Share

5. Munculnya Kekuatan

Emily tak yakin kalau Aron serius dengan kalimatnya. "Apa tidak apa-apa jika melibatkan dia dalam situasi ini?"

"Seharusnya kau tidak perlu mengetahui sejauh ini." Leo mengecup kening istrinya. Ia tak ingin membuat sang istri memiliki beban pikiran. Terpaksa Leo menggunakan cara lama untuk menenangkannya.

Di tempat lain, bukannya Aron beristirahat. Ia sibuk mencari taktik yang begitu sulit. Untungnya ia memiliki ruangan pribadi yang terdapat perpustakaan. Ia mempelajari di buku, sesekali menerapkan teknik tersebut.

Hari ini ia sengaja menguras habis tenaganya. Napasnya terengah-engah dengan pandangan ke atas. Aron berharap waktu berjalan lebih cepat. Semenit kemudian, ia menatap keluar jendela. Aron bergegas melihat pemandangan di luar lebih jelas.

"Aku harus bertahan sebulan lagi." Tangannya menggenggam erat besi pembatas itu. "Tidak aku biarkan ayah berjuang sendirian."

Di saat Aron memikirkan sebuah ide, seseorang mengetuk pintunya. Ia tidak bisa menebak siapakah orang itu. Namun, ia mendapati seorang pria. Keduanya saling menatap. Aron menyangga kepalanya. Ia sedikit terganggu dengan tubuh barunya. Entah kenapa dewa langit menambah rintangan hidupnya.

Pria itu langsung pucat saat Aron hampir terjatuh. "Maaf, Tuan. Anda baik-baik saja?" tanya pria itu seraya membantunya duduk ke sofa empuk.

"Tidak apa-apa, Max." Nama pria itu terucap tanpa ia sadari. Aron mencoba mengingat sekaligus menghapal setiap orang. Jika bukan karena penyesuaiannya, ia takkan merasa sepusing ini. "Ada apa kau mencariku?"

"Saya ingin mendengar cerita anda hari ini." Max membantunya berjalan. "Saya minta maaf—"

"Tidak masalah, Max. Aku terlalu bersemangat berlatih tadi." Aron meluruskan kedua kakinya di sofa. "Bagaimana dengan keadaanmu? Apa ayah memberi tugas yang mengerikan?" tanyanya lalu tertawa.

"Hahaha, ya begitulah." Max menatap Aron, ada sesuatu hal yang begitu penting yang ia sampaikan. Ia malu-malu untuk membahasnya. Aron menyenggolnya. "Saya bertemu dengan gadis desa, dia cantik—"

"Kau menyukainya?" serobot Aron penasaran.

Max berkeringat deras, ekspresinya tidak berbohong mengenai hal itu. "Hahaha, tapi Tuan, wilayah Luxury sebagian hancur. Saya tidak tahu apakah Atlantik memberikan perlindungan. Namun, sejauh ini pemerintah mengabaikannya. Ketakutan saya adalah wilayah Luxury akan diambil negara Jewel," paparnya.

"Itu menyedihkan tapi lebih menyedihkan lagi kalau kau tidak bisa bertemu dengan gadis itu, bukan?" desak Aron agar Max mengakuinya.

Rona pipinya semakin jelas. Max merah bak tomat kematangan. "Ayolah, Tuan. Saya tidak bercanda." Max mengalihkan pembicaraan.

Aron membenarkan apa yang dikatakan dewa langit sekaligus ayahnya, kekacauan mulai terlihat dimana-mana seakan tidak ada tempat bersembunyi bagi masyarakat kecil.

Sejenak ia terdiam. Pikirannya menemukan sebuah solusi tapi tentu saja masyarakat kecil tidak akan tahu apa-apa jika semua problem bermula dari pemerintah itu sendiri.

"Apa kau punya ide?" tanya Aron.

"Akan sulit jika kita menentang pemerintah secara terang-terangan. Saya tidak yakin kita bisa membantu mereka—"

Aron langsung bangkit mendengar pendapat yang tidak kontras. "Apa maksudmu kita bisa membantu mereka? Kamu pikir mereka tidak memerlukan bantuan?"

"Tentu saja saya sependapat dengan anda. Tapi bagaimana jika semakin kita membantu, orang-orang itu malah menghabisi mereka? Ini pilihan yang cukup rumit, Tuan," jawab Max dengan intonasi lembut.

Itu bisa saja terjadi. Seberapapun ia mencari solusi, pada akhirnya ia bisa menyalahkan dirinya sendiri. Aron tidak mau hanya bersimpati, melakukan aksi lebih penting.

Kakinya mondar-mandir sembari berpikir keras. Tangannya membuka jendela kamar. Tampilan kacau di depan mata itu sudah biasa. Tampak jelas kesenjangan sosial, yang mana orang kaya semakin kaya dan sebaliknya. Tahapan awal memang tidak berkesan bagi Aron bila bola matanya disuguhi pemandangan itu.

