Entah mengapa, kota mati yang biasanya dipenuhi oleh zombie itu tampak benar-benar seperti kota mati yang sepi belakangan ini. Di sepanjang jalan saja, wanita itu tidak bisa menjumpai zombie yang biasanya berkeliling di sekitar jalanan atau rumah-rumah. Tampaknya relawan lain juga mulai menggosipkan hal yang sama belakangan ini. Beberapa mulai berasumsi bahwa zombie akhirnya habis di bawah perjuangan gigih manusia. Akan tetapi, wanita itu yakin bukan itu alasan utama zombie-zombie itu menghilang kini. Jumlah mereka banyak dan rasanya tidak mungkin jika mereka menghilang begitu saja sekarang. Perasaan wanita itu sedikit tidak enak, saat dia mulai menyusuri mall sepi itu dengan sangat hati-hati.
Tujuan utamanya merupakan supermarket yang terletak di lantai satu mall tersebut. Wanita itu mengambil apa pun yang masih bisa digunakan dan dimakan dari dalam sana. Perasaannya semakin buruk saat dia lagi-lagi tidak bisa menemukan satu pun zombie di tempat yang biasanya menjadi sarang dari zombie-zombie tersebut. Gerakannya untuk mengumpulkan semua yang dia butuhkan juag berubah semakin cepat, saat wanita itu dengan gesit mulai berjalan keluar mall tersebut dengan senjata yang terus berjaga di tangannya.
Pikirannya tumbuh semakin paranoid saat dia lagi-lagi tidak melihat satu pun zombie di bagian luar mall tersebut. Wanita itu baru selesai memasukan semua barang jarahannya ke dalam mobil, saat dia mendengar suara mobil lain yang dengan cepat terdengar semakin mendekatinya.
Wanita itu tidak memiliki waktu untuk pergi dengan damai saat mobil sedan asing tiba-tiba berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Senjata wanita itu segera berada dalam posisi siap ketika dia mengarahkannya pada siapa pun yang akan keluar dari mobil asing itu nanti. Wanita itu takut orang yang baru saja datang merupakan kelompok perampok, yang senang mengambil paksa barang-barang yang dengan susah payah telah dikumpulkan oleh para relawan.
"Tolong jangan tembak kami! Kami, kami hanya ingin mencari obat untuk putri kami!"
Namun ketika dia mendengar suara putus asa seorang pria yang mengangkat keduanya tangannya begitu dia keluar dari mobil, alis wanita itu segera berkerut ketika dia masih belum bisa memastikan pria itu mengatakan yang sebenarnya atau tidak. Wanita itu telah menemui berbagai macam tipu muslihat selama ini. Tipuan kecil seperti itu tidak akan berhasil, untuk wanita yang selalu waspada seperti dia.
"Dia... Dia mengatakan yang sebenarnya. Tolong Nona. Anak kami demam tinggi dan kami tidak memiliki makanan atau stok obat lagi. Kami hanya ingin mencari makanan dan obat di mall itu. Kami tidak akan menganggumu. Aku bersumpah atas nyawaku sendiri..."
Dari pintu belakang, keluar seorang wanita dengan seorang gadis kecil di dalam gendongannya. Gadis tersebut tampak berada dalam kondisi yang buruk dengan wajah memerah dan mata yang terpejam erat. Nafasnya juga tersegal-segal, seakan setiap hembusan nafasnya bisa saja menjadi hembusan nafas terakhirnya saat ini.
Gadis itu tiba-tiba saja mengingatkan wanita itu pada adiknya sendiri yang telah meninggal karena hal sama yang menimpanya. Adiknya merupakan anak yang selalu sakit-sakitan. Kerusuhan yang terjadi di mana-mana membuat wanita itu kesulitan mendapatkan obat tepat waktu saat itu. Pada akhirnya sang adik meninggal dalam dekapannya. Wanita itu yang menguburkannya sendiri, dan menangisinya sendiri setelah orang tuanya mereka berubah menjadi zombie di awal masa kerusuhan.
Hati wanita itu tanpa sadar menurunkan sedikit kewaspadaannya saat dia dengan cepat menghampiri wanita yang tengah menggendong anaknya tersebut. Wajahnya sedikit berubah saat dia menyentuh dahi gadis kecil itu yang terasa sangat panas di tangannya. Matanya menatap orang tua dari gadis itu denagn seksama, dan kembali lagi ke sosok gadis itu. Mereka sepertinya tidak berbohong. Karena mata keduanya tidak memiliki maksud jahat apa pun ketika dia menatapnya dengan seksama.
