"Aaahhh! Pagi yang cerah. Mari anggap saja semua yang terjadi adalah mimpi buruk yang gak akan jadi kenyataan," ucap Nadira sambil merenggangkan otot tubuhnya.
Tatapannya tak sengaja menangkap buku nikah yang tergeletak di atas meja riasnya. Dengan cepat dia memasukan benda itu ke dalam laci. "Ah, sial! Baru juga gue berusaha mengubur tragedi naas kemarin, eh malah ditampar sama kenyataan." Setelah bersiap-siap, Nadira berlari ke luar kamar. "Dira? Kamu mau ke mana?" tanya Melati. Abram pun turut heran melihat anaknya kini yang mendadak terlihat baik-baik saja, tak seperti kemarin. "Mau ketemu sama Yasmin. Dah Ma!" "Sarapan dulu!" "Nanti aja!" Abram menggelengkan kepala. "Setidaknya dia baik-baik saja, Pa. Jujur Mama sempat cemas kemarin. Takut dia terus terpuruk dan mengganggu kesehatannya." "Anak seperti dia mana mungkin selemah itu. Lihat dia sekarang, malah gak merasa bersalah sama sekali." *** "Hei, Yas! Nunggu lama?" tanya Dira pada gadis berambut sebahu yang sudah menunggunya di depan rumah. "Nggak, Ra." "Ya udah ayo!" "Bentar." "Nunggu apa lagi?" tanya Dira. "Triana. Dia mau ikut katanya." "Ha?" Nadira melotot sempurna mendengar nama itu. Hatinya tiba-tiba gelisah. Ya Tuhan, jangan sampai anak itu bocorin musibah apa yang kemarin menimpa gue. "Hai, Ra, Yas!" Wajah Dira pucat pasi melihat kedatangan Triana. "Lo kenapa, Ra? Lihat gue kaya lihat hantu gitu, pucet banget. Apa Lo sakit gara-gara kemarin?" Dengan cepat Nadira membekap mulut Triana. "Kata siapa? Gue baik-baik aja. Lagian kemarin gak ada apa-apa, kok, kenapa gue sakit segala?" tanya Nadira sambil tertawa sumbang. "Apaan sih Lo?" tanya Yasmin bingung. "Hehe, gggak ada apa-apa." Nadira berbisik di dekat telinga Triana. "Awas Lo, jangan bocorin pernikahan gue sama siapapun, termasuk Yasmin." Dengan sekuat tenaga akhirnya sepupu Anand itu berhasil menyingkirkan tangan Nadila dari wajahnya. "Kebangetan, Lo! Hampir aja gue kehabisan nafas," gerutunya. "Ya udah lah ayo. Nanti keburu siang lagi." Asyik jalan-jalan dan nongkrong di tempat-tempat yang menurut mereka bagus, hari tak terasa sudah menjelang sore. "Nonton, yuk?" "Pas banget ada film romance yang baru rilis, woi! Pasti bikin hati kalian meleleh netes-netes, deh!" seru Yasmin yang disambut sorakan histeris dari Nadira dan Triana. Layaknya anak kecil, ketiga gadis itu dengan heboh membeli berbagai macam cemilan sebelum masuk ke ruang bioskop. Tak sampai di situ, mereka lanjut pergi berbelanja. *** "Pa! Minta uang. 5 jutaaaaa aja." Tanpa sepatah kata pun Abram langsung memutus panggilan. "Siapa, Pa? Kok langsung dimatiin?" tanya Melati. "Nadira. Dia minta uang lagi, padahal baru kemarin papa TF dua juta ke rekeningnya. Sekarang sudah habis, keterlaluan!" Dira mengacak rambutnya dengan gusar, penampilannya kini sudah benar-benar mirip orang tidak waras. "Papa gue gak mau ngasih, gimana dong, Yas? Na? Bantuin, dong. Malu diliatin orang." Di sekitar mereka memang kini banyak pasang mata menatap ke arahnya, karena barang belanjaan sudah bertumpuk di meja kasir, tetapi ternyata saldo di rekeningnya tidak mencukupi. "Ogah, gue gak punya uang sebanyak itu. Lagian Lo belanja gak ngotak. Kayak mau buka butik aja." Yasmin menggerutu. "Berisik Lo! Kalo gak mau bantu ya udah diem!" Yasmin dan Triana memutar bola mata dengan jengah lalu kompak menepuk jidat. Dengan terdesak akhirnya Dira mengambil keputusan. [Bisa minjem uang, gak? 5jt aja. Nanti gue balikin secepatnya.] Pesan tersebut terkirim ke seseorang, beberapa saat kemudian sebuah balasan muncul. [No rek.] Dengan hati lega Nadira mengirimkan nomor rekening banknya, dan tak sampai 5 menit uang 10jt mendarat di rekeningnya. Akhirnya Nadira selamat dari situasi memalukan tersebut dan bisa pulang dengan tenang. [Ini aku balikin sisanya.] [Gak usah.] [Kok gitu?] [Anggap saja sebagai pengganti biaya resepsi.] Gadis itu pun mengendikkan bahu, tak mau peduli