Share

Chapter 9

Camille terkejut bukan main dan nyaris melempar buku yang sedang dibacanya. Suara pecahan itu terdengar sangat keras sampai-sampai Camille bergegas keluar dari kamar untuk melihat apa yang terjadi. Anehnya, tidak ada orang lain yang panik atau pun berlari keluar. Hanya ada Camille di lorong kamar itu. Camille menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari darimana sumber suara dan sekali lagi terdengar suara sesuatu yang pecah lagi. Kali ini Camille berlari menuju sumber suara dan menemukan sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit. 

“Gadis bodoh!!!” 

Terdengar suara Anna dari dalam kamar. Camille memutuskan untuk mengintip ke dalam dan melihat Anna dan Yuri di dalamnya. Yuri terlihat sedang menangis sejadi-jadinya sedangkan di sekitar Anna, ada banyak barang-barang yang sudah pecah berserakan. 

“Siapa yang mengajarimu untuk mendekati Ashe?! Bertahun-tahun aku memberikanmu pendidikan dan ajaran untuk bisa menjadi yang terbaik agar suatu hari nanti, kamu bisa mengalahkan Camille bodoh itu dan sekarang? Sekarang kamu adalah gadis bodoh yang kalah dari manusia sampah macam Camille!” 

“Ma! Aku sudah berusaha mendekati Allen, tetapi malam itu Ashe yang datang!” 

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Yuri. 

“Aku tidak peduli! Allen atau kamu berakhir di jalanan!” 

Anna berjalan ke arah pintu yang terbuka dan Camille dengan cepat bersembunyi di balik sebuah meja yang ada pada lorong kamar. Anna keluar dari kamar itu dan tidak lupa, dia membanting pintu kamar Yuri dengan sangat kencang sampai membuat vas yang ada di atas meja ikut bergetar karenanya. Anna melihat vas yang bergetar itu dan karena takut jatuh, dia membenarkan posisi vas itu. Beruntung, Anna tidak menyadari keberadaan Camille yang sedang bersembunyi di balik meja itu sambil menutup mulutnya dan menahan nafas. Setelah memastikan Anna sudah pergi, Camille keluar dari tempat persembunyian dan berjalan kembali ke dalam kamarnya. 

“Aku baru pernah melihat Anna semarah itu pada Yuri. Bukankah seharusnya Yuri adalah anak yang sangat disayangnya?” 

Dari pembicaraannya dengan Yuri, Camille mendengar Anna menyebutkan bahwa Yuri seharusnya mendekati Allen bukan Ashe. Dalam benaknya ada sebuah pertanyaan besar yaitu mengapa harus Allen? Beberapa kemungkinan jawaban muncul dalam benaknya, salah satu yang paling masuk akal adalah karena Allen adalah putra sulung dari raja yang berarti Allen adalah calon penerus, putra mahkota. 

“Lalu apa maksud dari ucapan Anna yang mengatakan jika Yuri gagal dia akan berakhir di jalanan?” 

Rumah dan keluarga ini cukup unik bagi Camille. Camille terduduk di kasurnya dan teringat akan buku diary yang tadi dibacanya. Camille kembali membaca diary itu. 

‘Selasa, 19 Januari XXXX

Papa membawa seorang wanita pulang ke rumah. Wanita itu sangat cantik dan elegan. Papa mengenalkannya padaku. Namanya adalah Anna Louise. Papa bilang papa mencintai Anna dan mereka akan menikah. Itu berarti Anna akan menjadi mamaku. Aku sayang padanya dan aku ingin keluargaku bahagia.’ 

Camille tersenyum membaca tulisan Camille kecil. Camille mengerti bahwa Camille yang sesungguhnya sangat mencintai keluarganya dan dia tidak ingin keluarganya tidak bahagia. Hanya saja dia tidak beruntung karena mendapatkan seorang ibu seperti Anna. 

Hari semakin larut dan rasa kantuk juga lelah tidak bisa ditahan lagi. Camille masuk ke dalam selimut dan memejamkan matanya. Camille membuka matanya dan mendapati dirinya berada di pinggir jalan. Di hadapannya ada sebuah tubuh yang terbujur kaku tergeletak di tengah jalan dengan genangan darah di sekitar tubuh itu. Seketika dia menyadari bahwa itu adalah dirinya, Yoon Yena, di malam kejadian. 

“A-Aku!” Camille berteriak tetapi tidak ada suara yang keluar. 

Suasananya sama persis saat di kehidupan sebelumnya, Camille atau Yoon Yena kehilangan nyawanya. Pemandangan itu bagaikan film dan Camille hanya menjadi penonton. Camille melihat seorang pria datang menghampiri tubuh tidak bernyawa itu. Pria itu adalah Hyun-Jung. Hyun-Jung berlutut dengan lemas lalu meraih tubuh Yena dan memeluknya sambil menangis. Tangannya bergetar selagi memencet tombol pada ponselnya untuk menelepon polisi dan juga medis. 

