Share

Bab 4

Penulis: Anju
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-22 22:50:54

Pagi berikutnya, jam 7.10.

Nadia sudah berdiri di depan gate kampus.

Payung kecil biru tua di tangan, tas ransel usang di punggung, dan jantung yang deg-degan nggak karuan.

Gila. Gue beneran nungguin dia ya?

Orang yang kemarin gue bilang “jangan ganggu aku lagi” kok sekarang gue yang dateng duluan?

Dia mondar-mandir kecil di trotoar, sesekali buka HP, liat chat terakhirnya sendiri yang dikirim jam 1 malam karena nggak bisa tidur:

Nadia: Besok gue yang nunggu di gate jam 7.15. Lo jangan macem-macem demam lagi. Titik.

Kevin belum bales apa-apa. Mungkin masih tidur karena obat demam.

Hujan rintik-rintik kecil. Nadia buka payungnya, pura-pura sibuk scroll HP sambil ngintip ke arah jalan raya.

Jam 7.18.

Mobil Porsche midnight blue Kevin muncul dari kejauhan. Supirnya turunin Kevin di depan gate, cowok itu langsung lari kecil sambil bawa… payung polos 15 ribu dari Indimaret, warna hijau neon yang norak banget.

Nadia langsung ngakak kecil sendiri pas liat itu.

Kevin berhenti tepat di depan Nadia, napas agak ngos-ngosan karena lari.

“Pagi, Nad,” katanya sambil senyum lebar. Muka masih agak pucat sisa demam, tapi mata abu-abunya berbinar banget. “Lo beneran nungguin gue?”

Nadia buru-buru buang muka, pura-pura cuek. “Nggak. Kebetulan lewat.”

Kevin ketawa kecil. “Oh. Padahal gue udah beli payung 15 ribu sesuai janji.”

Dia buka payung hijau neon itu, langsung angkat tinggi-tinggi di atas kepala mereka berdua.

Payungnya gede, muat dua orang dengan longgar. Tapi Kevin sengaja berdiri agak deket, bahunya senggol bahu Nadia lagi.

Sepanjang jalan ke gedung fakultas, mereka ngobrol… ngobrol beneran.

“Beneran lo beli payung segini doang?” tanya Nadia sambil nyengir.

“Iya. Gue takut lo bilang matre lagi,” jawab Kevin polos. “Gue bahkan bayar cash biar nggak keliatan kaya.”

Nadia ngakak. “Lo emang bodoh.”

“Tapi bodoh yang lo tungguin pagi ini,” balas Kevin cepet.

Nadia langsung merah, buru-buru diam.

Mereka masuk foyer gedung fakultas bareng, payung hijau neon masih di tangan Kevin. Banyak mata yang melotot liat mereka.

Clarissa, Bella, Tasha, dan Lily lagi ngumpul di deket vending machine. Mulut mereka langsung menganga.

“ITU SIAPA YANG BARENG KEVIN???” jerit Clarissa pelan.

“Itu… itu cewek kantin kemarin kan?!” bisik Bella.

Mereka langsung ambil HP, foto diam-diam.

Kevin nggak peduli. Dia malah berhenti di depan kelas, balik badan ke Nadia.

“Besok gue yang nunggu lagi ya?”

Nadia angguk kecil. “Terserah.”

Lalu dia masuk kelas duluan, muka merah sampe telinga.

Kevin senyum-senyum sendiri kayak orang gila.

Sepanjang hari itu, kampus rame.

Grup WA “UNE Freshy Hunt 2025” meledak:

[Foto Kevin + Nadia bareng payung hijau neon]

“INI SIAPA WOI”

“CEWEK BEASISWA ITU YA TUHAN”

“Clarissa pasti marah bangettt”

“Kevin digoda Clarissa aja cuek, kok sama cewek biasa ini malah mesra??”

Clarissa beneran marah. Dia langsung bikin grup baru: “Anti Nadia Squad” isi dia, Bella, Tasha, Lily.

Clarissa: Kita harus cari tahu siapa cewek ini.

Bella: Gue denger dia anak beasiswa, miskin banget katanya.

Tasha: Pasti matre.

Lily: Kita harus kasih pelajaran.

