayap. Niatan Damar untuk mencari udara itu salah besar. Itulah sebabnya dia tidak begitu suka tinggal di kota, walaupun rumah orang tuanya berada di pusat kota. Sudah dua puluh empat tahun Damar menjumpai pemandangan seperti itu, sungguh membosankan."Aish! Sial!"Damar mengumpat sambil memukul stang motornya. Dia lupa jika suasana jalanan ibukota di pagi hari begitu macet. Kini suasana hatinya malah semakin buruk.Ditengah banyaknya kerumunan kendaraan, ada seorang wanita yang mengenakan long-dress berwarna hitam, mengenakan topi hitam dan juga kacamata hitam menyeberang tepat di depan Damar berhenti.Wanita tersebut terlihat kesusahan menyeberang karena tidak diberi jalan oleh para pengendara motor. Hal itu cukup membuat Damar semakin kesal.Damar hanya bisa geleng-geleng kepala sambil mengangkat salah satu bibirnya. 'Dasar udik! Nyebrang aja nggak bisa. Pasti orang kampung dia,' batin Damar menerka-nerka.Brukkk!Tiiinnn…Damar menekan tombol klakson dengan cukup keras karena wanita yang semenjak tadi menjadi pusat perhatian itu menabrak motornya."Woy! Orang kampung! Kalau menyeberang lewat jembatan sana! di Jakarta nggak bisa nyeberang kaya gitu!" seru Damar dengan kesal.Wanita tersebut mengedarkan mata dan menemukan sebuah tangga yang menuju jembatan layang. Wajah putihnya langsung merona begitu tahu salah jalan."Ma-maaf, aku tidak tau. Tapi terima kasih," ucap wanita dengan rambut hitam dan terurai panjang.Tidak ada yang bisa Damar lakukan selain menghela nafas menghadapi keburukan pagi ini. Diam-diam dia memperhatikan wanita yang sudah berada di seberang jalan dan hendak menaiki taksi. Sepertinya wanita itu baru saja turun dari kereta dan akan pergi menggunakan taksi tersebut."Cantik sih, tapi sayang udik," gumam Damar masih menatap ke seberang jalan."Tiinn…Tin…Tiinn…Damar tersentak kaget saat mendengar klakson yang bertubi-tubi dari arah belakang. Dia baru sadar ternyata tengah ditunggu deretan mobil di belakangnya untuk jalan.Pria berambut ikal itu segera menarik gas dan melaju dengan kecepatan sedang. Dia berputar arah menuju jalan dimana wanita yang Damar sebut udik tadi naik taksi. Saking bingung dan tidak ada tujuannya sampai memutari jalan di tengah kemacetan."Loh, itu si udik 'kan?"****Laju motor Damar perlahan memelan saat melihat wanita yang sempat diteriaki tadi berhenti di depan green house terbesar di Jakarta."Wah, dia pecinta tanaman? Menarik."Damar memutuskan untuk ikut masuk ke green house tadi, kebetulan disitu sepertinya sedang diadakan sebuah acara besar karena banyak orang yang lalu lalang keluar masuk. Netra pria beriris hitam itu membulat saat membaca banner yang terpampang. 'Seminar dan Peresmian Greenhouse untuk Menanggulangi Polusi di Ibukota'."Loh, ini acara yang aku sempat daftar bulan lalu 'kan? Aku daftar sebagai salah satu pelaksana di greenhouse nantinya. Kenapa aku tidak dapat kabar apapun?"Damar bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Mendadak dia seperti orang yang linglung, karena tiket untuk pembuktian kepada keluarga adalah Greenhouse tersebut. Greenhouse dengan nama "Downtown Greenhouse" itu telah menambah beberapa ruang baru.Pria dengan gelar s