“H-Halo…” 

“Iya benar, t-tolong datangkan bantuan… Saya berada di depan bar di jalan xxx.” 

Suara Hyun-Jung bergetar. Hati Camille sakit melihatnya dan ketika telepon dimatikan, Hyun-Jung tidak henti-hentinya menangis sambil memeluk tubuh kaku Yena. 

“Yena…” 

“Kenapa ini harus terjadi padamu?” 

Hujan membasahi Hyun-Jung dan Yena yang tidak bernyawa. 

“Aku sangat menantikan besok… Aku sangat senang ketika mendengar bahwa kamu adalah tunanganku. Tapi kenapa… Kenapa hari bahagiaku harus berubah menjadi saat terburuk dalam hidupku… Yena…” 

Hyun-Jung terisak. Air mata mengalir di pipi Camille ketika ia melihat pemandangan itu sampai sebuah kalimat terucap dari mulut Hyun-Jung dan itu membuat hati Camille sangat sakit dan sedih. 

“Aku mencintaimu, Yoon Yena.” 

“Apa…? Tapi bukankah Hyun-Jung sudah bersama dengan Ji-Ah?” 

Adegan itu tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi sebuah adegan di rumah sakit. Kedua orang tua Yena berada di sana bersama dengan orang tua Hyun-Jung dan juga Hyun-Jung sendiri. 

“Yena!” isak tangis kedua orang tuanya pecah melihat keadaan putrinya yang sudah terbujur kaku. Hyun-Jung tidak henti-hentinya memandangi Yena dan kedua orang tuanya berusaha menguatkan anaknya. Ayah Yena menghampiri polisi yang berada di luar ruangan. 

“Pak, bagaimana dengan pelakunya? Apa nomor platnya berhasil didapatkan?” 

“Maafkan kami tapi kami masih belum menemukannya. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap siapa pengemudi mobil itu.” 

Ayah Yena berdebat dengan polisi itu dan ibunya hanya bisa menangis sambil memeluk tubuh putrinya. 

“Kenapa harus seperti ini… Maafkan jika ibu dan ayahmu terlalu keras padamu dan membuatmu tertekan…” 

Kaki Camille bergetar dan ia jatuh ke tanah sambil memegang dadanya. Sakit. Sakit sekali rasanya. 

“Ibu… Ayah…” 

Lalu adegan itu berubah lagi dan kali ini segalanya menjadi gelap. Camille berada dalam kegelapan dan dia melihat sekelilingnya untuk mencari cahaya atau apapun yang bisa ia temukan tetapi tidak ada yang dapat dia temukan. Dari belakangnya, terdengar sebuah langkah kaki yang berjalan mendekat padanya. Camille menoleh dan mendapati seseorang yang berjalan ke arahnya dan ketika orang itu berdiri di hadapan Camille, Camille terbangun. 

“Selamat pagi, nona Camille.” 

Seorang pelayan yang dilihatnya di hari pertama berdiri di sisi ranjangnya sambil tersenyum dan di tangannya ada sebuah sebuah baki berisi sarapan untuknya. 

“Sarapan untuk nona.” 

“Terima kasih…” 

Camille terbangun dari tidurnya dan duduk sambil memperhatikan pelayan itu menyiapkan sarapannya di atas kasur. Ini adalah kali pertamanya ia makan sarapan di atas kasur. Setelah menghabiskan sarapan, Camille keluar dari kamar dan ayahnya, Duke Kranz telah menantinya. 

“Selamat pagi, putriku.” 

“Selamat pagi, papa.” 

“Papa hanya ingin menyampaikan sesuatu. Papa tahu kamu adalah anak yang penuh rasa penasaran dan sejak kecil ambisimu untuk menjadi kepala keluarga Kranz berikutnya sangat besar. Papa harus menghadiri pertemuan para bangsawan untuk membahas… kejadian itu. Papa harap kamu tidak penasaran atau berusaha untuk mendekati tempat kejadian.” 

Camille menganggukkan kepalanya. “Aku paham.” 

“Gadis pintar. Kalau begitu papa pergi dulu.” 

Duke Kranz memberikan sebuah pelukan pada Camille sebelum pergi. Ada sebuah informasi baru yang dia dapatkan mengenai Camille yang belum dia baca di diary itu. Camille baru akan masuk kembali ke dalam kamar ketika seorang pelayan datang padanya. 

“Nyonya besar memanggil nona ke ruangannya.” 

“Apa lagi yang Anna inginkan?” 

Tanpa menjawab apapun, Camille mau tidak mau datang menghadap Anna. Camille membuka pintu kamar Anna dan di dalam, Anna sudah menunggunya sambil membaca sebuah dokumen. 

“Masuk.” 

Camille berdiri di hadapan meja Anna tanpa mengucapkan apapun. 

“Apa ayahmu tidak pernah mengajarimu untuk mengucapkan selamat pagi?” 

“Selamat pagi.” 

