Riuh kendaraan bersenjata berdengung. Pria dengan baju pertahanan lengkap melindungi wilayahnya. Ia tidak meloloskan anak didiknya untuk membongkar strategi. Namun, kesalahan terjadi membuat arena latihan perang membludak. Asap mulai berterbangan. Baron Arsenio, pimpinan perang pasukan rahasia, menarik kerah baju dua anak didiknya.
Kekacauan di arena itu merusak beberapa fasilitas. Akan tetapi ruangan yang memiliki sistem canggih tersebut memadamkan kebakaran di dalamnya. Desain yang seperti asli hampir membuat mereka berlarian tanpa arah."Pak, bagaimana selanjutnya?" tanya salah satu dari mereka seraya mengatur pernapasan."Minggu depan kita gunakan arena luar," sahut Baron berjalan menuju pintu keluar.Ia bersyukur tidak ada korban jiwa dari peledakan granat yang berbahaya. Meski ia tak menunjukkan sikapnya yang ramah, Baron lebih peka. Ia kembali berdiri di hadapan anak muridnya."Latihan tadi sangat bagus. Memang kita diwajibkan mengorbankan nyawa, tapi jika ada kemungkinan waktu menyelamatkan diri sebaiknya kalian harus melakukannya. Kenapa? Karena masih banyak orang yang membutuhkan pertolongan kita." Pandangannya menatap langit-langit."Terima kasih, Pak. Kami akan mengingat nasihat anda," sela murid perempuan dengan wajah ceria."Syukurlah kalian baik-baik saja. Aku yakin kalian bisa lebih baik dari ini untuk latihan besok." Tiba-tiba ponselnya berdering. Tugas dadakan lagi. "Sampai jumpa di latihan besok," pamitnya menuju markas utama.Mengingat tugas barunya begitu rumit, ia sudah siap seperti biasa. Akan tetapi, strategi pertempuran diatur pemerintah. Meskipun ia punya rencana untuk menyiapkan taktik sendiri, Baron harus menerima pendapat itu mau atau tidak. Sehari sebelumnya terjadi percekcokan karena perbenturan pendapat. Tujuannya mengabdi dimanfaatkan pemerintah agar Baron mengikuti perintah tersebut.Setibanya di ruangan markas, Baron di hadapkan beberapa jenis senjata terbaru dan eklusif. Tatapannya kosong tak tertarik benda di depannya itu."Kau sudah siap dengan aksimu malam ini, Baron?""Tidak usah dipertanyakan lagi. Apa maksudmu dengan semua ini?" tanyanya balik sembari mengangkat salah satu senjata bergantian."Hadiah." Perlahan kakinya mendekat dan tangan kirinya merangkul pundak Baron. "Kau bisa membuang pistol lamamu itu. Lihat, begitu kerennya mereka. Bawalah salah satu untuk pertarunganmu malam ini."Baron pun mengikuti saran darinya. Tanpa butuh waktu lama senjata yang sering digunakan Baron direbut paksa. 'Benda ini cukup merepotkan. Aku sangat menantikan kematianmu.'Mengetahui senjatanya diambil, Baron menarik kerah baju perwakilan pemerintah. "Kembalikan itu padaku. Kau tidak berhak membuang semua kenangan dan perjuanganku—""Ada apa ini?" serobot presiden.Melihat pemimpin tertinggi di negara, nyali Baron ciut. Ia melepaskan genggamannya lalu mendorong pria tersebut. "Tidak seharusnya dia berniat membuang senjata saya 'kan, Pak?" Baron butuh validasinya.Sayangnya pertanyaannya diacuhkan. Pria berambut hitam itu duduk di kursi utama sembari menjawab, "Itu tidak penting lagi, Baron. Kita butuh skill luar biasamu itu untuk membasmi para sampah dengan cepat."Tangannya mengepal kesal. Pernyataan itu diluar ekspektasinya. Bagaimana tidak seorang presiden kontra atas