Untuk sesaat Yesha tertegun mendengar panggilan Ravindra untuknya. Dadanya menghangat karena perasaan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Tanpa ia sadari, pelukannya pada tubuh Ravindra semakin kencang. “Jangan tinggalkan Ravindra, Bunda,” pinta Ravindra di sela-sela tangisnya. Yesha tersenyum dan mengecup puncak kepala Ravindra berulang kali karena akhirnya ia bisa mendengar Ravindra memanggilanya bunda. “Iya, Sayang. Bunda tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi. Sekarang sudah malam, Ravindra tidur lagi, ya. Besok kan Ravindra masih harus sekolah.” “Hm!” Ravindra tidak melepaskan pelukannya. Keesokan harinya, di pagi hari saat ia sedang memandikan Ravindra, amarah Yesha benar-benar tidak terbendung kala mendapati tubuh Ravindra penuh dengan luka, baik yang baru maupun yang sudah lama. Dan setelah mengantar Ravindra ke sekolah serta mengunjungi makam orang tuanya, Yesha bergegas pulang dan meminta semua pelayan untuk berkumpul. Hari ini ia akan mendisiplinkan sem
Yesha dan Rvindra berada di ruang keluarga menonton televisi ketika Dival memintanya ke ruang kerja Rezvan tadi. Ia pikir saat ini Ravidnra telah pergi ke kamarnya. Namun siapa yang menyangka bahwa anak itu masih di sana menonton televisi seorang diri. “Bunda!” Ravindra memeluk Yesha yang duduk di sampingnya. “Apa papa memarahi bunda?” Ravindra sangat khawatir dan takut Rezvan akan memarahi Yesha karena telah bersikap baik kepadanya. Selama ini tidak ada orang, kecuali Hanna dan Aldo, yang memedulikan dirinya. Namun saat ini Yesha membelanya dari mereka yang selalu menyakiti dirinya. Bahkan memecat mereka demi dirinya. Selain itu, Ravindra juga merasa nyaman setiap kali Yesha memberikan perhatian kepadanya. Yesha tersenyum lebar dan membelai kepala Ravindra. “Tidak. Kenapa papa harus memarahi bunda?” “Karena bunda membela Ravindra,” ucap Ravindra jujur. “Papa tidak memarahi bunda. Seandainya papa memarahi bunda karena membela mereka, maka bunda akan memarahi papa kembali,” hibur Y
Yesha tampak ragu-ragu, tapi akhirnya ia keluar karena wanita itu terus menggedor pintu kaca mobilnya. “Nona, tolong selamatkan kakak saya.” Wanita itu menggenggam tangan Yesha dengan sangat kuat. Dengan terisak keras, ia berkata dengan cepat, “Kakak saya terluka. Nona, tolong bantu saya mengantar kakak saya ke rumah sakit.” Seketika suhu dingin dari tangan wanita itu menyebar di tangan Yesha kala wanita itu menyentuhnya. “Di mana kakakmu?” Wanita itu menunjuk ke seberang jalan, ke sebuah toko yang tutup dan juga terlihat kotor, seolah-olah sudah lama sekali tidak terpakai. Di emperan toko, seorang pemuda bersandar di dinding toko dengan mata terpejam. Dengan cepat Yesha mengendarai mobilnya dan membawa pemuda itu ke rumah sakit terdekat. Tangannya bergetar hebat karena tiba-tiba ingatan saat ia mengalami kecelakaan memasuki pikirannya. Meski sulit, tetapi Yesha berusaha untuk fokus. Pemuda itu segera mendapatkan penanganan ketika sampai di rumah sakit. Sementara Yesha bersandar d
Kini kegiatan Yesha setiap hari adalah mengantar anak-anak ke sekolah, ke rumah sakit membawakan makanan untuk Nala dan Andra—kakak Nala, serta ke makam ke dua orang tuanya. Yesha sendiri masih memasak untuk anak-anaknya meski ia harus meminta Hanna untuk mengatakan kepada si kembar bahwa itu adalah masakan buatan Hanna supaya si kembar mau makan. Dan benar saja, si kembar mau memakannya dan tidak protes setelah mengetahui bahwa makanan yang dibuat itu adalah masakan Hanna. Hubungannya dengan Alfan pun berjalan baik. Setiap hari mereka bertemu dan mengobrol di kafe setelah mengunjungi makam orang tuanya. Ia pikir Alfan akan kembali ke kampung halamannya karena semua anggota majikannya sudah meninggal. Namun ia tidak menyangka bahwa Alfan ternyata juga sering mengunjungi makam orang tuanya. Bahkan pria itu mengatakan bahwa setiap hari ia datang mengunjungi makam mereka. Bahkan Alfan pun ikut menemani dirinya menjemput anak-anak. Awalnya Ravindra sedikit menghindar ketika ia bersama A
