"Indah!" panggil Ayah ketika aku di dalam tengah bermain dengan Faza, setelah tadi aku berkata dan masuk kedalam. "Ya, Yah. " Aku keluar dengan mengendong Faza. "Kamu siap-siap, nanti sore kita akan ikut dengan Beni kekota!" ucap Ayah membuat mataku membulat. 'Oh, jadi dia namanya Beni, orang yang mengaku Ayah biologisku!' gumamku dalam hati. "Untuk apa, Yah, kita kekota?" tanyaku penasaran. "Ikut saja," jawab Ayah santai. "Terus siapa saja? Cuma aku dan... " tanyaku tak mampu menyebutnya Ayah dan memanggil namanya juga segan. "Akan Ayah temani!" Seketika Ayah menjawab. "Aku ikut ya, Yah? " tiba-tiba Dian menyela. Ayah menatap sekilas. "Aku juga ingin kekota, Yah, Pliss!" bujuk Dian. "Iya, nanti kita mampir kerumah Mbak Rian juga. Kebetulan searah." Ayah berkata santai. Aku masih enggan untuk bertanya lebih lanjut. Kulihat sekarang ayah sudah berdamai dengan Beni. Tak ada lagi kemarahan di matanya. Sesekali mengobrol tentang bisnis yang saya sendiri tak mengetahuinya. "Ind
"Bagai istana, Mbak rumahnya. Lihatlah lukisan guci dan sofa semua yang kelas atas. Dian tahu karena sering lihat di internet semua furniture ini." Cerocos Dian sambil sesekali memegang Guci dan mengelus sofa. "Kalau kalian mau istirahat, itu kamarnya." Beni menunjuk beberapa kamar yang ada di ruangan depan. Mungkin itu kamar tamu. Jumplahnya tak hanya satu ada sekitar empat pintu.Aku yang memang sudah capek menggendong Faza segera berjalan menuju kamar yang di tunjuk. "Eh, Indah. Kamarmu tidak di situ. Mari ikut Ayah keatas." laki-laki bernama Beni itu berhasil menghentikan langkahku. "Tapi, Pak! Biarkan aku satu kamar saja dengan Dian," jawabku dengan sedikit segan. "Indah... Rumah ini nantinya akan jadi milikmu, masa pemilik rumah tidur di kamar tamu. Kalau kamu merasa takut sendirian ajak Dian kekamar atas."Seketika Dian membesarkan mata dan mengangguk setuju. Aku tak dapat lagi menolak. Pak Beni memanggil ART-nya untuk mengantar kami kekamar atas. Aku baru bisa memanggil Pa
"Oh, Maaf, Mbak. Saya tidak tahu," jawab pemuda itu dengan sopan. "Mari ikut saya ke resto itu. Pak Beni dan Pak Bowo sudah menunggu."Kami segera mengikuti kemana pemuda itu melangkah, menuju sebuah rumah besar tapi dengan ruangan lebar hanya ada kursi dan meja. Di jauh belakang sana seperti bale kecil dengan nuansa jawa layaknya joglo. "Nduk, Sini! Kemana aja kalian. Jangan jauh-jauh tanpa ada yang memberi arahan takut tersesat." Pak Beni berkata. Aku hanya mengangguk. Dianlah yang mengatakan kalau kita memang sudah tersesat jauh. Beruntung secepatnya bertemu dengan Asisten Pak Beni. Pak Beni tertawa, mendengar cerita Dian yang bercerita dengan nada kesal dan memanyunkan bibirnya. "Oh, Ya perkenalkan ini Santo. Orang kepercayaan Ayah." Pak Beni memperkenalkan pemuda tadi. Dia mengelurkan tangan. "Indah." "Dian!" Masih bermuka jutek si Dian padanya. Pemuda itu tersenyum, "Santo."Akhirnya kami pun duduk dan menikmati minuman hanyat. Satu poci kecil terbuat dari tanah liat da
"Apaan si, Mbak!" Dian melempar bantal padaku yang tengah rebahan. Kutangkis dengan satu tangan takut kena pada Faza dan akhirnya bangun. Dian membanting badanya sendiri pada tempat tidur, aku kaget dan kesal karena tingkah Dian membuat Faza kembali terbangun karena getaran di atas kasur. "Ih! Apa-apaan si kamu, Yan," dengusku kesal. Dia tak mendengarkan kata-kataku justru asik menatap keatas langit-langit. "Masa sih, aku jatuh cinta sama si Santo itu?" gerutunya. Aku malah mengkerutkan kening. Ternyata ucapanku di anggap serius. "Dia memang perjaka, belum menikah di umurnya yang sudah tiga puluh tahun." Lagi Dian mengedumel sendiri. Aku justru kaget mendengar semua penuturannya. "Dia tinggal bersama ibunya dengan sebuah rumah yang ia bangun sendiri dari hasil kerja bersama Om Beni." Wah! Sedetail itu Dian sudah tahu tentang Santo. Aku sendiri tak tahu menahu tentang Santo sejauh itu. "Kamu tahu Santo sudah sejauh itu?" aku mengeser tubuhku menatap Dian yang berada di samping
