Share

Keputusan

'Benarkah apa yang dikatakan Ibu dan Shinta? Ta-tapi kenapa? Aku kira dulu Mas Akbar jatuh cinta padaku pada pandangan pertama. Memang usia Mas Akbar lebih muda dua tahun dariku!' pertanyaan-pertanyaan berkecampuk di hatiku. 

Segera mengambil HP yang tadi kutaruh di depan televisi. Rasa hati ingin mengetahui kebenaran dengan secepatnya dari Mas Akbar. 

"Tak usah kamu ganggu suamimu yang sedang kerja! Tanyakan saja padaku apa yang ingin kamu tahu," cetus Ibu Mertua yang sudah satu ruangan denganku. 

Kumeletakan kembali HP yang sempat kuambil, terlihat Ibu Mertua dengan santai duduk dikursi. 

"Sebenarnya dulu aku merestui hubungan Dian dengan Akbar, si sulung dan bungsu. Kalau menurut orang tua itu pasti hidupnya berkah!" ucap Ibu dengan nada juteknya. 

Tanpa terasa air mataku jatuh. Ada rasa sedih mengetahui ini semua. 

"Ehh... Malah tiba-tiba bilang mau nikahin kakaknya Dian! Anak sulung yang sudah di langkahi adiknya dulu!" 

Deg!

Bagai bogem mentah langsung menusuk keulu hati. Ya memang aku anak pertama tiga bersaudara yang semua perempuan. Adikku memang telah menikah dulu, melangkahiku satu tahun. 

"Ya sudahlah kaya gini kena sial! Dapat perawan tua pasti sial!"

Lagi dan lagi tanpa beban ibu mertua seenaknya berucap. Lebel perawan tua kusandang ketika aku memasuki usia dua puluh lima dan lebih tenar lagi ketika adikku menikah lebih dulu di usianya dua puluh tiga tahun. Sekarang aku menginjak usia kepala tiga kurang satu tahun saat menikah dengan Mas Akbar. Apa usia segitu sudah di panggil perawan tua! 

"Tadinya aku tak setuju karena ya kaya gini kena sial! Tapi Akbar memaksa karena itu permintaan Dian! Akbar sangat mencintainya. Dia rela berkorban dan menikahimu karena Dian tak mau mendengar sebutan kakaknya bertambah lagi! Dasar perawan tua!" Ibu mertua mencebik sambil berlalu dariku. 

Lemas sudah tulang-tulangku ini, seperti terlolos dari tempatnya. Aku terduduk dengan tatapan yang entah menerawang jauh kemana. A-apa benar semua yang di katakan Ibu Mertua dan alasan inilah yang membuat mereka selalu memandangku sebelah mata. 

***

Pukul lima sore Mas Akbar pulang, memang ini hari minggu, tapi kadang Mas Akbar dapat sifh di hari libur seperti ini. Pekerjaannya sebagai satpam di sekolah negeri membuat dia kadang kelelahan. Ya, Mas Akbar satpam di sekolahannya Shinta yang artinya juga sekolahnya Dian. 

Kusiapkan minum dan makannya tanpa sepotong kata pun. Setelah Mas Akbar mandi dan menganti bajunya dengan sarung dan koko menunggu adzan magrib berkumandang. 

"Mas, Aku mau bicara," ucapku pada Mas Akbar yang tengah memakai bajunya. 

Aku yang tengah menyusui Faza berucap sambil mata mengmbang air-air bening. 

Mas Akbar menoleh, "Apa? Ngomong saja! Masalah ibu lagi?"

"A-aku mau minta cerai saja!" kata itu akhirnya lolos juga dari mulutku. Air mataku jatuh ketika aku menutup mata menahan perihnya hati yang entah seperti apa. 

Kulihat raut wajah Mas Akbar kaget. Mungkin dia pikir aku telah mengambil keputusan untuk pulang kerumah karena terjadi peristiwa seperti kemarin. 

"Ada masalah apa lagi si, Dek! Kok kamu gini lagi, kamu mau pulang kerumah ibumu kan?"

Aku menggeleng keras. Lebih dari sekedar ingin pulang karena mertua tapi karena tahu kalau ternyata Mas Akbar tak mencintaiku seutuhnya. 

"Masalahnya bukan pada Ibu Mertua, tapi justru pada kamu, Mas! Tanyakanlah pada hatimu, apakah kamu mencintaiku! Tidak, bukan?! Kamu hanya mencintai adikku Dian!" Aku menanggis sesenggukan. Mengeluarkan rasa sakit ini agar setidaknya dapat berkurang.

Mas Akbar tak bergeming, seolah apa yang di ucapanku tak bisa ia sangkal. Ternyata inikah kenyataan pahit yang harus kuterima. Segera aku beranjak mengambil tas yang memang kemarin sudah kutaruh kembali pada tempatnya.

Keputusanku sudah bulat. Fix. Aku akan keluar dari rumah ini dan bercerai dengan Mas Akbar. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status