Kamu sudah pulang? Kok cepat?" sapa Sophia yang tengah duduk sambil menonton TV di ruang tengah begitu Putri membuka pintu.
"Aku ... aku gagal Kak. Tak jadi ikut casting karena mereka keburu dapat peran yang cocok."Sophia, yang dikira Putri bakal murka terlebih karena perdebatan mereka soal kostum yang dipakainya tadi pagi, nyatanya cuma tersenyum miring."Sudah kubilang, modal akting saja tak cukup di sini. Selain cantik dan berbakat, kamu juga harus berani.""Iya, Kak." sahut Putri lemah. Matanya yang indah mengerjap tak berdaya menatap Sophia.Selama tinggal bersama rekan satu unitnya dua bulan ini, Putri sedikit-banyak tahu kalau wanita yang punya nama lengkap Sofyani ini bukanlah perempuan naif.Tujuh tahun malang-melintang di tengah getirnya dunia hiburan ibu kota, bisa mengubah wanita lugu manapun jadi agak picik. Kalau tak begini, mana mungkin Sophia mampu membiayai hidup glamornya dengan tawaran kerja yang bisa dihitung pakai jari."Nah, kalau kau berani, peran yang lepas ini masih bisa kau dapatkan. Asal jangan seperti tadi pagi, pakai baju yang agak terbuka pun tak mau."Putri menatap Sophia penuh keheranan. Meski agak ragu, dia bertanya, "Tapi bagaimana caranya, Kak?""Tenang saja, aku kenal produsernya. Kamu bakal bisa mendapatkan perannya asalkan berbicara langsung dengan beliau."Lagi-lagi Putri bimbang. Bagaimana caranya bicara dengan orang yang bahkan tak pernah dia temui. Lagipula bagaimana dengan gadis nomor dua belas tadi?"Kenapa? Kamu takut? Ingat Putri, rasa takut tak bikin kamu kenyang. Apa bisa rasa takut membayar sewa tempat tinggal kita? Bisa bayar biaya berobat nenekmu?"Demi mendengar neneknya disebut, batin Putri jadi bergolak. Kalau hanya bicara dengan produser apa susahnya? Kalau pun tak diterima juga, yang penting sudah berusaha."Kamu tak usah khawatir, nanti kutemani." tambah Sophia waktu melihat kebimbangan Putri.Ada keheningan sesaat sebelum Putri membulatkan tekadnya. "Baiklah Kak, terima kasih banyak atas bantuannya."Putri memberikan senyum terbaiknya. Sejak muda dia memang sudah belajar jadi gadis yang menyenangkan agar bisa bertahan hidup.Waktu masih tinggal dengan ibunya, dia akan mengambilkan teh dan memijat kaki Dahlia begitu pulang kerja. Waktu tinggal bersama sang nenek, dia pun bersikap manis dan sopan agar diterima segenap keluarga pamannya yang tinggal di desa.Sophia menatap senyum Putri yang dirasanya kekanakan itu dan berucap datar, "Baiklah. Istirahat yang cukup biar fresh pas ketemu produser nanti."Putri masih berbasa-basi sejenak sebelum beranjak ke kamarnya yang terletak di dekat dapur. Tanpa dia ketahui, sebuah senyum sinis mengantarkan kepergiannya."Untung masih cantik dan muda, kalau tidak hmph." gerutu Sophia lalu menelepon seseorang di seberang sana.Di tengah kegugupan Putri ingin bertemu produser, waktu terus berjalan hingga tak terasa hari sudah jelang maghrib."Nah, pakai ini untuk memberi kesan yang baik. Tolong jangan membantah." Sophia berkata waktu Putri memilah-milah busana yang tepat.Karena tak enak hati, Putri pun memakai dress itu walau sangat jauh dari kata nyaman. Bagian roknya kelewat pendek sedangkan bagian belakang juga sangat terbuka.Pendek kata, dress ini membuat si pemakai seperti perempuan vulgar yang sedang menjajakan tubuh. Lucunya, Sophia terlihat santai saja memakai baju serupa."Kak, anu ... aku boleh pakai outer nggak dari sini. Dingin soalnya," pinta Putri memelas.Sophia berpikir sejenak sebelum akhirnya menuruti permintaan rekannya. Tak berapa lama, mereka berdua turun ke parkiran lalu berangkat dengan mengendarai mobil milik Sophia."Next time, kamu jangan terlalu kaku, berpakaian agak terbuka itu hal biasa di dunia hiburan. Namanya juga panggung sandiwara," tutur Sophia seraya mengemudi.Diam