Share

Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa
Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa
Author: Bemine

Bab 1: Pengantinku, Ismi

Author: Bemine
last update Last Updated: 2023-05-20 16:33:31

Bab 1: Pengantinku, Ismi

Aku tidak bisa menutupi senyum kala melihat gadis pujaan yang secantik bidadari itu muncul di depan kami semua. Dia memakai gamis panjang dengan jilbab lebar yang menutupi lekuk tubuhnya.

Dia tersenyum, cantik sekali. Jemari lentiknya sibuk menata gelas demi gelas yang berisikan jus pomegranate untuk keluarga kami berdua. Lalu, dari arah belakang ibu mertuaku muncul dengan membawa makan malam.

“Wah ... cantiknya mantuku, Pak!” Ibuku berseru saat Ismi mundur selangkah untuk menyimpan nampan.

Sontak saja aku melirik beliau, hatiku menghangat dengan cepat, ibuku sendiri begitu menyukai Ismi hingga pernikahan kami pasti akan mudah ke depannya. Apa lagi Bapak sudah berteman baik dengan keluarga Ismi.

“Iya, dong ... anak siapa dulu?” Ibu mertuaku sekaligus Ibunya Ismi menyahut.

Dia mengeluarkan semangkuk sayur sop dan tulang sapi serta sepiring ayam goreng bumbu kunyit. Setelahnya, Ismi menyusul lagi dengan sepiring perkedel berukuran besar dan tumis bayam. Kami akan merayakan pernikahanku dan Ismi yang berlangsung siang tadi.

Kami memutuskan untuk menikah sederhana terlebih dahulu, dan akan merayakan resepsi dua atau tiga bulan lagi setelah semuanya dipersiapkan dengan baik. Tentu saja, pernikahan kami sah secara agama dan negara, aku tidak ingin membuat Ismi gelisah karena namanya belum tercatat di kartu keluarga sebagai istri dari Reza Suryansyah.

“Mbak, seneng sekali aku ini ... bisa besanan juga kita!”

“Ya, Mbak. Waduh, enggak nyangka Allah berikan hadiah seindah ini. Anakmu sat set sekali, suka langsung bawa ke penghulu,” balas ibu mertuaku lagi.

Aku terus memandangi mereka bergantian, meski sesekali tidak bisa memindahkan pandangan pada Ismi. Gadis itu sudah berusia dua puluh enam tahun di Agustus 2022 kemarin, namun parasnya masih seperti gadis belia berusia belasan.

Tubuhnya mungil, padat berisi. Jemarinya lentik dan sangat putih. Wajahnya ayu, bibir tipis merekah merah, hidung mancung kecil dan mata yang berkelopak ganda seperti artis-artis Korea.

Ismi Diana baru saja pindah dari kota dengan keluarganya karena orang tuanya sudah pensiun. Mereka mengaku ingin menghabiskan sisa usia di kampung halaman bersama sahabat baiknya, yaitu bapak dan ibuku.

Saat itu, masih awal Oktober 2022. Aku pulang ke desa Ledok Sambi, tempat di mana tubuh ini dilahirkan oleh wanita hebat itu di tahun 1995 lalu. Kuputuskan untuk mengambil cuti karena tidak sempat libur di lebaran Idul Fitri.

Tanpa sengaja, aku beradu tatap dengan Ismi. Gadis itu sedang menyapu halaman rumahnya saat aku keluar hanya untuk merenggangkan tubuh dan menghirup udara pagi.

Ternyata, rumah peninggalan Pak Suryo dan almarhumah istrinya itu dibeli oleh keluarga Ismi. Jadilah, mereka tinggal berhadapan dengan ibu dan bapak.

Setiap sore, ibu akan mampir ke rumah mereka, entah sekadar berbagi makanan atau mengobrol hingga petang. Bapak akan bergantian setelah salat magrib, lalu pulang sebelum jam sepuluh malam karena Bapak masih bekerja sebagai kepala sekuriti untuk desa wisata Ledok Sambi.

