Se connecterYara turun dari mobil perlahan, tubuhnya masih terasa limbung. Elvaro meraih tangannya otomatis, seolah naluri melindunginya bekerja tanpa perlu diperintah. Ia merangkul pinggang Yara, membimbing gadis itu memasuki gedung apartemen.Mereka benar-benar tidak sadar.Tidak sadar bahwa sejak mereka keluar dari rumah sakit… ada seseorang yang mengikutinya dari kejauhan.Dan kini, dari balik tiang parkiran, lampu kamera ponsel menyala redup.Jari seseorang menekan tombol foto—mengabadikan momen Elvaro memeluk pinggang Yara sambil berjalan masuk ke lobby apartemen.Klik.Klik.Senyum miring muncul di bibir orang itu.Dan Yara, sama sekali tidak tahu bahaya apa yang sedang merayap ke arahnya.---“Mas, aku mau tidur ya habis ini…” Yara berkata pelan, suaranya lelah, nyaris seperti bisikan.Elvaro hanya mengangguk lembut. “Ya, Sayang. Istirahat aja. Kamu butuh itu.” Ia tahu Yara lelah secara fisik, tapi tatapan kosong gadis itu tadi lebih menonjolkan kelelahan mental. Dan itu justru membuat El
Yara baru saja keluar dari toilet klinik, masih merasa lemas meski infus sudah dilepas. Ia merapikan rambutnya, mencoba terlihat normal. Di depan meja administrasi, Elvaro sedang menyelesaikan pembayaran—wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran yang sulit ditutupi.Begitu semua selesai, mereka berdua berjalan keluar koridor.“Aku angkat telepon dulu,” ujar Elvaro begitu ponselnya berdering. Nada suaranya terdengar tegang.Yara mengangguk patuh. “Iya, Mas. Aku tunggu di sana.”Ia berniat duduk di bangku tunggu dekat pintu keluar, tapi langkahnya terhenti. Dadanya langsung mengencang.Kaivan.Berdiri beberapa meter dari sana.Kemejanya kusut, napasnya memburu, wajahnya gelap menghitamkan seluruh auranya.Tatapannya menusuk.Sebegitu tajamnya hingga Yara merasa seperti ditelanjangi.“K-Kai?” suara Yara bergetar.Kaivan melangkah mendekat perlahan, tapi ekspresinya sama sekali tidak tenang. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.“Mau sampai kapan?” tanya Kaivan tanpa basa
“Please… jangan katakan ini pada tunanganku.”Suara Yara nyaris hanya berupa bisikan, namun getarannya cukup membuat Minie—teman sekantor yang baru beberapa hari dikenalnya—terdiam. Tangan Yara yang dingin menggenggam erat jemari Minie, seolah itu satu-satunya pegangan yang masih tersisa.Minie, gadis berkacamata dengan wajah polos dan tatapan selalu jujur itu, menatap Yara dengan mata membesar. Ada luka dan bingung yang bergejolak bersamaan.“Yara… tapi tunanganmu berhak tahu. Dia—”“Please…” suara Yara pecah. Matanya berkaca-kaca, bulu matanya bergetar. “Situasinya masih… rumit. Banyak hal yang harus kami selesaikan. Aku sudah janji sama diriku sendiri, Min,”Ia berhenti. Menarik napas tajam. Menunduk.Ia tidak sanggup menghadapi semuanya sendirian, tetapi ia takut untuk junur.“Yar….” Minie mencoba menenangkan, tapi Yara kembali memohon.“Please, Minie… aku yang minta. Aku gak kuat kalau dia tambah kepikiran. Tolong.…”Minie menutup mata sejenak, mengumpulkan keberanian untuk tidak
hawa panas siang itu seperti langsung menampar wajah Arunika. Namun bukan cuaca yang membuat dadanya terasa sesak—melainkan perubahan sikap papanya yang begitu mencolok. Biasanya, Elvaro selalu santai, penuh canda, dan tak jarang menggoda putrinya dengan komentar-komentar receh. Tapi kali ini… tidak. Sejak Arunika menyinggung tentang Tante Nathalie, pria itu berubah murung, wajahnya menegang seperti menahan sesuatu yang berat."Papa anterin kamu pulang, ya. Soalnya papa ada urusan."Nada suaranya datar, tapi yang menonjol adalah kerut kecil di antara alisnya.Arunika mengangguk. Ia tahu papanya tidak suka ditanya berkali-kali ketika sedang memikirkan sesuatu. Tetapi tetap saja, tanpa sadar ia mencuri-curi pandang, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Elvaro meraih gelas minumannya dan meneguknya cepat, seolah tenggorokannya mendadak kering. Tangan yang memegang gelas itu pun tampak sedikit gemetar.Pelayan datang membawa buku tagihan. Elvaro membayar dengan kartu, tanpa komentar apa p
Suasana rumah makan terlihat sedikit ramai di bagian depan. Arunika dan Elvaro duduk di semi out door restoran, yang ada di sisi kanan. Cukup sepi, berada di lantai dua. Sehingga mereka bisa melihat pemandangan jalanan ibu kota.Dua pramusaji datang membawakan pesanan mereka, satu persatu di hidangan itu berjejer di meja. Aromanya begitu menggugah selera.“Terima kasih,” ucap Elvaro setelah semua makanan yang mereka pesan telah siap. Kedua pramusaji itu pergi dengan memberikan anggukan.“Pa, aku lagi kesal sekali,” ucap Arunika yang kini sedang menumpahkan kuah gulai tunjangnya ke dalam piring nasi. Wajahnya, ia memang tak memiliki rahasia besar pada papanya. Kalau bukan Yara, Elvaro yang akan menjadi teman curhatnya setiap hari. Ya, tentu karena Arunika sejak kecil dekat dengan papanya.“Kesal kenapa?” Elvaro menyendok irisan rendang sapi, ia sempat melirik Arunika, lalu kembali fokus pada makanannya.“Lionel, mantannya Yara.”Elvaro berdeham, hampir saja tersedak karena mendadak ha
“Papa…” Arunika langsung memeluk Elvaro begitu pria itu masuk ke butik. Pelukan itu hangat, khas anak yang sangat dekat dengan ayahnya. Senyumnya merekah, matanya berbinar.Elvaro membalas pelukan itu dengan lembut. “Kaivan nggak temenin?”Arunika menggeleng kecil. “Enggak. Dia dipanggil papanya, katanya ada masalah sama kantornya.”Elvaro mengangguk paham. Tatapannya lalu bergeser ke arah Rena yang berdiri di dekat meja kasir.“Siang, Om,” sapa Rena dengan ramah.“Siang, Rena.” Elvaro tersenyum sopan. “Butiknya makin besar aja.”Rena terkekeh sambil memutar bola mata. “Ya beginilah, Om. Usaha bareng mama. Jangan lupa loh, nanti kalau Om mau ada acara lamaran atau pesta keluarga, bisa banget ke butik. Diskon spesial, janji!”Elvaro ikut terkekeh, nada suaranya enteng. “Gampang, tinggal bilang.”“Pa, ayo!” rengek Arunika, memegang lengan Elvaro. “Aku udah lapar banget nih!”Elvaro tersenyum, mengusap puncak kepala putrinya sekilas. “Ya sudah, ayo.” Ia pun menggandeng Arunika menuju pin