“Mengenai pesta semalam.” Anna berhenti sebentar untuk menyimpan dokumen yang tadi dibacanya. “Bukankah aku sudah mengatakan padamu bahwa Yuri yang akan menjadi pendamping pangeran?” 

“Iya.” 

“Lalu apa yang terjadi malam itu?” 

“Bukan salahku karena Allen berdansa denganku.” 

“Allen? Apa kalian sudah sebegitu akrabnya sampai memanggilnya tanpa gelar pangerannya?” 

Camille terkejut Anna tidak mengetahui kedekatannya dengan Allen bahkan sebelum dia terlahir kembali sebagai Camille Kranz. 

“Tidak… Kami tidak sedekat itu.” 

“Beruntung karena hari ini suasana hatiku sedang sangat baik. Kali ini aku akan memaafkanmu. Sekali lagi kamu menghalangi putriku untuk bisa bersama dengan pangeran, aku akan mengurungmu dan tidak akan ada sinar matahari lagi untukmu. Terlebih lagi, tidak akan ada lagi Allen untukmu. Sekarang keluar dari kamarku sebelum kamu menghancurkan suasana hatiku.” 

Camille bergegas keluar dari ruangan Anna karena ia juga tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan wanita jahat itu. Ketika pintu dibuka, Camille sangat terkejut karena di hadapannya, berdiri Yuri yang akan membuka pintu. 

“Yuri!” 

“...” 

Tanpa mengatakan apapun, Yuri langsung masuk ke dalam ruangan Anna. Di saat itu juga seorang pelayan yang tadi memanggilnya datang menghampiri Camille. 

“Nona, ada seseorang yang ingin bertemu dengan nona.” 

“Siapa dia?” 

“Pa—” 

Camille menutup mulut pelayan itu, memintanya untuk tidak berbicara dengan keras. Camille membawa pelayan itu ke tempat yang lebih sepi. Pelayan itu mengerti apa yang Camille inginkan lalu pelayan itu berbisik padanya. 

“Pangeran Allen dan Yang Mulia sedang menunggu anda di luar rumah.” 

“Jangan sampai ada yang tahu akan hal ini. Katakan pada ibu kalau aku sedang pergi dengan Cordelia.” 

“Saya mengerti, nona.” 

Camille bergegas keluar rumah untuk menghampiri Allen yang sedang menunggunya sambil membaca sebuah buku kecil. Allen terlihat tenggelam dalam buku itu dan ketika Camille menepuk pundaknya, Allen terkejut. 

“Astaga!” 

Buku yang Allen pegang terjatuh ke tanah. Camille membungkukkan badan untuk mengambil buku itu tetapi di saat yang sama, Allen juga melakukan hal yang sama. Kepala keduanya berbenturan dan Camille memegangi kepalanya sambil menggembungkan pipinya. 

“Allen!” 

“Camille! Apa kamu baik-baik saja?” 

Allen terlihat khawatir dan Camille tersenyum melihatnya. “Aku baik-baik saja. Omong-omong, buku apa yang sedang kamu baca?” 

“Buku—” 

Seketika Camille menyadari bahwa mereka masih berada di dekat rumah dan besar kemungkinan Anna melihat mereka berdua dari dalam rumah. Camille menarik Allen berjalan menjauh dari kediaman Kranz menuju sebuah taman yang terletak cukup jauh dari kediaman Kranz. 

“Kenapa ke tempat ini?” 

“Anna.” 

Allen langsung mengerti maksud dari perkataan Camille. Allen melihat sebuah bangku taman dan memutuskan untuk duduk di bangku itu diikuti dengan Camille. Keduanya terdiam dan Camille hanya menengadah ke atas, memperhatikan langit biru yang begitu cerah. 

“Oh ya, aku belum menjawab buku apa yang tadi aku baca ya.” 

Camille mengangguk lalu Allen menunjukkan buku yang tadi dibacanya. Sejarah Keluarga Kerajaan. Itulah judul buku yang tadi dibaca Allen. Sama seperti Camille, Allen yang saat ini ada di sebelahnya merupakan orang yang berbeda dan pastinya dia tidak mengerti tentang keluarga kerajaan. 

“Aku tahu kerajaan di dunia beda dengan di tempatku dan aku akan mencoba berbaur dan memahami seluk beluk kerajaan ini.” 

“Begitu juga denganku, Allen. Aku—” 

Allen seketika terdiam lalu ia mendekatkan jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh Camille untuk diam. Dari dekat tempat mereka duduk, mereka mendengar langkah orang yang berjalan di dekat semak-semak dan diam-diam mereka menguping pembicaraan orang lain itu. 

“Apa kamu sudah dengar kabar tentang Duke Bastien?” 

“Belum.” 

“Aku dengar beliau ditemukan di saluran irigasi dan keadaannya sangat… menyedihkan.” 

“Apa?! Tubuh seseorang yang ditemukan di saluran irigasi adalah tubuh seorang Duke?!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status