MasukApartemen Elvaro menyambut mereka dengan sunyi. Lampu-lampu kota terlihat dari balik jendela besar, berkilau seperti saksi bisu pertemuan yang akhirnya utuh kembali.Begitu pintu tertutup, Elvaro berhenti melangkah. Ia menoleh, menatap Yara seolah takut jika ia berkedip, perempuan itu akan menghilang lagi.Yara tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca.“Kamu kenapa lihat aku kayak gitu?”Elvaro mendekat perlahan. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Yara dengan hati-hati, seakan ia rapuh.“Aku takut,” jawabnya jujur. “Takut ini cuma mimpi. Takut kamu pergi lagi.”Yara menggeleng. Ia menempelkan telapak tangannya di dada Elvaro, merasakan detak jantung yang berdegup kencang.“Aku di sini. Aku gak ke mana-mana.”Kalimat itu seolah memutus sisa pertahanan Elvaro. Ia memeluk Yara erat, bukan pelukan yang menuntut, melainkan pelukan orang yang akhirnya pulang setelah tersesat terlalu jauh. Bahunya bergetar pelan.“Aku kehilangan kamu rasanya setengah mati,” bisiknya serak.Yara membalas peluka
Yara duduk diam di bangku penumpang. Lampu-lampu rumah sakit memantul di kaca mobil, sementara mesin belum juga dinyalakan. Suasana di dalam mobil terasa hening, tapi bukan hening yang canggung, lebih seperti jeda panjang setelah badai.Elvaro belum menghidupkan mesin. Tangannya justru meraih tangan Yara lebih dulu. Hangat, kokoh, seolah menambatkannya agar tak lagi hanyut.Elvaro menoleh, menatap Yara dalam-dalam.“Yar,” ucapnya pelan tapi tegas, “janji sama aku.”Yara ikut menoleh.“Mulai sekarang, apa pun yang kqmu rasakan dan alami, omongin. Takut, marah, ragu, bahkan kalau kamu ngerasa dunia lagi berat banget, jangan kamu tanggung sendiri.” Ibu jarinya mengusap punggung tangan Yara pelan. “Aku di sini bukan cuma buat nemenin senengnya kamu.”Napas Yara bergetar. Matanya berkaca-kaca. “Iya,” jawabnya lirih, mengangguk. “Aku minta maaf, Mas. Aku terlalu takut sama isi kepalaku sendiri. Takut ngerepotin. Takut bikin semua orang kecewa.” Suaranya pecah di kata terakhir.Elvaro menghe
Elvaro berlari menyusuri lorong rumah sakit.Langkahnya tergesa, napasnya memburu, matanya menyapu setiap pintu kamar rawat seolah takut terlambat sedetik saja. Dadanya berdegup keras, bukan karena lelah, tapi karena bayangan terburuk yang terus berputar di kepalanya, tentang Shandy, tentang Yara, tentang bayi yang kini menjadi denyut hidupnya.Begitu Arunika mengabari bahwa Yara telah pulang, Elvaro tak berpikir dua kali. Ia langsung menuju rumah sakit, bahkan nyaris lupa mengencangkan jaketnya.Akhirnya, ia berhenti di depan satu pintu. Kamar rawat Shandy. Elvaro mendorong pintu itu perlahan. Di dalam, semuanya lengkap.Shandy terbaring di ranjang, wajahnya masih pucat tapi jauh lebih tenang. Deva duduk setia di sisinya. Arunika berdiri tak jauh dari ranjang, sementara Kaivan memeluk bahunya dengan protektif. Meysa—adik Yara—duduk di sudut ruangan, matanya sembab. Dan di sana, Yara.Yara berdiri di sisi ranjang papanya.Untuk sesaat, dunia Elvaro berhenti.Tatapannya langsung jatuh
Mobil melaju meninggalkan area toko buku dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Kaivan menyetir dengan rahang mengeras, kedua tangannya mencengkeram setir seolah itu satu-satunya hal yang membuatnya tetap waras. Arunika duduk di sampingnya, sesekali mengusap wajah yang masih basah air mata. Sementara Yara… duduk di jok belakang, diam, terlalu diam.Tangannya gemetar di atas perutnya sendiri.Setiap tarikan napas terasa berat, seolah ada beban besar menekan dadanya. Kata drop terus bergaung di kepalanya, berulang-ulang, tak mau berhenti.Papa drop.Kalimat itu seperti palu yang menghantam kepalanya tanpa ampun.“Papa,” bisik Yara lirih, suaranya nyaris tak terdengar di dalam mobil.Bayangan wajah Shandy muncul silih berganti tatapan marahnya, teriakannya, tamparan itu, lalu wajahnya yang penuh kekecewaan saat menyeret Yara keluar dari apartemen. Selama ini Yara berpikir, kemarahan papanya adalah bentuk kebencian. Tapi kini ketakutan itu menggerogoti hatinya.Bagaimana k
“Sayang, aku cari-cari, ternyata kamu di sini?”Kaivan menghampiri Arunika setengah berlari. Napasnya sedikit terengah, wajahnya tegang karena panik yang belum sepenuhnya reda. Tangannya refleks menarik Arunika ke dalam pelukan singkat, seolah memastikan kekasihnya baik-baik saja.“Aku cari kamu di toko buku tadi,” lanjutnya sambil melepas pelukan.Tatapan Kaivan kemudian bergeser mengikuti arah pandang Arunika dan seketika tubuhnya menegang.“Yara?”Yara menunduk. Jantungnya berdetak tak karuan. Ia masih belum berani menatap Kaivan. Ada rasa bersalah yang menekan dadanya. Kaivan telah ikut terseret dalam kebohongan ini, ikut menanggung amarah, kecemasan, bahkan nyaris kehilangan kepercayaan dari semua orang.Di sisi lain, Alden justru berdiri kaku. Ia merasa berada di posisi yang serba salah. Ia bukan keluarga, bukan bagian dari masa lalu mereka, tapi kini terseret jauh ke dalam pusaran masalah yang terlalu besar.Kaivan melepaskan sepenuhnya pelukannya dari Arunika, lalu melangkah m
Yara menunduk. Bahunya naik turun, seolah ia harus mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang berserakan di dadanya sendiri. Jemarinya saling mengait, kuku-kukunya menekan kulit hingga memutih.“Iya,” ucapnya akhirnya. Suaranya pelan, tapi jujur. Terlalu jujur sampai terasa perih. “Aku hamil.”Alden tersentak.Komik yang sejak tadi ia pegang nyaris terlepas dari genggamannya. Jari-jarinya melemah, dan ia refleks menahannya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat, sorot matanya kosong beberapa detik, seperti seseorang yang baru saja dijatuhkan ke dalam kenyataan yang sama sekali tak ia siapkan.“Hamil?” ulang Alden lirih, nyaris tak terdengar.Arunika tak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati. Tatapannya tajam, penuh waspada. Ia memperhatikan setiap perubahan ekspresi Alden1. Bagaimana cara bahunya menegang, cara rahangnya mengeras, cara matanya menatap Yara terlalu lama. Ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. Takut kalau Yara akan menemukan sandaran baru. Takut kalau sahabatnya itu perlah







