"Kapan giliran saya?" tanyaku pada PJ acara."Setelah ini, Gus. Selesai Mbak Liana Anindita." Lelaki yang membawa kertas di tangan itu menjawab."Hem." Aku manggut-manggut. "Memangnya Mbaknya itu siapa?" Penasaran saja karena bisa sampai diundang di acara sebesar sekarang. Seminar mahasiswa yang melibatkan beberapa kampus sebagai peserta. "Beliau dosen di Universitas Islam. Diundang jadi pembicara karena mendapat nilai comelaude saat lulus S1 di sini.""Waw, S1 jadi dosen?""Bukan, beliau sudah S2. Direkomendasikan langsung oleh profesor saya jadi dosen di Universitas Islam.""Memangnya S2 di mana?" "Sastra Arab di Malaysia." "Wah jauh." Entah kenapa aku jadi banyak bertanya. Padahal tak ada ketertarikan sedikit pun pada gadis itu, walau tadi sempat berpapasan sebentar. Gadis yang terlihat manis dengan hijab lebarnya. Perempuan bernama Liana itu terus bicara di atas podium. Sejak memperkenalkan diri aku sama sekali tak tertarik atau pun peduli hingga dia mengulas sebuah pernyataa
"Memangnya kalau kakak ikut, Li mau kasih apa?" godaku pada gadis cantik di ujung telepon, yang akhir-akhir ini selalu bersikap manja."Em, apa ya ....? Kakak mau apa? Bakso?""Gak lah. Bosen. Mau yang lebih dari itu ....""Apa ya? Semuanya udah aku kasih ke Kakak lho. Sampe bingung mau kasih apa lagi?" "Masa? Kakak ngerasa belum semua, deh. Kakak maunya yang lebih lho.""Hem. Mulai deh .... tolong dikondisikan ya pikirannya. Tidak ada kemesuman di antara kita." Li seolah tahu apa yang kupikirkan. Ini gara-gara Doddy yang manas-manasin tempo hari. "Cewek ... sebelum lo tiduri, dia bakal campakkan lo setelah dapat pria yang lebih baik!" ucapnya meremehkan. Pemuda itu jauh lebih muda dariku, tapi otaknya ngeres luar biasa. Gara-gara itu aku jadi sering iseng godain Li untuk diajak ML."Ya, udah. Pokoknya ikut aja. Hang out kali ini bakalan seru, karena Liana Anindita yang jadi peje-nya.""Yah, okelah apa sih yang nggak buat Li.""Janji?!""Ish kayaknya gak bisa banget ya jauh-jauh da
Langkahku perlahan memasuki kamar dengan ornamen klasik. Menapaki deretan keramik kotak besar yang berkilau sepanjang ruangan. Perabot mewah juga berjajar di sana. Dari sini semua orang akan tahu bahwa Fay berasal dari keluarga kaya, papanya juga seorang pria keturunan Belanda. Mereka punya banyak bisnis yang dijalankan oleh orang lain.Pernah suatu ketika saat bersama, aku mengejek Fay karena meminta ditraktir bakso di warung favorit kami."Ye ... masa anak orang kaya minta traktir!" Dia hanya tertawa gemas. Tak jarang rekeningku tiba-tiba gendut, dan ketika aku menanyakan, Fay seringkali berkilah.Pria itu seringkali bersikap sederhana. Tak menampakkan sedikit saja kesombongannya karena memiliki harta lebih. Hem, kenapa Fay kembali mengisi ingatan? Ini pasti karena cemburu yang kurasakan lantaran tahu tentang masa lalu Gus, lalu sisi burukku membalas dendam dengan mengingat kebaikan Fay. Seolah lupa, pria itu yang mendatangkan prahara dalam hidupku.Kututup pintu kamar setelah se
"Mau tambah?" Fay bertanya, tangannya memangku kepala di atas meja.Aku menggeleng. "Udah kenyang Kakak Sayang.""Masa makan dikit udah kenyang?""Ini semangkok lho, bakso pula. Ish ... kasian perut nih, terlalu berat makannya." Kuputar tangan mengusap perut, memperlihatkan pada Fay betapa kenyangnya aku."Biasanya aku gak pernah lho nyiksa perut gini. Demi Kakak, kujadwal makan beginian," sambungku lagi sambil menyeruput air putih hangat dalam gelas."Emang biasa makan apa?""Yang sehat lah, sayur, buah ....""Cokelat." Fay menyela, sambil memiringkan senyum. "Percuma makan sehat kalau doyan ngemil cokelat." Tangannya mengaduk-ngaduk es teh dalam gelas."Kan ngemilnya gak terus-terusan," bantahku. "Serius, deh. Aku punya pencernaan sensitif. Pernah dulu tiap hari makan bakmie saking doyannya, dapat seminggu langsung drop. Abah sama Ibu sampe bingung. Akhirnya dibawa ke rumah sakit dan opname. Katanya lambungku radang. Sejak saat itu, tiap pagi aku cuma makan umbi-umbian sama jus."
