Share

Terlahir Kembali Menjadi Dewa Perang
Terlahir Kembali Menjadi Dewa Perang
Penulis: Mawar Mariani

1. Kekalahan

Riuh kendaraan bersenjata berdengung. Pria dengan baju pertahanan lengkap melindungi wilayahnya. Ia tidak meloloskan anak didiknya untuk membongkar strategi. Namun, kesalahan terjadi membuat arena latihan perang membludak. Asap mulai berterbangan. Baron Arsenio, pimpinan perang pasukan rahasia, menarik kerah baju dua anak didiknya.

Kekacauan di arena itu merusak beberapa fasilitas. Akan tetapi ruangan yang memiliki sistem canggih tersebut memadamkan kebakaran di dalamnya. Desain yang seperti asli hampir membuat mereka berlarian tanpa arah.

"Pak, bagaimana selanjutnya?" tanya salah satu dari mereka seraya mengatur pernapasan.

"Minggu depan kita gunakan arena luar," sahut Baron berjalan menuju pintu keluar.

Ia bersyukur tidak ada korban jiwa dari peledakan granat yang berbahaya. Meski ia tak menunjukkan sikapnya yang ramah, Baron lebih peka. Ia kembali berdiri di hadapan anak muridnya.

"Latihan tadi sangat bagus. Memang kita diwajibkan mengorbankan nyawa, tapi jika ada kemungkinan waktu menyelamatkan diri sebaiknya kalian harus melakukannya. Kenapa? Karena masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan kita." Pandangannya menatap langit-langit.

"Terima kasih, Pak. Kami akan mengingat nasihat anda," sela murid perempuan dengan wajah ceria.

"Syukurlah kalian baik-baik saja. Aku yakin kalian bisa lebih baik dari ini untuk latihan besok." Tiba-tiba ponselnya berdering. Tugas dadakan lagi. "Sampai jumpa di latihan besok," pamitnya menuju markas utama.

Mengingat tugas barunya begitu rumit, ia sudah siap seperti biasa. Akan tetapi, strategi pertempuran diatur pemerintah. Meskipun ia punya rencana untuk menyiapkan taktik sendiri, Baron harus menerima pendapat itu mau atau tidak. Sehari sebelumnya terjadi percekcokan karena perbenturan pendapat. Tujuannya mengabdi dimanfaatkan pemerintah agar Baron mengikuti perintah tersebut.

Setibanya di ruangan markas, Baron di hadapkan beberapa jenis senjata terbaru dan eklusif. Tatapannya kosong tak tertarik benda di depannya itu.

"Kau sudah siap dengan aksimu malam ini, Baron?"

"Tidak usah dipertanyakan lagi. Apa maksudmu dengan semua ini?" tanyanya balik sembari mengangkat salah satu senjata bergantian.

"Hadiah." Perlahan kakinya mendekat dan tangan kirinya merangkul pundak Baron. "Kau bisa membuang pistol lamamu itu. Lihat, begitu kerennya mereka. Bawalah salah satu untuk pertarunganmu malam ini."

Baron pun mengikuti saran darinya. Tanpa butuh waktu lama senjata yang sering digunakan Baron direbut paksa. 'Benda ini cukup merepotkan. Aku sangat menantikan kematianmu.'

Mengetahui senjatanya diambil, Baron menarik kerah baju perwakilan pemerintah. "Kembalikan itu padaku. Kau tidak berhak membuang semua kenangan dan perjuanganku—"

"Ada apa ini?" serobot presiden.

Melihat pemimpin tertinggi di negara, nyali Baron ciut. Ia melepaskan genggamannya lalu mendorong pria tersebut. "Tidak seharusnya dia berniat membuang senjata saya 'kan, Pak?" Baron butuh validasinya.

Sayangnya pertanyaannya diacuhkan. Pria berambut hitam itu duduk di kursi utama sembari menjawab, "Itu tidak penting lagi, Baron. Kita butuh skill luar biasamu itu untuk membasmi para sampah dengan cepat."

Tangannya mengepal kesal. Pernyataan itu diluar ekspektasinya. Bagaimana tidak seorang presiden kontra atas pendapatnya. Seakan semua pengorbanannya hanyalah gurauan.

"Sebenarnya siapa sampahnya di sini?" Baron terpaksa mengikhlaskan senjatanya walaupun berat. Ia mengambil pistol yang menurutnya cocok.

Bibirnya tersenyum smirk. "Simpan kalimatmu itu, jika kau berhasil menyelesaikan tugas."

Baron tak menggubrisnya. Sejenak ia merasa orang-orang mulai tak sejalan dengannya. Selain kelebihannya yang bisa bertarung, ia bisa meredam amarahnya. Bola matanya melirik layar ponsel untuk informasi terbaru. Ritme jalannya lebih cepat. Dalam waktu lima menit ia keluar dari bangunan kokoh itu. Sebuah helikopter menunggu keberangkatannya.

Wajah Baron tak menunjukkan ekspresi apapun. Tatapan matanya kosong kembali. Perjalanan menuju bandara tidak lama. Ia mematikan ponselnya, mengecek segala persiapan duel malam ini. Pikirannya masih berada pada senjata kesayangannya.

