LOGINSejak percakapan mereka malam itu, hubungan Anna dan Rangga menjadi renggang, lebih tepatnya Anna lah yang menghindar dari suaminya. Ia tak habis pikir dengan ide gila sang suami. Suami macam apa yang menyuruh istrinya dinikmati oleh laki-laki lain? Sekali pun itu kakak iparnya, tetap saja rasanya tak pantas jika suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal itu.
"Sayang? Kamu masih marah sama aku?" Tanya Rangga seraya duduk di samping istrinya yang sedang sarapan. "Sarapan kamu udah aku siapin, aku berangkat duluan soalnya hari ini banyak pesanan yang harus dikirim." Jawab Anna tak menanggapi pertanyaan Rangga. Ya, selain menjadi ibu rumah tangga, Anna juga memiliki bisnis online shop yang lumayan menghasilkan. Hitung-hitung mengisi waktu luang, karena di rumah saja pun rasanya sangat membosankan. Anna meneguk segelas air lalu bangkit dari duduknya. Sebelum ia benar-benar melangkah, Rangga menahan pergelangan tangan Anna, membuat Anna mau tak mau berhenti. "Udah tiga hari kamu diemin aku, sampe kapan kamu mau kayak gini terus?" Tanya Rangga menahan emosi yang tiba-tiba mencuat. "Kalo mau ngajak debat jangan sekarang." Jawab Anna mengibaskan tangannya, ia pun pergi begitu saja tanpa mempedulikan suaminya. Belum sempat Rangga bangkit untuk mengejar Anna, tiba-tiba ponselnya berdering tanda panggilan masuk. "Ibu? Mau apa lagi sih masih pagi udah nelpon aja!" Gumam Rangga kesal karena Anna sudah menghilang dari pandangannya. "Assalamu'alaikum, Bu?" sapa Rangga sopan. "Wa'alaikumsalam. Agga, ibu minta uang dong, Ibu mau bayar arisan." Sahut Bu Rahma di ujung telepon. "Bukannya baru beberapa hari yang lalu ibu bayar arisan?" tanya Rangga bingung. "Kemaren arisan sama ibu-ibu pengajian, hari ini arisan sama grup senam ibu-ibu kampung. Ibu ikut arisan baru lagi, malu kalo gak ikut, masa yang lain ikut ibu nggak? Gengsi lah!" jawab Bu Rahma bak seorang anak kecil yang meminta jajan. "Berapa, Bu?" tanya Rangga to the point. "Dua ratus ribu." Jawab Bu Rahma semangat. "Ya udah nanti Rangga transfer ya, kalo udah sampe kantor. Rangga mau berangkat dulu soalnya udah siang." Ucap Rangga sembari meletakkan piring ke dalam sink. "Ibu tunggu, ya! Kamu ngapain? Nyuci piring? Istrimu kemana? Bisa-bisanya udah siang gini kamu masih di rumah, nyuci piring pula!" Oceh Bu Rahma menaikan nada bicaranya satu oktaf. "Nggak, Rangga cuma naro piring bekas sarapan. Anna udah berangkat ke gudang, Bu. Udah lah, Rangga mau berangkat dulu." Balas Rangga merasa kesal karena waktu terus berputar, namun sang ibu malah mengulurnya untuk hal yang tidak penting. "Gimana mau punya anak kalo dia sok sibuk begitu! Mana suami gak diurus! Pokoknya kalo dalam waktu tiga bulan ini istrimu gak hamil-hamil, kamu harus ceraikan dia! Kamu harus nurut sama ibu, Rangga! Inget surga itu dibawah telapak kaki ibu, bukan istrimu!" Bentak Bu Rahma memekakkan telinga Rangga. Tut Rangga mematikan panggilan secara sepihak karena malas berdebat dengan ibunya. . Saat pulang bekerja, Rangga mendapati istrinya sudah pulang dan tengah duduk di meja makan. Anna memegang segelas air dan sebuah plastik obat. "Sayang..., kenapa kamu minumin obat ini lagi?" Ucap