Kurasakan hatiku berdenyut setiap kali melihat Ismi. Meski gadis itu tidak memberi respon setiap kali beradu tatap denganku, tetap saja aku tidak ingin menyerah sampai di situ.

Puncaknya di makan malam keluarga yang dirayakan oleh keluargaku. Mereka mengundang keluarga Ismi ke rumah, dan saat itulah di depan semua orang kuutarakan maksud untuk meminang Ismi.

Orang tuaku terkejut, mereka hampir serangan jantung. Orang tua Ismi terdiam cukup lama, mereka saling berpandangan, sedangkan pujaan hatiku hanya menunduk.

Setelah meyakinkan keluarga Ismi berulang kali melalui bapak dan ibu, akhirnya kami dinikahkan di awal November 2022. Kurang dari satu bulan pertemuan dan aku resmi memiliki Ismi.

“Sudah, ngayal mulu kamu!” Ibu menegurku.

Rupanya, bukan hanya ibu saja, ada banyak mata yang memandang ke arah diriku. Entah sudah berapa lama aku tertegun begini sampai tidak sadar dengan kondisi di sekitar.

“Ah, maaf, Bu?” balasku malu-malu.

Aku menundukkan wajah, memandangi jemari yang dihiasi henna di ujungnya. Lalu, sempat aku melirik Ismi di samping, dia sibuk meremas jemari seperti gugup.

Ingin rasanya kugenggam kedua tangan yang putih itu, tapi di sini masih ada banyak orang dan Ismi pasti akan tidak nyaman. Ada baiknya aku menahan sampai kami diberikan waktu berdua saja di kamar nantinya.

“Makan ... makan, Mbak ... yuk, makan? Kayanya ada yang buru-buru mau masuk kamar!” ledek ibu mertuaku.

Segera aku menengadahkan kepala. Rasa malunya menjalar dengan hebat sampai aku tidak mampu mengelaknya sedikit pun. Mereka rupanya memandangi kami berdua yang hanya diam sejak tadi.

Maklum saja, kami tidak saling kenal, dan baru satu bulan langsung menikah. Jangankan berpacaran seperti orang kebanyakan, mengobrol saja ditemani orang tua. Aku benar-benar menghargai Ismi yang merupakan wanita solihah, Insya Allah. Karena itulah, tidak ingin aku berlama-lama mendambanya, apa lagi aku sudah siap secara mental dan batin untuk menikah.

Begitulah makan malam berakhir. Ibu dan bapak hendak berpamitan karena jam sudah menunjuk angka sepuluh malam.

Beliau tersenyum padaku dan Ismi yang berdiri bersebelahan. Dia juga menunjuk koper yang sudah dikemas oleh ibu untuk persediaan selama di rumah Ismi.

“Hm, Bapak mau ngobrol sebentar, Reza?” ucapnya saat ibu dan ibu mertuaku berjalan keluar dari rumah.

Tinggallah aku sendiri dan bapak. Ismi sudah lebih dulu masuk ke dalam untuk mempersiapkan kamar pengantin kami berdua. Sedangkan bapak Ismi menyusul istri dan besannya.

“Kenapa, Pak?” balasku.

Kutemukan raut wajah bapak berubah. Beliau seperti sedang memikirkan sesuatu hingga langsung menarik lenganku ke arahnya.

Aku diajaknya ke satu sudut ruangan yang jauh dari kamar Ismi. Dia memintaku tetap diam di sana, lalu berbicara dengan suara setengah berbisik.

“Nak ... kamu sudah menikahi Ismi, anak teman Bapak.”

“Iya, Pak!” sahutku. Sudah aku ketahui hal itu, namun kenapa Bapak masih membahasnya lagi?

“Dengar Bapak, ya? Apa pun yang terjadi di masa depan nanti, kamu harus mempertahankan pernikahanmu dengan Ismi.”