"Bisa-bisanya dia berkata semua itu tidak penting. Cih, bukankah itu sama saja dia tidak peduli dengan perjuanganku untuk negara? Ah, Baron lupakanlah. Cukup fokus pertarungan malam ini," batin Baron sesekali ingin menekan pelatuk pistol.

Udara malam terasa berbeda. Ia memperhatikan lautan manusia memenuhi bandara. Layaknya masyarakat normal ia memesan bangku kelas ekonomi yang sudah disiapkan sebelumnya. Penyamaran Baron selalu berhasil. Akan tetapi, orang-orang yang berusaha melenyapkan nyawanya itu sudah memberikan ciri sekaligus meletakkan detektor untuk mengetahui keberadaan Baron.

Dengan tatapan waswas, Baron memperhatikan sekelilingnya. Pesawat yang dinaikinya diisi mayoritas perempuan hamil, anak-anak dan lansia. Ia berpikir setelah pendaratan pesawat, ia bisa menemukan musuhnya tersebut. Ternyata perkiraannya salah besar. Ia ingat kalau musuhnya berada di dalam pesawat yang sama. Hal tersebut membuatnya tak tenang, ditambah ia tak ingin mengganggu para penumpang.

Namun, musuh membuat tanda-tanda. Pria dengan seragam hitam lengkap menggertak salah satu penumpang. Mereka sempat berkelahi satu sama lain. Emosi Baron pun meluap-luap.

"Beraninya dengan seorang wanita. Panggilan yang cocok untukmu yaitu sampah!" Baron melayangkan bogem pada pria itu. Sekali pukulan saja cukup menumbangkan musuhnya. Gerakannya yang begitu cepat tak membuat musuhnya bergerak dalam waktu singkat.

Lalu, dari arah berlawanan terdengar tepukan tangan. Baron membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya ketika menjumpai wajah anak didiknya.

"Saya akui anda memang kuat, Pak Baron. Tapi, ini akhir riwayat anda." Ia mengarahkan ujung pistol ke arah Baron. Diikuti semua orang, termasuk penumpang. "Katakan kalimat terakhir anda," sambungnya.

Ia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya itu. "Kenapa? Apa pengabdianku pada negara belum cukup?"

Mereka tidak menjawab. Hanya suara pistol terdengar dengar jelas di telinganya. Ia tak bisa membalas tembakan itu. Segalanya tentang sebuah kenangan. Sesulit apapun jalan takdirnya, ia tidak akan menyakiti orang tersayang.

"Sudah saatnya anda beristirahat." Tangan kirinya memberi sebuah isyarat.

Semua orang menembak ke arahnya dengan serentak. Baron tak bisa menghindarinya. Walau memiliki senjata sebagus apapun jika ia terjebak, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak punya nyali untuk membunuh mereka yang sebagai penumpang.

Darah bercucuran membasahi baju perangnya. Tangannya spontan melepas besi baja yang dijadikan tameng di balik baju perang. Hal gila itu terjadi tanpa ia sadari. Selang lima menit, tubuhnya ambruk. Baron masih tidak mengerti apa yang ia hadapi saat itu. Ia tak memiliki kekuatan lagi bahkan untuk bangkit. Baron yang tidak berdaya kemudian diseret dan ditendang dari pesawat yang belum landas.

Ia masih tidak menyangka kematiannya berakhir menyedihkan. Banyak pertanyaan di kepalanya tapi tak ada jawaban. Tidak mungkin bila presiden yang merencanakan kematiannya. Tubuhnya tertarik kuat dengan gravitasi. Bola matanya tak menjumpai pesawat itu lagi.

"Hari ini kematianku. Apa aku sudah melaksanakan tugas dengan benar? Akhirnya semua sudah berakhir. Tapi, siapa pelaku dari kematianku ini?" Air matanya membasahi pipi. "Sudah seharusnya yang hidup akan mati."

Boom! Badan Baron terpental keras ke permukaan tanah. Bagian punggungnya tertancap batu lancip hingga Baron tidak bisa menghirup udara. Letak mayatnya yang tidak strategis membuat semua orang lupa akan tentangnya.

Rencana presiden berhasil tanpa kesalahan sedikit pun. Ia juga sudah menyiapkan surat wasiat palsu untuk mengelabuhi kematian Baron dari masyarakat. Gaya hidup yang hedonisme membuatnya buta akan dunia, mendapatkan apapun termasuk membunuh pimpinan perang yang menjadi andalan serta ditakuti para mafia. Semenjak malam itu perubahan besar terjadi, termasuk penghasilan pendapatan masyarakat. Mereka melanjutkan pesta atas kematian Baron saat itu juga.

Aroma anyir darah Baron mulai terendus para hewan liar. Tubuh perkasanya dijadikan menu utama bagi predator penghuni hutan itu. Dunia seolah-olah memihak pada kejahatan. Semua yang sudah terlewati hanya menjadi sebuah kisah tak tertulis.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status