pendapatnya. Seakan semua pengorbanannya hanyalah gurauan."Sebenarnya siapa sampahnya di sini?" Baron terpaksa mengikhlaskan senjatanya walaupun berat. Ia mengambil pistol yang menurutnya cocok.Bibirnya tersenyum smirk. "Simpan kalimatmu itu, jika kau berhasil menyelesaikan tugas."Baron tak menggubrisnya. Sejenak ia merasa orang-orang mulai tak sejalan dengannya. Selain kelebihannya yang bisa bertarung, ia bisa meredam amarahnya. Bola matanya melirik layar ponsel untuk informasi terbaru. Ritme jalannya lebih cepat. Dalam waktu lima menit ia keluar dari bangunan kokoh itu. Sebuah helikopter menunggu keberangkatannya.Wajah Baron tak menunjukkan ekspresi apapun. Tatapan matanya kosong kembali. Perjalanan menuju bandara tidak lama. Ia mematikan ponselnya, mengecek segala persiapan duel malam ini. Pikirannya masih berada pada senjata kesayangannya."Bisa-bisanya dia berkata semua itu tidak penting. Cih, bukankah itu sama saja dia tidak peduli dengan perjuanganku untuk negara? Ah, Baron lupakanlah. Cukup fokus pertarungan malam ini," batin Baron sesekali ingin menekan pelatuk pistol.Udara malam terasa berbeda. Ia memperhatikan lautan manusia memenuhi bandara. Layaknya masyarakat normal ia memesan bangku kelas ekonomi yang sudah disiapkan sebelumnya. Penyamaran Baron selalu berhasil. Akan tetapi, orang-orang yang berusaha melenyapkan nyawanya itu sudah memberikan ciri sekaligus meletakkan detektor untuk mengetahui keberadaan Baron.Dengan tatapan waswas, Baron memperhatikan sekelilingnya. Pesawat yang dinaikinya diisi mayoritas perempuan hamil, anak-anak dan lansia. Ia berpikir setelah pendaratan pesawat, ia bisa menemukan musuhnya tersebut. Ternyata perkiraannya salah besar. Ia ingat kalau musuhnya berada di dalam pesawat yang sama. Hal tersebut membuatnya tak tenang, ditambah ia tak ingin mengganggu para penumpang.Namun, musuh membuat tanda-tanda. Pria dengan seragam hitam lengkap menggertak salah satu penumpang. Mereka sempat berkelahi satu sama lain. Emosi Baron pun meluap-luap."Beraninya dengan seorang wanita. Panggilan yang cocok untukmu yaitu sampah!" Baron melayangkan bogem pada pria itu. Sekali pukulan saja cukup menumbangkan musuhnya. Gerakannya yang begitu cepat tak membuat musuhnya bergerak dalam waktu singkat.Lalu, dari arah berlawanan terdengar tepukan tangan. Baron membalikkan badannya. Alangkah terkejutnya ketika menjumpai wajah anak didiknya."Saya akui anda memang kuat, Pak Baron. Tapi, ini akhir riwayat anda." Ia mengarahkan ujung pistol ke arah Baron. Diikuti semua orang, termasuk penumpang. "Katakan kalimat terakhir anda," sambungnya.Ia masih tidak mempercayai apa yang dilihatnya itu. "Kenapa? Apa pengabdianku pada negara belum cukup?"Mereka tidak menjawab. Hanya suara pistol terdengar dengar jelas di telinganya. Ia tak bisa membalas tembakan itu. Segalanya tentang sebuah kenangan. Sesulit apapun jalan takdirnya, ia tidak akan menyakiti orang tersayang."Sudah saatnya anda beristirahat." Tangan kirinya memberi sebuah isyarat.Semua orang menembak ke arahnya dengan serentak. Baron tak bisa menghindarinya. Walau memiliki senjata sebagus apapun jika ia terjebak, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tak punya nyali untuk membunuh mereka yang sebagai penumpang.Darah