Revan hanya diam dan tidak mengatakan apapun, walau hanya sekedar bergumam. Ia merasa tidak nyaman dengan sikap Yesha yang tiba-tiba perhatian kepadanya. Selama ini, jangankan para pelayan, ayahnya sendiri tidak pernah menanyakan apapun yang telah ia dan Raka lakukan. Meski begitu ia dan Raka tidak pernah menuntut lebih. Yang ia tahu adalah bahwa ayahnya sangat menyayangi mereka. Itu saja sudah lebih dari cukup. “Bunda tahu Revan tidak akan memulai perkelahian lebih dulu.” Yesha melanjutkan ucapannya karena Revan yang tidak kunjung membuka suara. Ia kembali memeluk, tangannya tidak pernah berhenti mengelus kepala Revan. “Bunda yakin Revan bukanlah anak nakal seperti yang ibu guru katakan. Revan adalah anak bunda yang paling baik.” “Tentu saja!” sahut Revan dengan suara serak. “Danu yang lebih dulu menyebutku anak pembawa sial dan tidak memiliki ibu. Dia memukulku lebih dulu karena aku mengabaikan dia saat dia menyebutku anak sial dan tidak memiliki ibu, jadi aku balas memukul dan men
Dadanya sakit, tetapi sebisa mungkin Yesha tidak menunjukkan emosi apapun pada raut wajahnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuhnya bergetar karena menahan emosi. Walau ia tidak sudi untuk berbicara dan mendengar suara laki-laki itu, tetapi saat ini ia tidak memiliki pilihan lain selain meladeni pria di hadapannya. Bagaimanapun saat ini ia bukan berada di tubuhnya sendiri, melainkan di tubuh orang lain. “Ya, kebetulan sekali,” ucapnya dengan senyum kecil menghiasi wajahnya, tetapi di dalam hati merutuki kesialannya hari ini karena bertemu dengan Arian. Ya, pria di hadapannya ini adalah Arian Rahandika, kekasihnya di kehidupan sebelumnya. Pria berengsek yang telah mengkhianatinya. “Kak Yesha, bisakah kita mengobrol sebentar?” ajak Arian penuh harap. “Maaf, Arian, aku tidak bisa.” Yesha menolak cepat. “Hanya sebentar saja, Kak.” “Maaf, Arian, tetapi sebentar lagi Raka pulang sekolah dan aku harus menjemput Raka.” “Kak, tolong bantu aku berbaikan dengan Vania. Sudah empat har
Yesha duduk di sofa tunggal yang ada di hadapan Rezvan. “Ini tentang Revan,” ucapnya langsung ke inti pembicaraan. “Ada apa dengan Revan?” tanya Rezvan cepat, ia akan selalu hilang kendali setiap kali menyangkut tentang anak kembarnya. “Tidak ada hal buruk yang terjadi dengan Revan.” Mendengar itu, Rezvan menghela napas lega di dalam hati. Ia menyandarkan tubuhnya kembali ke sandaran sofa. “Lalu apa masalahnya?” Yesha menatap Rezvan tepat di mata pria itu. “Tadi pagi pihak sekolah menelepon dan meminta wali dari Revan untuk datang ke sekolahan. Hanna memberitahuku jika selama ini kepala pelayan yang selalu datang sebagai wali dari anak-anak.” “Apa masalahnya kalau Dival yang datang ke sekolah sebagai wali dari Raka dan Revan? Aku sangat sibuk dan tidak ada waktu untuk berurusan dengan hal sepele seperti itu.” Rezvan berkata acuh tak acuh. Rezvan pikir Yesha akan mengatakan hal penting apa tentang anak-anaknya, tidak menyangka bahwa ia hanya mempertanyakan wali dari anak-anaknya.
