Wanita itu langsung mengusap air yang berjatuhkan dari kelopak mata. Ia bangkit dan melangkah untuk memandang pantulan dirinya di cermin retak. Masih terasa pipi yang basah akibat dia menangis.
"Ngapain kamu nangisin cowok brengsek itu, Maira! Bodoh banget sih," omelnya.Tangan wanita itu menjitak kening setelah mengomel pada dirinya sendiri."Ayo semangat Maira." Monolognya.Wanita itu memegang perut karena merasakam mulas. Ia berlari ke kamar mandi lalu menggedornya."Siapa di dalam? Ayo cepat keluar! Udah gak tahan nih," teriak Maira.David yang mendengar itu langsung membuka pintu setelah memakai handuk. Sedangkan Maira dengan cepat menarik lengan lelaki tersebut lalu lekas mentup pintu."Bang, itu anduk baru punya Abang bukan? Kalau iya buat aku ya," teriak Maira.David yang mendengar itu mengiyakan. Maira langsung mengusir sang Kakak untuk pergi menjauh dari bilik mandi."Udah sono pergi! Nanti bom Abang pingsan lagi," usir Maira.David berdecak kesal mendengar usiran adiknya. Tetapi bergegas pergi saat mendengar suara sesuatu yang membuatnya mual.Setelah membuang hajat, Maira langsung membersihkan dirinya. Lalu bergegas keluar dengan langkah cepat dan masuk ke kamar untuk memakai pakaian. Setelah itu pergi lagi ke dapur untuk membantu Ibunya."Bu, lagi buat gorengan ya? Sini Maira bantu. Sekalian Maira juga yang jual, Maira mau ke pasar soalnya," seru wanita itu.Wanita yang berstatus Ibu Maira itu menoleh memandang sang anak. Ia langsung mengangguk sebagai jawaban, karena kalau dilarang pun putrinya akan memaksa membantu."Kamu potong bahan aja, nanti Ibu yang bikin adonan," perintah Dewi.Maira menganggukan kepala untuk mengiyakan ucapan sang Ibu. Ia mulai sibuk memotong bahan untuk membuat gorengan."Ibu, ini kok ada jengkol? Ini buat apa, Bu?" tanya Maira.Dewi yang mendengar anaknya bertanya langsung menoleh."Buat gorengan atuh, Nduk. Malahan itu yang lagi laris lho, enak dimakan sama nasi," sahut Dewi.Maira hanya mengangguk paham, ia memandang wanita yang telah melahirkannya. Dia merasa sedih karena belum membahagiakan mereka."Bu, aku mau nyoba jual makanan mateng. Untuk sekarang keliling pake sepeda dulu, ada kan sepedanya ya?"Dewi menoleh mendengar keinginan anaknya. Ia langsung mendekat dan memegang bahu Maira."Ibu melihat di koper isinya semua pakaianmu, sebenernya apa yang terjadi?" tanya Dewi."Mas Reyhan selalu merendahkanku, Bu. Bahkan dia berkhianat dan memiliki hubungan dengan sahabatku," ungkap Maira.Suara wanita itu bergetar, Dewi yang mendengar hal tersebut langsung mendekap anaknya. Terlihat Maira menumpahkan tangisan membuat dia merasakan sakit hati."Mereka bermain di belakangku, Bu. Bahkan mereka sudah menikah tanpa sepengetahuanku, Thania dia hamil Bu," lanjut Maira.Dewi sangat terkejut dengan cerita Maira, bahkan David yang menguping sejak tadi mencengkram botol yang ditangan sampai semua air keluar dari sana."Bahkan dia berani menamparku di depan Thania," tutur Maira."Apa! Dia berani menamparmu, berani menyakiti adikku. Bener-bener biadap," geram David.David langsung membuang botol itu lalu mendekati Maira untuk mendekap sang adik."Abang bakal bales kelakuannya, enak aja nyakitin adikku!"Lelaki itu di tahan Maira, saat hendak pergi. Ia menggeleng membuat sang kakak mengembuskan napas kesal."Kamu ini, udah diperlakukan begitu apa kamu enggak marah, apa kamu masih mencintainya" omel David.Maira yang mendengar itu hanya menghela napas. David yang tidak mendapatkan jawaban menyugarkan rambut."Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han