Share

Bab 4

Penulis: Rara Arrazaq
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-17 06:33:10

BUK!

Aku menajamkan penglihatan, menembus kegelapan kamar Kak Sina. Tak perlu waktu lama, mataku telah mampu beradaptasi. Dan aku melihat seseorang di dalam sana.

Berdiri membelakangi dengan kepala menoleh padaku. Mata yang biasa mendominasi kini tampak gugup, seperti maling yang ketangkap basah. Ya, orang itu adalah Ummi Rahma, wanita itu baru saja menjatuhkan sesuatu saking terkejutnya melihatku.

"Ummi?" tanyaku dengan nada curiga.

Perlahan tubuh besarnya berbalik. Tatapannya berubah mendominasi seperti biasa.

"Ya. Kenapa kau kemari?" selidiknya sebelum aku yang bertanya.

"Maysa liat lampu kamar Kak Sina mati."

"Ummi pun masuk untuk menyalakan lampunya. Kau boleh keluar sekarang," pungkasnya.

Aku melirik ke arah tempat tidur. Di mana Kak Sina terbaring. Sepertinya putri sulung pemilik pesantren ini sudah terlelap, hingga tak menyadari lampu yang mati.

Tapi, kalau memang Ummi Rahma masuk untuk menyalakan lampu, harusnya dari pertama masuk tangannya akan mencari saklar yang terpasang tepat di sisi pintu. Bukannya malah masuk dan melakukan sesuatu di meja dalam keadaan gelap.

Ku beranikan diri melirik ke bawah, mencari benda yang jatuh dan membuat Ummi Rahma gugup. Tapi sayangnya, aku tak menemukan apapun.

"Apalagi yang kau tunggu? Cepat keluar sekarang, jangan membuat Sina terbangun," desisnya.

Aku hanya bisa mengangguk, lalu berbalik dan melangkah keluar. Tak jauh dari kamar itu, aku berhenti. Kulihat kembali kamar Kak Sina yang kini terlihat terang dari lobang ventilasi di atas pintu. Entahlah... Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi yang jelas, hatiku merasa ada yang janggal dengan keberadaan Ummi Rahma di kamar itu tadi.

**

Selepas subuh, aku melangkah ke dapur seperti biasa. Membantu Bibi Halimah menyiapkan sarapan. Namun mata ini seketika membesar. Seorang gadis telah berada di sana. Mencuci sayuran dengan cekatan. Gadis yang telah merebut Bang Hafiz dariku.

Menyadari kedatanganku, gadis berwajah lembut itu mengembangkan senyumnya.

"Assalamualaikum, selamat pagi, Kak...." sapanya ramah.

"Wa'alaikumsalam..." jawabku tak bisa mengabaikan sapaan ramah itu, walau hati sebenarnya enggan.

"Non Maysa sudah datang? Sehat Non?" tanya Bibi Halimah perhatian seperti biasa.

"Alhamdulillah Bi, udah..."

"Tapi tak usah dipaksakan, Bibi insyaallah sangat terbantu dengan Non Nabila," ujar Bibi Halimah.

Aku melirik gadis berkerudung pink muda itu, rasanya dari kemarin-kemarin ia acap kali memakai kerudung berwarna merah muda. Dan satu lagi yang sedikit meresahkan ku, gadis ini pandai mengambil hati.

"Buat Bang Hafiz dan Nina biar Maysa yang siapkan," tegasku sembari memakai celemek.

"Iya, tentu saja," jawab Bibi Halimah cepat. Seolah takut aku tersinggung.

Lalu ia menghampiri Nabila yang baru akan memotong sayuran yang dicucinya. "Non Nabila kerjakan yang lain saja, ya... Biar ini dilanjutkan Non Maysa."

"Iya Bi, nggak apa-apa," kudengar gadis itu menjawab.

Wanita paruh baya yang telah ku anggap bibiku sendiri itu buru-buru mengambil bahan masakan itu untukku. Tapi suasana ini sungguh membuatku tak nyaman. Aku seolah menjadi madu yang jahat dan egois di sini. Bahkan Bibi Halimah yang selalu bersikap apa adanya denganku, kini terlihat seperti menjaga sikapnya.

