Emily tak yakin kalau Aron serius dengan kalimatnya. "Apa tidak apa-apa jika melibatkan dia dalam situasi ini?"
"Seharusnya kau tidak perlu mengetahui sejauh ini." Leo mengecup kening istrinya. Ia tak ingin membuat sang istri memiliki beban pikiran. Terpaksa Leo menggunakan cara lama untuk menenangkannya.Di tempat lain, bukannya Aron beristirahat. Ia sibuk mencari taktik yang begitu sulit. Untungnya ia memiliki ruangan pribadi yang terdapat perpustakaan. Ia mempelajari di buku, sesekali menerapkan teknik tersebut.Hari ini ia sengaja menguras habis tenaganya. Napasnya terengah-engah dengan pandangan ke atas. Aron berharap waktu berjalan lebih cepat. Semenit kemudian, ia menatap keluar jendela. Aron bergegas melihat pemandangan di luar lebih jelas."Aku harus bertahan sebulan lagi." Tangannya menggenggam erat besi pembatas itu. "Tidak aku biarkan ayah berjuang sendirian."Di saat Aron memikirkan sebuah ide, seseorang mengetuk pintunya. Ia tidak bisa menebak siapakah orang itu. Namun, ia mendapati seorang pria. Keduanya saling menatap. Aron menyangga kepalanya. Ia sedikit terganggu dengan tubuh barunya. Entah kenapa dewa langit menambah rintangan hidupnya.Pria itu langsung pucat saat Aron hampir terjatuh. "Maaf, Tuan. Anda baik-baik saja?" tanya pria itu seraya membantunya duduk ke sofa empuk."Tidak apa-apa, Max." Nama pria itu terucap tanpa ia sadari. Aron mencoba mengingat sekaligus menghapal setiap orang. Jika bukan karena penyesuaiannya, ia takkan merasa sepusing ini. "Ada apa kau mencariku?""Saya ingin mendengar cerita anda hari ini." Max membantunya berjalan. "Saya minta maaf—""Tidak masalah, Max. Aku terlalu bersemangat berlatih tadi." Aron meluruskan kedua kakinya di sofa. "Bagaimana dengan keadaanmu? Apa ayah memberi tugas yang mengerikan?" tanyanya lalu tertawa."Hahaha, ya begitulah." Max menatap Aron, ada sesuatu hal yang begitu penting yang ia sampaikan. Ia malu-malu untuk membahasnya. Aron menyenggolnya. "Saya bertemu dengan gadis desa, dia cantik—""Kau menyukainya?" serobot Aron penasaran.Max berkeringat deras, ekspresinya tidak berbohong mengenai hal itu. "Hahaha, tapi Tuan, wilayah Luxury sebagian hancur. Saya tidak tahu apakah Atlantik memberikan perlindungan. Namun, sejauh ini pemerintah mengabaikannya. Ketakutan saya adalah wilayah Luxury akan diambil negara Jewel," paparnya."Itu menyedihkan tapi lebih menyedihkan lagi kalau kau tidak bisa bertemu dengan gadis itu, bukan?" desak Aron agar Max mengakuinya.Rona pipinya semakin jelas. Max merah bak tomat kematangan. "Ayolah, Tuan. Saya tidak bercanda." Max mengalihkan pembicaraan.Aron membenarkan apa yang dikatakan dewa langit sekaligus ayahnya, kekacauan mulai terlihat dimana-mana seakan tidak ada tempat bersembunyi bagi masyarakat kecil.Sejenak ia terdiam. Pikirannya menemukan sebuah solusi tapi tentu saja masyarakat kecil tidak akan tahu apa-apa jika semua problem bermula dari pemerintah itu sendiri."Apa kau punya ide?" tanya Aron."Akan sulit jika kita menentang pemerintah secara terang-terangan. Saya tidak yakin kita bisa membantu mereka—"Aron langsung bangkit mendengar pendapat yang tidak kontras. "Apa maksudmu kita bisa membantu mereka? Kamu pikir mereka tidak memerlukan bantuan?""Tentu saja saya sependapat dengan anda. Tapi bagaimana jika semakin kita membantu, orang-orang itu malah menghabisi mereka? Ini pilihan yang cukup rumit, Tuan," jawab Max dengan intonasi lembut.Itu bisa saja terjadi. Seberapapun ia mencari solusi, pada akhirnya ia bisa menyalahkan dirinya sendiri. Aron tidak mau hanya bersimpati, melakukan aksi