"Ka-kamu mau kemana, Dek!" tanya Mas Akbar yang melihatku membereskan baju.
Tak kujawab pertanyaan Mas Akbar, aku terus fokus menata bajuku dan baju Faza.
"Dengarkan dulu penjelasanku, Dek!" Kali ini Mas Akbar kembali bersuara.
"Penjelasaan apa lagi, Hah! Kamu menikahiku hanya karena menurutin perintah Dian, Kan?" Teriakku sudah tak terkontrol. Mungkin Ibu Mertua dan adik iparku sudah mendengar pertengkaran hebat ini.
"Makanya dengarkan dulu penjelasaanku! Tidak seperti itu kejadiannya." Mas Akbar masih terus ikut berjalan mondar mandir.
"Terus apa? Apa yang benar!" cercaku lagi.
"Ya, memang awalnya aku pacaran dengan Dian, waktu dia kelas sepuluh. Itu terjadi karena dia dekat dengan adikku Shinta, hingga sering main kesini dan pulangnya aku yang mengantar. Bukankah itu awal pertemuan kita!"
Aku bergeming memeluk tumpukan pakaian yang sedangku kemas. Memang awal pertemuanku dengan Mas Akbar adalah ketika dia mengantar Dian dari rumahnya, tapi aku tak menyangka kalau mereka punya ikatan.
"Tapi aku sadar masa depan Dian masih panjang dan aku tak terlalu suka dengan perempuan yang pemikirannya masih anak-anak. Aku menyukai sosok wanita dewasa sepertimu."
Aku terduduk lemas didipan kamar. Perang batin berkecambuk dalam hati. Di satu sisi aku percaya apa yang diucapkan Mas Akbar tapi di sisi lain aku juga percaya apa yang ibu katakan.
"Kalau memang kebenarannya seperti itu kenapa kamu tak mau diajak pulang kerumah ibuku dan memilih kita bercerai dari pada harus menuruti keinginanku? Apa Mas takut jika nanti kamu tak dapat mengontrol emosi cintamu pada Dian!"
Mas Akbar tak menyaut, dari rautnya dia seolah bingung apa yang harus dia jawab. Aku melanjutkan untuk mengemas pakaianku dan tak lagi memperdulikan raut wajah Mas Akbar.
Setelah selesai aku berkemas segera aku mengendong Faza.
"Mas mau antar aku atau aku pergi sendiri!" ucapku pada Mas Akbar yang masih terpaku.
"Karena kamu pergi atas kemauanmu sendiri aku tak mau mengantarmu."
Segera kuangkat tas dan berlalu melangkah.
"Camkan ini, Ndah! Sekali keluar dari rumah ini tanpa ijinku selamanya aku tak akan memintamu menginjakkan lagi rumah ini!"
Kuhentikan langkah untuk sekedar mendengarkan apa yang di sampaikan Mas Akbar. Setelah selesai aku pun melangkah pergi meninggalkan kamar yang telah menjadi saksi bisu pernikahan ini.
Diruang makan terlihat Ibu Mertua dengan kedua putrinya tengah makan, aku pun melewatinya tanpa menyapa ataupun berpamitan.
"Mbak, mau kemana?" Hanya Dea yang berani bersuara. Anak usia tiga belas tahun yang duduk di kelas delapan itu yang tak pernah bersikap buruk. Hanya saja kemalasannya sama dengan kakanya Shinta.
Kubalas hanya dengan senyuman, kali ini tak ada mood untuk bersuara di depan wanita yang telah merobek hatiku yang paling dalam.
Kembali kulangkahkan kaki menuju pintu depan.
"Syukurlah dia pergi dari rumah ini, setidaknya pasti akan ada keberkahan ketika perempuan pembawa sial itu pergi!" cetus Ibu Mertua dengan nada volume sedikit dikencangkan.
"Dek! Indah!" teriakan Mas Akbar bisa kudengar. Tapi tak menyurutkan langkahku untuk berhenti. Sudah cukup terlalu sakit hati ini.
"Sudahlah, biarkan saja dia pergi! Bukankah itu keinginannya. Toh kita tak pernah mengusirnya, Bar." Ibu Mertua mencegah Mas Akbar yang akan mengejarku. Aku tak tahu jawaban apa yang diberikan Mas Akbar. Menurutkah? Karena aku sudah melangkah melewati pintu.