bercucuran membasahi baju perangnya. Tangannya spontan melepas besi baja yang dijadikan tameng di balik baju perang. Hal gila itu terjadi tanpa ia sadari. Selang lima menit, tubuhnya ambruk. Baron masih tidak mengerti apa yang ia hadapi saat itu. Ia tak memiliki kekuatan lagi bahkan untuk bangkit. Baron yang tidak berdaya kemudian diseret dan ditendang dari pesawat yang belum landas.Ia masih tidak menyangka kematiannya berakhir menyedihkan. Banyak pertanyaan di kepalanya tapi tak ada jawaban. Tidak mungkin bila presiden yang merencanakan kematiannya. Tubuhnya tertarik kuat dengan gravitasi. Bola matanya tak menjumpai pesawat itu lagi."Hari ini kematianku. Apa aku sudah melaksanakan tugas dengan benar? Akhirnya semua sudah berakhir. Tapi, siapa pelaku dari kematianku ini?" Air matanya membasahi pipi. "Sudah seharusnya yang hidup akan mati."Boom! Badan Baron terpental keras ke permukaan tanah. Bagian punggungnya tertancap batu lancip hingga Baron tidak bisa menghirup udara. Letak mayatnya yang tidak strategis membuat semua orang lupa akan tentangnya.Rencana presiden berhasil tanpa kesalahan sedikit pun. Ia juga sudah menyiapkan surat wasiat palsu untuk mengelabuhi kematian Baron dari masyarakat. Gaya hidup yang hedonisme membuatnya buta akan dunia, mendapatkan apapun termasuk membunuh pimpinan perang yang menjadi andalan serta ditakuti para mafia. Semenjak malam itu perubahan besar terjadi, termasuk penghasilan pendapatan masyarakat. Mereka melanjutkan pesta atas kematian Baron saat itu juga.Aroma anyir darah Baron mulai terendus para hewan liar. Tubuh perkasanya dijadikan menu utama bagi predator penghuni hutan itu. Dunia seolah-olah memihak pada kejahatan. Semua yang sudah terlewati hanya menjadi sebuah kisah tak tertulis.***Dewa langit begitu senang karena ada kematian seorang jenderal perang. Ia membaca riwayat kehidupan Baron. Tangannya mencengkram kuat selimutnya. "Orang-orang licik ini menyebalkan. Beraninya mereka melanjutkan estafet kejahatan dunia." Obsesi mengenai jendral perang membuat ia mempertimbangkan setiap kematian pahlawan sesungguhnya. Namun, selalu saja usahanya gagal mencetak jendral perang seperti keinginannya.Perkumpulan para dewa selalu dijadikan dewa langit untuk meminta izin terlebih kepada dewi kehidupan. Kali ini argumen akan berhasil. Ia menunggu waktu tepat menyampaikan niatannya.Melihat gerak-gerik yang mencurigakan dewi kehidupan mendekatinya. Padahal dewa langit berusaha menahan diri. Saat dewi hendak duduk disebelahnya, ia mengembangkan senyum ke arahnya."Aku bisa mengetahui niatanmu. Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanyanya memulai pembicaraan."Aku ingin kau menghidupkan kembali manusia yang bernama Baron Arsenio. Kejahatan di dunia harus dihapuskan—""Apa maksud