Yesha menatap gedung dengan dua puluh lantai di hadapannya untuk sesaat sebelum melangkahkan kaki memasuki gedung. Selama menikah, pemilik tubuh tidak pernah sekalipun menginjakkan kaki di perusahaan Rezvan. Tidak heran jika para karyawan terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba ini. Mengabaikan tatapan terkejut para karyawan, Yesha berjalan menuju meja resepsionis dan langsung pergi ke ruang kerja Rezvan yang berada di lantai delapan belas seperti yang dikatakan oleh resepsionis itu. Sayangnya Rezvan tidak ada di ruang kerjanya ketika ia datang. “Permisi, ke mana Pak Rezvan?” tanya Yesha saat keluar dari ruang kerja Rezvan dan berpapasan dengan seorang wanita yang merupakan sekretaris Rezvan. Sama seperti para karyawan di lantai bawah, wanita itu pun terkejut dengan kedatangan Yesha. Namun secepat mungkin ia memasang senyum ramah dan berkata, “Pak Rezvan sedang ada rapat. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” “Tidak. Kira-kira kapan dia akan kembali?” “Kurang lebih tiga puluh menit
“Harus berapa kali kukatakan untuk tidak menemui Raefal di hadapanku?” bukannya menjawab, Rezvan justru bertanya balik kepada Yesha. “Aku tidak mempermasalahkan kau bertemu Raefal, berpelukan atau berciuman dengan dia. Hanya saja jangan pernah di depan rumahku, apalagi di depan gedung perusahaanku.” Rezvan menekankan kata terakhirnya. “Apa kau ingin merusak citraku dan membuat rumor yang mengakibatkan saham perusahaanku turun?” Saat kembali ke ruang kerjanya, Rezvan mendapat laporan dari sekretarisnya bahwa Yesha datang ke perusahaan dan mencari dirinya. Selain itu ia juga mendapatkan laporan dari asisten pribadinya bahwa Yesha bertemu dengan Raefal di depan gedung perusahaan. Tentu saja hal itu membuatnya geram bukan main. Sudah berulang kali ia memperingatkan Yesha untuk tidak bertemu pria lain di sekitar rumahnya, atau di mana tempat dirinya berada, apalagi di depan gedung perusahaannya. Namun sepertinya wanita itu sengaja mengabaikan peringatannya dan mencoba untuk mengejek dirin
“Masuk!” perintah Yesha dari dalam kamarnya. Pintu terbuka dan menampilkan sosok Hanna. Tadi setelah ia selesai memasak untuk makan siang, ia meminta Hanna untuk menemuinya di kamar setelah dirinya menemani Ravindra tidur siang. Ada sesuatu yang ingin ia bicarakan, dan ia merasa saat ini hanya kamarnyalah tempat teraman di rumahnya. “Hanna,” Yesha menatap Hanna yang berdiri di hadapannya. “Dari semua pelayan di rumah ini, aku hanya bisa mempercayaimu. Karena itulah aku ingin minta tolong kepadamu.” Hati Hanna menghangat, matanya berkaca-kaca mendengar ucapan Yesha. “Nyonya, terima kasih untuk kepercayaan yang Anda berikan. Saya berjanji akan menjaga kepercayaan Anda. Jadi, apa yang bisa saya lakukan untuk Anda, Nyonya?” “Aku ingin kamu mengawasi setiap pelayan di rumah ini, termasuk kepala pelayan, Dival.” Yesha berkata langsung ke intinya. Hanna heran dengan permintaan Yesha. Walau banyak pertanyaan di benaknya, tetapi ia tidak berani bertanya atau membantah. Ia hanya bisa menuru
Untuk sesaat Yesha tertegun mendengar panggilan Ravindra untuknya. Dadanya menghangat karena perasaan bahagia yang tiba-tiba menyelimuti dirinya. Tanpa ia sadari, pelukannya pada tubuh Ravindra semakin kencang. “Jangan tinggalkan Ravindra, Bunda,” pinta Ravindra di sela-sela tangisnya. Yesha tersenyum dan mengecup puncak kepala Ravindra berulang kali karena akhirnya ia bisa mendengar Ravindra memanggilanya bunda. “Iya, Sayang. Bunda tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi. Sekarang sudah malam, Ravindra tidur lagi, ya. Besok kan Ravindra masih harus sekolah.” “Hm!” Ravindra tidak melepaskan pelukannya. Keesokan harinya, di pagi hari saat ia sedang memandikan Ravindra, amarah Yesha benar-benar tidak terbendung kala mendapati tubuh Ravindra penuh dengan luka, baik yang baru maupun yang sudah lama. Dan setelah mengantar Ravindra ke sekolah serta mengunjungi makam orang tuanya, Yesha bergegas pulang dan meminta semua pelayan untuk berkumpul. Hari ini ia akan mendisiplinkan sem
Yesha dan Rvindra berada di ruang keluarga menonton televisi ketika Dival memintanya ke ruang kerja Rezvan tadi. Ia pikir saat ini Ravidnra telah pergi ke kamarnya. Namun siapa yang menyangka bahwa anak itu masih di sana menonton televisi seorang diri. “Bunda!” Ravindra memeluk Yesha yang duduk di sampingnya. “Apa papa memarahi bunda?” Ravindra sangat khawatir dan takut Rezvan akan memarahi Yesha karena telah bersikap baik kepadanya. Selama ini tidak ada orang, kecuali Hanna dan Aldo, yang memedulikan dirinya. Namun saat ini Yesha membelanya dari mereka yang selalu menyakiti dirinya. Bahkan memecat mereka demi dirinya. Selain itu, Ravindra juga merasa nyaman setiap kali Yesha memberikan perhatian kepadanya. Yesha tersenyum lebar dan membelai kepala Ravindra. “Tidak. Kenapa papa harus memarahi bunda?” “Karena bunda membela Ravindra,” ucap Ravindra jujur. “Papa tidak memarahi bunda. Seandainya papa memarahi bunda karena membela mereka, maka bunda akan memarahi papa kembali,” hibur Y