Leo mengamati senjata itu baik-baik. "Dulu ada seorang yang berjasa di negara ini. Kebaikan yang dilakukannya membuat masyarakat menyambut seusai dia pulang dari perang. Sayangnya pemerintah terlalu ceroboh, mereka membiarkan negara hancur demi sebuah harta. Yah, dia membunuh pahlawan itu tapi pemerintah sengaja menutupi kasus itu. Jika kau ingin tahu siapa namanya, dia adalah Baron Arsenio."
Degup jantungnya terpompa cepat. Ia tidak percaya masih ada orang yang mengingat dirinya. Sejenak ia membeku. 'Yang disebut pria ini adalah aku. Apa maksud dari semua ini?' Bak sebuah kejutan, Aron bertanya terang-terangan sebelum memastikannya dalam buku sejarah."Apa ayah menginginkanku seperti dia?" Pertanyaan itu tak bisa direm. Tubuhnya menolak bekerjasama dengan pikirannya."Aku tidak ingin menyuruhmu seperti orang lain. Tapi sebagai keluarga Smith kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo melepas semua pakaiannya hingga tersisa celana pendek yang menutupi area sensitifnya. "Sekarang lepas pakaianmu. Kita akan mulai latihan."Aron mengira ini hal mudah, tapi tidak. Tubuhnya masih belum bisa terbiasa dengan berbagai kondisi. Kulitnya mulai merinding. Ruangan itu terasa lebih dingin dari sebelumnya.Leo mengajaknya melakukan pemanasan terlebih dahulu. Mengitari setiap sudut ruangan bawah tanah. Keringat dan hawa panas menghilangkan rasa dingin perlahan. Setelah dirasa cukup barulah Leo mulai memberikan sebuah gerakan bela diri."Ikuti aku, Aron. Aku tidak akan mengulanginya. Harap kau ingat," pungkasnya.Ia mengangguk. Bola matanya dilebarkan sembari mengingat gerakan yang ia ikuti. Selang satu jam kemudian, Leo menghentikan gerakannya. Kemudian menatap Aron dengan ganas. Seperti anak pada umumnya, Aron menundukkan kepala saat ayahnya terlihat marah.Posisi Leo tegak. Aron bisa mencium aroma keringat bertebaran. Ia menebak ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengannya."Karena kau setuju dengan permintaanku. Aku akan memberitahu segalanya. Kenakan dulu pakaianmu," tintanya sembari mengenakan pakaiannya.Sejauh ini, Aron menuruti setiap perintah Leo. Walaupun sedikit aneh dengan perubahan sikap sang anak, Leo bisa mempercayai Aron sepenuhnya. Walaupun latihan itu sedikit terlambat, tapi Aron masih berkesempatan menjadi penerusnya.Ia mengambil sebuah kertas di dalam laci. Ia mengibaskan sedikit agar debu tak mengotori tulisannya. Leo menoleh ke arah Aron, anak prianya itu sudah selesai mengenakan pakaiannya kembali. "Kemarilah," titahnya.Aron segera mendekat. "Ayah ingin menunjukkan apa?" tanyanya memperhatikan kertas yang ada di atas meja."Sebelumnya aku sudah memberitahumu kalau kita memiliki pekerjaan sampingan selain menjadi bangsawan." Leo menghela napasnya. "Kalau dipikir-pikir meski kita mendapatkan gelar seorang bangsawan bukan berarti kita tidak memiliki tugas penting, bukankah itu merepotkan? Memang tidak sedikit para bangsawan menyalahgunakan keistimewaannya itu. Keluarga Smith menjaga keseimbangan negara setelah tuan Baron meninggal. Itu mengapa ayahku dulu mengajariku taktik perang dengan latihan seperti ini. Sebab, tugas kami menyingkirkan para pejabat yang rakus akan harta," jelasnya lalu kepala mendongak. "Andai saja tuan Baron bekerjasama dengan kita. Pasti akan menjadi kolaborasi yang bagus.""Ayah bisa mempercayaiku," balas Aron penuh percaya diri."Apakah kau bisa berlatih dengan fasih selama setahun?" tanya Leo."Aku butuh waktu satu bulan untuk mengalahkan ayah." Aron menundukkan kepalanya. Untung saja lengan jas menutupi sampai pergelangan tangannya, sebab ototnya sudah mengeras di balik jas.Walaupun Aron sudah melewati beberapa tahun, Atlantik masih tidak ada perubahan. Terlebih mendengar curhatan ayahnya itu mengubah pemikirannya lebih agresif. Untuk kedepannya ia tidak akan memberikan ampun kepada orang-orang itu.Dalam waktu sebulan ia akan berlatih dengan sungguh-sungguh