"Kenapa anda memilih saya untuk menjalankan misi tersebut jika saya menerima tawaran anda?" Baron mereka-reka setiap jawaban yang diterimanya dan mempertimbangkan kembali saat mendengar persyaratan itu."Pertanyaanmu cukup bagus. Sebelumnya aku pernah mengirim seorang jenderal bahkan pembunuh terhebat tapi tidak ada satupun dari mereka yang berhasil menjalankan misi itu. Tak sedikit diantara mereka yang fokus pada duniawi." Bola matanya melirik ke arah Baron. "Aku sudah memberitahu jawabanku, sekarang giliranmu."Padahal ia berharap ingin hidup seperti masyarakat biasa bila dirinya mendapatkan kesempatan hidup kedua. Tetapi, semua berjalan tak sesuai prediksi. Lagi-lagi ia menjalani hidup sebagai tameng perang. Kalau dirinya tak bisa menyelamatkan orang lain maka semua sia-sia. Banyak orang yang akan merasakan apa yang ia alami di masa lalu. Seharusnya istri dan bayinya itu masih ada. Tetapi waktu terus berjalan dan menyisakan semangatnya hingga kini."Baik. Saya terima tawaran anda—
Leo mengamati senjata itu baik-baik. "Dulu ada seorang yang berjasa di negara ini. Kebaikan yang dilakukannya membuat masyarakat menyambut seusai dia pulang dari perang. Sayangnya pemerintah terlalu ceroboh, mereka membiarkan negara hancur demi sebuah harta. Yah, dia membunuh pahlawan itu tapi pemerintah sengaja menutupi kasus itu. Jika kau ingin tahu siapa namanya, dia adalah Baron Arsenio."Degup jantungnya terpompa cepat. Ia tidak percaya masih ada orang yang mengingat dirinya. Sejenak ia membeku. 'Yang disebut pria ini adalah aku. Apa maksud dari semua ini?' Bak sebuah kejutan, Aron bertanya terang-terangan sebelum memastikannya dalam buku sejarah. "Apa ayah menginginkanku seperti dia?" Pertanyaan itu tak bisa direm. Tubuhnya menolak bekerjasama dengan pikirannya."Aku tidak ingin menyuruhmu seperti orang lain. Tapi sebagai keluarga Smith kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo melepas semua pakaiannya hingga tersisa celana pendek yang menutupi area sensi
Emily tak yakin kalau Aron serius dengan kalimatnya. "Apa tidak apa-apa jika melibatkan dia dalam situasi ini?""Seharusnya kau tidak perlu mengetahui sejauh ini." Leo mengecup kening istrinya. Ia tak ingin membuat sang istri memiliki beban pikiran. Terpaksa Leo menggunakan cara lama untuk menenangkannya.Di tempat lain, bukannya Aron beristirahat. Ia sibuk mencari taktik yang begitu sulit. Untungnya ia memiliki ruangan pribadi yang terdapat perpustakaan. Ia mempelajari di buku, sesekali menerapkan teknik tersebut.Hari ini ia sengaja menguras habis tenaganya. Napasnya terengah-engah dengan pandangan ke atas. Aron berharap waktu berjalan lebih cepat. Semenit kemudian, ia menatap keluar jendela. Aron bergegas melihat pemandangan di luar lebih jelas."Aku harus bertahan sebulan lagi." Tangannya menggenggam erat besi pembatas itu. "Tidak aku biarkan ayah berjuang sendirian."Di saat Aron memikirkan sebuah ide, seseorang mengetuk pintunya. Ia tidak bisa menebak siapakah orang itu. Namun,
Baru memasuki batas kota Luxury, Aron menjumpai pria dengan pakaian mewah tak lupa mobil mustang keluaran terbaru, tengah memarahi seorang gadis dan ibunya."Apa-apaan itu? Tolong hentikan mobilnya," perintah Aron sembari membuka kaca jendela mobil.Max mengintip keadaan di luar. Tentu saja ia geram dengan pria arogan itu. "Tuan, itu gadis yang saya maksud. Emm.... Sepertinya dia dalam bahaya," ucap Max yang bersimpati pada gadis itu."Bukan sepertinya lagi, dia memang dalam bahaya." Aron menoleh ke arah Max. "Apa kau akan diam dan menonton saja?""Eh? A–apa anda memberi izin untuk menyelamatkan gadis itu?" tanyanya gelagapan. Ritme detak jantung Max mulai tidak terkendali."Tunggu apalagi?" Tatapan Aron sinis. "Aku akan melihat aksi drama percintaan kalian," godanya dengan kegirangan. Di sisi lain Aron memiliki rencana setelah menyelamatkan gadis itu. Tentunya Aron selalu memprioritaskan segala apapun mengenai misinya.Max salah tingkah. Kali ini ia bisa menjadi pahlawan untuk gadis