lebih penting.Kakinya mondar-mandir sembari berpikir keras. Tangannya membuka jendela kamar. Tampilan kacau di depan mata itu sudah biasa. Tampak jelas kesenjangan sosial, yang mana orang kaya semakin kaya dan sebaliknya. Tahapan awal memang tidak berkesan bagi Aron bila bola matanya disuguhi pemandangan itu.Perlahan tangannya menggenggam lalu memukul pelan pegangan besi itu. Aron merasa tidak ada yang aneh tetapi saat ia menundukkan kepala, ia sedikit. Tangannya yang mengeluarkan besi cair tapi tak lama besi itu memadat. Seperti sebuah sihir dan tidak masuk akal."Max, keluar dari sini. Aku butuh menenangkan pikiranku." Aron menutupi tangannya yang bercampur dengan bahan alami itu.Pria itu tak berkata-kata. Ia mengundurkan diri setelah Aron memberikan titah itu padanya. Tetapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, Max berbalik dan berkata, "Saya minta maaf jika membuat suasana hati anda buruk. Tapi, saya akan selalu ada saat anda butuh."Klak! Pintu itu tertutup rapat. Aron menghela napas lega. "Jangan sampai semua orang tahu kalau aku punya kekuatan."Aron memikirkan bagaimana besi itu kembali cair. Dalam sekejap, besi itu meleleh. Tidak ada rasa sakit apalagi panas. Ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihatnya."Apa aku bisa membuat sebuah pisau?" pikirnya sembari memperhatikan cairan besi itu membentuk benda tajam yang diinginkan Aron.Mustahil untuk dipercaya, tetapi kenyataannya seperti itu. Meski agak lama pembentukan senjata pertamanya, hasilnya memuaskan. Ia membuktikan seberapa tajam pisau buatannya.Krashh! Niatannya membersihkan sisa bersihkan noda sisa besi malah membuat gagang pembatas besi jadi terbelah. Bukannya kagum, Aron bingung mencari alasan kenapa ia bisa merusakkan gagang besi dengan mulus."Gawat jika ayah ibu tahu." Aron menaruh pisau itu di dalam brangkas pribadinya. Setelah mengamankan senjata tajamnya sendiri, barulah ia meraih ponselnya. "Max, carilah orang untuk memperbaiki pembatas besi di kamar. Sementara kau ajak aku berkeliling kota Luxury.""Baik, Tuan."Aron menunggu Max tiba. Ketukan yang dinantikan terdengar. Ternyata Max bersama para tukang mendatangi kamarnya. Bola matanya melirik ke arah gagang besi tadi. 'Tidak kusangka benda itu cukup membuat kerusuhan. Tapi boleh dicoba untuk bertarung.'"Tuan?" panggil Max yang menghancurkan lamunan Aron."Eh, kalian sudah tiba. Maaf. Kalian masuklah dan urusi pagar besi itu," ucap Aron lalu menyahut lengan Max agar bodyguardnya itu tidak mengintrogasinya."Siap, Tuan." Mereka sudah siap dengan segala peralatan langsung mengerjakan tugas yang diberikan Aron."Kenapa terburu-buru, Tuan?" tanya Max sedikit curiga.Aron memicingkan bola matanya. "Kau tidak suka?" Respon Max menggeleng. "Mari kita lihat gadis cantik itu."Kaki Max terhenti. "Kenapa anda menggoda saya? Sudah jelas saya tidak bisa mengontrol hati—""Hahaha.... Itu normal, Max. Menyukai perempuan itu wajar daripada nanti kau dianggap punya kelainan," ledeknya."Bisa-bisanya anda berfikir seperti itu. Huh." Max pasrah.Untung saja Aron bisa mengalihkan situasinya. Tapi, ia masih tidak percaya kalau pisau yang dibuatnya bisa membuat kerusakan yang lumayan merugikan. Ia memandangi kedua tangannya.Sampai di tempat parkir, pikirannya masih tidak berubah. Aron masih meladeni Max agar ia tak memikirkan kejadian di kamarnya. Mengamati Aron yang sedikit berbeda, Max menanyainya."Apa ada masalah besar, Tuan?""Tidak ada. Entahlah, kenapa tiba-tiba aku ingin melihat kota Luxury lebih dekat." Aron memandangi bangunan yang berbaris rapi.Perjalanan menuju