agar lolos ujian dari ayahnya sendiri. Entah seperti apa ujiannya sebab Aron lah yang menantang Leo terlebih dahulu.Pernyataan Aron itu menghasilkan guratan senyum di bibir Leo. Semangat itulah yang ia impikan selama sepuluh tahun terakhir. "Apa kau yakin? Selama ini aku tahu kau hanya bermalas-malasan dengan kegiatan studi." Leo meragukannya."Kita lihat saja hasil akhirnya, ayah." Sebaliknya, Aron malah semakin bersemangat. Sempat terpikir dalam benaknya, kenapa tidak dari awal keduanya saling bekerja sama satu sama lain. Ia mengembangkan senyum.Tentu saja Leo tidak sabar akan tantangan tersebut. Bila Aron berhasil mengalahkannya dalam waktu sebulan, maka ia akan memberikan misi penting itu pada sang anak. Sebenarnya ia tidak ingin memaksa, tetapi keadaan mengharuskan Aron meneruskan misi tersebut.Bola matanya melirik ke arah jarum jam. Untuk latihan pertama kalinya, Leo tidak melatih secara berlebihan. Setelah mengamati gerakan yang Aron tiru darinya, seakan tubuh anaknya itu sudah terbiasa dengan latihan fisik. Leo tahu kalau anaknya itu sering olahraga dengan rutin sampai tubuh Aron terbentuk."Aku harap kau tidak akan mengecewakanku. Kuterima tantangan darimu." Leo merangkul sesekali menepuk ujung bahu Aron."Baik, ayah." Aron bisa merasakan ayahnya dalam perasaan gembira. Tetapi, ia akan bertanggung jawab atas ucapannya tadi.Setelah menaiki anak tangga yang cukup panjang, keduanya tiba di ujung pintu. Aron akan menyelidiki kembali apa yang sudah terjadi selama beberapa tahun yang lalu. Ia menatap pria di sampingnya."Ayah, bagaimana kau bisa melewati semua ini sendirian?" tanyanya sembari menatap ke arah berlawanan."Aku tidak tahu. Yang jelas melihat kebahagiaan orang lain sudah cukup," jawabnya singkat.Alasannya sama seperti dirinya. Orang lain yang dimaksud adalah orang yang dilindunginya. Memberikan sebuah keadilan kepada orang lain dan bersikap ksatria sudah menjadi identitas pria berkualitas.Aron menyusun rencana untuk persiapan kedepannya. Pelatih terbaik hanyalah Leo Smith, tidak ada guru pelatih selain ayahnya itu. Bahkan hanya ada beberapa pelayan yang bisa dihitung. Kehidupannya sederhana walau banyak fasilitas mewah di dalam rumah.Ia merasa cukup untuk pertemuan pertama dengan sang ayah. Aron memutuskan ke kamarnya. Leo juga mengerti akan hal itu. Tentu saja ia permulaan. Aron belum mengetahui sepenuhnya mengapa negara sangat kacau lebih dari di kehidupan pertamanya. Ini bagian terburuk, saat itulah ia kembali menghadapi kekejaman dunia."Terima kasih untuk latihan hari ini, ayah. Semoga kedepannya aku bisa lebih dari ayah nantinya," kata Aron sebelum mereka berpisah ke ruangan masing-masing."Hahaha, kau bisa melawak juga." Tawa Leo tidak tertahan. Kemudian ia tersenyum setelah puas tertawa. "Aku yakin kau bisa melampauiku, Aron. Sekarang istirahatlah dan pulihkan tenagamu."Aron mengangguk. Kakinya berlari bak seseorang yang merindukan kasurnya. Leo memandanginya sampai punggung Aron tak terlihat."Bocah itu mendadak aneh. Apa yang bisa mempengaruhi otaknya sampai setuju dengan tawaranku? Huh, dia selalu membuatku khawatir." Leo melirik jarum jam. Malam ini ia akan membantai banyak orang. Sangking fokusnya, Leo tidak memperhatikan istrinya.Bruk! Kening itu menabrak dada bidang Leo. Tangannya bergerak cepat mengelus dahi Emily. "Kau baik-baik saja, Sayang?"Emily mengangguk. "Di mana Aron? Bagaimana latihan pertama kalinya? Dia baik-baik saja, kan?""Kau mengajukan banyak pertanyaan. Tentu saja anak kita yang pintar bisa melakukannya dengan baik, sampai-sampai dia menantangku bisa menguasai bela diri dalam waktu sebulan," sahutnya."Kau tidak bercanda bukan? Apa itu artinya kalian akan berduel?" Satu pertanyaan lagi yang diajukannya."Sudah jelas, kenapa masih bertanya?" Jarinya menekan ujung dagu Emily.