lagi. "Ra, tadi Lo dapet duit dari mana?" tanya Triana setelah Yasmin pulang lebih dulu. "Dari kakak sepupu Lo." "Apa?" "Gak usah sekaget itu kali." Triana memejamkan mata. "Lo bener-bener stres deh kayaknya." "Gue waras, ya! Kan dia suami gue, wajar dong gue minta duit." "Ya elah, giliran yang enaknya Lo ngakuin dia sebagai suami." "Tadinya gue niat minjem doang, tapi dia gak mau, ya udah. Lagian, biar sedikit ada gunanya juga, gak, sih, dia jadi suami gue? Gue stres juga kan gara-gara dia." "Parah, Lo! Bisa-bisanya blak-blakan manfaatin seseorang di hadapan adik sepupunya. Kayaknya gue harus nyiapin rencana buat balesin dendam kak Anand sama Lo." Nadila malah tertawa. *** "Nak ... " "Ya, Bu? Anand di sini." "Kamu sedang apa? Apa istrimu ada ngasih kabar?" tanya ibunya Anand saat melihat anaknya tersenyum kecil menatap ponsel. "Emm, iya, Bu." "Ibu mau lihat foto pernikahan kalian." Anand menelan ludah. Saat hari pernikahannya ibunya tak sadarkan diri, dan semalam baru siuman. "Bu, Nadira pemalu, dia tidak seperti kebanyakan gadis. Jadi dia tidak bersedia mengadakan pemotretan." Wajah ibunya memancarkan kekecewaan. "Ibu tenang saja, Nadira memang gadis yang cantik dan baik seperti yang ibu katakan, buktinya dia tidak keberatan sama sekali langsung Anand tinggal." "Ibu sangat merasa bersalah dengan ini, kalian baru saja menikah, tapi harus langsung berpisah." "Sudah, ibu jangan banyak pikiran. Tadi Nadira juga nitip pesan, katanya ibu harus cepat sembuh supaya bisa cepat pulang." "Iya, ibu pasti cepat sembuh, Nak. Ibu ingin segera menimang cucu." Lagi-lagi perkataan ibunya seakan belati yang menggores-gores hatinya dengan perlahan. Ia terpaksa berbohong, tetapi nyatanya rasa takut malah semakin merajai hatinya. Bagaimana jika ibunya benar-benar sembuh, tetapi kemudian melihat kenyataan yang berbanding terbalik dengan apa yang dia katakan?"Ngaku aja, Ra," ucap Danil sambil tersenyum. Nadira melengos sambil melipat tangan dengan kesal. "Ra, gak papa. Walaupun kamu udah nikah sama yang lain, tapi aku yakin cinta kamu masih milik aku. Kita bisa diam-diam berhubungan tanpa sepengetahuan siapapun, Ra. Dan begitu aku siap nikahin kamu, kamu harus cerai sama dia." Danil menggenggam tangan Nadira, membuat Anand semakin kepanasan. Tanpa permisi Danil menarik Nadira ke dalam pelukan. Melihat gadis itu tak berkomentar apapun tentang idenya membuat Danil mengira gadis itu berhasil ia taklukan. Anand yang sudah bergejolak melangkah hendak keluar untuk memberikan pelajaran pada keduanya. Namun langkahnya langsung terhenti saat Nadira mendorong Danil. "Dasar brenqsek! Gue buka cewek rendahan seperti yang Lo kira, ya! Walaupun gue menikah karena paksaan, tapi gue tahu diri dan aturan. Gue masih punya otak dan moral. Dengan lihat sikap Lo yang seperti ini gue makin benci sama Lo dan percaya sama ucapan papa gue waktu itu. Lo, buka
"Masya Allah, rabbanaa hab lanaa min azwaajinaa wadzurriyyaatinaa qurrota a'yuniwwaj'alnaa lil muttaqiina imaamaa. Aamiin." Ayah muda itu mengecup kening anaknya yang sedang tertidur dalam pangkuan sang istri selepas kenyang minum asi."Aamiin." Nadira menyahut sambil tersenyum, menatap Anand tanpa kedip dengan berjuta rasa yang tak sanggup lisannya ungkapkan. Anand beralih menatap Nadira, senyuman hangatnya senantiasa terlukis di wajah tampan itu untuk keluarganya. Pria itu duduk di samping sang istri, kemudian merangkul pinggangnya dan mengecup kepala Nadira cukup lama, seolah lewat kecupan itu ia menjelaskan betapa kini sempurna kebahagiaannya wasilah dari perempuan tersebut. "Mas sangat bahagia," bisiknya kemudian. Nadira mengulum senyum, kemudian balas menatap sang suami. "Aku juga, Mas. Makasih untuk semuanya, makasih untuk semua cinta dan kasih sayang yang sudah Mas curahkan buat aku, sampai aku sekarang merasa jadi wanita yang paling bahagia di muka bumi ini." Anand mengu