ke kota Luxury lumayan memakan waktu. Aron berusaha tidak memikirkan apapun supaya kekuatannya tidak melakukan hal yang tidak-tidak."Oh ya, memangnya kenapa anda mengganti pembatas—""Sudah waktunya untuk diganti," selanya kemudian ia kembali terdiam.Max tidak bertanya setelah itu. Ia ingat sebelumnya Aron juga mengatakan kalau ia butuh waktu, mungkin yang dimaksudkan Aron adalah menuntaskan rasa penasarannya terhadap kota Luxury. Max menatap Aron, pria itu seperti menyembunyikan sesuatu tapi Max bisa mengerti itu kalau itu berhubungan dengan privasi Aron sendiri.***Baru memasuki batas kota Luxury, Aron menjumpai pria dengan pakaian mewah tak lupa mobil mustang keluaran terbaru, tengah memarahi seorang gadis dan ibunya."Apa-apaan itu? Tolong hentikan mobilnya," perintah Aron sembari membuka kaca jendela mobil.Max mengintip keadaan di luar. Tentu saja ia geram dengan pria arogan itu. "Tuan, itu gadis yang saya maksud. Emm.... Sepertinya dia dalam bahaya," ucap Max yang bersimpati pada gadis itu."Bukan sepertinya lagi, dia memang dalam bahaya." Aron menoleh ke arah Max. "Apa kau akan diam dan menonton saja?""Eh? A–apa anda memberi izin untuk menyelamatkan gadis itu?" tanyanya gelagapan. Ritme detak jantung Max mulai tidak terkendali."Tunggu apalagi?" Tatapan Aron sinis. "Aku akan melihat aksi drama percintaan kalian," godanya dengan kegirangan. Di sisi lain Aron memiliki rencana setelah menyelamatkan gadis itu. Tentunya Aron selalu memprioritaskan segala apapun mengenai misinya.Max salah tingkah. Kali ini ia bisa menjadi pahlawan untuk gadis
Setibanya di kediaman Smith, langit sudah gelap. Leo dan Emily menyambutnya, sayangnya Aron masih belum bangun dari tidurnya. Max mengangkat tubuh Aron menuju kamar. Sementara Angela berdiri mematung."Max, siapa gadis ini?" tanya Emily. Wajah gadis itu seperti familiar, kakinya memberanikan mendekat."Angela Melodi. Silahkan perkenalkan dirimu, Nona. Kalau begitu saya akan mengantarkan tuan muda ke kamarnya—""Tidak perlu, Max," selanya lalu Leo menjentikkan jarinya setelah itu muncullah bodyguard lain. "Antar Aron ke tempat tidurnya.""Baik, Tuan." Pria itu bergegas melaksanakan tugasnya.Kini tinggal mereka yang tengah berkumpul di ruang tamu. Leo menebak kalau semua ini dilakukan atas perintah Aron. padahal baru sehari saja anaknya itu dia latih malah membuat kejutan.Setelah pria tadi mengantar Aron, barulah Leo mengajukan pertanyaan lagi. "Jadi, apa tujuan semua ini?""Izinkan kami menikah, Tuan," jawab Max tanpa basa-basi. Ia juga tidak menyudutkan nama Aron dalam hal ini, mesk
Aron menunggu sampai langit terang. Pagi sekali, ia sudah membersihkan diri, mengenakan pakaian rapi. Jemarinya bermain di atas meja sangking bosannya. Jarinya mulai menekan tombol membuka jendela. Pemandangan di depannya masih tidak berubah. Andai saja ia bisa mempercepat latihan tapi Aron sudah meminta durasi waktu yang cukup cepat.Ia mengambil ponselnya, mengirim pesan singkat kepada Max. Bodyguard itu tak menjelaskan melalui ponsel. Semenit kemudian pria itu menghampirinya tentu saja tak sendiri."Tuan Aron, saya datang," sapa Max membelakangi Leo.Aron tersenyum lugu. Sudah diduga ayahnya akan ikut Max. Kakinya berjalan menuju kasur dan melempar diri. "Bukannya hari ini ayah ada tugas?""Apa maksudmu soal pernikahan Max dengan Nona Angela?" tanyanya balik menjerumus inti pembahasan."Haruskah itu menjadi persoalan bagi ayah?" Bola mata Aron melirik ke arah Max. "Aku hanya membantu kak Max untuk menikahi gadis idamannya. Apa itu salah?" Aron tidak meninggikan intonasi suaranya.
