MasukPagi hari keempat setelah “insiden payung”
Hujan masih deras. Gerbang kampus sudah banjir kecil di trotoar. Kevin berdiri di tempat yang sama sejak jam 7.15. Tanpa payung. Baju putihnya basah kuyup, rambut menempel di dahi, tapi dia tetap berdiri tegak sambil senyum-senyum sendiri tiap ada mahasiswa lewat dan nyapa “Pagi, Vin!”. Ray lewat naik Bentley, turunin kaca. “Vin, lo gila?! Masuk mobil lah bego, lo sakit nanti!” Kevin cuma angkat tangan. “Gue janji sama seseorang.” Dito lewat naik ojek online, teriak dari kejauhan: “Lo udah kayak patung pahlawan cinta bro, pulanglahhh!” Tapi Kevin nggak bergeming. Jam 7.42. Nadia muncul di ujung jalan, kali ini bawa payung lipat murah warna biru tua. Dia lihat Kevin dari jauh, langsung melotot. Ini orang beneran nggak punya otak apa?! Dia percepat langkah, pura-pura nggak liat. Tapi pas nyaris lewat di samping Kevin, cowok itu tiba-tiba batuk-batuk pelan. Nadia ngerem. “Lo sakit?” Kevin senyum lemah (tapi tetep ganteng banget meski bibirnya agak pucat). “Belum. Cuma agak masuk angin.” Nadia langsung kesel sendiri. “Lo nunggu aku ya?” Kevin angguk pelan. “Iya. Gue bilang kan, tiap pagi.” “Lo gila.” “Mungkin.” Nadia tarik napas panjang. Lalu… tanpa ngomong apa-apa, dia tarik tangan Kevin masuk ke bawah payung kecilnya. Payungnya memang kecil banget. CUMA MUAT UNTUK SATU ORANG. Jadi hasilnya: Nadia dan Kevin nempel ketat. Bahu Kevin nempel ke bahu Nadia. Lengan mereka saling senggol. Bau shampo Kevin (yang mahal itu) langsung nyelinap ke hidung Nadia. Nadia langsung merah padahal hujan dingin. “Lo… lo bisa minggir dikit nggak?!” Nadia berusaha dorong Kevin pelan. Kevin malah nyengir. “Payungnya kecil, Nad. Kalau gue minggir, lo yang basah.” Sepanjang jalan ke gedung fakultas (400 meter), mereka diam. Cuma suara hujan sama detak jantung Nadia yang kayak drum konser. Pas sampai foyer gedung, Nadia langsung lepas tangan Kevin kayak tersengat listrik. “Makasih ya,” kata Kevin lembut. “Besok gue bawa payung gede.” Nadia nggak jawab. Dia buru-buru lari ke kelas, muka merah sampai telinga. Malam harinya. Kevin nggak bales chat grup sama sekali. Ray sama Dito panik. Ray: @kevinacathy bro lo hidup?! Dito: Dia demam 39 derajat katanya mbak di penthouse-nya. Dokter udah dateng. Nadia lagi di kos, lagi makan mie instan, tiba-tiba inget kejadian pagi tadi. Dia buka I* Kevin. Story terbaru: foto termometer 39,2 °C sama caption: “Masuk angin level dewa karena nunggu orang yang nggak mau diguyur bareng.” Nadia langsung panik. Ini gara-gara gue?! Dia buka chat yang masih tersimpan dari kemarin. Ngetik… hapus… ngetik lagi… Akhirnya jam 23.17 dia kirim: Nadia: Lo sakit beneran? Kevin balas dalam 10 detik (padahal lagi demam tinggi): Kevin: Iya. Tapi seneng banget tadi pagi bisa bareng lo walau cuma 5 menit. Worth it kok. Nadia langsung lempar HP ke kasur. “GILA INI ORANG NGOMONG APAAN SIH DEMAM TINGGI MASIH GOMBAL!!!” Tapi 5 menit kemudian dia ngetik lagi: Nadia: Lo minum obat belum? Kevin: Belum. Susah banget telen kapsul sendirian. Nadia: … Lo mau gue anterin obat apa?! Jangan ngarep! Kevin: Nggak ngarep kok. Cuma pengen denger suara lo sebelum tidur. Nadia langsung telpon. “HALO? LO BENERAN SAKIT APA NGGAK SIH?!” suara Nadia langsung tinggi. Kevin di ujung sana suaranya parau banget, tapi masih ketawa kecil. “Halo sayang… akhirnya lo telpon juga.” “SIAPA YANG SAYANG. Lo minum obat sekarang juga!” “Sendirian susah, Nad. Tangan gue lemes.” Nadia tarik napas dalam-dalam. “Lo tinggal di mana sih? Gue… gue anterin obat. TAPI CUMA OBAT. Abis itu gue pulang!” Kevin senyum lemah di tempat tidur king size-nya. “Serius?” “SERIUS. Alamat lo mana?!” Satu jam kemudian. Pintu penthouse Kevin dibuka sama mbak ART yang bingung. Nadia