Share

Bukan yang Kuminta

“Malam ini Mawar ada acara keluarga dan tidak pulang. Jadi aku tidur di sini,” ujar Emran.

Widuri terdiam tertegun menatap suami gantengnya ini. Kemudian perlahan dia menundukkan kepala menghindar dari tatapan tajam Emran. Bagaimanapun jantungnya terus berdebar hebat saat berinteraksi sedekat ini.

“Eng ... a—aku mau mandi dulu.”

Widuri menghilangkan ketegangan mereka dengan gegas berlari ke kamar mandi. Emran hanya mengangguk dan membiarkan Widuri berlalu pergi.

Di kamar mandi, Widuri tampak bengong hanya diam melihat pantulan wajahnya di depan cermin. Dia masih belum percaya dengan semua ucapan dan sikap Emran hari ini. Kenapa juga dia berubah secepat ini? Apa Emran sudah menyadari kesalahannya dan mau berbuat adil pada Widuri?

Widuri menarik napas panjang sambil membasuh wajahnya dengan air. Sepertinya banyak yang akan dia lakukan di kamar mandi kali ini. Biarlah Emran menunggu lebih lama. Widuri ingin menghilangkan ketegangannya lebih dulu. Ini kedua kali dia tidur satu kamar dengan Emran dan itu membuat dia sangat gugup.

Lima menit, sepuluh menit hingga akhirnya setengah jam baru Widuri keluar dari kamar mandi. Ia melihat Emran sudah naik ke atas kasur duduk bersandar di puncak ranjang sambil menjulurkan kakinya. Sesekali senyuman manis terukir di wajah tampannya. Sepertinya ada yang sangat menarik di ponselnya sehingga dia berperilaku seperti itu.

Widuri berjalan perlahan dan duduk dengan hati-hati di tepi kasur. Emran meliriknya kemudian tersenyum.

“Mandimu lama juga, lebih lama dari aku,” celetuknya kemudian.

Widuri tidak menjawab hanya mengangguk sambil tersenyum meringis.

“Kamu sudah makan? Kalau belum, biar aku pesankan makanan.” Kembali Emran bersuara memberi perhatian. Lagi-lagi ini hal yang sangat jarang ia dengar keluar dari bibir suaminya.

“Aku sudah makan tadi di luar.”

Emran hanya diam kemudian manggut-manggut. Ia menggeser tubuhnya dan menepuk kasur di sampingnya. Widuri melirik sekilas dengan sudut matanya.

“Kamu gak mau tidur?” pinta Emran.

Widuri menoleh kemudian mengangguk dengan canggung. Perlahan dia naik ke atas kasur, masuk ke dalam selimut dan duduk bersisian dengan Emran. Ada yang sedang berdebar hebat di dadanya dan Widuri berusaha menekan sedalam mungkin. Ia tidak ingin Emran tahu apa yang sedang dirasakannya kali ini.

Emran hanya diam sambil mengawasi Widuri. Entah mengapa Widuri semakin risih. Apa memang seperti ini yang dilakukan Emran dan Mawar di kamar. Duduk bersisian di kasur saling pandang satu sama lain dan membiarkan dadanya bertalu tak karuan. Indah dan Widuri tanpa sadar menikmatinya. Hanya saja, mengapa ada sesuatu yang mengganjal perasaannya kali ini.

Emran menggeser duduknya mendekat ke arah Widuri bahkan meletakkan satu tangannya ke punggung Widuri seakan hendak memeluknya. Sontak Widuri terjingkat dan menoleh ke arah Emran.

“Kenapa? Aku suamimu, apa tidak boleh memelukmu?” ujar Emran.

Widuri kembali membisu dan menganggukkan kepalanya dengan kaku. Kenapa juga dia tidak bisa seluwes Mawar saat berinteraksi dengan Emran. Suaranya juga tidak terdengar manja dan menggoda, malah lebih banyak membisu bagai patung. Apa ini juga yang membuat Emran lebih menyukai saat bersama Mawar?

“Kamu tidak melepas hijabmu?” Emran kembali bertanya.

Memang selama menikah, belum pernah sekalipun Emran melihat Widuri tanpa hijab. Wanita berparas manis itu tidak mau memperlihatkan wajah serta semua miliknya kepada Emran. Dia beranggapan Emran belum mencintainya seratus persen dan dia tidak mau sia-sia menunjukkan semuanya.

“Eng .. iya.” Widuri sudah bersiap membuka hijabnya, tapi tiba-tiba dia duduk tegak dan menurunkan kakinya dari kasur.

Emran melihatnya dengan bingung dan kening yang berkerut.

