Share

Drama

Sontak Putri terhenyak mendengar permintaan yang berlebihan ini. Lewat sudut matanya, dia juga bisa melihat kekagetan yang sama pada raut wajah kedua laki-laki dewasa yang duduk di ruang tunggu elegan itu.

"Cukup Sayang, sebaiknya kita pulang. Jangan suka berlebihan." Akhirnya Arya memecah keheningan, mukanya yang tampan nampak rikuh menahan malu. Tanpa menunggu persetujuan Marion, dia langsung bangkit berdiri.

"Kalau begitu, kami pulang dulu. Saya tunggu kabar baiknya," pungkas Marion seraya melempar tatapan mematikan pada Putri.

Putri dan manajer toko mengantar kepergian kedua tamu istimewa itu sampai hilang dari pelupuk mata. Setelah Marion dan Arya tak terlihat lagi barulah manager toko menoleh pada Putri dan bertanya, "sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mbak Putri sampai marah sama Kamu?"

Putri menelan ludah susah payah, terlalu bingung menceritakan kisah yang dia sendiri tak mengerti ujung pangkalnya.

Kalau dia mengatakan ada kemungkinan sang aktris geram lantaran kekasihnya bilang senyumnya cantik, siapa yang bakal percaya? Lagipula segala sesuatu yang cuma dugaan, tak pantas diceritakan sebagai kebenaran.

"Sebenarnya saya kurang tahu, Pak. Mungkin... mbak Putri cuma tak suka ada yang punya nama mirip dengannya."

Manajer toko tampak menggeleng namun tak berkomentar lebih jauh. Dengan ekspresi simpati di wajahnya, lelaki muda itu menatap Putri lekat sebelum berkata, "saya mengerti permintaan ini mungkin agak keterlaluan, tapi pahamilah kita semua hanya pekerja yang cari makan di sini. Aktris kelas A tadi adalah pelanggan VIP yang total belanjanya dalam setahun bisa miliaran."

Ujaran manajernya bikin Putri tersenyum pahit. Tanpa dijelaskan, dia sudah paham apa kelanjutan perkataan ini. Di mana-mana, harga diri seseorang memang diukur dengan kekuasaan dan harta. Sedang bagi mereka yang tak punya keduanya, bicara soal harga diri omong kosong belaka.

"Baiklah Pak,untuk selanjutnya nama saya dipanggil Rani saja," cetus Putri tegar.

Sang manajer menatap Putri sejenak, sebelum akhirnya berucap tulus, "terimakasih atas pengertianmu Putri, eh Rani."

"Kalau begitu saya pamit dulu, Pak." Putri menyudahi diskusi singkat itu lalu kembali bekerja seperti biasa, mencoba abai terhadap rasa tak nyaman yang menggelayut di hatinya.

Seraya mengunci kotak-kotak display berisi tas-tas mahal yang harga per-item bisa setara gajinya setahun, Putri mengenang nama yang diberikan sang nenek padanya, Putri Maharani. Disertai doa dan harapan hidup sang cucu kelak agung dan terhormat.

Namun harapan tinggal harapan. Sejak dulu hidupnya selalu sukar sebab dipermainkan keadaan, entah oleh orang dekat, entah oleh situasi.

Dengan berbagai pikiran yang berkecamuk di kepalanya, akhirnya waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Waktunya Putri bersiap-siap pulang karena shift-nya sudah berakhir.

"Baiklah, ada yang ingin disampaikan untuk hari ini?"

Manajer toko bertanya seraya menatap karyawan shif pertama satu-persatu hingga pada akhirnya tatapan mata itu berhenti pada Putri. "Kamu ada yang mau disampaikan, Put?" katanya lagi.

"Tidak ada, Pak." Putri menyahut mantap.

"Baiklah, kalau tidak ada lagi kita akhiri briefing ini."

Manajer toko memberi perintah seraya memastikan semua pramuniaga memasukkan kunci kotak display ke tempatnya.

Setiap pramuniaga yang bertugas memang punya 'daerah kekuasaan' masing-masing. Ada yang bergerak di bidang penjualan tas klasik, tas limited edition, dompet, bahkan aksesoris macam jam dan ikat pinggang.

Berhubung semua yang dijual bernilai mahal, maka setiap display punya kunci yang menjadi tanggung jawab pramuniaga yang bertugas.

Begitu tiba giliran Rani meletakkan anak kunci yang dipegangnya, manajer toko menyerahkan sesuatu sambil berkata lirih, "Ini nametag yang baru, pakailah mulai besok."

Putri hanya mengangguk sekilas seraya memegang erat nametag baru itu.

Saat sudah sampai di pelataran pusat perbelanjaan, barulah dia mengamatinya dengan seksama. Nama Rani tanpa embel-embel lain tertulis dengan font cetak yang tebal.