Rangga terkejut dan langsung merebut bungkus obat itu, namun sayang, ternyata Anna sudah meminumnya. Meminum obat itu merupakan kebiasaan Anna sejak empat tahun lalu. Jika Anna sedang tertekan, ia akan langsung meminum obat tersebut. Sudah tak terhitung berapa jumlah obat itu yang Anna telan. Karena baginya, hanya dengan obat itu lah ia bisa merasa sedikit tenang dan melupakan masalahnya sejenak. "Aku capek." Lirih Anna menundukkan kepalanya dan meremasnya dengan kedua tangannya. Tring Belum sempat Rangga berbicara lagi, tiba-tiba ponsel Anna berbunyi tanda pesan masuk. Gegas Rangga meraihnya dan membaca pesan tersebut. [Sebaiknya kamu tinggalkan anakku! Dasar perempuan mandul! Harusnya kamu tau diri kalo kamu itu cuma bikin anakku susah!] -Bu Rahma- Karena penasaran Rangga pun membuka aplikasi chat Anna dengan ibunya. Betapa terkejutnya Rangga membaca banyaknya pesan berupa makian dan ancaman dari sang ibu pada istrinya. "Maaf kalo selama ini aku gak bisa bikin kamu seneng, Mas." Lirih Anna yang sudah berdiri, ia merebut ponselnya di tangan suaminya. Rangga tak habis pikir dengan kelakuan ibunya, tega sekali ibunya mengatakan itu pada orang yang sangat ia cintai. Anna pun pergi meninggalkan Rangga yang masih shock setelah membaca pesan ibunya pada Anna. Malam harinya, Rangga menghampiri Anna yang tengah duduk bersandar di ranjang. "Sayang...," panggil Rangga. "Aku mau, Mas. Aku mau ngikutin ide gila kamu. Terserah sebesar apa resiko yang bakal terjadi nanti. Yang penting sekarang aku harus hamil. Aku pengen bungkam mulut ibu kamu. Aku capek diteror terus." Ucap Anna lantang tanpa menoleh Rangga sedikit pun. Rangga terkejut dengan penuturan sang istri. Ia mencerna ucapan istrinya dengan lambat, karena otaknya tiba-tiba saja blank. "Aku setuju sama ide kamu malem itu. Kapan kita lakuin rencana kamu?" Lanjut Anna lagi sembari menatap suaminya, karena Rangga hanya bengong tak meresponnya. "Ka..., kamu..., serius?" Tanya Rangga menatap istrinya tak percaya. "Iya, aku serius." Jawab Anna mantap. Entah mengapa hati Rangga terasa sakit membayangkan istrinya yang akan disentuh orang lain, sekali pun itu kakak kandungnya, padahal itu idenya sendiri. "Kapan kamu siapnya?" Tanya Rangga menatap istrinya ragu. "Kapan pun aku siap. Kamu atur aja kapan Mas Raka bisa. Kalo gitu aku tidur duluan, ngantuk." Jawab Anna acuh kemudian berbaring membelakangi suaminya. Tak butuh waktu lama, Anna sudah terlelap dengan tenang. Mungkin efek obat yang ia minum. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Rangga tak bisa memejamkan matanya. Ia tengah melamun di balkon kamarnya, ditemani sebatang rokok. "Andai dulu aku nggak sebodoh itu, pasti hidup kita gak akan kayak gini. Maafin aku, Na." Batin Rangga menyesali perbuatannya di masa lalu. Rangga kembali memikirkan bagaimana cara membujuk kakaknya agar mau menyanggupi ide gilanya. Namun disisi lain, ia juga belum ikhlas jika ide gilanya itu benar-benar terjadi. Secara perlahan Rangga membuka aplikasi chat di ponselnya dan mencari kontak kakaknya. Siang tadi Rangga bertanya pada ibunya, ibunya mengatakan bahwa hari ini Raka masuk sift dua, pasti saat ini kakaknya baru sampai