"Nadira melahirkan!""Nadira melahirkan, Mas!" Yasmin dan Triana serta para suaminya langsung bergegas menuju rumah sakit. "Ayo cepet, Mas!" Fahrul menoleh. "Kamu ini, kaya kamu aja yang mau lahiran." "Haish! Udah diem. Nyetir aja yang cepet." "Yasmiiin Yasmin! Masa kaya gitu kamu bicara sama suami?" tegur Zein yang duduk anteng bersama Triana di belakang. "Gue ikut deg-degan, Bang!"Triana dan Zein terkekeh melihatnya. Tiba-tiba Triana terdiam merasakan sesuatu. "Hweeek!" "Kamu kenapa, Sayang?" tanya Zein panik. Triana masih menutup mulut. Ia menggelengkan kepala sambil mengerjap."Apa Triana suka mual kalo naik mobil?" tanya Fahrul."Biasanya nggak." "Mungkin Lo hamil, Na!" pekik Yasmin membuat Triana dan Zein saling tatap. Zein menarik kepala Triana sampai bersandar di pundaknya, kemudian memijat tengkuk istrinya dengan lembut. "Mas?" lirih Triana sambil mendongak menatap wajah suaminya. Tatapannya menyiratkan banyak tanya. Zein mengangguk, mencoba menenangkan. "Nanti
"Na ... Jalan Lo kenapa gitu?" Triana langsung mematung, menoleh pada Yasmin dengan ragu-ragu. "Gue ... Jalan gue biasa kok." "Nggak, jalan Lo gak biasa, Yas." "Ah udahlah. Cepet bantuin gue cuci piring." Yasmin menurut. Namun lagi-lagi ia kembali berbisik. "Na, sakit, gak?" Triana gelagapan, mulai tak nyaman berada dekat-dekat dengan Yasmin. "Na?" "Sakit apa?""Lo jangan pura-pura gak ngerti, Na." Triana menghela nafas. "Lumayan." Yasmin berdesis. "Kaya gimana rasanya?""Haish! Lo itu ... " Triana tak melanjutkan protesan nya dan berdecak kesal. "Na, gue cuma pengen tahu aja. Biar siap-siap nanti. Itung-itung Lo berbagi pengalaman lah sama calon pengantin yang masih polos ini." "Gak perlu siap-siap segala, Yas, nanti Lo juga tahu sendiri." "Tapi, Na--""Yas, gue juga gak siap-siap, tuh. Lagian, gue malu kalo harus ngomongin kaya gituan." Yasmin terkekeh. Dalam hati ia mengejek, padahal gue udah lihat secara langsung hal yang mungkin bakalan bikin Lo tambah malu jika ta
"Gugup?" Triana tak menjawab, tangannya meremas sprei dengan kuat. Zein menghela nafas lalu bersandar di kepala ranjang. "Jangan gugup, kita ngobrol, yuk?" Triana mulai mendongak. "Ngobrol apa?" "Menurut kamu, Fahrul seperti apa? Apa dia cocok untuk Yasmin?" Triana mulai berpikir. "Menurutku Fahrul terlihat baik, mudah akrab juga sama keluarga. Dan dia juga kelihatan benar-benar mencintai Yasmin." Zein manggut-manggut. "Tapi bukannya jadi istri tentara itu banyak resikonya?" Triana tersenyum. "Resiko pasti selalu ada di setiap keputusan yang kita buat. Yasmin juga bukan gak tahu resikonya bagaimana jika menikah dengan Fahrul, tapi dia tetap menjalaninya, kan? Jadi mungkin dia memang sudah mempersiapkan diri. Dan lagi, suatu kebanggaan juga untuk keluarga kita punya saudara seorang abdi negara, kan?" Zein mengangguk lagi. "Jadi kamu setuju?" Triana mengangguk. "Selama laki-laki itu mencintai Yasmin dengan tulus dan Yasmin juga mencintainya, aku setuju." "Tapi M
"Yasmin cukup beruntung, ya, punya pacar yang seperhatian ini sampai maksain datang di tengah-tengah kesibukan," ucap Anand. "Jelas. Sekarang Yasmin prioritas saya. Saking buru-burunya langsung ke sini saya gak sempat ganti seragam dulu. Takut Yasmin sedih, kasihan. Tapi malah jadi pada takut lihat kedatangan saya." Semua orang tertawa. "Aku belum terlambat, kan?" tanya Fahrul menatap Yasmin yang kini senyum-senyum sok kalem. Gadis itu pun menggeleng untuk menanggapi pertanyaan pacarnya itu.Kini giliran Triana dan Nadira yang memasuki mode jahil."Uhuyy! Akhem-akhem!" "Uhuk! Uhuk! Aduh, Mas, aku keselek," celetuk Nadira.Dengan sigap Anand menyerahkan minuman gelas. "Mas, aku bercanda!" pekik Nadira membuat Anand melongo."Ra, lihat, Ra!" ucap Triana menunjuk udara di dekat Yasmin."Apaan, Na?" "Saking hatinya lagi berbunga-bunga, bunga-bunga itu berterbangan keluar." Yasmin tersenyum. "Bunga melati, kan? Kaya nama gue?" "Bukan." Triana menggeleng. "Terus?" "Bunga raflesia,