***Emily tak yakin kalau Aron serius dengan kalimatnya. "Apa tidak apa-apa jika melibatkan dia dalam situasi ini?""Seharusnya kau tidak perlu mengetahui sejauh ini." Leo mengecup kening istrinya. Ia tak ingin membuat sang istri memiliki beban pikiran. Terpaksa Leo menggunakan cara lama untuk menenangkannya.Di tempat lain, bukannya Aron beristirahat. Ia sibuk mencari taktik yang begitu sulit. Untungnya ia memiliki ruangan pribadi yang terdapat perpustakaan. Ia mempelajari di buku, sesekali menerapkan teknik tersebut.Hari ini ia sengaja menguras habis tenaganya. Napasnya terengah-engah dengan pandangan ke atas. Aron berharap waktu berjalan lebih cepat. Semenit kemudian, ia menatap keluar jendela. Aron bergegas melihat pemandangan di luar lebih jelas."Aku harus bertahan sebulan lagi." Tangannya menggenggam erat besi pembatas itu. "Tidak aku biarkan ayah berjuang sendirian."Di saat Aron memikirkan sebuah ide, seseorang mengetuk pintunya. Ia tidak bisa menebak siapakah orang itu. Namun,
Baru memasuki batas kota Luxury, Aron menjumpai pria dengan pakaian mewah tak lupa mobil mustang keluaran terbaru, tengah memarahi seorang gadis dan ibunya."Apa-apaan itu? Tolong hentikan mobilnya," perintah Aron sembari membuka kaca jendela mobil.Max mengintip keadaan di luar. Tentu saja ia geram dengan pria arogan itu. "Tuan, itu gadis yang saya maksud. Emm.... Sepertinya dia dalam bahaya," ucap Max yang bersimpati pada gadis itu."Bukan sepertinya lagi, dia memang dalam bahaya." Aron menoleh ke arah Max. "Apa kau akan diam dan menonton saja?""Eh? A–apa anda memberi izin untuk menyelamatkan gadis itu?" tanyanya gelagapan. Ritme detak jantung Max mulai tidak terkendali."Tunggu apalagi?" Tatapan Aron sinis. "Aku akan melihat aksi drama percintaan kalian," godanya dengan kegirangan. Di sisi lain Aron memiliki rencana setelah menyelamatkan gadis itu. Tentunya Aron selalu memprioritaskan segala apapun mengenai misinya.Max salah tingkah. Kali ini ia bisa menjadi pahlawan untuk gadis
Setibanya di kediaman Smith, langit sudah gelap. Leo dan Emily menyambutnya, sayangnya Aron masih belum bangun dari tidurnya. Max mengangkat tubuh Aron menuju kamar. Sementara Angela berdiri mematung."Max, siapa gadis ini?" tanya Emily. Wajah gadis itu seperti familiar, kakinya memberanikan mendekat."Angela Melodi. Silahkan perkenalkan dirimu, Nona. Kalau begitu saya akan mengantarkan tuan muda ke kamarnya—""Tidak perlu, Max," selanya lalu Leo menjentikkan jarinya setelah itu muncullah bodyguard lain. "Antar Aron ke tempat tidurnya.""Baik, Tuan." Pria itu bergegas melaksanakan tugasnya.Kini tinggal mereka yang tengah berkumpul di ruang tamu. Leo menebak kalau semua ini dilakukan atas perintah Aron. padahal baru sehari saja anaknya itu dia latih malah membuat kejutan.Setelah pria tadi mengantar Aron, barulah Leo mengajukan pertanyaan lagi. "Jadi, apa tujuan semua ini?""Izinkan kami menikah, Tuan," jawab Max tanpa basa-basi. Ia juga tidak menyudutkan nama Aron dalam hal ini, mesk
Aron menunggu sampai langit terang. Pagi sekali, ia sudah membersihkan diri, mengenakan pakaian rapi. Jemarinya bermain di atas meja sangking bosannya. Jarinya mulai menekan tombol membuka jendela. Pemandangan di depannya masih tidak berubah. Andai saja ia bisa mempercepat latihan tapi Aron sudah meminta durasi waktu yang cukup cepat.Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Max. Bodyguard itu tak menjelaskan melalui ponsel. Semenit kemudian pria itu menghampirinya tentu saja tak sendiri."Tuan Aron, saya datang," sapa Max membelakangi Leo.Aron tersenyum lugu. Sudah diduga ayahnya akan ikut Max. Kakinya berjalan menuju kasur dan melempar diri. "Bukannya hari ini ayah ada tugas?""Apa maksudmu soal pernikahan Max dengan Nona Angela?" tanyanya balik menjerumus inti pembahasan."Haruskah itu menjadi persoalan bagi ayah?" Bola mata Aron melirik ke arah Max. "Aku hanya membantu kak Max untuk menikahi gadis idamannya. Apa itu salah?" Aron tidak meninggikan intonasi suaranya.