rumah. Dengan ragu, ia mulai mengetik sebuah pesan pada Raka lalu mengirimkannya. Hatinya tak karuan karena takut jika Raka justru akan marah besar. Ia tahu betul bagaimana perangai kakaknya jika sedang marah. Tring Tak lama pesannya langsung dibalas oleh Raka. Jantung Rangga langsung berdegup cepat kala membaca balasan kakaknya. . . . To be continue ~Waktu berjalan tanpa suara, menghapus sedikit demi sedikit bekas luka yang dulu terasa mustahil sembuh. Rumah bercat putih gading di pinggir kota itu kini tampak hangat. Di halamannya, suara tawa anak-anak berpadu dengan aroma kopi dan roti pandan yang keluar dari dapur kecil di teras. Papan kayu bertuliskan “Kopi Kybi – Homemade & Family Taste” bergoyang lembut tertiup angin sore. Itulah tempat baru yang dibangun Raka dan Aulia. Sebuah usaha kecil yang menjadi simbol rekonsiliasi — bukan hanya antara suami dan istri, tapi juga antara mereka dan masa lalu. Aulia menata toples-toples berisi kue kering buatan tangannya. Pipi dan tubuhnya kini berisi, matanya lembut, jauh dari pandangan dingin dan kelelahan dulu. Ia tersenyum ketika Raka datang membawa sekeranjang bahan belanjaan dari pasar. “Capek, Mas?” tanyanya sambil membantu menurunkan barang. “Lumayan,” jawab Raka sambil tertawa kecil. “Tapi seneng lihat kamu semangat terus. Kopinya laku keras ya hari ini?” “Alhamdulillah.”
Matahari sore menembus tirai ruang tamu rumah kecil itu, menebar cahaya keemasan yang lembut. Suara tawa anak-anak terdengar dari halaman depan — Iki sedang mengejar adiknya yang baru belajar jalan, sementara Bu Rahma duduk di kursi rotan, menonton sambil tersenyum.Sudah hampir setahun sejak malam kelam itu. Luka di tubuh Aulia sudah lama sembuh, tapi luka di hatinya baru benar-benar reda beberapa bulan terakhir. Kini, ia bisa tertawa lagi, meski kadang masih ada gurat getir di ujung matanya. Namun senyum yang ia miliki sekarang bukan senyum palsu — itu senyum seseorang yang telah berdamai dengan masa lalunya.Raka keluar dari dapur sambil membawa dua gelas jus jambu. Ia duduk di sebelah istrinya. “Capek?” tanyanya lembut.Aulia menggeleng, “Nggak. Aku suka lihat mereka main kayak gitu. Rasanya… damai.”Raka ikut tersenyum. “Aku juga.”Sejenak keduanya terdiam, menikmati pemandangan sederhana yang dulu tak mereka hargai. Dulu rumah ini terasa sempit, pengap oleh amarah dan saling cur
Sisa Luka dan Awal yang Baru.Hari-hari setelah kejadian di hotel itu berjalan pelan, seperti waktu sengaja memperlambat langkahnya agar semua luka punya kesempatan untuk bernapas. Rumah Bu Rahma yang dulu dipenuhi teriakan dan amarah kini lebih sering sunyi. Hanya suara tangis Bian di malam hari, atau tawa kecil Iki saat menonton kartun di ruang tamu, yang memecah kesunyian itu.Aulia masih dalam masa pemulihan. Tubuhnya penuh memar, jiwanya lebih parah lagi. Ia jarang bicara. Setiap kali seseorang menyentuh pundaknya dari belakang, tubuhnya langsung menegang, matanya memejam seolah masih berada di kamar hotel itu. Raka melihat semua itu dengan hati remuk, merasa bersalah, merasa gagal. Tapi kali ini ia tidak menyerah seperti dulu. Ia memilih tetap di sisi Aulia, meski kadang hanya dalam diam.Bu Rahma setiap hari selalu membantu. Ia menyiapkan makanan, mencuci pakaian, menemani cucunya bermain. Kadang ia duduk di ruang tamu bersama Raka, keduanya berbicara pelan agar Aulia yang sed