Ku potong-potong sayuran itu dengan perasaan kacau.

Setelah selesai di dapur, aku langsung ke kamar untuk membangunkan Nina dan memanggil Bang Hafiz yang sedang berzikir untuk sarapan. Sayup ku dengar Bibi Halimah melarang Nabila untuk menjemur pakaian yang baru selesai diproses oleh mesin cuci. Gadis itu rajin. Paket lengkap untuk menjadi istri idaman.

Akankah nanti Bang Hafiz mencintainya?

**

"Ini siapa yang masakkan?" tanya Ummi Rahma sembari menambah tumisan kacang panjang yang baru dihabiskan nya.

"Nabila Ummi," jawab gadis itu dengan raut khawatir. Sepertinya ia takut akan mendapatkan protes.

"Pandai kau memasak. Ini enak sekali," puji Ummi Rahma. "Hafiz, coba kau cicipi ini," wanita paruh baya itu menyodorkan piring tumisan itu ke hadapan putranya.

Aku menatap suamiku itu dengan nafas tertahan. Berharap ia menolak untuk memakannya.

Tapi harapanku kandas. Ia mengambil piring itu.

Aku hanya bisa melengos kecewa. Harusnya aku sadar, Bang Hafiz tak akan pernah berubah. Penolakan nya terhadap perintah Ummi Rahma tadi malam membuat ku mengharap lebih.

"Nasi goreng Hafiz hasil masakanmu juga?"

"Bukan Ummi, itu masakan Kak Maysa."

"Kenapa tidak kau saja yang menggorengnya?"

"Tadinya Nabila hendak menggoreng, tapi Kak Maysa kemudian melanjutkan."

Tubuhku menegang mendengar jawaban nya. Memang ia mengatakan yang sebenarnya, dan tak ada nada menyalahkan dalam bicaranya, tapi kenapa aku jadi terlihat buruk lagi? Hanya karena aku ingin sarapan suami dan anak ku adalah hasil masakanku sendiri?

"Maysarah! Harusnya kamu memberikan kesempatan untuk Nabila berbakti pada Hafiz. Kau bukan satu-satunya istri Hafiz sekarang!" tegur Ummi Rahma tajam.

"Sudah sudah... Lanjutkan sarapan, tak baik berdebat di hadapan rezeki Allah," Suara bijak Abi Marzuki menengahi.

**

Aku duduk terpekur di halaman belakang. Menatap kosong ke arah taman bunga hasil karya tanamku. Yang bersisian dengan kebun tomat milik Abi yang dikelola Pak Hasan, suami Bibi Halimah.

Setelah mempersiapkan Nina sekolah, aku tak lagi semangat melakukan apapun. Sedangkan Nina telah di antarkan Bang Hafiz ke sekolah nya.

Putri kecilku itu teringin sekolah seperti Upin dan Ipin yang biasa di ditontonnya. Sehingga dengan dukungan Abi, aku menyekolahkan Nina di Raudhatul Athfal, atau biasa disebut RA, setingkat dengan TK. Padahal Ummi Rahma memaksa untuk Nina belajar di rumah saja.

"Lagi apa?" Sebuah suara renyah mengejutkan lamunanku.

Aku menoleh. Bang Bara berdiri di hadapan ku dengan senyuman khasnya, senyuman lebar yang memperlihatkan gigi putihnya.

"Lagi ngelihat bintang." jawabku asal.

"Bintang? Mana ada bintang udah mau siang begini?" Laki-laki itu benar-benar menengadah ke langit mencari bintang.

"Ada."

"Mana?"

"Di mata Abang. Mata Abang kan pasti berbintang-bintang kalau liat Maysa," jawabku santai. Tak ada maksud menggoda atau apa. Bersamanya aku bisa meracau sesuka hati. Dia seperti seorang kakak laki-laki yang tak pernah ku punya.

"Ah bener..." raut wajah Bang Bara berubah serius. Dan malah terlihat sedikit muram. "Memangnya terlihat jelas ya?" tanya laki-laki itu kemudian.