“Astagfirullah, Bapak?” Aku hampir memekik. Baru saja menikah tapi sudah diingatkan untuk tidak bercerai. Ini saja seperti baru makan tapi sudah diperintahkan berhenti.

“Ingat ini, sebelum kamu masuk ke kamar Ismi, ingat baik-baik kalau kamu sendiri yang mendesak Bapak dan ibu untuk menikahkan kalian. Jadi, bertanggungjawablah dengan keinginanmu sendiri,” pesan bapak terakhir kalinya seraya meremas pundakku.

Hal itu meninggalkan gejolak di dalam relung dada. Aku bingung, namun enggan bertanya sebab bapak langsung pergi begitu saja. Mereka berdua masih mengobrol di teras saat kuintip dari depan pintu kamar pengantinku.

“Baiklah, nanti kita pikirkan lagi ucapan Bapak, sekarang ... mari bertemu Ismi dulu,” lirihku seraya beranjak dengan perasaan berdebar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)

    Bab 38: Penghujung Cerita (TAMAT)“Ini bagaimana, maksudnya?” Aku berseru tanpa sadar pada ibu dan bapak.Keduanya serentak melirik ke arahku. Ibu membenarkan kerudungnya sedikit dan bapak langsung tersenyum.Beliau melipat tangan di dada, kemudian bersandar pada sofa. Ekspresinya seolah berkata jika dirinya telah melakukan sesuatu yang sangat besar hingga wajar untuk disombongkan.“Pak?” Aku memanggil bapak.Penasaran dengan apa yang telah terjadi sebenarnya, hingga bapak dan ibu memasang wajah berseri seperti ini. Jika memang mereka berdua tahu soal masa lalu, lantas kenapa tidak ada yang membicarakannya denganku dan Ismi?Selama ini, kami berdua saling terjebak di dalam labirin gelap. Aku membiarkan Ismi kesulitan sendirian, sedang diriku berusaha mencari jalan keluar sendirian.Andai saja saat itu aku benar-benar berhasil membebaskan diri, tentu saja saat ini kami tidak akan duduk begini. Mungkin, Ismi sudah kembali ke rumah almarhum orang tuanya, dan bapak serta ibu sedang memelu

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 37: Pengakuan

    “Mas, apa Bapak dan Ibu sudah tiba? Kenapa lampu di rumah ini menyala?” papar Ismi saat aku menghentikan laju mobil di depan rumah.Aku bergegas menengok. Benar dugaan Ismi, lampu rumah kami menyala, terlihat terang dari jendela dan lubang anginnya.Tapi, apa mungkin bapak dan ibu langsung berangkat setelah aku menghubungi mereka berdua? Bagaimana cara mereka masuk jika sudah tiba?“Mas, sepertinya begitu,” sambung Ismi.Perempuan itu menyentuh lenganku. Tangannya terasa dingin dan manik matanya bergoyang saat kuperhatikan. Sepertinya, dia gugup akan sesuatu hingga tidak bisa mengontrol tenang pada dirinya sendiri.“Ah, maaf!” ucapnya tiba-tiba.Ismi menarik tangannya dariku seperti terkejut. Tidak ingin mengubah suasana dan perasaannya, aku menahan gerak Ismi.“Jangan melepasnya, aku tidak akan pernah menolak lagi,” ingatku pada Ismi. Senyum

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 36: Jogja Lagi

    Bab 36: Jogja LagiMalam itu, untuk pertama kalinya aku dan Ismi menembus jarak yang selama ini menjadi sekat pemisah di antara kami berdua. Tidak ada lagi batasan yang mencekikku dan Ismi, menarik kami dari hubungan dalam dan manis yang seharusnya kami rajut sejak lama berdua.Kami telah berdamai, menerima dengan lapang dada segala permasalahan yang pernah menimpa. Melepas segala rasa sakit dan kecewa antara satu sama lain, dan memilih untuk saling terbuka.Meski pernikahan kami diawali dengan rasa sakit, malam itu aku dan Ismi berhasil menghiasinya dengan obat serta pupuk terbaik. Perlahan-lahan, hubungan yang layu kembali mekar, penuh gairah dan kami berharap akan tumbuh subur hingga akhir hayat.Aku tersenyum paginya, memandangi pantai Kuta Bali yang masih sepi. Tiba-tiba saja hujan mengguyur hingga kegiatan kami untuk berwisata ditunda oleh pihak perusahaan.Bukan karena indahnya pantai Kuta, melainkan manisnya w