Hari-hari setelah kepergian Anna berjalan dengan lambat dan dingin. Rumah yang dulu riuh oleh suara Fikri dan tawa kecil Bian kini terasa seperti ruang kosong.Raka duduk di meja makan setiap pagi hanya menatap piringnya tanpa selera. Aulia sibuk mengurus anak-anak, tapi wajahnya selalu tanpa ekspresi.“Mas nggak berangkat kerja?” tanya Aulia satu pagi.Raka mengangguk pelan. “Berangkat, sebentar lagi.”Aulia mendengus. “Kalau masih kepikiran perempuan itu, mending terus terang aja. Aku capek pura-pura nggak lihat.”Raka menatap istrinya lelah. “Aku cuma capek, Bun.”“Capek? Aku juga capek, Mas. Tapi bedanya, aku nggak pernah mikirin orang lain waktu capek,” balas Aulia tajam sebelum masuk kamar dan menutup pintu.Raka memijat pelipisnya. Sejak Anna pergi, hidupnya seperti kehilangan arah. Ia pernah mencoba mengirim pesan — tapi pesannya tak pernah terkirim. Nomornya diblokir. Ia bahkan memberanikan diri datang ke rumah Anna seminggu kemudian, hanya untuk mendapati papan ‘DIJUAL’ sud
Keputusan yang Mengikat LukaTiga hari sudah berlalu sejak kejadian di rumah sakit, tapi bayangan Aulia yang menatapnya dingin di lorong itu masih terus mengganggu pikiran Anna. Tatapan tanpa sapa, tanpa pengakuan, seolah ia hanyalah angin lalu yang tak berarti.Malam itu, setelah menidurkan bayinya, Anna duduk di teras rumah dengan selimut tipis menutupi bahunya. Angin lembut membawa aroma tanah basah. Di meja kecil di sampingnya, secangkir teh sudah dingin. Ia menatapnya kosong, sebelum akhirnya menekan nama Raka di layar ponselnya.Panggilan berdering cukup lama sebelum suara itu muncul di seberang sana.“Halo, Na?” suara Raka terdengar pelan, lelah.Anna menelan ludah. “Mas Raka, aku mau tanya sesuatu… soal Mbak Aul.”Raka terdiam sejenak. “Kenapa?”“Aku ketemu dia di rumah sakit, waktu aku mau pulang. Dia sama laki-laki. Aku coba sapa, tapi dia malah marah dan buang muka.” Nada suara Anna bergetar. “Aku jadi makin ngerasa bersalah, Mas. Waktu lihat Mbak Aul kayak gitu, rasanya s
Raka duduk di ruang tamu, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Sudah hampir pukul dua belas malam, tapi Aulia belum juga kembali.Anak-anaknya sudah menangis berbarengan sejak tadi, sementara Bu Rahma mondar-mandir di ruang tengah sambil menggendong Bian yang terus rewel mencari ibunya.“Raka… coba telpon lagi, Nak. Mungkin kali ini diangkat,” suara Bu Rahma serak, matanya sembab karena tangis yang tak berhenti sejak pertengkaran anak dan menantunya.Raka mengusap wajahnya kasar. “Udah, Bu. Udah sepuluh kali. Tapi nomornya nggak aktif.”Nada suaranya berat, campuran antara marah dan khawatir. Ia tak tahu lagi harus bagaimana.Fikri, anak sulungnya tiba-tiba menatap ayahnya dengan mata penuh air.“Itu salah Ayah! Bunda pergi gara-gara Ayah! Kenapa Ayah marahin Bunda? Kenapa Ayah biarin Bunda keluar sendiri!” Teriak Fikri sembari menangis.Ucapan polos itu menghantam dada Raka seperti batu besar. Ia terdiam, tidak bisa membalas.Bu Rahma memeluk Fikri, berusaha menenangkannya. “Jan