adalah reaksi terbaik yang bisa diberikan Putri.Bukannya dia tak paham industri hiburan mengharuskan seseorang tampil modis, namun berpakaian terbuka pun ada aturannya. Entah terbuka di bagian atas atau bawah, belakang atau depan, mesti dipilih salah satu.Terbuka di semua bagian, apa bedanya dengan pamer kulit?"Nah, sekarang kita sudah sampai. Rilekslah dan jangan terlalu kaku." perintah Sophia lagi saat mereka tiba di parkiran.Putri mengiyakan lalu membuka seatbelt-nya. Begitu turun dari mobil, sadarlah dia kalau mereka ada di Bharata tower yang didatanginya tadi pagi. Bedanya, sekarang mereka masuk lewat pintu belakang.'Apa dia di sini juga?' Batin Putri merenung.Namun cepat-cepat ditepisnya pikiran aneh ini sebelum makin menjadi.Begitu mereka berdua sudah turun dari mobil, Sophia langsung membawa Putri menuju lift."Lantai delapan belas sampai dua puluh adalah hotel, sedangkan dua puluh satu sampai dua puluh empat itu lokasi periklanan dan studio film." Sophia menjelaskan dengan nada bangga sementara Putri cuma mengangguk-angguk."Tiinggg!"Begitu pintu lift terkuak, seorang pria muda segera menyambut dan membimbing mereka menuju sebuah ruangan.Di sana sudah menunggu seorang lelaki paruh baya yang duduk santai sambil mengisap rokoknya."Hai Sophia, lama tak bertemu dan kamu tetap cantik seperti dulu." sapanya ramah seraya mengerling genit.Sophia membalas tak kalah hangat lalu mencium pipi kiri dan kanan pria tambun itu.Interaksi mereka yang berlebihan, bikin Putri jadi rikuh apalagi waktu melihat pakaian yang dikenakan produser itu cuma piyama tidur model kimono yang tak diikat dengan benar."Jadi, ini gadis yang kau ceritakan itu?" Laki-laki itu menoleh pada Putri setelah basa-basi yang hambar."Ya, dia gadis muda berbakat. Aku yakin kamu tak akan kecewa dengan aktingnya."Laki-laki itu mengerling pada Putri sambil berkata, "Itu belum bisa dikatakan. Kita tunggu saja nanti bagaimana penampilannya."Tiba-tiba Sophia dan lelaki tambun itu tertawa keras hingga bulu kuduk Putri bergidik."Putri kenapa berdiri saja, ayo sapalah Soni. Dia produser top di Bharata group," ujar Sophia yang tanpa sungkan langsung menghela Putri ke depan Soni, layaknya sales yang menjajakan dagangan.Mau tak mau Putri menyapa laki-laki yang sejak tadi tak menarik minat ini. "Hai Om, kenalkan nama saya Putri. Senang bertemu dengan Anda.""Hahaha, aku tak setua itu cantik. Panggil saja Kakak."Lagi-lagi tawa membahana memenuhi ruangan itu. Putri yang ketakutan makin merapatkan outer yang dipakainya."Sudah, sudah. Ajak dulu kami minum Soni. Ramah sedikitlah pada tamu." Sophia berkata di antara derai tawanya."Ah, ya maafkan kelalaianku."Tak berapa lama, pemuda yang menjemput mereka tadi langsung membawa baki yang di atasnya tersaji beberapa botol minuman beralkohol."Ayo, silakan diminum, Ladies. Jangan sungkan," ujar Soni yang langsung membuka tutup botol dan menuangkan minuman berwarna kekuningan itu dalam tiga gelas tinggi.Melihat kedua manusia didekatnya sudah minum sambil ngobrol santai, Putri pun melakukan hal yang sama."Kenapa, Putri? Tak enak minumannya?" tanya Sophia yang sudah mulai mengisap rokoknya."Enak kok, Kak." sahut Putri sekenanya walaupun mulutnya hampir memuntahkan minuman yang berasa aneh itu. Agak pahit, sedikit manis, juga getir.Beberapa kali disesapnya minuman itu hingga rasa dahaganya berangsur hilang dan tubuhnya lebih rileks. Anehnya, seiring dengan ini kepala Putri pun mulai pusing sementara tubuhnya mendadak sangat panas di dalam. Seperti ada yang bergejolak di sana.Hingga pada suatu waktu ketika dia tak sanggup lagi menahannya, Putri memaksakan diri mengangkat kepala dan berkata lirih, "Kak Sophia, maaf, bisa kita pulang?""Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s