Share

4. Permulaan

Leo mengamati senjata itu baik-baik. "Dulu ada seorang yang berjasa di negara ini. Kebaikan yang dilakukannya membuat masyarakat menyambut seusai dia pulang dari perang. Sayangnya pemerintah terlalu ceroboh, mereka membiarkan negara hancur demi sebuah harta. Yah, dia membunuh pahlawan itu tapi pemerintah sengaja menutupi kasus itu. Jika kau ingin tahu siapa namanya, dia adalah Baron Arsenio."

Degup jantungnya terpompa cepat. Ia tidak percaya masih ada orang yang mengingat dirinya. Sejenak ia membeku. 'Yang disebut pria ini adalah aku. Apa maksud dari semua ini?' Bak sebuah kejutan, Aron bertanya terang-terangan sebelum memastikannya dalam buku sejarah.

"Apa ayah menginginkanku seperti dia?" Pertanyaan itu tak bisa direm. Tubuhnya menolak bekerjasama dengan pikirannya.

"Aku tidak ingin menyuruhmu seperti orang lain. Tapi sebagai keluarga Smith kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo melepas semua pakaiannya hingga tersisa celana pendek yang menutupi area sensitifnya. "Sekarang lepas pakaianmu. Kita akan mulai latihan."

Aron mengira ini hal mudah, tapi tidak. Tubuhnya masih belum bisa terbiasa dengan berbagai kondisi. Kulitnya mulai merinding. Ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Leo mengajaknya melakukan pemanasan terlebih dahulu. Mengitari setiap sudut ruangan bawah tanah. Keringat dan hawa panas menghilangkan rasa dingin perlahan. Setelah dirasa cukup barulah Leo mulai memberikan sebuah gerakan bela diri.

"Ikuti aku, Aron. Aku tidak akan mengulanginya. Harap kau ingat," pungkasnya.

Ia mengangguk. Bola matanya dilebarkan sembari mengingat gerakan yang ia ikuti. Selang satu jam kemudian, Leo menghentikan gerakannya. Kemudian menatap Aron dengan ganas. Seperti anak pada umumnya, Aron menundukkan kepala saat ayahnya terlihat marah.

Posisi Leo tegak. Aron bisa mencium aroma keringat bertebaran. Ia menebak ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengannya.

"Karena kau setuju dengan permintaanku. Aku akan memberitahu segalanya. Kenakan dulu pakaianmu," tintanya sembari mengenakan pakaiannya.

Sejauh ini, Aron menuruti setiap perintah Leo. Walaupun sedikit aneh dengan perubahan sikap sang anak, Leo bisa mempercayai Aron sepenuhnya. Walaupun latihan itu sedikit terlambat, tapi Aron masih berkesempatan menjadi penerusnya.

Ia mengambil sebuah kertas di dalam laci. Ia mengibaskan sedikit agar debu tak mengotori tulisannya. Leo menoleh ke arah Aron, anak prianya itu sudah selesai mengenakan pakaiannya kembali. "Kemarilah," titahnya.

Aron segera mendekat. "Ayah ingin menunjukkan apa?" tanyanya memperhatikan kertas yang ada di atas meja.

"Sebelumnya aku sudah memberitahumu kalau kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo menghela napasnya. "Kalau dipikir-pikir meski kita mendapatkan gelar seorang bangsawan bukan berarti kita tidak memiliki tugas penting, bukankah itu merepotkan? Memang tidak sedikit para bangsawan menyalahgunakan keistimewaannya itu. Keluarga Smith menjaga keseimbangan negara setelah tuan Baron meninggal. Itu mengapa ayahku dulu mengajariku taktik perang dengan latihan seperti ini. Sebab, tugas kami menyingkirkan para pejabat yang rakus akan harta," jelasnya lalu kepala mendongak. "Andai saja tuan Baron bekerjasama dengan kita. Pasti akan menjadi kolaborasi yang bagus."

"Ayah bisa mempercayaiku," balas Aron penuh percaya diri.

"Apakah kau bisa berlatih dengan fasih selama setahun?" tanya Leo.

"Aku butuh waktu satu bulan untuk mengalahkan ayah." Aron menundukkan kepalanya. Untung saja lengan jas menutupi sampai pergelangan tangannya, sebab ototnya sudah mengeras di balik jas.

Walaupun Aron sudah melewati beberapa tahun, Atlantik masih tidak ada perubahan. Terlebih mendengar curhatan ayahnya itu mengubah pemikirannya lebih agresif. Untuk kedepannya ia tidak akan memberikan ampun kepada orang-orang itu.

Dalam waktu sebulan ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh agar lolos ujian dari ayahnya sendiri. Entah seperti apa ujiannya sebab Aron lah yang menantang Leo terlebih dahulu.

