Share

Bab 3

bab 3

Malam tiba. Sebuah ketukan terdengar di pintu kamar. Aku yang baru saja hendak keluar, segera membukanya.

Bang Hafiz berdiri tegak di balik pintu.

"Kenapa tak keluar-keluar dari kamar?" ketusnya sembari melewati ku. Kemudian melangkah ke arah tempat tidur, di mana Nina telah terlelap setelah makan dan bermain denganku di kamar.

"Ini mau keluar," jawabku santai.

Telah ku putuskan, untuk bangkit dan memperjuangkan hak ku. Mulai malam ini, aku tak akan lagi berlari dan mengurung diri.

"Kenapa tidak bawa Nina waktu pesta tadi? Harusnya Nina bisa berfoto denganku."

"Nina nggak suka keramaian," jawabku, masih berdiri di sisi pintu.

Setelah membelai rambut putrinya beberapa saat, Bang Hafiz kemudian beranjak ke lemari pakaian.

"Apa kau masih marah?"

"Marah buat apa?"

"Tentu saja buat pernikahan ini."

"Buat apa Abang tanya? Nggak akan ngerubah apapun juga, kan?"

"Ya," jawabnya tanpa melihatku. Tangannya sibuk mencari kaos T-shirt untuk mengganti jas pengantin yang masih melekat di tubuh jangkungnya. Pasti ia hendak bermalam bersama pengantin barunya. Ini malam pertama mereka. Tak dapat ku pungkiri, hati ini sakit membayangkannya.

"Sudah shalat i'sya?"

"Udah," jawabku singkat.

"Kalau begitu, mari tidur..." Bang Hafiz kembali menghampiri ranjang kami setelah mengganti bajunya. Kemudian merebahkan tubuhnya di samping Nina.

Alis ini seketika bertaut. Bang Hafiz tidur di kamar kami? Bukankah ini malam pertamanya dengan Nabila?

Aku hanya bisa melongo. Menatap laki-laki berperawakan seorang pangeran di dunia fantasi itu memejamkan matanya.

Tubuhku lalu berbalik perlahan. Menutup kembali pintu yang masih terbuka. Namun tetap berdiri kaku di sana.

Berbagai dugaan muncul dalam pikiran ku, menjawab tanya hati yang bingung melihatnya memilih tidur bersama ku dan Nina di malam pertamanya.

Mungkin ia merasa bersalah padaku? Ah, sepertinya mustahil. Laki-laki dingin yang telah hidup bersamaku selama 5 tahun itu tak pernah merasa bersalah atas setiap tindakannya.

Atau, dia ingin berbaikan denganku agar aku merelakan Nina dan pergi dari sini?

Tok tok...

Pintu kembali diketuk dari luar. Ku hembuskan nafas ini kasar. Kali ini siapa?

Wajah tegas Ummi Rahma langsung menyambut di ambang pintu. Nafasku seketika tertahan.

"Mana Hafiz?"

"Di-di dalam Ummi..." jawabku terbata. Aura mendominasi wanita ini memang selalu membuat sesak nafas orang yang berhadapan dengannya.

"Panggilkan sekarang!"

Bagaikan dihipnotis, aku berbalik untuk memanggil Bang Hafiz seperti perintahnya. Namun kaki ini urung melangkah saat hati teringat tekad ku sebelumnya. Aku tak boleh hanya diam. Ku beranikan diri dan berbalik menghadap Ummi Rahma kembali.

"Maaf Ummi, Bang Hafiz udah tidur. Maysa nggak berani bangunin."

Raut Ummi Rahma seketika berubah. Merah padam diwarnai amarah. Seperti saat beliau memarahi santri yang melanggar aturan.

"Bangunkan sekarang! Ini perintah Ummi!" tegasnya dengan suara rendah namun bernada mengancam.

Ku telan saliva ini susah payah. "Maaf sekali lagi Ummi. Tapi berdasarkan kajian kitab yang Maysa pelajari, orang yang sedang tidur tak baik diganggu."

Bola mata Ummi Rahma kali ini membeliak. Mulutnya terkatup rapat. Dengan satu hentakan, tangannya yang gemuk mendorong bahuku kuat. Aku terpekik kaget, namun wanita yang masih ku hormati itu malah menerobos masuk untuk membangunkan putra semata wayangnya.

"Hafiz... Kenapa tidak tidur di kamar pengantin mu?" tanya Ummi Rahma lembut. Berbeda sekali dengan nada bicaranya dengan ku.