"Apa dia tergigit?" tanya wanita itu singkat. Sang ibu segera menggeleng. "Saat itu kami harus kabur dari kejaran zombie di tengah hujan lebat. Dia baru saja demam setelah itu," ujarnya buru-buru menjelaskan. Wanita itu tanpa permisi segera mengecek keadaan gadis itu beserta ibunya juga. Tidak ada tanda-tanda digigit. Keduanya aman untuk saat ini.
"Uh... Kami-"
"Kau, mendekat," titah wanita itu memotong pembicaraan sang ibu tadi. Ayah dari anak itu buru-buru mendekat, hanya untuk mendapatkan pemeriksaan yang sama seperti yang dijalani istri dan anaknya tadi.
"Kalian aman. Kalian akan pergi ke mana setelah ini? Senjata apa yang kalian miliki saat ini?"
Walaupun pasangan suami istri itu tidak mengerti apa maksud dari pertanyaan wanita itu sebenarnya, sang suami tetap berusaha tenang saat dia menjelaskan semuanya dengan sangat rinci.
"Kami... Kami mendengar bahwa kota ini telah bebas dari zombie untuk beberapa waktu dan mereka juga memiliki zona aman di tempat ini. Zona aman daerah asal kami sudah hancur oleh zombie... Kami tidak memiliki tempat untuk pergi lagi. Bahan bakar kami hampir habis dan kami tidak tahu harus kemana lagi. Zona aman yang terletak tidak jauh dari kota ini, akan menjadi satu-satunya harapan kami saat ini."
Pria itu juga menunjukan kapaknya pada wanita itu, agar wanita itu tidak lagi curiga terhadap mereka.
"Ini senjataku. Aku bersumpah, hanya senjata ini yang kami miliki saat ini."
Wanita itu menatap kapak berdarah itu dengan sikap apatis. Membawa itu saja tidak cukup untuk melindungi satu keluarga di situasi biasa. Wanita itu menghela nafas panjang, saat dia akhirnya membuat keputusan yang teramat berani dan tidak biasa untuk orang sepertinya.
"Mobil kalian tidak aman, apalagi senjata kalian. Kalian hanya akan mati sebelum kalian bisa membawakan obat untuk anak kalian dalam situasi saat ini. Pindahkan semua barang kalian ke mobilku. Di sana aman dan aku akan mengantar kalian ke zona aman setelah aku dan pria ini berhasil mengumpulkan obat untuk putrimu nanti."
Wanita itu bicara sambil menepuk bahu satu-satunya pria di antara mereka. Wanita itu terdiam sebentar, sebelum dia menambahkan ucapannya dengan nada yang sangat serius.
"Dan aku percaya zombie-zombie itu masih berkeliaran di kota ini. Mereka mungkin bersembunyi, tidur, atau melakukan apa pun yang tidak kita ketahui saat ini. Tapi aku bisa berjanji bahwa zona aman itu memang benar-benar ada. Aku berasal dari sana, dan datang ke tempat ini untuk mencari sumber daya saat ini."
Awalnya, sang ibu menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. Dia melirik suaminya untuk persetujuan, sebelum keduanya memutuskan untuk percaya pada wanita itu karena mereka sendiri tidak memiliki pilihan lain juga.
"Kamu ingin membantu kami?" tanya pria itu dengan heran. Di dunia yang kacau ini, rasanya hampir tidak mungkin seseorang bersedia membantu orang lain tanpa imbalan apa pun. Namun wanita itu malah menatap gadis kecil itu lama, sebelum menjawab pertanyaan itu dengan suara pelan.
"Aku hanya ingin membayar kesalahan yang pernah aku lakukan di masa lalu," ujarnya dengan berat. Pria itu terdiam sebelum membuang nafas panjang. Mungkin saja, di dunia ini masih ada orang-orang yang baik seperti wanita itu.
"Baiklah. Kami sangat menghargai bantuanmu, Nona..."
"Maya. Kamu bisa memanggilku Maya," ujar wanita itu cepat. Dia ikut membantu saat keluarga itu mulai memindahkan barang-barang mereka dari mobil mereka sendiri. Maya memang benar. Berpergian dengan mobil sedan yang rapuh memang terlalu berbahaya bagi mereka. Bertemunya mereka dengan Maya, seperti keajaiban di tengah keputusasaan ini.
"Aku Ben, ini istriku Elen dan anakku Laura. Kami senang bisa bertemu denganmu, Nona Maya," ujar pria itu sopan. Mereka telah selesai memindahkan barang-barang yang keluarga itu bawa setelah berkenalan. Maya lagi-lagi menyiapkan senjatanya, saat dia memastikan ibu dan anak itu aman terlebih dahulu sebelum dia mengajak pria itu untuk masuk lagi ke dalam mall besar itu.