Kudekap tubuh mungil Faza dalam gendongan, dinginnya malam membuat aku takut menganggu tidurnya pangeran kecilku. Beban berat yang kubawa dikedua tanganku tak terasa berat seperti nasib yang kualami. Tragis dan dramatis apa yang selama ini kulalui. Pernikahan yang kuharap membawa surga kedamaian ternyata hanya membawa malapetaka. Neraka untukku karena terasa panas melebihi panasnya bara api di hatiku atas ucapan-ucapan Mertua dan Iparku.
Air mataku menyatu dengan jalan yang kulalui, menjadi saksi di mana hati ini terluka dan tertoreh.
Sepanjang perjalanan aku berpapasan dengan beberapa orang. Sengaja aku tertunduk untuk menghindari orang yang mengenalku. Malu rasanya jika seseorang mengenalku dan aku dalam kondisi menangis dikediaman malam.
Temaram lampu teras rumahku sudah terlihat, hatiku lega. Perjalanan setengah jam menempuh jarak kurang lebih tiga kilo membuat aku merasa lelah luar biasa.
"Sebentar lagi kita sampai, Nak," lirihku pada Faza yang kurasa wajahnya mulai dingin.
Kuhela nafas panjang ketika satu langkah menuju teras. Akhirnya lelahku terasa juga. Sebentar lagi dapat kulepaskan.
Kuketuk pintu.
"Sebentar!" teriak suara seorang perempuan yang kuhapal. Dialah Ibu.
'Ayah, Ibu, Anakmu pulang. Maafkan anakmu yang pulang membawa kegagalan.' gumamku dalam hati.
Tak lama Ibu membukakan pintu, wajah lelahnya terpancar seketika.
"Indah!" ucapnya dengan mata menyorot kebelakang, mencari sosok laki-laki yang telah membawaku. Seketika wajahnya berubah kala melihat tas berukuran beras kutenteng.
"Masuk, Nduk!" Ibu mengambil alih tas yang kubawa.
Kuberjalan masuk, meletakan Faza pada sofa ruang tamu dan menjatuhkan diri ini di sana. Lelah dan remuk redam tubuh dan hatiku. Kutatap langit-langit rumah yang sekian detik berubah jadi jingga kemerah merahan kemudian makin gelap dan gelap setelahnya seolah mataku tak dapat lagi melihat tertutup seiring hilangnya ingatanku.
"Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya kamu sadar juga." Kata pertama yang kudengar ketika membuka mata. "Bu, mana Faza?" tanyaku yang pertama kali kudengar. "Dia ada di kamar Dian, Nduk. Minum dulu pasti kamu kecapaian sampai pingsan begini."Kuteguk segelas air putih yang Ibu sodorkan padaku. Rasanya adem membuat dahala hilang seketika. Aku bangkit berusaha duduk. "Kenapa malam-malam begini kamu pulang, Nduk. Ngga minta antar Akbar. Dia dirumahkan?" pertanyaan Ibu beruntun membuat aku tak dapat menjawab satu persatu.Kuhelakan nafas panjang, sedikit mengurangi sesak di dalam dada. Walau kuakui sesek ini bukan karena kekurangan oksigen. "Pasti kamu bertengkar dengan suamimu?" Ibuku menebak. "Bukan sekedar itu, Bu!" Air mata tiba-tiba luruh dengan sendirinya. Terbayang jelas kata-kata tajam Ibu Mertua."Ya sudah sekarang tidur saja dulu! Ini sudah malam." Ibu beranjak pergi. "Bu, ambilkan Faza. Bawa dia kesini!" perintahku pada Ibu karena masih malas melihat Dian. Entahlah, kenapa ada s