Siang hari, kantin.

Nadia lagi makan nasi kotak sendirian di pojok biasa. Tiba-tiba Clarissa cs dateng, duduk di meja Nadia tanpa diundang.

“Hai… Nadia kan?” Clarissa senyum manis banget, tapi matanya kayak ular.

Nadia angkat kepala. “Iya. Ada apa?”

“Kamu deket sama Kevin ya sekarang?” tanya Bella langsung.

Nadia nyengir sinis. “Kenapa? Lo semua pacarnya?”

Clarissa ketawa kecil. “Bukan. Cuma ngingetin aja. Kevin tuh orangnya gampang bosen. Dia suka main-main sama cewek biasa buat sensasi. Abis itu dibuang.”

Nadia nggak goyah. “Oh. Makasih infonya. Tapi gue nggak butuh.”

Dia berdiri, ambil tray-nya, pindah meja.

Clarissa cs melotot.

Malamnya, Nadia cerita ke ibunya lewat telpon.

“Mam, ada cowok yang… agak ngeselin tapi baik.”

“Siapa Nak? Jangan-jangan anak orang kaya lagi yang mau mainin kamu.”

Nadia diam. “Mungkin.”

Di sisi lain, Kevin lagi di penthouse, lagi meeting sama Ray dan Dito.

“Lo beneran serius sama Nadia?” tanya Ray.

“Serius banget.”

“Lo tau kan Clarissa cs lagi kesel?” kata Dito sambil makan keripik. “Mereka bisa jahat loh.”

Kevin cuma senyum. “Gue nggak peduli.”

Hari berikutnya, Kevin mulai “operasi taklukin Nadia level pro”.

Pagi: nunggu di gate, bawa dua gelas kopi susu dari Starbucks — satu biasa, satu less sugar karena dia tau Nadia nggak suka manis banget.

Siang: diam-diam taruh catatan kecil di loker Nadia:

“Nasi kotak lo pasti dingin lagi. Nih gue beliin roti bakar keju dari kantin. Makan ya – Orang yang lo tungguin kemarin.”

Sore: pas kelas kelompok Ekonomi Makro, Kevin sengaja pindah kelompok biar satu kelompok sama Nadia.

“Sekarang kita satu kelompok ya, Nad,” katanya sambil nyengir.

Nadia melotot. “Lo ngatur dosen?!”

“Iya. Gue donasi buat lab baru.”

Nadia cuma geleng-geleng kepala, tapi sudut bibirnya naik sedikit.

Malam hari, chat mereka mulai panjang.

Kevin: Lo udah makan malam belum?

Nadia: Udah. Mie apa lagi.

Kevin: Besok gue jemput ya, makan bareng.

Nadia: Nggak usah.

Kevin: Gue bawa mobil jelek aja, Avanza butut punya supir gue. Biar lo nggak malu.

Nadia: …Lo emang nggak ada capenya ya?

Kevin: Capek iya, tapi buat lo nggak.

Nadia senyum-senyum sendiri di kos.

Hari Sabtu, akhir pekan pertama.

Kevin nekat.

Kevin: Nad, besok minggu. Kosong kan?

Nadia: Iya kenapa?

Kevin: Gue jemput jam 9 pagi. Kita jalan.

Nadia: Ke mana?

Kevin: Rahasia. Pakai baju santai aja.

Nadia bingung setengah mati. Akhirnya bales: Oke.

Minggu pagi, jam 8.55.

Bukan Porsche yang dateng ke depan kosan Nadia di pinggiran Jakarta Selatan.

Tapi… Avanza silver tua tahun 2012, baret-baret kecil di bumper.

Kevin turun dari kursi supir sendiri (dia yang nyetir), pakai kaos polos abu-abu, celana jeans sobek lutut, sepatu Converse usang.

Nadia keluar kos, melotot.

“Itu beneran mobil lo?”

Kevin nyengir. “Pinjem punya Pak Ujang supir gue. Biar lo nyaman.”

Nadia naik mobil, masih bingung.

Mereka jalan ke… pasar tradisional deket situ.

“Lo ngajak gue ke pasar?” tanya Nadia.

“Iya. Lo kan biasa belanja di sini sama mama lo. Gue mau belajar.”