Tidak lama ponsel keduanya berdering. Notifikasi yang sama mengisi layar ponsel mereka. Bibirnya bisa tersenyum puas. "Selamat, kak Max! Akhirnya kau bisa menikahi gadis idamanmu.""Terima kasih, Tuan Aron." Bola matanya berkaca-kaca. Keduanya saling berpelukan. Aron yang sudah menjelaskan tujuannya, sedikit merasa tenang karena ia tidak menyembunyikan sesuatu lagi meski ia sulit percaya kepada orang lain. Tetapi, Aron bisa mempercayai keduanya karena ketulusan itu. Aron meregangkan pelukan yang sempat melingkar di pinggang Max. Hari ini ia akan fokus dengan latihannya. Sementara di tempat lain, Emily memiliki kesibukan sendiri. Merawat seorang anak perempuan adalah cita-cita dari dulu. Pernikahan itu akan digelar besok. Kebetulan hari di bulan itu merupakan hari yang bagus. itu sebabnya Leo menyetujui pernikahan Max dengan Angela yang mendadak.Meski sebelumnya tidak ada komunikasi maupun pengenalan diri satu sama lain Max percaya itu bisa dilakukannya setelah upacara pernikahan usa
Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba. Angela nampak cantik dengan balutan makeup yang terpoles di wajahnya, ditambah gaun putih pilihan Emily. Wanita itu berjalan anggun menghampiri pengantin pria.Janji suci pun terucap. Semua orang yang hadir memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka yang sudah resmi. Aron menyapa mereka. Tangannya mengulurkan sebuah amplop kecil. "Ini hadiah untuk kalian."Sempat menjadi perbincangan bahkan tawa kecil mulai terdengar. Emily menggeleng malu melihat tingkah anaknya. "Tapi, kalian bisa membukanya sekarang," perintah Aron agar Angela tidak penasaran. Untungnya ia sempat menulis catatan di dalam kertas amplop itu.Max mengangguk lalu Angela membuka isi amplop tersebut. Benda kotak yang tipis membuat mulutnya menganga tidak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Blackcard dengan pinggiran emas menjadi pusat perhatian orang yang menghadiri pernikahan itu.Tawa kecil mulai lenyap tak ada orang yang bersuara. Emily terharu menyaksikan pemberian
"Jadi, siapa pemilik mobil dengan plat itu?" tanyanya dengan tatapan tajam. Tertentang dari raut wajah, pria itu berusaha menahan emosi."Saya tidak tahu jelas. Tapi, kami menemukan sinyal dari ponsel atas nama—" Kalimatnya terpotong mencari informasi identitas dari saluran telekomunikasi. Bills mengintip tulisan yang ada di layar monitor. Tidak ada data petunjuk. Ia mendengus kesal. Emosinya meluap tak tertahankan. Tangannya membanting barang-barang di sekitarnya. Kumpulan alat pengetikan yang tertata rapi di rak kini berantakan. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu nampak terkejut dan terdiam tak berkomentar.Brak! Napas Bills terengah-engah seakan kesurupan. Mereka sudah berupaya sebaik mungkin untuk mendapatkan informasi detail dari rekaman CCTV. Ia merasa terpukul akan kekalahannya itu. Tetapi, Bills tidak akan menyerap begitu saja."Ka–kami tidak tahu siapa orangnya, Tuan," sambungnya gelagapan. Kemudian bibirnya kembali terkunci."Payah!" Kepalan jemarinya sengaja dibent
Semenjak anaknya giat berlatih Emily tak berhenti belajar memasak untuk Aron. Pagi sekali ia mulai kesibukannya di dapur. Leo menyadari istrinya yang merubah dirinya sendiri karena inisiatif seorang ibu. Keharmonisan keluarga itu semakin terlihat. Tetapi, hari ini adalah penentuan atas semua latihan Leo selama sebulan. Tentunya Aron bersedia untuk menepati semua janji yang diucapkannya. Aron masih belum terbangun dari tidurnya. Sesuatu asing membuatnya bertemu dengan sang dewa langit. Ia tidak menduga pertemuan keduanya membuat Aron semakin membara. Bola matanya menatap dewa langit. Mereka saling berhadapan. Berbagai pertanyaan memutari isi kepala Aron. Dewa langit menyuguhi teh hangat."Senang berjumpa kembali, Baron Arsenio," sapanya sembari menyodorkan cangkir yang berisi teh. "Apa kau tidak ingin minum?""Sejauh ini tidak ada yang menjadi masalah. Tapi, mengapa untuk meningkatkan kekuatan saya harus lebih emosi?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan dari dewa langit."Aku memilihmu