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami Berdua

    Bab 35: Titik Temu Perasaan Kami BerduaAku tidak bodoh, tentu saja tidak. Melihat ekspresi Ismi yang panik dan histeris itu, aku mulai mencoba menghubungkan satu per satu momen hingga menemukan titik terang.Perempuan yang belum lama ini kuambil dari kedua orang tuanya itu semakin terisak. Dia menutup kedua mata dan memilih untuk tetap diam meski aku masih mencoba menyusun potongan demi potongan kenangan dan kaitannya dengan tangisan Ismi.Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah memerhatikan Ismi dengan saksama. Perempuan di depanku ini entah mengapa mulai terasa sangat familier. “Ismi?” panggilku hampir setengah berteriak.Aku ikut menyibak selimut karena terkejut dengan pikiranku sendiri, lalu duduk bersila di sebelah perempuan itu. Sedangkan Ismi masih mengatur napas yang memberat akibat ulahnya sendiri.“Aku tidak sedang bercanda sekarang! To-tolong jelaska

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 34: Seranjang Lagi

    Bab 34: Seranjang Lagi“Mas?” Ismi kembali memanggil namaku dengan suaranya yang mendayu.Sejenak, aku merasa darah berdesir di setiap untaian nadi, lalu menembus cepat hingga ke otak. Di sana, aliran itu mengaktifkan sesuatu yang selama ini terpendam, sebuah hal yang mengundang gejolak hingga berpakaian setipis ini pun di malam dingin terasa begitu panas.“Mas, makanlah lagi?” sambung istriku.Kupalingkan muka padanya. Dua insan yang sedari tadi mengembuskan desah tidak sopan itu sudah berlalu. Mereka meninggalkan balkon dengan pintu terbuka hingga aku dan Ismi leluasa melanjutkan makan malam kami yang tertunda.“Makanannya lezat-lezat, ya? Perusahaan besar memang beda,” ujar Ismi kembali.Meski dia tidak mengucapkannya dengan jelas, aku paham sekali kalau Ismi sedang berbasa-basi. Wajahnya yang bening itu terlihat memerah di bawah sinar rembulan, dan gerak-geriknya begitu r

  • Ternyata Istri Cantikku Korban Rudapaksa   Bab 33: Ho-ney-moon

    Bab 33: Ho-ney-moon “Ini kamar kalian!” Wanita yang selalu mengaku sebagai penggemar Ismi berseru saat kami check in di sebuah hotel berbintang. Hotel mewah yang berbatasan langsung dengan pantai Kuta Bali itu menyambut rombongan kami dengan ramah. Mereka menghidangkan welcome drink dan memberikan kami ruang tunggu untuk meluruskan kaki. Segalanya terasa eksklusif, menjunjung tinggi kenyamanan tamu meski kami datang ke sini karena ditraktir oleh perusahaan, meski kami datang karena diperintah oleh sebuah organisasi besar yang di bawahnya kami mencari makan. Aku duduk di sebuah sofa berbentuk setengah lingkaran berwarna merah, di sebelahku Ismi menempatinya dengan sangat tenang, bahkan punggungnya tegak tanpa bersandar. Selain kami, tiga pasangan lain memilih berdiri, menikmati camilan atau sekadar melempar pandang ke pantai Kuta. Sisanya adalah para perempuan dan laki-laki lajang yang memilih sofa berlawanan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status