"Jelas dong, mata Abang besar gitu..."

Bang Bara terdiam sesaat, lalu senyuman khas itu kembali mengembang di bibirnya. "Mata Abang sipit, kali..." bantahnya.

Aku tersenyum. Mencoba melepaskan kecemasan-kecemasan tentang posisiku di rumah ini.

"Apa sikap Hafiz semakin menyakitimu?" tanya laki-laki itu sembari menatap jauh ke tembok pagar yang melingkari rumah ini dengan kekokohannya. "Bilang aja, biar nanti Abang marahin dia," sambungnya dengan tangan menepuk dada.

Setahuku, Bang Bara dengan Bang Hafidz sudah seperti saudara kandung. Menurut cerita Bibi Halimah, beliau telah bekerja dan tinggal bersama keluarga Haji Marzuki sejak 15 tahun yang lalu. Jadi mereka telah bertemu sejak baru beranjak remaja.

"Sedang apa?" Sebuah suara bariton menyela dari pintu keluar dapur.

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Tamat

    Amanda mengedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak ada siapa-siapa. "Ssshh..." Suara mendesis kemudian menyusul. Desis kesakitan.Gadis itu mempertajam pendengarannya, suara itu dari arah teras samping Bu Lidia. Dari tempatnya berdiri sekarang, teras kecil itu tak terlihat keseluruhannya karena tertutup dinding. Kaki Amanda melangkah maju perlahan-lahan. Begitu ia berdiri tepat berhadapan dengan teras, matanya menangkap seseorang sedang meringkuk di sudut teras. Orang itu kembali melenguh sakit sembari memegangi pipinya."Bian?" sebut Amanda tak percaya. Sosok itu langsung mendongak kaget."Manda?"mata Bian mengerjap sesaat. Lalu tampak terpana dan tak mengedip sama sekali. Di hadapannya berdiri seorang gadis yang selama satu pekan ini telah mengisi pikiran dan hatinya. Dan saat ini, yang berdiri di hadapannya adalah Amanda versi khayalannya. Ternyata memang secantik bidadari. Rambutnya yang selama ini tersembunyi bagaikan mahkota berharga yang dilindungi, kini tergerai pan

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Episode Menjelang Akhir

    Tuk! Tembakan kerikil itu kembali menyerang. Melesat ke arah dinding dan nyaris mengenai cermin. Amanda kaget setengah mati. Namun hal itu sama sekali tak mengendurkan nyalinya.Ia menarik nafas dalam-dalam. Lalu perlahan bangkit dengan tubuh merapat di dinding. Dalam hitungan ketiga, tangan kirinya bergerak cepat untuk membuka kunci jendela. Sementara tangan kanannya menghidupkan senter dan mengarahkannya keluar. BLESS!Cahaya senter menyorot terang, tepat di di wajah pelaku yang sebenarnya."Kakek?!" seru Amanda tak percaya.Ternyata yang menerornya selama ini adalah kakeknya Bian?Tangannya yang bersiap meraih sapu dan menyerang terhenti seketika. "Matikan senternya, mata Kakek silau!" Perintah laki-laki sepuh itu sembari menghalangi cahaya senter dengan tangannya.Amanda mematikan senternya dengan raut bingung. "Kakek? Jadi yang nembakin batu ke kamar Manda selama ini Kakek? Kenapa?""Ya, biar kamu bangun..." jawab si Kakek yang berdiri bungkuk dengan tongkatnya."Maksud Kakek

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Menemukan Pelakunya

    Menjelang malam, suasana hati Amanda mulai resah. Tali untuk jebakan telah ia siapkan. Hanya ada tali plastik di gudang, semoga bisa menahan kaki pelaku teror itu dengan kuat.Tok Tok... Suara ketukan di jendela kamar membuat Amanda terkejut setengah mati. Siapa yang mengetuk lewat jendela? Jantungnya seketika berdetak kencang. Apa mungkin itu pelakunya? Kenapa mendatanginya sore-sore begini? Amanda berdiri membeku di tempatnya. Matanya menatap ke arah jendela dengan nafas yang tertahan. Takut jika sampai orang itu mengetahui posisinya. Perlahan ia menunduk, lalu merangkak ke balik ranjang. Tok TokSuara ketukan kembali terdengar di jendelanya. Dengan tubuh meringkuk setengah tiarap di lantai, Amanda memberanikan diri untuk bersuara. Bertanya dengan nada selantang-lantangnya, agar orang itu tak mengira dirinya sedang ketakutan."Siapa di luar sana?!"Tak terdengar jawaban apapun. Suasana senyap. Apa orang itu telah pergi? Amanda tetap meringkuk di balik ranjang. Ia tak berani