'Cepat juga mereka membuatnya.' batin Putri meringis.

Nyaris dua puluh tahun dia menyandang nama Putri, dan kini akibat ulah seseorang, dia harus beradaptasi untuk dipanggil sebagai Rani. Rasanya sangat janggal. Tak berapa lama Putri berdiri, seorang pengendara motor berjaket hijau menghampiri.

"Dengan Kak Putri?" sapa ojek online yang sudah dipesannya memastikan sebelum meminta Putri naik di belakang.

Perjalanan dari tempat kerja ke kos memakan waktu sekitar tiga puluh menit karena kemacetan yang parah. Kalau bukan karena sedang malas, lebih baik rasanya berjalan kaki.

Karena tak sabar lagi menunggu, Putri akhirnya minta turun di pertigaan jalan waktu lampu merah sedang menyala. Setelah turun, Putri berjalan cepat menuju gang menuju kontrakannya yang cuma sepetak kamar.

Pada saat inilah keanehan terjadi. Sebuah mobil sedan yang muncul entah dari mana tiba-tiba mengikutinya.

'Kenapa mobil ini mengikutiku?'

Batin Putri mulai gelisah terlebih karena jalan menuju kontrakannya sangat sepi. Rumah-rumah berpagar tinggi terkunci rapat dengan jarak yang cukup jauh ke jalan raya.

Putri mulai mengira-ngira dalam hati, mengambil ancang-ancang untuk berlari sekencang yang dia mampu. Namun hajatnya belum kesempatan ketika sesuatu yang tak terduga terjadi.

"Ciiittttt!"

Mobil tadi bermanuver tajam hingga posisinya beberapa langkah di depan Putri. Bannya berdecit nyaring membelah jalanan membuat jantung Putri seketika jadi lemas. Kalau bukan karena berpegangan pada tiang listrik yang berdiri tegak di sisi jalan, dia nyaris ambruk.

"Maaf Mbak, membuat Anda kaget."

Suara maskulin yang menyapa ruang dengarnya bikin Putri sontak menengadah dan menatap manusia yang sudah membuatnya kaget bukan kepalang.

Tadinya dia mengira, ada orang jahat yang sedang mengincar nyawanya atau katakanlah melakukan hal cabul. Namun sosok yang berdiri di depannya sekarang justru seorang pemuda parlente dengan pakaian casual yang nampak mahal.

"Si--siapa Kamu? Kenapa mengusikku?" Putri bertanya geram sembari buru-buru berdiri tegak. Tampak ketakutan di depan orang asing bukanlah hal yang layak dibanggakan.

Laki-laki asing itu melepas kaca mata hitam yang dikenakannya dan wajah itu membuat kening Putri berkerut. Bukan lantaran parasnya yang tampan, namun karena muka itu terlihat akrab di benak Putri.

"Kenalkan Mbak, saya Bram. Pak Arya meminta saya untuk... ."

Demi mendengar nama Arya disebut, murka Putri langsung naik ke ubun-ubun. "Cukup, saya tak mau dengar apapun soal Arya. Urusan kami sudah selesai," sahutnya sembari meninggalkan Bram begitu saja.

Bram yang tak menyangka akan mendapat penolakan, terkesiap. Seumur-umur dia belum pernah dengar ada wanita yang menolak berurusan dengan Arya. Apa atasannya sedang kena batunya kali ini?

Saat Bram sadar dari lamunannya, barulah dilihatnya kalau gadis yang katanya bernama Putri ini sudah melangkah cukup jauh.

"Mbak, Mbak tunggu dulu!"

Tentu saja seruannya diabaikan si gadis.

Tak punya pilihan, Bram berjalan setengah berlari hingga dia berdiri tepat di depan Putri dengan nafas tersengal.

"Apa lagi? Tadi kan udah saya bilang tak punya urusan apa-apa dengan Arya!" sergah Putri emosi. Dia hanya mau hidup tenang namun orang-orang ini enggan melepaskannya.

"Tunggu dulu, Mbak. Saya cuma mau kasih permintaan maaf dari pak Arya," ucap Bram susah payah seraya menarik amplop coklat dari saku jaketnya.

Mata Putri memindai sekilas, sebelum seringai sinis terukir di wajahnya. "Pasti uang lagi, kan? Hmph, simpan saja uang busukmu. Aku tidak membutuhkannya," cetusnya lalu melanjutkan perjalanan dengan kakinya yang mulai pegal lantaran harus pakai high heels seharian.

"Mbak, tunggu dulu... ."

Putri menoleh pada Bram, memberinya tatapan tajam lalu berkata, "Panggil namaku sekali lagi maka aku akan teriak."

"Mbak, tolong jangan begitu... ."

Sebelum Bram menyelesaikan perkataannya, suara Putri yang melengking sudah duluan memenuhi udara.

"Tolong! Ada orang cabul. Tolong... !

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status