"Kita bisa saling mengenal nanti. Sekarang kita harus segera pergi. Perasaanku sudah tidak enak sejak aku memasuki kota pada hari ini," ujar Maya memberi tahu. Ben mengangguk mendengar ucapan Maya. Pria itu juga ikut bersikap waspada, saat keduanya kembali masuk ke dalam mall besar yang sepi itu.
Maya menyusuri mall itu dengan sangat hati-hati. "Apotiknya mungkin ada di lantai dua," ujarnya setelah mereka tidak juga menemukan obat apa pun di lantai satu. Perlahan, mata pria itu menatap ragu lantai dua yang sedikit gelap tidak seperti lantai satu yang hampir segala sisinya disinari oleh matahari. Sama seperti Maya, perasaan Ben juga mulai tidak enak saat dia melihat lantai dua yang terlihat mencurigakan itu. Akan tetapi, Ben tahu anak dan istrinya tengah menunggu obat yang akan mereka bawakan saat ini. Mereka harus cepat, sebelum hal buruk benar-benar mendatangi mereka nanti."Baiklah. Ayo pergi," ujar Ben sambil berusaha memberanikan dirinya sendiri. Lagipula, mereka tidak juga menjumpai zombie apa pun sampai saat ini. Kepercayaan dirinya meningkat, saat keduanya mulai menaiki eskalator yang sudah mati untuk pergi ke lantai dua.Beruntung bagi mereka, toko apotik berada tidak jauh dari eskalator dan masih memiliki sedikit cahaya dari lampu yang kadang kala berk
Rasa sakit perlahan memudar saat Maya telah kehilangan kesadarannya. Hanya perasaan hangat dan lembut menyambutnya setelah itu. Maya tidak lagi merasakan perasaan sakit saat matanya telah benar-benar terpejam. Dunia mendadak terasa begitu sunyi, sampai Maya merasa bahwa dia berada dalam jurang kehampaan di mana dia bahkan tidak bisa mendengar suara nafasnya sendiri.Maya selalu berpikir. Bahwa ketika dia mati, mungkin dia akhirnya bisa memiliki kesempatan untuk bertemu keluarganya lagi dan mendapatkan maaf mereka setelah Maya merasa tidak bisa melindungi keluarganya sampai akhir. Maya mungkin bisa melihat adiknya lagi. Dan orang tuanya, yang terpaksa dia bunuh ketika keduanya berubah menjadi zombie dan hampir menyerang adiknya yang tengah sakit.Maya menunggu sampai keajaiban itu datang. Namun tidak peduli seberapa lama Maya menunggu, kegelapan yang meliputinya tidak juga menghilang. Perlahan perasaan tenang berubah menjadi perasaan gelisah.
Pisau yang berusaha dia pegang dengan susah payah jatuh begitu saja ke lantai setelah Maya sendiri terjatuh dengan keras. Nafas gadis itu sedikit tidak beraturan, saat kepalanya berdenyut semakin kencang dan ingatan-ingatan tidak dikenal mulai muncul di pikirannya.Awalnya ingatan-ingatan itu tampak samar dan buram seakan tengah ditutupi oleh sesuatu. Tapi seiring berjalannya waktu, suara itu terdengar semakin jelas sampai Maya merasa dirinya tengah melihat potongan film saat ini. Seorang gadis malang tengah menangis di hadapan kuburan dalam ingatan pertamanya, sebelum adegan berganti saat seorang pria membawanya ke rumah besar yang berisi banyak sekali pelayan yang menyambut kedatangan pria tersebut.Adegan kembali berganti saat gadis yang berpikir bahwa dia akan hidup nyaman mulai saat itu, malah mendapatkan neraka hidup dalam rumah besar itu. Walaupun dia merupakan anak dari pemilik rumah besar itu, gadis itu terus saja diperlakukan lebih
"Bagus sekali... Sepertinya percobaan bodohmu itu telah benar-benar merusak otakmu bukan? Menodongkan pisau buah pada calon suamimu sendiri. Apa kamu sekarang merasa bahwa kamu itu semacam pembunuh bayaran yang tidak kenal takut Nola?!"Maya benar-benar enggan untuk menatap mata Sarah ketika wanita itu akhirnya berani memarahinya lagi setelah Evan dan temannya sudah benar-benar pergi kali ini. Wanita itu benar-benar melukai kuping Maya dengan segala caciannya. Maya mengerutkan keningnya dengan jelas. Dia tidak percaya, Finola benar-benar bisa menahan semua cacian itu sepanjang hari di masa lalunya. Mungkin itu salah satu kelebihan gadis itu di antara segala kekurangannya. Ketika gadis itu mendengarkan Sarah terus bicara omong kosong, Maya benar-benar tengah mencoba menahan tangannya untuk tidak menyayat wanita itu dengan pisau buah yang sama saat ini. "Maya! Apa kamu mendengarkan aku?!""Lalu kamu ingin aku bagaimana?"Sarah menatap tidak percaya