"A-apa maksud ayah?" tanyaku penasaran. "Duduklah, Nduk! Kita bicarakan semuanya baik-baik," ucap Ibu yang menuntunku keruang tamu. "Nak Akbar, ayo masuk! Kita bicarakan baik-baik." Ibu juga mempersilahkan Akbar agar ikut duduk bersama kami. Beberapa saat semua saling diam, tak ada satu orang pun mampu bersuara. Aku masih menunggu agar Ayahlah yang pertama kali membuka percakapan. "Aku tahu kondisi ini akan terjadi cepat atau lambat!" Ayah mulai membuka percakapan. "Tapi... Aku ingin ketika ini terbuka hati Akbar sudah benar-benar tertambat pada Indah." Aku makin tak mengerti dengan apa yang di ucapkan Ayah. Apa maksud dari semua itu! Benarkah semua ini konspirasi orang tuaku juga. Ya Allahhh... Sakit sekali hati ini mengetahui kenyataan pahit yang harus aku terima juga dari keluargaku. Tak inginkah berkata jujur hingga tak melukai perasaanku. Dulu aku memang tak pernah memikirkan jodoh. Bagiku mencari uang untuk membantu perekonomian keluarga ini. Kupikir Ayah Ibu tak pernah m
"Ayah! Jangan berkata seperti itu, kasian Indah." Ibu berusaha membelaku, sosok mata tulusnya terpancar jelas di matanya. "Biarkan, Bu. Biar dia tahu diri dan tak seenaknya sendiri kalau perlu dia juga tahu sebenarnya. Memang sejak kehadiran dia keluarga kita kena-""Cukup!" Potong Ibu berusaha mencegah agar ayah tak mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. "Biarkan, Bu. Puaskan Ayah menghinaku terus menerus. Memang aku sampah yang hanya membawa bau bagi keluarga ini." Emosiku sudah terpancing. Tak lagi ada kata hormat pada seorang Ayah. "Bagus! Kalau kamu sadar akan itu. Ayah memang sudah muak melihat kamu, tingkah kamu yang selalu membuat keluarga ini kena masalah."Ibu sudah menangis air matanya tumpah ruah, sedangkan Dian hanya tertunduk entah apa yang sedang dia pikirkan. "Apa kamu tahu, sejak kehadiran kamu di sini kami kehilangan anak laki-laki dan seterusnya dapat anak perempuan. Berbagai masalah... Aduh!" Ayah tak melanjutkan kata-katanya hanya memegangi dada kirinya. Meri
Ya Allahhh kebenaran seperti apa lagi ini! Benarkah mereka bukan orang tuaku. Aku ini anak siapa? Berbagai pikiran berkecambuk dalam otakku. Ibu masih terdiam, ada rasa yang di sembunyikan dari rupa dan gelagatnya. Kumasih menunggu sepatah demi sepatah kata yang akan terucap dari mulut Ibuku ini. Ah! Ternyata hanya ibu angkat, bukan ibu kandung. Sedih sekali hatiku. Kusiapkan hati agar kuat menerima kenyataan yang sudah di depan mata. "Dulu, saat ibumu di bawa kerumah kami usia kandunganmu memasuki tujuh bulan. Ibumu adalah adik Ayahmu, dia hamil di luar nikah dengan seorang yang sampai akhir khayat Ibumu tak ada yang tahu." Kudengarkan dengan segsama. Itu berarti Ibuku telah meninggal. "Orang tua Ayah malu karena Ibumu tak mau menyebutkan siapa ayah dari anaknya. Hingga dia akhirnya menitipkan ibumu pada kami, saat itu keluarga kami hidup berkecukupan. Kerjaan yang mapan dan tak kekurangan suatu apapun. Aku juga tengah hamil yang usianya hampir sama dengan kandungan Ibumu." Ibu me
"Tapi, Aku mau makan dulu bareng Indah, kalau mau ikut ayuk! Abis itu baru aku antar kamu pulang." Mas Akbar berusaha mementingkan aku dulu. Entahlah ini setingan atau memang benar adanya. Sebenarnya aku muak sekali melihat keadaan seperti ini. "Ngga mau, Mas. Lebih baik aku pulang naik ojeg! Biar deh dempel-dempel sama tukang ojeg." Dian terlihat banget merajuk. "Jangan gitu dong, ayukk... Ikut makan dulu bareng kakakmu juga!" Mas Akbar masih berusaha membujuk Dian. Aku makin bingung sebenarnya apa sih mau Mas Akbar. Tadi sudah seperti mendahulukanku sekarang justru tak rela ketika Dian akan pulang naik ojeg. Gedeg aku lihatnya, aku memilih untuk berjalan meninggalkan mereka. Kududuk di sebuah bangku memesan satu porsi mie rebus bersama teh manis. Mas Akbar tak terlihat mungkin dia lebih memilih mengantar Dian dari pada harus di goda tukang ojeg. Sepuluh menit pesanan datang bersama dengan kedatangan Mas Akbar. "Ayo, Dek! Di makan keburu dingin!" "Di mana Dian? Ngga jadi di ante