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Berubah

    "Ehm..." Amanda berdeham sambil melirik Bian. Tapi laki-laki itu tetap fokus memeriksa gusi Sisi. "Kejadian tadi pagi, itu sama sekali tidak benar. Aku nggak pernah berfikir untuk merebut suami orang." Kata-kata itu meluncur begitu saja di bibirnya Amanda. Entah kenapa, ia merasa harus memberitahunya. Tangan Bian berhenti bergerak. Kemudian tubuh tegapnya berdiri tegak."Ya, saya percaya. Tapi kamu harus sedikit hati-hati kalau memang istrinya pernah melihat suaminya itu di teras rumah kalian. Kalian semua perempuan, tak ada laki-laki yang menjaga," jawab laki-laki itu. Hati Amanda benar-benar meleleh sekarang. Ternyata walau cuek, Bian tetap perhatian. Tapi memang benar yang dikatakan Bian, ia dan ibunya harus lebih berhati-hati, karena tak ada anggota keluarga laki-laki. Ah... Amanda jadi meng-halu sendiri. Seandainya Bian yang jadi anggota di rumahnya, ia pasti tak akan menolak. Tok Tok...Terdengar sebuah ketukan di pintu ruangan Bian yang terbuka. Kemudian seorang suster b

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Kejadian di Rumah Bu Wiwid

    Di depan jendela kamarnya, Amanda duduk termangu menatap keluar dengan tatapan kosong. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Buku diary yang bertuliskan nama Axel dan Pak Dahlan sebagai orang yang ia curigai telah dicoretnya. Setelah Bu Lidia menceritakan perihal rahasianya kemarin, gadis itu benar-benar bingung. Bukan Axel dan bukan Pak Dahlan. Lalu siapa? Dan kenapa ia sampai diteror begini? Rasanya ia tak pernah berbuat buruk terhadap orang lain. Bukannya sok baik, tapi ia memang jarang bertemu orang-orang, apalagi sampai berbincang dan bergaul. Hh... Kepalanya benar-benar pusing, karena tadi malam pun ia masih dikejutkan oleh tembakan kerikil itu. Hari ini ia harus mengatur rencana untuk menjebak pelakunya.Jika ditaburi beling di bawah jendela, bisa saja tak berpengaruh kalau pelakunya memakai sepatu berhak tebal, dan malah akan membuat orang itu semakin kalap. Begitu pun dengan jepitan tikus atau benda-benda tajam lainnya.Ah... Seandainya ia sejenius anak kecil dalam film Home

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    Rahasia Bu Linda

    Malam menjelang. Amanda mulai was-was. Matanya terus saja menoleh ke arah jendela. Memperhatikan dengan seksama, jika saja ada bayangan di baliknya.Laptop yang telah terbuka sejak tadi sama sekali tak disentuh keyboard-nya. Bagaimana ia bisa berfikir dalam keadaan tegang seperti ini? Kopi yang tadinya ia buat untuk menghilangkan kantuk pun tak tersentuh. Hingga dingin karena diabaikan pemiliknya. Akhirnya Amanda memilih untuk menonton Drakor saja untuk pengalihan rasa takut.Drama Korea yang berjudul cheese in The trap menjadi pilihan. Tapi karakter tokoh cowoknya yang aneh dan memiliki sisi gelap membuat bulu kuduk semakin meremang. Gadis itu cepat-cepat menghentikan film-nya dan memilih untuk mendengarkan musik saja.Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mata Amanda mulai terasa berat. Tak ada kesibukan dan tak ada asupan kafein, ditambah merdunya alunan musik membuat gadis itu cepat mengantuk. Dan finally ... Amanda terlelap di atas meja kerjanya.TUK! Suara aneh kembali terden