Nadia ngakak. “Lo? Belanja di pasar? Lo pernah pegang uang 10 ribu nggak?”

Kevin cuma senyum.

Mereka turun. Kevin bawa keranjang anyaman, Nadia yang ngarahin.

“Ambil tomat yang merah ya, jangan yang busuk.”

Kevin ambil tomat, tapi salah ambil yang setengah busuk.

Nadia ketawa ngakak. “Kamera mana? Gue rekam buat bukti Kevin Aprilio Cathy nggak bisa bedain tomat!”

Kevin malah foto selfie bareng Nadia di depan tumpukan sayur.

“Eh jangan!” Nadia coba tutup muka.

“Tapi lo cantik banget pas ketawa gini.”

Nadia langsung merah.

Mereka belanja banyak: sayur, ikan, telor, sampe penjualnya bingung liat cowok ganteng banget kok belanja murah.

Total belanja: 87 ribu.

Kevin bayar pake uang cash dari dompet kulit yang jelas mahal, tapi dia pura-pura biasa aja.

Abis itu mereka duduk di warung makan pinggir pasar, makan soto ayam 15 ribu per mangkok.

Kevin makan lahap banget.

“Enak ya?” tanya Nadia.

“Enak banget. Lebih enak dari restoran bintang 5.”

Nadia diam, liat Kevin yang lagi nyeruput kuah soto.

Ini beneran Kevin Aprilio Cathy yang aset keluarganya triliunan?

Sore harinya, Kevin anter Nadia pulang.

Pas mobil berhenti di depan kosan, hujan deras tiba-tiba turun.

Mereka berdua di dalam mobil, diam.

Kevin matiin AC, buka sedikit kaca biar suara hujan masuk.

“Nad.”

“Iya?”

“Gue suka banget hari ini.”

Nadia diam.

“Gue nggak bohong. Gue nggak pernah seneng gini sama siapa-siapa.”

Nadia tatap Kevin. Matanya mulai basah.

“Lo tau nggak, Kevin? Gue takut.”

“Takut apa?”

“Takut lo cuma lagi sensian. Takut besok lo bosen. Takut… gue jatuh cinta beneran, terus lo pergi.”

Kevin pelan-pelan deketin tangannya, genggam tangan Nadia.

“Gue nggak akan pergi. Gue janji.”

Lalu dia deketin muka.

Nadia nggak mundur.

Jarak mereka tinggal 5 cm.

Detik berikutnya…

HP Nadia bunyi.

Notif WA dari nomor baru:

“Lo pikir lo pantas sama Kevin? Cewek miskin kayak lo cuma mainan. – C”

Nadia langsung mundur, buka chat itu.

Ada foto dia sama Kevin di pasar tadi, diedit jadi Nadia keliatan matre banget.

Kevin liat, mukanya langsung gelap.

“Clarissa.”

Nadia tarik napas panjang. “Antar gue pulang sekarang.”

“Nad—”

“Sekarang, Kevin.”

Kevin nurut.

Sepanjang jalan pulang, Nadia diam.

Pas sampai kosan, Nadia turun tanpa ngomong apa-apa.

Kevin cuma bisa liat Nadia masuk kamar, nutup pintu keras.

Malam itu, chat Kevin nggak dibales.

Nadia lagi nangis di kosan.

Ibu telpon.

“Nak, kamu kenapa?”

“Aku takut, Mam. Aku takut jatuh cinta sama orang yang nggak mungkin.”

Di penthouse, Kevin lagi marah besar.

Dia telpon Clarissa.

“Lo ngapain kirim pesan ke Nadia?!”

Clarissa ketawa di ujung sana. “Biar dia sadar diri aja, Vin. Dia nggak level sama kita.”

“Lo nggak ngerti apa-apa, Clar. Gue suka Nadia. Beneran suka.”

Clarissa diam.

“Kalau lo ganggu dia lagi, gue bakal bikin lo nyesel seumur hidup.”

Kevin matiin telpon.

Lalu dia buka chat Nadia, ngetik panjang:

Kevin: Nad, maaf. Ini salah gue. Gue yang bikin lo kena masalah.

Tapi tolong… jangan pergi.