Bang Hafiz masih memejamkan mata, tampak begitu lelap hingga tak mendengar panggilan ibunya. Padahal ia baru saja merebahkan tubuhnya.

"Hafiz!" Suara Ummi Rahma naik beberapa oktaf.

Mata Bang Hafiz terbuka perlahan, memperlihatkan netra coklat terangnya.

"Iya, Ummi..." jawabnya sembari bangkit.

"Kenapa tidak tidur di kamar mu?"

" Ini kamar Hafiz..."

"Bukan kamar ini, tapi kamar barumu, bersama pengantin barumu."

Bang Hafiz bangkit berdiri.

Yah, begitu lah... Ia tetap akan melakukan apapun yang diminta ibunya. Hatiku tak lagi merasa sedih. Karena aku tak berharap lebih darinya. 5 tahun sudah, aku selalu menelan kecewa.

"Malam ini Hafiz ingin tidur dengan Nina, Ummi. Maaf..."

Jawaban Bang Hafiz benar-benar mengejutkan. Baru kali ini ia menolak permintaan Ummi Rahma. Sungguh, baru kali ini. Dulu, ia bahkan pernah menghukum Nina tidur sendirian di kamar kosong demi mendengarkan titah ibunya.

Tak hanya aku yang terkejut. Ummi Rahma pun tampak tercekat. Wanita itu terdiam. Lalu tanpa berkata-kata lagi ia berbalik, menuju pintu dan melangkah keluar. Sepertinya ia benar-benar syok mendengar penolakan Bang Hafiz untuk pertama kalinya.

Ada suatu rasa yang menyusup ke dalam hatiku. Harapan tiba-tiba datang, di kala hati ini hampir melenyapkan segala asa padanya. Mungkinkah Bang Hafiz akan mulai mengutamakan aku dan Nina?

Malam telah larut. Namun mata ini tak kunjung terpejam. Bantahan Bang Hafiz terhadap permintaan Ummi Rahma terus menyita pikiran. Ku balikkan tubuh yang sedari awal membelakangi nya. Menatap wajah lelap Bang Hafiz yang tetap terlihat sempurna tanpa ekspresinya.

Kami tak pernah saling membelai seperti suami istri lainnya. Bang Hafiz hanya akan menyentuh ku di saat aku terlihat menginginkannya. Seperti waktu akan mendapatkan haid ataupun setelahnya. Saat hormon ku sedang tinggi-tingginya.

Aku sempat berpikir, kalau ia hanya ingin mendapatkan keturunan, makanya menggauliku di waktu rahimku sedang subur.

Setelah lama tak juga mendapatkan adik untuk Nina, Bang Hafiz mulai menghindari ku. Tak pernah menyentuh ku sama sekali. Apalagi beberapa bulan belakangan ini aku sempat mengeluh kesakitan saat berhubungan. Hal itu membuatnya benar-benar menjauhi ku.

Kerongkongan ini terasa kering. Mengingat masa-masa pahit yang masih mengikuti ku sampai sekarang.

Aku bangkit dari tempat tidur. Butuh air untuk membasahi kerongkongan. Namun gelas besar di atas nakas telah kosong. Aku harus menambahnya di luar.

Suasana rumah telah senyap. Sebagian ruangan tampak gelap karena lampu yang dimatikan. Aku melangkahkan kaki ke arah dapur. Namun begitu melewati kamar Kak Sina, kakaknya Bang Hafiz, langkah ini terhenti.

Kak Sina adalah putri sulung Haji Marzuki yang mengalami gangguan jiwa sejak kecil. Biasanya, kamar ini satu-satunya kamar yang tetap terang benderang walaupun di tengah malam. Karena Kak Sina takut kegelapan. Tapi kenapa malam ini gelap gulita? Apa mungkin Kak Sina tak tidur di kamarnya? Atau Bibi Halimah tak sengaja mematikan lampunya?

Ku hampiri pintu kamar yang tertutup itu. Membukanya perlahan untuk memastikan.

Cahaya remang dari luar otomatis membias ke dalam.

BUK!

Tiba-tiba terdengar suara benda yang jatuh, membuat jantung ku serasa jatuh saking terkejutnya. Nyaris aku berteriak kaget, kalau saja tanganku tak refleks menutup mulut ini.

Perlahan aku menarik nafas dalam-dalam, menenangkan jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Lalu menajamkan penglihatan ini menembus kegelapan kamar. Tak perlu waktu lama, mata ini telah mampu beradaptasi.

Dan aku melihat seseorang di dalam sana sedang melakukan sesuatu. Itu ... Ummi Rahma!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status