Setibanya di kediaman Smith, langit sudah gelap. Leo dan Emily menyambutnya, sayangnya Aron masih belum bangun dari tidurnya. Max mengangkat tubuh Aron menuju kamar. Sementara Angela berdiri mematung."Max, siapa gadis ini?" tanya Emily. Wajah gadis itu seperti familiar, kakinya memberanikan mendekat."Angela Melodi. Silahkan perkenalkan dirimu, Nona. Kalau begitu saya akan mengantarkan tuan muda ke kamarnya—""Tidak perlu, Max," selanya lalu Leo menjentikkan jarinya setelah itu muncullah bodyguard lain. "Antar Aron ke tempat tidurnya.""Baik, Tuan." Pria itu bergegas melaksanakan tugasnya.Kini tinggal mereka yang tengah berkumpul di ruang tamu. Leo menebak kalau semua ini dilakukan atas perintah Aron. padahal baru sehari saja anaknya itu dia latih malah membuat kejutan.Setelah pria tadi mengantar Aron, barulah Leo mengajukan pertanyaan lagi. "Jadi, apa tujuan semua ini?""Izinkan kami menikah, Tuan," jawab Max tanpa basa-basi. Ia juga tidak menyudutkan nama Aron dalam hal ini, mesk
Aron menunggu sampai langit terang. Pagi sekali, ia sudah membersihkan diri, mengenakan pakaian rapi. Jemarinya bermain di atas meja sangking bosannya. Jarinya mulai menekan tombol membuka jendela. Pemandangan di depannya masih tidak berubah. Andai saja ia bisa mempercepat latihan tapi Aron sudah meminta durasi waktu yang cukup cepat.Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Max. Bodyguard itu tak menjelaskan melalui ponsel. Semenit kemudian pria itu menghampirinya tentu saja tak sendiri."Tuan Aron, saya datang," sapa Max membelakangi Leo.Aron tersenyum lugu. Sudah diduga ayahnya akan ikut Max. Kakinya berjalan menuju kasur dan melempar diri. "Bukannya hari ini ayah ada tugas?""Apa maksudmu soal pernikahan Max dengan Nona Angela?" tanyanya balik menjerumus inti pembahasan."Haruskah itu menjadi persoalan bagi ayah?" Bola mata Aron melirik ke arah Max. "Aku hanya membantu kak Max untuk menikahi gadis idamannya. Apa itu salah?" Aron tidak meninggikan intonasi suaranya.
Tidak lama ponsel keduanya berdering. Notifikasi yang sama mengisi layar ponsel mereka. Bibirnya bisa tersenyum puas. "Selamat, kak Max! Akhirnya kau bisa menikahi gadis idamanmu.""Terima kasih, Tuan Aron." Bola matanya berkaca-kaca. Keduanya saling berpelukan. Aron yang sudah menjelaskan tujuannya, sedikit merasa tenang karena ia tidak menyembunyikan sesuatu lagi meski ia sulit percaya kepada orang lain. Tetapi, Aron bisa mempercayai keduanya karena ketulusan itu. Aron meregangkan pelukan yang sempat melingkar di pinggang Max. Hari ini ia akan fokus dengan latihannya. Sementara di tempat lain, Emily memiliki kesibukan sendiri. Merawat seorang anak perempuan adalah cita-cita dari dulu. Pernikahan itu akan digelar besok. Kebetulan hari di bulan itu merupakan hari yang bagus. itu sebabnya Leo menyetujui pernikahan Max dengan Angela yang mendadak.Meski sebelumnya tidak ada komunikasi maupun pengenalan diri satu sama lain Max percaya itu bisa dilakukannya setelah upacara pernikahan usa