berdiri di depan pintu, basah kuyup karena payungnya ketutup angin, bawa kantong plastik Indimaret berisi paracetamol, vitamin C, sama bubur ayam. “Ehm… ini buat pasien.” Mbak ART langsung senyum lebar. “Mas Kevin di kamar, Non. Dari tadi manggil-manggil nama Nona Nadia pas ngigau.” Nadia muka merah lagi. “NGIGAU APA SIH?!” Dia masuk kamar Kevin dengan langkah gugup. Kevin lagi selonjoran di kasur, muka pucat tapi mata berbinar pas liat Nadia. “Lo… lo beneran dateng.” Nadia taruh kantong di meja. “Iya. Sekarang minum obat. Gue liatin.” Kevin duduk perlahan, buka satu kancing baju tidur karena panas. Nadia buru-buru buang muka. “Lo bisa cepet nggak?! Jangan buka-buka baju seenaknya!” Kevin ketawa kecil, langsung batuk. “Maaf… panas.” Nadia akhirnya nyodorin obat + air. Tangan mereka senggolan pas Kevin ambil gelas. Detik itu dunia kayak berhenti. Kevin tatap Nadia lama banget. “Makasih ya, Nad. Lo baik banget.” Nadia buru-buru berdiri. “Udah. Gue pulang.” Tapi pas mau keluar pintu kamar, Kevin panggil pelan: “Nad.” “Apa lagi.” “Besok… boleh bawa payung kecil lagi nggak? Gue suka deket-deket gitu sama lo.” Nadia nggak jawab. Dia cuma nutup pintu kamar agak keras… tapi senyum-senyum sendiri di koridor. Di luar hujan masih deras. Di dalam kamar, Kevin tidur sambil senyum lebar. Di kosan sempitnya, Nadia buka HP, buka chat Kevin, dan tanpa sadar ngetik: Nadia: Besok gue yang nunggu di gate jam 7.15. Lo jangan macem-macem demam lagi. Titik. Lalu dia kirim, langsung matiin HP, teriak ke bantal: “YA TUHAN AKU NGAPAIN SIH INI?!”Pagi hari.Penthouse Kevin gelap, hanya cahaya matahari pagi menembus tirai. Kevin berdiri di balkon dengan hoodie hitam, rambut berantakan, mata merah karena nggak tidur sama sekali.Nadia masih tertidur di sofa, wajahnya sembab setelah semalaman menangis dalam pelukannya.Arkan duduk di meja bar, laptop terbuka, kopi hitam yang sudah dingin.Kevin akhirnya buka suara tanpa menoleh:“Dia ada di Jakarta.”Arkan menghadap Kevin.“Lo yakin?”Kevin memasukkan rokok ke mulut, menyalakannya, menghembuskan asap cepat.“CCTV di bawah penthouse gue tadi malam… ada seorang cowok berdiri di seberang jalan selama empat menit.”Kevin membuang abu.“Tim keamanan gue telepon jam lima pagi.”Arkan tersentak.“Itu—”Kevin menatap Arkan dengan mata yang tajam dan gelap.“Kairo.”Arkan langsung menutup laptop.“Mana rekamannya?”Kevin menggeleng.“Dia nutup wajah. Hoodie hitam. Tapi… cara berdirinya, cara dia miring kepala sedikit…”Kevin menggertakkan gigi.“Itu gaya gue waktu SMA.”Arkan menelan luda
Video terus berjalan.Hujan.Suara langkah kaki di tanah basah.Napas seseorang yang terengah.Kevin menatap layar tanpa berkedip.Tubuhnya kaku.Di video, seorang remaja laki-laki menyeret tangan seorang gadis kelas 10 yang basah kuyup — rambutnya menempel di wajah, lututnya berdarah.Gadis itu adalah Nadia.Dan laki-laki itu—Kevin merasakan jantungnya berhenti.Remaja itu mendongak ke kamera.Wajahnya jelas.Fitur wajahnya… sama.Suara… sama.Tatapan… sama.Hanya lebih muda.Tiga tahun lebih muda.“Nggak… ini nggak bener…”Kevin mundur selangkah.Nafasnya patah.“Ini… gak mungkin… GAK MUNGKIN…”Di layar, remaja itu tersenyum kecil.Penuh obsesi.“Kalau gue nggak bisa punya lo, Nad…orang lain juga nggak boleh.”Kevin menutup mulutnya.Tangan gemetar.“VIN…”Nadia memegang hoodie Kevin, tubuhnya gemetaran.“Aku udah bilang… jangan liat…”Tapi Kevin menepis tangan Nadia—BUKAN karena marah pada Nadia.Melainkan karena dia merasa…dia sendiri sedang jatuh.“ITU SUARA GUE!!”Kevin bert