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Pengakuan Exel

    Perlahan tangan Amanda meraba ke sekeliling kasur, dan menemukan sebutir batu kerikil. Batu ini yang telah menembak kepalanya, dan sepertinya begitu juga dengan cermin. Siapa yang telah melakukan ini? Dan dari mana asalnya?Kepala Amanda cepat-cepat menoleh ke arah jendela kamarnya. Jendela kayu dengan model klasik itu memiliki rongga-rongga untuk ventilasi udara. Mungkinkah dari sana? "Akh!" Samar-samar terdengar suara orang yang mengaduh sakit. Sepertinya itu suara laki-laki. Dana asalnya dari teras samping rumah tetangga baru!**Amanda memijit kepalanya yang terasa berdenyut dan mencengkeram. Gara-gara kejadian aneh tadi malam, ia tak bisa memejamkan lagi matanya. Diambilnya buku catatan berkulit merah muda yang biasa dijadikannya buku catatan untuk ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul. Namun kali ini ia bukan hendak mencatat ide cerita, tapi orang-orang yang patut dicurigai atas kejadian semalam. Yang pertama Axel. Bisa saja laki-laki itu sengaja menerornya agar tak membocork

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD Malam Yang Mengejutkan

    Bab 4BRUK!!Kotaknya jebol dan menumpahkan semua isinya. Mata Axel seketika melotot, melihat barangnya berceceran. Tapi, lebih melotot lagi matanya Amanda. Karena ternyata isi kotak itu adalah VCD film biru."Astaghfirullah!" Aih! Amanda sampai menyentuh bibirnya sendiri. Tumben, bukan umpatan yang keluar dari mulutnya. Sementara Axel langsung bergegas mengumpulkan VCD yang tercecer. Tangannya sampai bergetar. Dan raut wajahnya terlihat panik luar biasa.Amanda masih terpaku, hingga kemudian dengan ragu-ragu ia berjongkok untuk membantu. "Nggak perlu!" sentak Axel, membuat gerakan Amanda seketika terhenti. Apalagi melihat wajah laki-laki itu yang menatapnya marah."Apa itu yang jatuh?" tanya Lidia dari dapur. Wajah Axel berubah pucat. Matanya kembali menatap Amanda tajam."Jangan ngomong apapun, oke? Jangan sampai ada yang tau!" ancamnya, sebelum kemudian buru-buru pergi dengan membawa kotaknya. Amanda mengernyit. Bukannya umurnya sudah 29 tahun? Kenapa sikap laki-laki itu seper

  • Ternyata Aku Tak Mengenal Suamiku    ROD VCD Film Blu

    Bab 3Amanda melihat ruang tamunya yang tak terlalu luas itu telah dipenuhi orang. Semua laki-laki. Kecuali ibu mereka tentunya. Beliau jadi seperti permaisuri yang dikelilingi pangeran. Atau, seperti desainer bersama para modelnya. Bukan tanpa alasan Amanda jadi membayangkan seperti itu, karena ketiga laki-laki yang kini sedang menatapnya itu tampan semua. Ah.... Hati Amanda jadi ketar-ketir!"Assalamualaikum... Maaf Papa telat," ucap seseorang dengan nada buru-buru dari arah pintu masuk rumahnya. Amanda menoleh. Dan matanya seketika terbelalak.Seorang laki-laki paruh baya berkepala setengah botak dan berkacamata berdiri di ambang pintu dengan nafas memburu.Bukankah... Laki-laki itu yang menyeberang sembarangan tadi pagi? Wajah dengan raut lembut itu masih jelas tercetak dalam ingatannya. "Nggak apa-apa, Pa. Kami juga baru datang bertamu," jawab ibu mereka seraya bangkit dan menyalami laki-laki itu. "Silahkan masuk, Pak! Oh, jadi ini suaminya Ibu Lidia?" sambut Mirna ramah. "I

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status