Gue beneran sayang sama lo.

Bukan main-main.

Nadia baca pesan itu jam 2 malam.

Dia nangis lagi.

Tapi kali ini… dia bales:

Nadia: Besok ketemu di kampus.

Kita bicara.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 22

    Pagi hari.Penthouse Kevin gelap, hanya cahaya matahari pagi menembus tirai. Kevin berdiri di balkon dengan hoodie hitam, rambut berantakan, mata merah karena nggak tidur sama sekali.Nadia masih tertidur di sofa, wajahnya sembab setelah semalaman menangis dalam pelukannya.Arkan duduk di meja bar, laptop terbuka, kopi hitam yang sudah dingin.Kevin akhirnya buka suara tanpa menoleh:“Dia ada di Jakarta.”Arkan menghadap Kevin.“Lo yakin?”Kevin memasukkan rokok ke mulut, menyalakannya, menghembuskan asap cepat.“CCTV di bawah penthouse gue tadi malam… ada seorang cowok berdiri di seberang jalan selama empat menit.”Kevin membuang abu.“Tim keamanan gue telepon jam lima pagi.”Arkan tersentak.“Itu—”Kevin menatap Arkan dengan mata yang tajam dan gelap.“Kairo.”Arkan langsung menutup laptop.“Mana rekamannya?”Kevin menggeleng.“Dia nutup wajah. Hoodie hitam. Tapi… cara berdirinya, cara dia miring kepala sedikit…”Kevin menggertakkan gigi.“Itu gaya gue waktu SMA.”Arkan menelan luda

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 21

    Video terus berjalan.Hujan.Suara langkah kaki di tanah basah.Napas seseorang yang terengah.Kevin menatap layar tanpa berkedip.Tubuhnya kaku.Di video, seorang remaja laki-laki menyeret tangan seorang gadis kelas 10 yang basah kuyup — rambutnya menempel di wajah, lututnya berdarah.Gadis itu adalah Nadia.Dan laki-laki itu—Kevin merasakan jantungnya berhenti.Remaja itu mendongak ke kamera.Wajahnya jelas.Fitur wajahnya… sama.Suara… sama.Tatapan… sama.Hanya lebih muda.Tiga tahun lebih muda.“Nggak… ini nggak bener…”Kevin mundur selangkah.Nafasnya patah.“Ini… gak mungkin… GAK MUNGKIN…”Di layar, remaja itu tersenyum kecil.Penuh obsesi.“Kalau gue nggak bisa punya lo, Nad…orang lain juga nggak boleh.”Kevin menutup mulutnya.Tangan gemetar.“VIN…”Nadia memegang hoodie Kevin, tubuhnya gemetaran.“Aku udah bilang… jangan liat…”Tapi Kevin menepis tangan Nadia—BUKAN karena marah pada Nadia.Melainkan karena dia merasa…dia sendiri sedang jatuh.“ITU SUARA GUE!!”Kevin bert

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 20

    Gelap.Sunyi.Listrik padam total.Nadia memeluk dada Kevin, tubuhnya gemetar keras.Tok. Tok. Tok.Ketukan itu lagi.Tiga kali.Pelan.Berirama.Kevin menoleh ke jendela besar penthouse yang sekarang hanya diterangi kilat hujan.“Nad, tetap di belakang gue,” bisiknya pelan.Nadia menggenggam baju Kevin sampai kusut.“Jangan buka, Vin… please…”Kevin menelan ludah, mengatur napas, langkahnya pelan mendekat ke kaca yang dipenuhi butiran air.Di luar sana, dari lantai 32, tidak mungkin ada orang yang bisa mengetuk kaca.Tidak ada balkon.Tidak ada akses servis.Hanya angin.Dan hujan badai.Tapi ketukan itu jelas.Terarah.Tok. Tok. Tok.Kilatan petir menyinari kaca sesaat.Dan Kevin melihatnya.Seseorang berdiri di rooftop gedung seberang.Bukan monster.Bukan bayangan kosong.Seseorang nyata.Pria muda, berjaket hitam, memegang…sebuah payung hitam persis seperti milik Arkan.Wajahnya tidak terlihat jelas.Tapi tubuhnya…sikapnya…Tidak asing.Kevin tidak bisa melihat detail — hujan t