PoV Dian. "Dian, temenin yuk. Aku mau minta uang sama Kakakku. Nanti tak tlaktir deh," ajak Shinta waktu itu. Awal pertemuanku dengan Mas Akbar. Yah... Memang sebelumnya juga sudah bolak-balik lihat sejak aku masuk di SMA.Kuturuti saja, permintaan temanku yang paling akrab. Ya... Shinta adalah teman pertamaku di sekolah ini. Sejak masuk di SMA dialah orang yang tanpa malu memintaku berteman. Bersyukur kami memilih jurusan yang sama dan satu kelas. "Mas, bagi duit dong, aku mau jajan tlaktir temanku," bisik Shinta pada sosok yang saat itu berseragam putih. Sejurus dia menatapku tapi setelahnya dia membuka dompet dan memberikan satu lembar uang ke Shinta. Sejak saat itu aku selalu menemani Shinta bertemu kakaknya, kadang aku juga ikut meronta membujuk Mas Akbar agar sekedar di beri uang jajan. "Ayo, Mas. Bagi uang buat jajan," rengekku kala itu ketika Shinta tak masuk sekolah. Seolah aku tengah meminta pada kakakku sendiri."Boleh, tapi ada syaratnya!" Aku terkejut. Segera kulepask
"Dek, Ayolah pulang saja Kerumahku!" Mas Akbar masih terus membujukku. Aku yang memang sudah bulat tak lagi mengubrisnya. "Kamu mau ngontrak di mana? Ayolah... Jangan ngambek terus. Aku bingung kalau kaya gini. Di sisi lain ada ibuku dan di sisi ini ada kamu. Mengertilah, agar aku tak di buat bingung." Mas Akbar terus saja ngedumel. "Antar aku kerumah Elsa!" perintahku ketika semua sudah siap. "Ka-kamu mau ngontrak di sana?" tanya Mas Akbar kaget. Dia juga kenal dengan Elsa, pernah datang saat resepsi pernikahan. Dia sahabatku waktu SMA. Ibunya terkenal dengan seorang yang menjual jasa PSK. Mungkin Mas Akbar berfikir kalau aku akan terjerumus atau di jerumuskan oleh ibunya dalam dunia malam. Aku tak senaif itu. Hanya di sana aku bisa mengontrak rumah tanpa bayar dulu. "Iya, apa salahnya. Aku hanya mengontrak tak lebih dari itu! Kamu mau antar apa nggak?" tanyaku kemudian. Mas Akbar bergegas langsung berjalan mengambil kontak di saku dan memarkir motor."Dek!""Hemmm.... ""Pikirk
Faza menangis histeris, aku mencoba mencari apakah ada yang terluka atau sakit. Aku sendiri merasa nyeri pada dengkul sepertinya luka terkena aspal. Beruntung aku dapat mengimbangi tubuhku hingga Faza tak sampai menyentuh tanah. Seorang laki-laki keluar dari dalam mobil, Faza sudah sedikit tenang. Aku mencoba memegangi lututku. "Kamu ngga papa, Dek?" tanya laki-laki yang mungkin sekitar berumur kurang dari lima puluh tahun. "Ngga papa, Om. Mungkin dia cuma ketakutan." Aku berbicara sambil melonggok mobilnya. Ada goresan di sana. Jantungku jadi berdegup kencang. Bagaimana kalau dia minta ganti rugi. Duh! Dilihatnya Faza dari atas sampai bawah, aku diam saja memperhatikannya, sambil memegangi lututku yang sakit. "Kamu terluka sepertinya," ucap laki-laki itu. "Ngga papa kok, Om. Cuma nyeri saja tadi sedikit kena aspal," jawabku. "Coba di lihat. Tuh berdarah seperti itu!" Seketika aku melihat lututku yang tertutup celana kulot warna putih. Terlihat jelas darah mengecap pada celanak