Tidak lama ponsel keduanya berdering. Notifikasi yang sama mengisi layar ponsel mereka. Bibirnya bisa tersenyum puas. "Selamat, kak Max! Akhirnya kau bisa menikahi gadis idamanmu.""Terima kasih, Tuan Aron." Bola matanya berkaca-kaca. Keduanya saling berpelukan. Aron yang sudah menjelaskan tujuannya, sedikit merasa tenang karena ia tidak menyembunyikan sesuatu lagi meski ia sulit percaya kepada orang lain. Tetapi, Aron bisa mempercayai keduanya karena ketulusan itu. Aron meregangkan pelukan yang sempat melingkar di pinggang Max. Hari ini ia akan fokus dengan latihannya. Sementara di tempat lain, Emily memiliki kesibukan sendiri. Merawat seorang anak perempuan adalah cita-cita dari dulu. Pernikahan itu akan digelar besok. Kebetulan hari di bulan itu merupakan hari yang bagus. itu sebabnya Leo menyetujui pernikahan Max dengan Angela yang mendadak.Meski sebelumnya tidak ada komunikasi maupun pengenalan diri satu sama lain Max percaya itu bisa dilakukannya setelah upacara pernikahan usa
Akhirnya hari pernikahan itu telah tiba. Angela nampak cantik dengan balutan makeup yang terpoles di wajahnya, ditambah gaun putih pilihan Emily. Wanita itu berjalan anggun menghampiri pengantin pria.Janji suci pun terucap. Semua orang yang hadir memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka yang sudah resmi. Aron menyapa mereka. Tangannya mengulurkan sebuah amplop kecil. "Ini hadiah untuk kalian."Sempat menjadi perbincangan bahkan tawa kecil mulai terdengar. Emily menggeleng malu melihat tingkah anaknya. "Tapi, kalian bisa membukanya sekarang," perintah Aron agar Angela tidak penasaran. Untungnya ia sempat menulis catatan di dalam kertas amplop itu.Max mengangguk lalu Angela membuka isi amplop tersebut. Benda kotak yang tipis membuat mulutnya menganga tidak percaya apa yang sedang dilihatnya itu. Blackcard dengan pinggiran emas menjadi pusat perhatian orang yang menghadiri pernikahan itu.Tawa kecil mulai lenyap tak ada orang yang bersuara. Emily terharu menyaksikan pemberian
"Jadi, siapa pemilik mobil dengan plat itu?" tanyanya dengan tatapan tajam. Tertentang dari raut wajah, pria itu berusaha menahan emosi."Saya tidak tahu jelas. Tapi, kami menemukan sinyal dari ponsel atas nama—" Kalimatnya terpotong mencari informasi identitas dari saluran telekomunikasi. Bills mengintip tulisan yang ada di layar monitor. Tidak ada data petunjuk. Ia mendengus kesal. Emosinya meluap tak tertahankan. Tangannya membanting barang-barang di sekitarnya. Kumpulan alat pengetikan yang tertata rapi di rak kini berantakan. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu nampak terkejut dan terdiam tak berkomentar.Brak! Napas Bills terengah-engah seakan kesurupan. Mereka sudah berupaya sebaik mungkin untuk mendapatkan informasi detail dari rekaman CCTV. Ia merasa terpukul akan kekalahannya itu. Tetapi, Bills tidak akan menyerap begitu saja."Ka–kami tidak tahu siapa orangnya, Tuan," sambungnya gelagapan. Kemudian bibirnya kembali terkunci."Payah!" Kepalan jemarinya sengaja dibent
Semenjak anaknya giat berlatih Emily tak berhenti belajar memasak untuk Aron. Pagi sekali ia mulai kesibukannya di dapur. Leo menyadari istrinya yang merubah dirinya sendiri karena inisiatif seorang ibu. Keharmonisan keluarga itu semakin terlihat. Tetapi, hari ini adalah penentuan atas semua latihan Leo selama sebulan. Tentunya Aron bersedia untuk menepati semua janji yang diucapkannya. Aron masih belum terbangun dari tidurnya. Sesuatu asing membuatnya bertemu dengan sang dewa langit. Ia tidak menduga pertemuan keduanya membuat Aron semakin membara. Bola matanya menatap dewa langit. Mereka saling berhadapan. Berbagai pertanyaan memutari isi kepala Aron. Dewa langit menyuguhi teh hangat."Senang berjumpa kembali, Baron Arsenio," sapanya sembari menyodorkan cangkir yang berisi teh. "Apa kau tidak ingin minum?""Sejauh ini tidak ada yang menjadi masalah. Tapi, mengapa untuk meningkatkan kekuatan saya harus lebih emosi?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan dari dewa langit."Aku memilihmu
Keduanya bergegas setelah meminta izin kepada wanita itu. Kekompakan antara Leo dan Aron bak kolaborasi yang pas. Aron membisu saat di dalam mobil. Akan tetapi, Leo mulai mengajaknya bicara. "Tidakkah kau pernah berfikir kalau pekerjaan kita bertentangan dengan status keluarga bangsawan?" Pandangannya yang mulanya fokus ke luar jendela, kini menoleh ke wajah Aron.Ia memaku tidak memberikan jawaban apapun. Aron menatapnya balik. "Mungkin ini aneh. Seharusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu dari dulu bersama untuk mendiskusikan hal ini. Tapi, kita tidak menyesali apa yang sudah terlewat." Leo memaksakan senyum.Ia menatap tegas ayahnya. "Aku bersedia menggantikan posisi ayah," selanya. Aron mengikuti Leo melihat ke arah bangunan tanpa warna. Mobil yang dinaiki mereka berhenti tepat di sebuah parkiran. Mobil polisi tertata rapi memenuhi area tersebut. Kedatangan Leo disambut para polisi. Memang Leo pernah ikut andil dalam militer. Hanya para polisi terpercaya yang mengetahui iden