Share

Salah Orang

Arya tengah sibuk berkutat di depan laptop kpetika panggilan masuk dari Bram mengganggu ketenangannya. Ogah-ogahan dia mengangkat telepon sang asisten sebelum mimik wajahnya berubah drastis.

"Apa kamu bilang? Dia menolak?"

Suara Bram terdengar sangat kesal dari seberang sana. "Tak cuma menolak, dia juga meneriakiku orang cabul, bayangkan!"

"Hahahaha." Arya yang awalnya mendelik kini tertawa keras membayangkan asisten sekaligus sahabat masa kecilnya dikatai orang cabul.

Sebagai lajang berkualitas, belum pernah ada kaum Hawa yang berani mempermalukan mereka.

"Kenapa ketawa, Bos? Puas melihat kemalanganku?" Suara Bram jelas bersalut rasa kesal.

"Easy, easy. Let's hold it now. Nanti kita pikirkan cara lain." Arya menyahut kalem dengan seulas senyum di bibirnya.

"Bos, kenapa harus repot mengurusi cewek sok jual mahal? Kalau memang sungkan, Bos bisa kasih uangnya untukku. Dengan senang hati aku pasti memaafkanmu mewakili dia."

"Enyah!" Arya memutuskan panggilan seusai mengusir Bram dengan kalimat singkatnya.

Penolakan Putri memang sudah ada dalam perkiraannya tapi dia tak menyangka gadis nekat itu bakal berteriak di tengah jalan. Bagi manusia berkelas macam Bram, tentu saja itu aib yang memalukan.

"Hufftt... ." Arya menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Sejujurnya, dia cukup heran mengapa Putri bisa mempengaruhi dirinya sedemikian. Selama ini banyak gadis dari keluarga terpandang mendekatinya, baik karena cinta maupun tujuan bisnis semata. Namun tak satupun dari mereka meninggalkan kesan seperti yang dilakukan Putri.

'Mungkin aku sudah terlalu lama tak bersenang-senang makanya perempuan macam Putri jadi berkesan.' Arya membatin seraya meletakkan laptopnya di atas nakas.

Otaknya yang ruwet tak sanggup lagi memikirkan script film yang baru diajukan produsernya untuk ditinjau. Baru saja dia hendak meraih jaketnya dari dalam lemari, terdengar bel pintu berbunyi nyaring.

"Sial. Kenapa lagi dia datang kemari," rutuk Arya kala menatap layar monitor di depannya. Ternyata tamu tak diundang ini adalah Putri Marion, kekasih yang sudah membuatnya kesal setengah mati.

"Ngapain kamu datang kemari?" Arya menukas tak ramah sambil bersedekap di depan pintu.

Sepasang matanya yang tajam menatap aksi sensual Marion yang entah kenapa terasa membosankan belakangan ini.

Kalau dulu, gestur tubuh sang kekasih -- menatapnya sendu dengan bibir yang digigit sedikit bagian ujungnya -- sudah pasti bikin Arya mengerang. Saat ini, bahasa tubuh yang sama justru bikin dia jadi berang.

"Honey, apa kamu tega membiarkanku berdiri di sini kedinginan?" Marion menatap sang kekasih dengan mata nyaris berkaca-kaca.

"Siapa suruh kamu pakai baju yang terlalu minim?"

Meski Arya menyahut ketus, tak urung dia menepi juga agar Marion bisa melangkah masuk. Bagaimanapun sebalnya dia pada si gadis, ada hubungan baik yang mesti dijaga. Baik dari segi bisnis maupun nostalgia lama.

Ibu kandung Marion adalah kawan dekat ibunya, dan mereka berdua pula yang punya ide agar sepasang manusia ini berpacaran.

Awalnya, Arya menampik tawaran sang ibu. Namun karena terus didesak ditambah penampilan Marion yang sempurna secara fisik, mau tak mau Arya luluh juga pada akhirnya.

"Sayang, kamu masih kesal sama aku?" Marion berbisik pelan seraya merapatkan tubuh pada Arya.

"Menurutmu?" cetus Arya acuh-tak acuh. Sejak tadi tangannya sibuk mengganti-ganti chanel TV demi mengusir rasa bosan. "Masak hanya karena soal sepele, kamu harus semarah itu? Putri, kamu itu bukan perempuan sembarangan. Harus bisa menahan diri. Jangan terlalu angkuh apalagi cuma soal nama," gumam Arya tanpa menoleh sedikitpun pada Putri yang mukanya sudah sangat cemberut detik ini.

"Tapi ... masak aku harus mengalah sama pramuniaga itu? Entah kenapa aku selalu merasa senyum pramuniaga itu yang kamu bilang cantik."