“Aku ke bawah dulu. Aku belum ambil minum.” Widuri gegas bangkit dan turun dari kasur lalu sudah berjalan cepat keluar kamar meninggalkan Emran.

Ia tidak peduli dengan tatapan aneh Emran. Yang pasti Widuri ingin mengatur detak jantungnya dulu. Dia benar-benar merasa sesak napas gara-gara interaksi intim ini.

“Akh ... gila. Aku kenapa, sih? Dia ‘kan suamiku. Kenapa juga harus setegang ini?” umpat Widuri kesal.

Berulang Widuri meneguk habis air putih di gelasnya. Ia sangat gugup dan tak tahu harus berbuat apa. Yang pasti sikap Emran hari ini benar-benar membuat hatinya tak karuan.

“Sudah. Aku harus kembali. Aku tidak mau membuatnya menunggu. Bukankah ini saat yang aku inginkan dari dulu.”

Lagi helaan napas berat keluar spontan dari bibir Widuri. Ia sudah berjalan berjingkat menuju lantai dua tempat kamarnya berada. Mungkin karena terbiasa berjalan mengendap-endap, jadi Widuri selalu melakukan hal itu dengan santai.

Dia berhenti sejenak di depan pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Memang tadi Widuri tidak menutup kamarnya dengan rapat. Baru saja Widuri hendak masuk, tiba-tiba dia urung lakukan saat mendengar suara Emran.

“Hallo, Sayang. Kamu belum tidur?” Rupanya Emran sedang melakukan panggilan dengan Mawar. Widuri menghormati privasinya dan memilih tidak masuk ke dalam kamar. Inginnya dia kembali ke bawah dan pura-pura sibuk di sana. Namun, lagi-lagi kakinya terasa membeku di posisinya dan membuat Widuri mendengar kata yang seharusnya tidak dia dengar.

“Aku sudah melakukan apa yang kamu minta, Sayang. Aku sudah mengantar Widuri ke kantor tadi pagi dan malam ini aku juga sudah tidur di kamarnya. Aku menepati janjiku, bukan.” Suara Emran terdengar dengan jelas di telinga Widuri.

Wanita manis itu langsung terdiam dan memilih berdiri bersandar di samping pintu kamarnya yang terbuka. Ternyata pertanyaan Widuri tentang perubahan sikap Emran hari ini terjawab. Emran berubah karena permintaan Mawar, bukan karena keinginannya.

“Jadi kamu akan pulang besok, kan? Aku sudah tidak sabar ketemu kamu. Aku kangen, Sayang.”

Widuri masih bergeming di posisinya sambil memegang dada. Entah mengapa ada sakit yang tanpa diminta tiba-tiba datang dan menusuk di dalam sana. Helaan napas panjang pendek keluar bergantian dari bibirnya.

“Aku pengennya tidur sama kamu saja daripada sama Widuri. Lain kali jangan paksa aku lagi, ya. Pokoknya cukup hari ini saja aku melakukannya.” Kembali terdengar suara Emran dan kini semakin menyayat hati Widuri

Tanpa diminta buliran bening sudah luruh perlahan membasahi pipinya. Widuri pikir Emran akan berubah dan mau memperlakukannya dengan adil. Namun, nyatanya dia salah. Tidak pernah ada cinta di hati Emran untuknya. Lagi-lagi kehadirannya di sini hanya seperti duri di bunga mawar. Dia hanya penghalang bagi Emran dan Mawar untuk bersatu.

Widuri tidak tahu apa lagi yang dikatakan Emran di teleponnya. Yang pasti dia sudah berurai air mata di depan kamarnya. Hatinya terluka dan pria di dalam sana penyebabnya. Salah dia juga mengapa mencinta orang yang tidak mencintainya. Andai saja dia tidak pernah menerima perjodohan ini.

BRAK!!!

Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak Emran berdiri di depan pintu sambil menatap Widuri dengan tatapan dingin nan tajam. Sudah hilang tatapan yang ramah penuh perhatian. Widuri buru-buru menyeka air matanya. Ia tidak mau Emran tahu kalau dia baru saja menangis. Alih-alih bertanya tentang tangisan Widuri, Emran malah berkata yang menyakitkan hati.

“Jadi kamu sudah mendengar semuanya?”

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Ristiana Cakrawangsa
gilaa nih si emran
goodnovel comment avatar
Aira Tsuraya
Alur atau idenya yang sama? ide boleh sama tapi eksekusi pasti beda. Gak percaya? Baca aja kelanjutan ceritanya biar gak penasaran. Hehehe
goodnovel comment avatar
Tumin Neng
jangan bodoh Widuri pertahankan harga dirimu walou pun kamu istri sahnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status