Perasaan bahagia tidak bisa Yesha sembunyikan ketika memasuki ruang makan dan mendapati suami serta ke tiga anaknya sudah duduk bersama di meja makan. Dengan senyum terkembang lebar ia menyapa dan memeluk serta mencium pipi mereka satu per satu, mengabaikan Rezvan dan anak kembarnya yang protes dengan tindakannya. “Bunda senang akhirnya kita bisa sarapan bersama.” Yesha menatap satu per satu suami dan anak-anaknya. Suasana meja makan dipenuhi oleh celotehan si kembar dan Rezvan. Mereka berdua benar-benar mengabaikan kehadiran Yesha dan Ravindra. Meski begitu Yesha tidak marah. Ia tetap senang. Setidaknya ada sedikit kemajuan dengan Rezvan yang mau makan bersama seperti sekarang. Usai sarapan, dengan menggandeng tangan Ravindra, Yesha mengikuti Rezvan dan si kembar yang berjalan keluar rumah. Dua mobil sudah menunggu di depan rumah. Satu mobil Rezvan dan satunya adalah mobil yang akan mengantar Ravindra ke sekolah. “Apa yang kamu lakukan?” Yesha menghentikan gerakannya yang hendak
Yesha menerima uluran tangan Rezvan dan melingkarkan tangannya di lengan pria itu. "Kupikir kamu tidak mau menggandengku. Padahal aku sudah berniat untuk melakukannya." Yesha tertawa pelan. Rezvan hanya mendengus kecil. "Ini di tempat umum, tentu saja kita harus terlihat bahagia di hadapan semua orang. Apalagi ini adalah acara ulang tahun pernikahan orang tuamu. Aku tidak ingin ada rumor buruk yang beredar mengenai hubungan kita dan berdampak pada perusahaanku." Yesha tidak marah atau tersinggung dengan ucapan Rezvan. Ia justru semakin menempelkan tubuhnya ke tubuh Rezvan. "Oh, aku kira perjanjian itu berlaku untuk di semua tempat. Tidak hanya di rumah saja." Ia tertawa pelan. “Tapi aku senang dengan rumor. Bukan rumor buruk, tetapi rumor kemesraan kita. Biar semua orang iri dengan kebahagiaan kita.” Rezvan tidak menanggapi ucapan Yesha yang dianggapnya seperti angin lalu. Meski ia juga risih karena Yesha yang semakin menempel erat kepadanya, tetapi ia tidak berusaha untuk menjauhk
Yesha menghela napas pelan. “Aku melakukan itu karena aku tidak bisa membiarkan mereka tetap berada di rumah. Aku tidak ingin mereka menyakiti Ravindra lebih parah lagi. Meski Ravindra bukan darah dagingku sendiri, tetapi rasanya sangat sakit mengetahui bahwa anak sekecil dia harus mendapatkan kekerasan dari para pelayan.” Mungkin berlebihan, tetapi itulah yang ia rasakan. Apalagi saat melihat luka-luka di tubuh kecil Ravindra, hatinya sakit. Dadanya sesak seperti ada batu besar yang menindihnya hingga membuatnya sulit untuk sekadar mengambil napas. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. “Rezvan, ayo istirahat dulu,” ajak Yesha yang berdiri menghampiri Rezvan. “Pekerjaan tidak akan ada habisnya, kamu bisa melanjutkannya lagi besok. Aku tidak ingin kamu sakit, Van. Aku dan anak-anak memerlukanmu, kalau kamu sakit nanti kasihan anak-anak.” Rezvan menatap tajam Yesha, ada kekesalan yang terlihat jelas di wajahnya karena Yesha yang terus berisik. “Aku hanya ingin menjaga kesehata
Selama di perjalanan menuju ke sekolah Ravindra, pikiran Yesha terus tertuju pada apa yang telah ia bicarakan dengan Hanna mengenai gelagat aneh Dival. Yang sudah beberapa hari ini sering memasuki ruang kerja Rezvan dengan mengedap-endap. Sebagai seorang kepala pelayan yang sangat dipercayai oleh Rezvan, seharusnya ia tidak perlu mengendap-endap seperti itu. Sebenarnya apa yang sedang ia lakukan? Tampaknya ia harus sangat berhati-hati dengan pria itu serta menjauhkan Dival dari Rezvan mulai sekarang. Kepercayaan Rezvan yang berlebihan kepada Dival dapat menjadi perisai untuk pria itu jika terbukti dirinya bersalah. “Nona, sudah sampai,” suara Andra membuyarkan pikiran Yesha mengenai pembicaraannya dengan Hanna tadi. Meski hanya gelagat aneh dan belum ada bukti, ia tetap merasa terganggu dengan hal itu. Yesha keluar dari mobil bertepatan dengan Ravindra yang juga baru saja keluar dari gerbang sekolah. Dengan cepat Yesha menghampiri anak itu dan kembali ke mobil dengan Ravindra yang b