LOGINElvaro berlari menyusuri lorong rumah sakit.Langkahnya tergesa, napasnya memburu, matanya menyapu setiap pintu kamar rawat seolah takut terlambat sedetik saja. Dadanya berdegup keras, bukan karena lelah, tapi karena bayangan terburuk yang terus berputar di kepalanya, tentang Shandy, tentang Yara, tentang bayi yang kini menjadi denyut hidupnya.Begitu Arunika mengabari bahwa Yara telah pulang, Elvaro tak berpikir dua kali. Ia langsung menuju rumah sakit, bahkan nyaris lupa mengencangkan jaketnya.Akhirnya, ia berhenti di depan satu pintu. Kamar rawat Shandy. Elvaro mendorong pintu itu perlahan. Di dalam, semuanya lengkap.Shandy terbaring di ranjang, wajahnya masih pucat tapi jauh lebih tenang. Deva duduk setia di sisinya. Arunika berdiri tak jauh dari ranjang, sementara Kaivan memeluk bahunya dengan protektif. Meysa—adik Yara—duduk di sudut ruangan, matanya sembab. Dan di sana, Yara.Yara berdiri di sisi ranjang papanya.Untuk sesaat, dunia Elvaro berhenti.Tatapannya langsung jatuh
Mobil melaju meninggalkan area toko buku dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Kaivan menyetir dengan rahang mengeras, kedua tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Arunika duduk di sampingnya, sesekali mengusap wajah yang masih basah air mata. Sementara Yara… duduk di jok belakang, diam, terlalu diam.Tangannya gemetar di atas perutnya sendiri.Setiap tarikan napas terasa berat, seolah ada beban besar menekan dadanya. Kata drop terus bergaung di kepalanya, berulang-ulang, tak mau berhenti.Papa drop.Kalimat itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun.“Papa,” bisik Yara lirih, suaranya nyaris tak terdengar di dalam mobil.Bayangan wajah Shandy muncul silih berganti tatapan marahnya, teriakannya, tamparan itu, lalu wajahnya yang penuh kekecewaan saat menyeret Yara keluar dari apartemen. Selama ini Yara berpikir, kemarahan papanya adalah bentuk kebencian. Tapi kini ketakutan itu menggerogoti hatinya.Bagaimana k
“Sayang, aku cari-cari, ternyata kamu di sini?”Kaivan menghampiri Arunika setengah berlari. Napasnya sedikit terengah, wajahnya tegang karena panik yang belum sepenuhnya reda. Tangannya refleks menarik Arunika ke dalam pelukan singkat, seolah memastikan kekasihnya baik-baik saja.“Aku cari kamu di toko buku tadi,” lanjutnya sambil melepas pelukan.Tatapan Kaivan kemudian bergeser mengikuti arah pandang Arunika dan seketika tubuhnya menegang.“Yara?”Yara menunduk. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia masih belum berani menatap Kaivan. Ada rasa bersalah yang menekan dadanya. Kaivan telah ikut terseret dalam kebohongan ini, ikut menanggung amarah, kecemasan, bahkan nyaris kehilangan kepercayaan dari semua orang.Di sisi lain, Alden justru berdiri kaku. Ia merasa berada di posisi yang serba salah. Ia bukan keluarga, bukan bagian dari masa lalu mereka, tapi kini terseret jauh ke dalam pusaran masalah yang terlalu besar.Kaivan melepaskan sepenuhnya pelukannya dari Arunika, lalu melangkah m
Yara menunduk. Bahunya naik turun, seolah ia harus mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang berserakan di dadanya sendiri. Jemarinya saling mengait, kuku-kukunya menekan kulit hingga memutih.“Iya,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi jujur. Terlalu jujur sampai terasa perih. “Aku hamil.”Alden tersentak.Komik yang sejak tadi ia pegang nyaris terlepas dari genggamannya. Jari-jarinya melemah, dan ia refleks menahannya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong beberapa detik, seperti seseorang yang baru saja dijatuhkan ke dalam kenyataan yang sama sekali tak ia siapkan.“Hamil?” ulang Alden lirih, nyaris tak terdengar.Arunika tak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati. Tatapannya tajam, penuh waspada. Ia memperhatikan setiap perubahan ekspresi Alden1. Bagaimana cara bahunya menegang, cara rahangnya mengeras, cara matanya menatap Yara terlalu lama. Ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. Takut kalau Yara akan menemukan sandaran baru. Takut kalau sahabatnya itu perlah
Di dalam toko buku itu, Yara berjalan pelan di antara rak-rak tinggi yang dipenuhi aroma kertas baru dan tinta. Alden tampak antusias, tangannya sibuk menarik beberapa komik dari rak berbeda—genre slice of life, romansa ringan, sampai yang bernuansa gelap. Ia membolak-balik halaman dengan saksama, sesekali mengernyit, seolah sedang menimbang mana yang cukup “hidup” untuk jadi referensinya.“Yang ini dialognya kuat,” gumam Alden sambil menyodorkan satu buku ke arah Yara.Yara menerima komik itu, mengangguk kecil. “Ekspresinya kerasa banget. Kayak kita ikut tenggelam.”Alden tersenyum tipis. “Nah, itu yang aku cari.”Mereka tak menyadari, di lorong lain, seseorang berhenti melangkah begitu matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya.“Yara?”Suara itu terdengar ragu, seolah takut salah lihat. Namun detik berikutnya, Arunika sudah berlari kecil, meninggalkan keranjang belanjanya. Begitu jarak mereka menyempit, Arunika langsung memeluk Yara tanpa aba-aba—erat, hangat, penuh lega.“Ya T
“Aku bawain ini buat kamu.”Alden menyodorkan sepiring durian yang sudah dikupas rapi. “Kamu doyan durian, kan?”Yara tersentak. Sekejap pikirannya melayang pada artikel-artikel yang pernah ia baca tentang durian yang bersifat panas, tentang kandungan yang masih sangat muda, tentang kondisinya yang sejak tadi juga lemah. Refleks, kepalanya langsung menggeleng.“Kenapa?” Alden mengernyit, bingung melihat reaksi Yara yang terlalu cepat.“Aku… aku lagi—”“Yara lagi kena asam lambung, Alden,” sela Bu Nurma yang baru keluar dari dapur sambil membawa semangkuk bubur kacang hijau hangat. “Jadi nggak boleh makan yang terlalu berat atau beraroma tajam. Kamu makan ini saja, Yara.”Yara menerima mangkuk itu dengan sedikit kikuk. Jemarinya terasa hangat saat menyentuh mangkuk sedikit panas tersebut. Ia mengangguk pelan, berusaha tersenyum meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Ohh… asam lambung, ya.” Alden manggut-manggut, wajahnya langsung berubah penuh pengertian. “Maaf ya. Kalau begitu aku maka