Perlahan tangannya menggenggam lalu memukul pelan pegangan besi itu. Aron merasa tidak ada yang aneh tetapi saat ia menundukkan kepala, ia sedikit. Tangannya yang mengeluarkan besi cair tapi tak lama besi itu memadat. Seperti sebuah sihir dan tidak masuk akal.

"Max, keluar dari sini. Aku butuh menenangkan pikiranku." Aron menutupi tangannya yang bercampur dengan bahan alami itu.

Pria itu tak berkata-kata. Ia mengundurkan diri setelah Aron memberikan titah itu padanya. Tetapi sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangan itu, Max berbalik dan berkata, "Saya minta maaf jika membuat suasana hati anda buruk. Tapi, saya akan selalu ada saat anda butuh."

Klak! Pintu itu tertutup rapat. Aron menghela napas lega. "Jangan sampai semua orang tahu kalau aku punya kekuatan."

Aron memikirkan bagaimana besi itu kembali cair. Dalam sekejap, besi itu meleleh. Tidak ada rasa sakit apalagi panas. Ia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada orang yang melihatnya.

"Apa aku bisa membuat sebuah pisau?" pikirnya sembari memperhatikan cairan besi itu membentuk benda tajam yang diinginkan Aron.

Mustahil untuk dipercaya, tetapi kenyataannya seperti itu. Meski agak lama pembentukan senjata pertamanya, hasilnya memuaskan. Ia membuktikan seberapa tajam pisau buatannya.

Krashh! Niatannya membersihkan sisa bersihkan noda sisa besi malah membuat gagang pembatas besi jadi terbelah. Bukannya kagum, Aron bingung mencari alasan kenapa ia bisa merusakkan gagang besi dengan mulus.

"Gawat jika ayah ibu tahu." Aron menaruh pisau itu di dalam brangkas pribadinya. Setelah mengamankan senjata tajamnya sendiri, barulah ia meraih ponselnya. "Max, carilah orang untuk memperbaiki pembatas besi di kamar. Sementara kau ajak aku berkeliling kota Luxury."

"Baik, Tuan."

Aron menunggu Max tiba. Ketukan yang dinantikan terdengar. Ternyata Max bersama para tukang mendatangi kamarnya. Bola matanya melirik ke arah gagang besi tadi. 'Tidak kusangka benda itu cukup membuat kerusuhan. Tapi boleh dicoba untuk bertarung.'

"Tuan?" panggil Max yang menghancurkan lamunan Aron.

"Eh, kalian sudah tiba. Maaf. Kalian masuklah dan urusi pagar besi itu," ucap Aron lalu menyahut lengan Max agar bodyguardnya itu tidak mengintrogasinya.

"Siap, Tuan." Mereka sudah siap dengan segala peralatan langsung mengerjakan tugas yang diberikan Aron.

"Kenapa terburu-buru, Tuan?" tanya Max sedikit curiga.

Aron memicingkan bola matanya. "Kau tidak suka?" Respon Max menggeleng. "Mari kita lihat gadis cantik itu."

Kaki Max terhenti. "Kenapa anda menggoda saya? Sudah jelas saya tidak bisa mengontrol hati—"

"Hahaha.... Itu normal, Max. Menyukai perempuan itu wajar daripada nanti kau dianggap punya kelainan," ledeknya.

"Bisa-bisanya anda berfikir seperti itu. Huh." Max pasrah.

Untung saja Aron bisa mengalihkan situasinya. Tapi, ia masih tidak percaya kalau pisau yang dibuatnya bisa membuat kerusakan yang lumayan merugikan. Ia memandangi kedua tangannya.

Sampai di tempat parkir, pikirannya masih tidak berubah. Aron masih meladeni Max agar ia tak memikirkan kejadian di kamarnya. Mengamati Aron yang sedikit berbeda, Max menanyainya.

"Apa ada masalah besar, Tuan?"

"Tidak ada. Entahlah, kenapa tiba-tiba aku ingin melihat kota Luxury lebih dekat." Aron memandangi bangunan yang berbaris rapi.

Perjalanan menuju ke kota Luxury lumayan memakan waktu. Aron berusaha tidak memikirkan apapun supaya kekuatannya tidak melakukan hal yang tidak-tidak.

"Oh ya, memangnya kenapa anda mengganti pembatas—"

"Sudah waktunya untuk diganti," selanya kemudian ia kembali terdiam.

Max tidak bertanya setelah itu. Ia ingat sebelumnya Aron juga mengatakan kalau ia butuh waktu, mungkin yang dimaksudkan Aron adalah menuntaskan rasa penasarannya terhadap kota Luxury. Max menatap Aron, pria itu seperti menyembunyikan sesuatu tapi Max bisa mengerti itu kalau itu berhubungan dengan privasi Aron sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status