Gelap.Sunyi.Listrik padam total.Nadia memeluk dada Kevin, tubuhnya gemetar keras.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu lagi.Tiga kali.Pelan.Berirama.Kevin menoleh ke jendela besar penthouse yang sekarang hanya diterangi kilat hujan.“Nad, tetap di belakang gue,” bisiknya pelan.Nadia menggenggam baju Kevin sampai kusut.“Jangan buka, Vin… please…”Kevin menelan ludah, mengatur napas, langkahnya pelan mendekat ke kaca yang dipenuhi butiran air.Di luar sana, dari lantai 32, tidak mungkin ada orang yang bisa mengetuk kaca.Tidak ada balkon.Tidak ada akses servis.Hanya angin.Dan hujan badai.Tapi ketukan itu jelas.Terarah.Tok. Tok. Tok.Kilatan petir menyinari kaca sesaat.Dan Kevin melihatnya.Seseorang berdiri di rooftop gedung seberang.Bukan monster.Bukan bayangan kosong.Seseorang nyata.Pria muda, berjaket hitam, memegang…sebuah payung hitam persis seperti milik Arkan.Wajahnya tidak terlihat jelas.Tapi tubuhnya…sikapnya…Tidak asing.Kevin tidak bisa melihat detail — hujan t
Pukul 00.32 – Penthouse KevinHujan masih menghantam jendela kaca besar.Nadia duduk di sofa, dibungkus selimut tebal, wajahnya pucat.Matanya kosong.Kevin menyiapkan teh hangat, tapi tangannya gemetar.Ini pertama kalinya Kevin benar-benar melihat Nadia…hilang.Dia duduk di sebelah Nadia, pelan, takut membuatnya makin runtuh.“Nad…”Kevin menyentuh punggung tangan Nadia.Nadia terkejut kecil, lalu memalingkan wajah.“Sorry. Gue… gak bisa tenang.”Kevin menelan ludah.Napasnya pendek.“Lo boleh takut. Lo boleh nangis. Tapi lo gak sendirian.”Nadia menggigit bibir bawah, menahan tangis yang ingin meledak.“Kalau lo tau nama itu, Vin…segala hal tentang gue bakal berubah.”Kevin meraih wajah Nadia dengan kedua tangan, lembut.“Gue nggak peduli namanya.Gue peduli siapa yang bikin lo kayak gini.”Nadia menutup mata erat-erat.“Jangan paksa gue…”Kevin menunduk, menyentuh kening Nadia dengan keningnya.“Nad. Gue nggak mau kehilangan lo hanya karena rahasia yang lo simpan sendiri.”Nadia
Pukul 23.47 – Hujan tidak berhenti.Kos Nadia sunyi.Lampu kamar redup.Nadia duduk di lantai, punggung menempel tembok, lutut memeluk dada.HP-nya berkedip.Pesan dari nomor tak dikenal:“Link folder sudah dibuka 12 kali.Kevin akan tau semuanya dalam hitungan jam.”Nadia meraih rambutnya, menggenggam, tangan gemetar.“Kenapa… kenapa kalian lakuin ini lagi…”Air mata jatuh tanpa suara.Dia ingin teriak.Tapi tidak bisa.Dia ingin lari.Tapi kaki tidak mau bergerak.Dan saat Nadia hampir menutup HP—Tiba-tiba pintu kamarnya digedor KERAS.DUAK! DUAK! DUAK!“NADIA!”Nadia terlonjak.Itu suara Kevin.Panik.Marah.Patah.Nadia bangkit dengan lutut goyah, membuka pintu sedikit.“V–Vin… lo ngapain—”Pintu didorong Kevin langsung, dan Kevin masuk dengan napas liar, jas hujan masih meneteskan air ke lantai.Mata Kevin merah dan gelap.“Nadia.”Suaranya pecah.“Siapa yang ngirimin gue video itu?!”Nadia langsung membeku.Kevin memegang bahunya, bukan kasar—tapi terlalu keras sampai Nadia ter
Hujan deras turun sepanjang sore.Gedung kampus yang biasanya ramai berubah sunyi, hanya suara rintik-rintik menampar kaca.Nadia duduk di ruang panitia OSPEK, sendirian.Tangan memegang pencil, tapi tidak bergerak.Kertas jadwal ospek di depannya kosong.Matanya menerawang.Suara Arkan masih terngiang:“Lo bakal hancurin dia kalau lo gali masa lalunya.”Nadia menarik napas panjang, mencoba stabil.Tapi tiba-tiba pintu terbuka.Kevin.Dengan jas hujan hitam, rambut sedikit basah, mata merah karena kurang tidur.Tanpa bicara, dia masuk dan langsung mengunci pintu.Nadia kaget. “Vin?”Kevin jalan cepat ke arahnya, lalu jongkok di depan kursi Nadia.Dia memegang kedua tangan Nadia erat-erat, seperti takut gadis itu menghilang dari tangannya.“Nad… lo ngejauh lagi hari ini.”Nadia menggeleng. “Gue cuma capek.”Kevin menatap dalam.“Bilang sama gue kalau lo baik-baik aja.”Nadia diam.Detik itu juga Kevin tahu: dia tidak baik-baik saja.“Tadi lo nangis lagi, ya?”Kevin menyentuh pipi Nadia