Sriiiittttt…Mobil yang semula diikuti Damar mengerem mendadak saat Damar menghadang di depannya. Pria yang juga memiliki hobi touring tersebut seakan sudah bersahabat dengan keadaan jalanan, hingga ada celah sedikit dia bisa mengambil kendali dan bisa menyalip dengan lihai.Damar menghadang mobil tersebut tepat di arah pintu tol menuju Bogor. Sungguh di luar nalar, ini masih hari kerja dan kantor Rania tidak berada di Bogor. Kenapa mereka malah pergi keluar kota?Pria berbadan jangkung itu berusaha menahan emosi, padahal dalam lubuk hatinya sudah bertumpuk-tumpuk kedongkolan dengan banyak penyebabnya. Kini harus ditambah lagi dengan tingkah kekasih yang sudah menemaninya sejak masa kuliah."Rania! Keluar!" seru Damar seraya menunjuk wanita yang masih duduk di kursi penumpang.Damar pun masih berada di atas kuda besinya, akan tetapi netranya menatap tajam ke arah dua manusia yang duduk di dalam mobil. Sambil turun dari motor, Damar masih
Pertanyaan Guntur bagaikan angin lalu. Damar masih terus memukuli samsak bertubi-tubi, layaknya memukul musuh yang paling dia benci.Buggg…buggg buggg buggg…"Ini untuk keluargaku yang selalu menyalahkan karena ambil jurusan pertanian!" desis Damar dengan deru nafas yang memburu, setelah melayangkan pukulan bertubi-tubi.Buggg…"Ini untuk Rania yang ternyata juga pengkhianat!"Buggg… Pakkk… buggg… buggg…"Ini untuk pria yang sudah berani merebut Rania dariku dan mempengaruhinya!" pungkas Damar di pukulan terakhir yang disertai tendangan pula.Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Damar terduduk lemas di rerumputan. Guntur yang mulai paham dengan pokok permasalahan dan penyebab sahabatnya emosi sepagi ini, pergi mengambilkan air minum di dapur umum."Kadang hidup memang sekejam itu. Ada banyak orang yang membenci dan memojokkan kita, walaupun mereka adalah orang-orang terdekat kita."Guntur berucap
Pasca Damar meminta izin pada ibunya untuk bekerja di perkebunan alias jadi tukang kebun, malam harinya di kediaman Adiwangsa diadakan sidang keluarga. Mungkin terkesan terlalu formal jika dibilang sidang, tapi itu memang suatu kegiatan dimana Damar dipojokan oleh semua anggota keluarga.Sebelumnya makan malam keluarga yang biasanya diwarnai dengan canda tawa Damar dengan Yoga, keponakannya yang masih duduk di bangku kelas lima SD. Malam ini cukup berbeda. Dari awal hingga akhir tidak ada yang berani bersuara hanya dentingan piring dan sendok yang sesekali bersahutan menggema di ruang makan.Kini Pak Aji, Bu Diyah bersama kedua anaknya duduk bersama di ruang tengah. Yoga telah diajak papanya menuju kamar. Selain ada tugas sekolah, tidak mungkin juga anak sekecil Yoga dilibatkan dalam urusan keluarga yang cukup serius."Ibu sudah bilang semuanya sama Ayah. Jadi bener kamu mau jadi tukang kebun di desa terpencil itu?" tanya Pak Aji membuka suara.Da
"Kita langsung berangkat?" tanya seorang pria yang mengendarai kuda besi yang mirip dengan punya Damar, hanya saja beda merek dan warna."Terserah, yang penting aku keluar dulu dari rumah. Sebelum ayahku berubah pikiran."Damar menyahut sambil terburu-buru naik di jok belakang. Seketika itu juga kuda besi melesat keluar pekarangan kediaman Adiwangsa. Sedikit tercubit hati Damar karena pergi dari tempat dimana dia lahir dan dibesarkan. Tapi kepergiannya ini memiliki maksud dan tujuan yang tidak kalah penting untuk sejarah hidupnya kedepan.Mengingat waktu sudah malam dan jalur yang akan dilalui cukup jauh dan sepi, Damar tidak langsung pergi ke Desa Pendul. Dia menginap dulu di kost Guntur satu malam."Kamu udah yakin dan pikirin ini mateng-mateng, Bro? Setelah ini kita tidak bisa bertemu untuk jarak yang lama dong? Bahkan komunikasi pun bakalan susah."Keesokan paginya, disaat Damar dan Guntur tengah bersiap untuk keberangkatan menuju Desa Pendul, Guntur meyakinkan lagi keputusan sang