"Wah, musim dingin." Bude Arina melangkah mendekat jendela. Dari sana benda putih-putih mulai berjatuhan dari langit.Aku melihatnya dengan takjub, berjalan mengikuti Bude di belakangnya."MaasyaAllah. Ini kah salju pertama?" Melihat pada Bude lalu menengok pada Gus Bed. Barangkali seperti kemarin saat ia bersikap layaknya pemandu wisata yang menjelaskan banyak hal padaku. Gus tampak tak tertarik, fokus makan dan tak peduli pada kami.Bude Arina menangkap hal itu. Ia mengalihkan obrolan dengan memintaku kembali ke kursi melanjutkan sarapan."Kamu harus banyak makan, Nduk. Sebelum benar-benar ngidam masuk bulan ke dua. Mual kemarin mungkin karena masuk angin." Bude menambahkan kentang rebus ke piringku."Hem. Ya, Bude." Aku tersenyum miris. Sungguh suasana ini begitu canggung. Aku tak kuat jika terus diperlakukan dingin oleh Gus Bed."Oya, bude harus ke kantor migrasi hari ini. Kalian harus berkeliling. Salju pertama akan jadi pemandangan indah untuk dilihat. Gunakan jaket tebal. Titi
Jari-jariku bergerak mengusap kaca yang basah akibat uap salju, sembari memegang ponsel di sisi tangan lain. Aku tersenyum ketika sebuah nama terukir di sana. 'Ubaidillah'Bahkan hanya membaca namanya saja dadaku berdebar."Ya, Bu?" Kusapa lagi orang di ujung telepon. Ibu tak pernah lupa bertanya bagaimana kabar anaknya yang berjauhan dari keluarga. Setidaknya dalam seminggu bisa dua kali kami saling sapa lewat seluler."Ndak ada yang terjadi kan?""Ndak, Bu. Bude Arina sangat baik, Bu. Dia berbeda dengan ...." Ucapanku menggantung, enggan menyebut pria jahat yang notabene adalah darah daging Bude Arina."Hari ini kami akan berkeliling Amsterdam," sambungku diikuti tawa kecil bahagia."Alhamdulillah, ibu senang. Kamu berhak bahagia, Li. Sebenarnya ibu mau menyampaikan apa yang Om kamu katakan.""Soal kampus?" "Ya. Lebih dari itu. Tapi sepertinya nanti saja. Sekarang gunakan bulan madu kalian untuk bersenang-senang." Ibu menyambung.Dahiku mengerut. Apa maksud Ibu? Ada masalah kah? A
"Siapa sih, ini?" Sementara aku memegang map dan bolpoin mencatat nama latin tumbuhan yang berjejer di depan, seseorang menutup mata dengan dua tapak tangannya dari belakang.Aku sebenarnya mengenal bau maskulin yang berasal dari tubuhnya. Tubuh pria yang selalu kurindukan setiap waktu."Coba tebak!" Fay bicara dengan mengecilkan suara menyerupai perempuan. Aku tertawa karenanya."Kalau bener dikasih apa?" candaku yang senang, akhirnya setelah seminggu tak bertemu, ia datang memberi kejutan."Semua yang Mbak mau, cintaku, uangku juga tubuhku. Ambil saja!"Tawaku seketika reda. Kulepas tangan Fay dari mataku. Kutatap tajam ke arah pria itu."Tubuh?"Fay menaikkan satu sudut bibirnya."Apa lagi? Bahkan demi kamu kakak rela mati.""Nggak lucu!" Aku melewatinya. Mencari tanaman lain untuk kutulis dalam laporan."Ini kah sambutan atas kerinduanku yang menggunung?" Fay merentangkan dua tangan.Aku melirik sebentar. Lalu kembali sibuk dengan tugas."Hem?!" Fay menggerakkan dua tangan."Huf
"Li, kebaikan apa pun yang Fay tampakkan jangan mempercayainya. Saat ini antara kamu dan Fay hanya 'MENGHANCURKAN ATAU DIHANCURKAN.'" Ibu kini mewanti-wanti."Ya, Bu.""Apa kamu sudah tidur, Li? Maaf jika Ibu mengganggu.""Hem?" Aku kembali melirik jam dinding. Lalu menyamakan waktu yang ada di ponsel. Benar jam 03.18. Kenapa Ibu tanya begitu? Apa Ibu bergadang?"Ya, sudah. Li tidurlah. Ingat pesan Ibu, jangan terperdaya oleh sikap Fay, dan lekaslah pulang ke Indonesia. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku pelan. Ucapan Ibu seolah terpatri dalam ingatan, kalimatnya sama persis yang Shinta ucapkan dulu padaku.Hari itu ia berlari terengah menghampiri. "Li ... Lo harus tau seperti apa Fay!"Dahiku mengerut seketika. Baru juga datang, Shinta seperti orang kesurupan yang bicara ngelantur."Lo kenapa, sih, Shin? Lo habis nyabu lagi, ya?""Nggak. Beneran deh. Aku lihat sendiri, Fay bareng Doddy sekarang." Shinta bersikeras menceritakan apa yang dilihatnya."Udah, deh. Gue tau lo dend