PoV MertuaNamaku Anti, ibu dari tiga orang anak. Suamiku meninggal dua tahun yang lalu. Untuk menyambung hidup aku putuskan untuk berjualan aneka makanan dan jajanan yang kujajakan keliling. Beruntung Anak pertamaku laki-laki dan sudah bekerja sebagai Satpam di sebuah sekolah Menengah Atas yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Aku ingin dia tak segera menikah, karena masih ada dua adiknya Shinta dan Dea yang masing-masing baru menginjak SMA dan SMP. Namun namanya lajang tak aku tentang ketika dia berpacaran dengan anak seumuran adiknya, teman satu kelas Shinta. Namanya Dian. "Bu, Mas Akbar sudah jadian sama temanku loh," Shinta mengadu padaku. "Iya? Anak mana?" tanyaku penasaran. "Itu loh, Bu, yang pernah aku ajak main kesini." Aku berusaha mengingat ingat teman Shinta yang pernah kesini. Memang beberapa kali Shinta pulang membawa temannya. "Yang namanya Dian, Bu!""Oh, yang sering main kesini itu, teman karibmu itu, Kok bisa?" "Ya ngga tahu, jadiannya aja pas aku ngga
"Iya, Bu. Alhamdulillah kabar kami baik-baik saja, ada apa ya, Bu?" tanyaku penasaran kenapa tiba-tiba Ibu Mertua menelfon."Ngga boleh ya, tanya kabar menantu sama cucuku." Ibu mertua berkata seolah begitu perhatian padaku. "Ee... Boleh saja si, Bu. Cuma tak kira tadi mau minta persyaratan untuk mengajukan gugatan cerai." Kulirik Santo. Kulihat dia sedikit terkejut. "Mas Akbar sudah WA dari kemarin tapi memang belum sempat kubalas. Kesibukanku menyita banyak waktu, Bu. Bilangkan pada Mas Akbar ya untuk bersabar." "Eh, Anu... Ndah! Apa sebaiknya kamu pikirkan lagi tentang perceraian ini. Kasian Faza loh kalau sekecil itu sudah jadi korban orang tuanya bercerai." Kata-kata Ibu mertua membuat aku kaget. Bukankah perceraian ini dia sendiri yang menginginkan. Bahkan sebelum-sebelumnya juga tak semanis ini. "Maaf, Bu. Kemarin Akbar bilang perceraian ini permintaan ibu. Jadi kenapa sekarang... ""Sudah, sudah ya, Ndah. Nanti aku bicarakan dengan Akbar. Biar batalkan saja gugatan cerainy
Aku terperanjat kaget, masih tak percaya apa yang baru kudengar. Bagaimana ini? Aku sama sekali tak ada pikiran jauh kesitu. Memang niatku untuk bercerai dengan Mas Akbar sudah mantap, tapi bukan berarti langsung mencari pengganti. Aku ingin membesarkan Faza terlebih dahulu. Entah nanti dapat jodoh lagi atau memilih untuk hidup sengan Faza saja semua aku pasrahkan pada yang maha kuasa. Pak Beni menatapku, seolah menunggu jawaban atas diriku. Tak terkecuali Ibu Santo yang juga seolah menanti aku untuk menjawab. Aku menggeleng cepat, rasanya ini terlalu mendadak. Jika tahu seperti ini saja mending tadi di rumah saja bersama Faza. "A-aku tidak pantas dengan Santo, dia terlalu baik. Sebaiknya carilah wanita yang sepadan dengan Santo. Permisi!" aku pamit keluar rumah. Ada rasa yang tak menentu di dalam hati ini. Pak Beni ikut keluar, mengejarku tanpa menghentikan langkahku. "Kita pulang saja, Nduk?" tanyanya kemudian ketika aku berada di samping mobil. "Iya, Pak," jawabku dingin tan
Aku pulang kerumah dengan badan yang masih tak karuan, bahkan sempat di papah Santo karena jalanku yang sempoyongan. Rasanya kepalaku pusing tujuh keliling. Badan sakit semua dan perut yang melilit. "Kenapa dengan Indah?" tanya Pak Beni ketika melihat aku yang jalan di papah oleh Santo. "Dia sakit, Pak. Tapi tak mau di bawa ke Dokter." Santo menjelaskan. Memang aku tak mau ke Dokter karena aku rasa sakitku ini hanya karena sakit Maag yang kambuh. "Ngga papa, Pak. Cuma biasa sakit lambungku kambuh, nanti juga sembuh kalau sudah minum obat." Kujelaskan pada Pak Beni agar dia juga tak terlalu khawatir. Sepertinya dia akan menyanggah tapi aku buru-buru masuk kekamar. Santo hanya mengantarku sampai pintu kedalamnya Pak Beni lah yang mengantar. Bik Siti datang membawa obat yang tadi kuminta, kuminum dan setelahnya aku segera merebahkan diri. "Besok kalau belum membaik akan Ayah antar kedokter. Sekarang istirahatlah!" ucap Pak Beni yang kujawab hanya dengan anggukan. Kupejamkan mata