Masa pengenalan Damar dengan lingkungan tempat dia akan bekerja selesai sudah, hari sudah berganti malam waktunya semua beristirahat.Netra Damar mengedar memperhatikan suasana kamar, memang sedikit berbeda dengan ruang tidurnya di rumah keluarga. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, namanya juga merantau pasti ada fase harus belajar menerima dan beradaptasi dengan keadaan. Lagipula disana tempatnya nyaman dan segar karena daerah dataran tinggi."Bro, kamu mau tidur di ranjang atas atau bawah?"Sebuah pertanyaan membuyarkan lamunan Damar. Dia menoleh pada sumber suara, dimana suara tersebut berasal dari Danu, satu-satunya pegawai di perkebunan yang dia kenal."Dimana saja bolehlah," sahut Damar dengan santai.Mendengar jawaban Damar membuat Danu terkekeh. Dia paham betul ini adalah hal baru bagi seorang Damar yang terbiasa hidup di kota dengan berbagai fasilitas cukup mewah. Jangankan ranjang tingkat seperti sekarang ini, berbagi kamar saja pastinya belum pernah."Udah, kamu di ba
"Hmmm… tuh kan terpesona? Kemarin pas diceritain sih nggak percaya."Damar mengerjapkan netra beberapa kali lalu menoleh pada Danu. "Maksudnya dia…"Iya. Dialah Bu Eliana. Nyonya besar sekaligus pemilik perkebunan ini," sahut Danu mengangguk pasti. "Yang sudah janda tiga kali itu," lanjutnya setengah berbisik.Tangan Danu meraih jari Damar yang masih menunjukan ke arah Eliana, beruntung sang nyonya tidak memperhatikan pasti. Arah pandangan wanita bermata sipit itu mengedar memperhatikan tanaman di perkebunannya.Melihat Damar masih terdiam dan terkagum-kagum dengan kecantikan sang juragan, Danu hanya bisa menghela nafas. Dia yang sudah berjalan beberapa langkah terpaksa kembali dan menyeret rekan kerja barunya itu."Eh, mau ngapain kamu? Aku masih normal ya," tolak Damar dengan refleks melepas tangan Danu.Tingkah Damar benar-benar bikin Danu mengelus dada. "Aku juga normal, Bro. Kita harus menghadap nyonya besar, bidadari kebunmu itu."Setelah mendengar alasan Danu menyeretnya, Damar
Bukan benar-benar marah, Damar hanya bercanda dalam melempar kerikil tadi. Danu pun paham rekan kerja barunya itu sedang kecewa berat akibat mati gaya di depan bos.Dua pria yang baru bersahabat sejak kemarin itu berjalan beriringan menuju kebun buah. Jika sebelumnya mereka menyiram tanaman sayur, kini tiba waktunya memberi pupuk pohon buah karena kebanyakan lebih buah memakai penyiraman otomatis.Damar terbelalak melihat buah-buahan yang sebagian besar terkena ulat, ada juga yang pohonnya hampir mati dan sebagian lagi penuh dengan pupuk di bawahnya."Sebentar, Nu. Ini kenapa bisa ada ulat? Katanya setiap hari dikasih pupuk, itu pupuk apaan?"Meskipun bukan kebun miliknya, tapi Damar benar-benar geram. Sekelas perkebunan besar seperti itu tapi pemberian pupuknya masih salah kaprah."Bentar."Danu berjalan menuju sebuah gudang tempat penyimpanan pupuk organik dan anorganik. Karena penasaran Damar pun mengikutinya."Jadi sebelumnya kita hanya fokus pakai pupuk organik, Mar. Tapi tiba-ti