Perkataan Marion yang terakhir ini bikin Arya terhenyak. Ditatapnya tangan lentik yang sedang mengusap-usap dadanya yang bidang.

Sejujurnya, perkataan Marion tak salah. Senyum yang dibilangnya cantik itu memang milik Putri si pramuniaga. Meskipun setelah kalimat itu terucap dia agak menyesal, tetapi tak ada yang salah dengan perkataannya. Putri yang sedang tersenyum memang sangat cantik hingga gadis yang duduk di sisinya saat ini bukanlah tandingannya.

"Jangan berpikir yang bukan-bukan, tentu saja yang kumaksud adalah senyumanmu." Arya berucap tegas seraya menatap sang kekasih.

"Benarkah? Ah syukurlah." Marion mendesah lega lalu meletakkan kepalanya di atas dada Arya. "Kamu tahu Baby, cintamu ini selamanya milikku," bisiknya penuh penekanan hingga Arya mengkerut ketakutan.

Cinta mungkin satu hal, tapi untuk dimiliki orang lain sepenuhnya, tak pernah terlintas dalam benak Arya. Sebagai manusia yang menjunjung tinggi kebebasan, kepemilikan bukanlah hal yang sesuai dengan prinsip hidupnya.

Gerakan Marion kali ini, alih-alih membuat trenyuh malah bikin Arya jadi hilang gairah. Biasanya setelah pelukan dan ciuman intim di sofa, mereka akan melanjutkannya di atas ranjang. Tapi detik ini dia sungguh tak berselera.

"Maaf Sayang, aku pergi dulu. Ada janji dengan kawan. Kalau mau, kau boleh tidur di sini, nanti aku balik lagi."

Setelah mengucapkan kalimat ini Arya melepaskan tubuh dari belitan Marion. Tatapan terluka di mata gadis itu nyaris membuatnya merasa bersalah. "Tolong jangan sedih, aku janji bakal datang kemari, okay?" tambahnya penuh penekanan

"Hmmm, baiklah. Tapi jangan pulang kemalaman."

Arya mengiyakan permintaan Marion lalu berganti pakaian dengan cepat sebelum berlalu dari griya tawangnya. Tanpa dia sadari, tatapan sendu di mata Marion langsung berganti sadis sesaat setelah pintu menutup.

Begitu keluar dari area Bharata Tower, Arya langsung memacu mobilnya menuju sebuah hotel bintang lima. Di sana ada sebuah lounge bernama D'Artz yang kerap jadi tongkrongannya dan teman-temannya.

"Hei Bro, finally you're here." Surya Angkasa yang merupakan pemilik hotel langsung menghelanya ke meja di pojokan, tempat mereka biasa berkumpul.

Arya tak menyahut sapaan Surya namun dia cukup patuh mengikuti langkah sahabatnya setelah bertoast ria di pintu masuk.

Suasana lounge tampak lengang, hanya ada beberapa pria dengan setelan tiga potong yang rapi tampak berbincang santai pada sofa yang ditata minimalis dengan pencahayaan temaram.

"Aman kita malam ini?" tanya Arya ketika menghenyakkan diri.

Sebagai balasan, Surya menyatukan ibu jari dan telunjuknya hingga membentuk lingkaran. Ini merupakan kode jika ayah Surya yang kerap menegur mereka kalau mabuk-mabukan, sedang tidak di tempat.

"Kalau begitu, bikin campuran yang agak keras bro." Arya memberi perintah seperti tuan tanah di zaman feodal.

Surya hanya tersenyum miring sambil bertepuk tangan. Tak lama seorang waitress mengenakan midi dress berwarna hitam dengan belt bercorak batik di bagian pinggang langsung datang menyajikan dua gelas dirty martini di atas meja.

"Silakan diminum, Tuan. Semoga Anda menikmatinya."

Suara yang lembut namun berenergi ini sukses membuat Arya yang sejak tadi sibuk menatap gawai jadi mendongak. Matanya yang tajam membulat sekejap sebelum akhirnya dia berdeham kecil untuk menghilangkan kesan gugup dari raut mukanya.

Tak berbeda jauh, Putri si waitress cantik pun nyaris menjerit. Untung dia segera menahan diri dan buru-buru berlalu dari hadapan lelaki yang sangat ingin dimakinya detik ini.

"Kamu kenapa? Mukamu kok aneh gitu?" Surya menatap sahabatnya dengan mata menyipit.

Mengusap wajah, Arya menyahut asal. "Tak ada. Muka waitress tadi mirip seseorang yang kukenal, rupanya aku salah orang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status