Pernyataan Aron itu menghasilkan guratan senyum di bibir Leo. Semangat itulah yang ia impikan selama sepuluh tahun terakhir. "Apa kau yakin? Selama ini aku tahu kau hanya bermalas-malasan dengan kegiatan studi." Leo meragukannya.

"Kita lihat saja hasil akhirnya, ayah." Sebaliknya, Aron malah semakin bersemangat. Sempat terpikir dalam benaknya, kenapa tidak dari awal keduanya saling bekerja sama satu sama lain. Ia mengembangkan senyum.

Tentu saja Leo tidak sabar akan tantangan tersebut. Bila Aron berhasil mengalahkannya dalam waktu sebulan, maka ia akan memberikan misi penting itu pada sang anak. Sebenarnya ia tidak ingin memaksa, tetapi keadaan mengharuskan Aron meneruskan misi tersebut.

Bola matanya melirik ke arah jarum jam. Untuk latihan pertama kalinya, Leo tidak melatih secara berlebihan. Setelah mengamati gerakan yang Aron tiru darinya, seakan tubuh anaknya itu sudah terbiasa dengan latihan fisik. Leo tahu kalau anaknya itu sering olahraga dengan rutin sampai tubuh Aron terbentuk.

"Aku harap kau tidak akan mengecewakanku. Kuterima tantangan darimu." Leo merangkul sesekali menepuk ujung bahu Aron.

"Baik, ayah." Aron bisa merasakan ayahnya dalam perasaan gembira. Tetapi, ia akan bertanggung jawab atas ucapannya tadi.

Setelah menaiki anak tangga yang cukup panjang, keduanya tiba di ujung pintu. Aron akan menyelidiki kembali apa yang sudah terjadi selama beberapa tahun yang lalu. Ia menatap pria di sampingnya.

"Ayah, bagaimana kau bisa melewati semua ini sendirian?" tanyanya sembari menatap ke arah berlawanan.

"Aku tidak tahu. Yang jelas melihat kebahagiaan orang lain sudah cukup," jawabnya singkat.

Alasannya sama seperti dirinya. Orang lain yang dimaksud adalah orang yang dilindunginya. Memberikan sebuah keadilan kepada orang lain dan bersikap ksatria sudah menjadi identitas pria berkualitas.

Aron menyusun rencana untuk persiapan kedepannya. Pelatih terbaik hanyalah Leo Smith, tidak ada guru pelatih selain ayahnya itu. Bahkan hanya ada beberapa pelayan yang bisa dihitung. Kehidupannya sederhana walau banyak fasilitas mewah di dalam rumah.

Ia merasa cukup untuk pertemuan pertama dengan sang ayah. Aron memutuskan ke kamarnya. Leo juga mengerti akan hal itu. Tentu saja ia permulaan. Aron belum mengetahui sepenuhnya mengapa negara sangat kacau lebih dari di kehidupan pertamanya. Ini bagian terburuk, saat itulah ia kembali menghadapi kekejaman dunia.

"Terima kasih untuk latihan hari ini, ayah. Semoga kedepannya aku bisa lebih dari ayah nantinya," kata Aron sebelum mereka berpisah ke ruangan masing-masing.

"Hahaha, kau bisa melawak juga." Tawa Leo tidak tertahan. Kemudian ia tersenyum setelah puas tertawa. "Aku yakin kau bisa melampauiku, Aron. Sekarang istirahatlah dan pulihkan tenagamu."

Aron mengangguk. Kakinya berlari bak seseorang yang merindukan kasurnya. Leo memandanginya sampai punggung Aron tak terlihat.

"Bocah itu mendadak aneh. Apa yang bisa mempengaruhi otaknya sampai setuju dengan tawaranku? Huh, dia selalu membuatku khawatir." Leo melirik jarum jam. Malam ini ia akan membantai banyak orang. Sangking fokusnya, Leo tidak memperhatikan istrinya.

Bruk! Kening itu menabrak dada bidang Leo. Tangannya bergerak cepat mengelus dahi Emily. "Kau baik-baik saja, Sayang?"

Emily mengangguk. "Di mana Aron? Bagaimana latihan pertama kalinya? Dia baik-baik saja, kan?"

"Kau mengajukan banyak pertanyaan. Tentu saja anak kita yang pintar bisa melakukannya dengan baik, sampai-sampai dia menantangku bisa menguasai bela diri dalam waktu sebulan," sahutnya.

"Kau tidak bercanda bukan? Apa itu artinya kalian akan berduel?" Satu pertanyaan lagi yang diajukannya.

"Sudah jelas, kenapa masih bertanya?" Jarinya menekan ujung dagu Emily.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status