Begitu semua orang telah ke luar, Maya segera menyeret selang infusnya agar dia bisa mencapai laci yang dimaksud perawat itu sebelumnya. Matanya berbinar saat dia melihat remote yang benar-benar ada di dalam laci tersebut. Ekspresi halusnya sama sekali tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya, ketika Maya menyalakan televisi dengan alis yang sedikit berkerut.Dalam keheningan, Maya terus mencari siaran yang kira-kira tengah menyiarkan berita terbaru. Walaupun sudah lima tahun berlalu semenjak meteor jatuh dan mengubah tatanan dunia, Maya masih ingat dengan jelas tanggal berapa meteor itu jatuh dan berbagai peristiwa penting dari kehidupannya sebelum ini. Maya mencoba mencari informasi sekecil apa pun dari lingkungan sekitarnya kini. Dia harus tahu dia berada di mana, tahun berapa sekarang ini, dan apakah dunia ini benar-benar sama atau tidak dengan dunia yang sebelumnya dia tempati.Karena jika Maya memang hanya mengulang waktu dengan tubuh yang berbeda, Maya jelas ha
"Kamu bilang, anak itu berani mengancam Evan menggunakan pisau ketika pria itu akhirnya mau mengunjungi anak itu?!" Di sebuah kamar, raungan seorang pria terdengar setelah pria itu selesai mendengarkan laporan yang diberikan oleh istrinya. Napas pria itu sedikit terengah-engah, setelah dia baru saja menumpahkan amarahnya secara tiba-tiba di umurnya yang sudah tidak muda lagi. Sang istri dengan perhatian berusaha menenangkan amarah suaminya dengan memeluk lengan pria itu. Wajah cantiknya yang dipoles oleh make up berusaha dibuat sesedih yang dia bisa, saat wanita itu berucap pada suaminya dengan nada yang menyedihkan. "Aku memang berhasil membuatnya berhenti. Namun setelahnya, dia malah melepaskan kemarahannya padaku Sayang. Nola biasanya tidak seperti ini. Aku tidak tahu apa yang salah, sampai dia harus menentang pertunangan ini begitu keras ketika kita hanya mencoba memikirkan kebaikannya."Pria itu dengan cepat meraih tangan istrinya ketika w
Di depan sebuah rumah sakit besar, berdiri seorang gadis yang tampak seperti baru saja mencapai usia remaja. Sosoknya kurus, setengah lengannya terlihat dari kemeja sedikit kebesaran yang kini gadis itu gunakan. Kulitnya benar-benar putih seolah-olah gadis itu tidak memiliki darah. Beberapa helai rambut berantakan yang menutupi wajah cantik gadis itu menambah kesan memikat dari gadis pendiam itu. Satu-satunya yang membuktikan bahwa dia bukan boneka hanyalah mata cerahnya yang menatap ke segalanya arah. Tampaknya tengah berusaha keras, untuk menyembunyikan perasaan tidak sabarnya untuk saat ini. "Nola, kamu akan kedinginan jika kamu hanya memakai pakaian tipis itu. Mengapa kamu tidak memakai jaket pemberian Mama? Kamu baru saja sembuh. Tidak baik bagimu untuk terkena angin ketika kamu baru saja keluar dari rumah sakit begini." Maya melirik Sarah yang berusaha bersikap baik padanya di depan orang-orang saat ini. Padahal sebelum ini, wanita itu tidak mau repot-repot men
Maya kembali terbangun ketika dia mendengar seseorang mencoba untuk membuka pintu kamarnya sendiri. Ketika Maya membuka matanya dan melihat langit-langit putih, dia tertegun sejenak saat dia sendiri tidak percaya dia bisa tidur selelap itu. Butuh beberapa saat baginya untuk bereaksi, sebelum dia dengan malas bangun dari posisi tidurnya. "Kenapa kamu tidak menjawabku jika kamu sudah bangun? Ingin berpura-pura mati lagi setelah Mama menguncimu di dalam kamar?" Maya baru saja duduk di tempat tidur ketika pintu kamarnya didorong terbuka oleh seseorang. Seorang gadis cantik dengan penampilan mewah berjalan ke tempat tidur dan mengerutkan kening padanya. Sosoknya yang cantik, benar-benar tidak cocok dengan temperamen buruknya yang sangat menyebalkan. Gadis itu mendengus saat dia melihat Maya baru saja bangun dari tidurnya. "Berpura-pura mati? Jangan mencoba untuk mati di rumah kami lagi jika kamu memang ingin mati. Kamu telah membuat Mama dan Papa melalui ha