LOGINDi dalam mobil kantor yang hening, Aurora duduk termenung. Pak Ruslan, sopir pribadi Rasya, sesekali melirik cemas lewat spion tengah tapi tidak berani bertanya.Kalimat Rasya terngiang di kepala Aurora: "Pulanglah ke rumah kita."Tapi, untuk saat ini Aurora tidak sanggup. Rumah mereka itu penuh dengan jejak Rasya. Penuh dengan mimpi-mimpi yang kini terasa seperti beban bagi suaminya.Ia butuh napas. Ia butuh tempat di mana ia bisa menjadi Aurora, bukan Nyonya Pradana."Pak Ruslan," panggil Aurora memecah keheningan. "Putar balik di depan. Kita ke rumah orang tua saya saja."Pak Ruslan tampak terkejut, matanya menatap spion. "M—maaf, Bu. Tapi perintah Pak Rasya tadi tegas. Ibu harus langsung diantar ke rumah di Seruni. Saya nggak berani melanggar, Bu.""Saya tahu..." Aurora mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya memelas. "Tapi tolong saya, Pak. Bapak cukup antar saya. Kalau Mas Rasya marah, bilang saya yang memaksa Bapak. Saya janji Pak Ruslan aman."Hening sejenak.
Rasya terdiam. Jakunnya naik turun. Ia tidak bisa berbohong lebih banyak lagi."Sejak... satu minggu setelah mengajukan berkas ke Federasi Prancis," aku Rasya jujur. Aurora melepas paksa pelukan Rasya. Ia mundur selangkah, berpegangan pada sandaran kursi agar tidak jatuh."Tiga hari sebelum nikah..." Aurora tertawa hambar, tawa yang menyakitkan. "Berarti saat kita teleponan malam-malam itu... saat kamu bilang 'tenang aja, semuanya beres'... kamu udah tahu?""Aku nggak mau bikin kamu panik, Aurora. Itu hari bahagia kita," bela Rasya."Dan saat kita ijab kabul?" desak Aurora lagi, suaranya bergetar hebat. "Kamu sudah menyimpan rahasia sebesar ini?""Aku melakukannya buat melindungi kamu!" seru Rasya frustrasi. "Aku nggak mau kamu stres! Tugasku membereskan masalah, bukan membebani kamu!""TAPI KITA PARTNER!"Teriakan Aurora menggema di ruangan luas itu, memotong pembelaan Rasya."Kamu lupa telepon kita m
Wajah Rasya yang tadi penuh amarah, seketika pucat pasi begitu melihat siapa yang baru saja masuk."Aurora?" bisik RasyaPemandangan di dalam sana kacau.Meja rapat penuh dengan kertas berserakan. Peta proyek Prestige terbentang, ditimpa oleh dokumen-dokumen invoice mata uang asing (Poundsterling).Dan Rasya...Rasya duduk di ujung meja. Kemejanya yang tadi pagi rapi kini lengan bajunya digulung berantakan. Dasinya sudah longgar. Wajahnya tampak lelah dan tertekan, jauh dari wajah segar yang ia tampilkan tadi pagi.Aurora berdiri mematung. Wajahnya pias, air mata menggenang di pelupuk matanya. Rasya melihat mata istrinya yang merah, dan ia melihat Raka yang menunduk pasrah.Rasya tahu. Ia tahu Aurora sudah tahu."Aurora... Ada apa?" tanya Rasya, berjalan memutari meja mendekati Aurora. "Kamu nggak ngabarin mau kes—"TAK!Suara tablet yang dibanting Aurora ke atas meja marmer memotong kalimat Rasya. Layar tablet itu menyala, menampilkan email pembatalan dari Paris.Langkah Rasya terh
Aurora turun dari mobil di lobi gedung pencakar langit itu. Wajahnya keras, kacamata hitam menutupi matanya yang sembab, menyembunyikan badai emosi di baliknya. "Terima kasih Hana, kamu langsung balik ke butik aja," perintah Aurora sebelum menutup pintu mobil. "Urus para staf. Bilang ke mereka jangan panik dulu. Dan kamu kerja aja seperti biasa." "Ba-baik, Bu," cicit Hana, lalu mobil itu melaju pergi. Aurora melangkah masuk. Security lobi yang sudah mengenalnya segera membukakan akses menuju Private Elevator. Aurora mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, lalu masuk. Ia menekan tombol lantai 42. Di dalam lift yang bergerak naik, Aurora mengepalkan tangannya, mencoba menahan gemuruh di dada. Ia sudah menyusun kalimat di kepalanya. Ia akan menuntut transparansi. Ting. Pintu lift terbuka. Berbeda dengan lobi yang sibuk, lantai eksekutif ini jauh lebih tenang. Tidak ada orang berlalu-lalang. Hanya ada deretan ruangan kaca kedap suara dan meja sekretariat di bagian tengah.
Matahari Senin bersinar cerah, secerah suasana hati pasangan di dalam sedan hitam mewah itu.Mobil Rasya berhenti mulus tepat di depan lobi butik. Rasya menoleh ke arah Aurora, senyumnya tidak pernah luntur sejak bangun tidur tadi. Efek "servis spesial" semalam benar-benar ampuh. Rasya terlihat sepuluh tahun lebih muda, segar, dan aura dominannya memancar positif."Nanti sore aku usahakan jemput jam lima teng," janji Rasya, tangannya masih enggan melepaskan jemari Aurora. "Kalau meeting nanti selesai cepet, kita bisa dinner di luar. Mau?"Aurora mengangguk antusias, wajahnya juga tampak fresh dan merona alami."Mau banget. Di tempat biasa ya, Mas?"Rasya terkekeh pelan. "Apapun buat kamu, Baby."Rasya memajukan wajahnya. Aurora menyambutnya. Mereka berciuman cukup lama untuk ukuran perpisahan di pinggir jalan—ciuman yang hangat, intim, dan menyiratkan bahwa mereka sedang dalam fase terbaik pernikahan mer
Gerakan Aurora semakin intens, seolah ia sudah hafal setiap titik sensitif suaminya. Napas Rasya tercekat, seluruh otot perut dan pahanya menegang kaku menahan gejolak yang mau meledak."Aurora... berhenti," racau Rasya panik, merasakan gelombang kenikmatan itu sudah mencapai puncaknya. Instingnya berteriak untuk tidak menumpahkannya di dalam mulut istrinya. Itu terlalu... kotor untuk Aurora."Lepas, Baby... Aku mau keluar..."Rasya mencoba mundur, tangannya mencengkeram bahu Aurora untuk menjauhkannya.Namun, Aurora justru mempererat cengkeramannya di paha Rasya. Ia menggeleng dalam dekapan paha suaminya, menolak melepaskan. Tatapannya menantang, seolah berkata: Berikan semuanya padaku.Detik berikutnya, pertahanan Rasya hancur lebur."Arghhh! Aurora! Shit!"Rasya menghentak kuat, pinggulnya terangkat tinggi dari kasur saat pelepasan itu menghantamnya dengan dahsyat. Gerakan tiba-tiba itu membuat miliknya mendesak masuk lebih dalam ke tenggorokan Aurora.Aurora membelalak, m