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 19

    Pukul 00.32 – Penthouse KevinHujan masih menghantam jendela kaca besar.Nadia duduk di sofa, dibungkus selimut tebal, wajahnya pucat.Matanya kosong.Kevin menyiapkan teh hangat, tapi tangannya gemetar.Ini pertama kalinya Kevin benar-benar melihat Nadia…hilang.Dia duduk di sebelah Nadia, pelan, takut membuatnya makin runtuh.“Nad…”Kevin menyentuh punggung tangan Nadia.Nadia terkejut kecil, lalu memalingkan wajah.“Sorry. Gue… gak bisa tenang.”Kevin menelan ludah.Napasnya pendek.“Lo boleh takut. Lo boleh nangis. Tapi lo gak sendirian.”Nadia menggigit bibir bawah, menahan tangis yang ingin meledak.“Kalau lo tau nama itu, Vin…segala hal tentang gue bakal berubah.”Kevin meraih wajah Nadia dengan kedua tangan, lembut.“Gue nggak peduli namanya.Gue peduli siapa yang bikin lo kayak gini.”Nadia menutup mata erat-erat.“Jangan paksa gue…”Kevin menunduk, menyentuh kening Nadia dengan keningnya.“Nad. Gue nggak mau kehilangan lo hanya karena rahasia yang lo simpan sendiri.”Nadia

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 18

    Pukul 23.47 – Hujan tidak berhenti.Kos Nadia sunyi.Lampu kamar redup.Nadia duduk di lantai, punggung menempel tembok, lutut memeluk dada.HP-nya berkedip.Pesan dari nomor tak dikenal:“Link folder sudah dibuka 12 kali.Kevin akan tau semuanya dalam hitungan jam.”Nadia meraih rambutnya, menggenggam, tangan gemetar.“Kenapa… kenapa kalian lakuin ini lagi…”Air mata jatuh tanpa suara.Dia ingin teriak.Tapi tidak bisa.Dia ingin lari.Tapi kaki tidak mau bergerak.Dan saat Nadia hampir menutup HP—Tiba-tiba pintu kamarnya digedor KERAS.DUAK! DUAK! DUAK!“NADIA!”Nadia terlonjak.Itu suara Kevin.Panik.Marah.Patah.Nadia bangkit dengan lutut goyah, membuka pintu sedikit.“V–Vin… lo ngapain—”Pintu didorong Kevin langsung, dan Kevin masuk dengan napas liar, jas hujan masih meneteskan air ke lantai.Mata Kevin merah dan gelap.“Nadia.”Suaranya pecah.“Siapa yang ngirimin gue video itu?!”Nadia langsung membeku.Kevin memegang bahunya, bukan kasar—tapi terlalu keras sampai Nadia ter

  • Terlalu Kaya dan Tampan   Bab 17

    Hujan deras turun sepanjang sore.Gedung kampus yang biasanya ramai berubah sunyi, hanya suara rintik-rintik menampar kaca.Nadia duduk di ruang panitia OSPEK, sendirian.Tangan memegang pencil, tapi tidak bergerak.Kertas jadwal ospek di depannya kosong.Matanya menerawang.Suara Arkan masih terngiang:“Lo bakal hancurin dia kalau lo gali masa lalunya.”Nadia menarik napas panjang, mencoba stabil.Tapi tiba-tiba pintu terbuka.Kevin.Dengan jas hujan hitam, rambut sedikit basah, mata merah karena kurang tidur.Tanpa bicara, dia masuk dan langsung mengunci pintu.Nadia kaget. “Vin?”Kevin jalan cepat ke arahnya, lalu jongkok di depan kursi Nadia.Dia memegang kedua tangan Nadia erat-erat, seperti takut gadis itu menghilang dari tangannya.“Nad… lo ngejauh lagi hari ini.”Nadia menggeleng. “Gue cuma capek.”Kevin menatap dalam.“Bilang sama gue kalau lo baik-baik aja.”Nadia diam.Detik itu juga Kevin tahu: dia tidak baik-baik saja.“Tadi lo nangis lagi, ya?”Kevin menyentuh pipi Nadia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status