"Alhamdulillah, Nduk. Akhirnya kamu sadar juga." Kata pertama yang kudengar ketika membuka mata.
"Bu, mana Faza?" tanyaku yang pertama kali kudengar.
"Dia ada di kamar Dian, Nduk. Minum dulu pasti kamu kecapaian sampai pingsan begini."
Kuteguk segelas air putih yang Ibu sodorkan padaku. Rasanya adem membuat dahala hilang seketika. Aku bangkit berusaha duduk.
"Kenapa malam-malam begini kamu pulang, Nduk. Ngga minta antar Akbar. Dia dirumahkan?" pertanyaan Ibu beruntun membuat aku tak dapat menjawab satu persatu.
Kuhelakan nafas panjang, sedikit mengurangi sesak di dalam dada. Walau kuakui sesek ini bukan karena kekurangan oksigen.
"Pasti kamu bertengkar dengan suamimu?" Ibuku menebak.
"Bukan sekedar itu, Bu!" Air mata tiba-tiba luruh dengan sendirinya. Terbayang jelas kata-kata tajam Ibu Mertua.
"Ya sudah sekarang tidur saja dulu! Ini sudah malam." Ibu beranjak pergi.
"Bu, ambilkan Faza. Bawa dia kesini!" perintahku pada Ibu karena masih malas melihat Dian. Entahlah, kenapa ada sedikit rasa tak suka pada adikku kini setelah mengetahui semua ini.
Ibu mengangguk dan beberapa saat kemudian kembali dengan menggendong Faza. Diletakannya hati-hati anakku di sampingku.
"Udah kamu tidur dulu jangan banyak pikiran." Ibu keluar dan menutup pintu.
Kuhela nafas kembali, rasanya ingin sekali aku memprotes sang pencipta atas apa yang sekarang aku alami. Sudah terlalu banyak liku-liku kehidupan yang membuat aku jengah.
***
Pagi menjelang, aku kaget ketika Faza merengek meminta ASI, segera kusodorkan walau mata tertutup. Ya... Aku masih sangat ngantuk karena semalam enggan mata ini terpejam.
Pintu terbuka, Dian masuk kedalam dengan seragam yang sudah lengkap.
"Dedek Faza, main yuk sama Tante," ucap Dian sambil menepuk-nepuk tangan berusaha mencari perhatian pada Faza. Aku enggan untuk sekedar menengok, bahkan kubiarkan saja ketika dia membawa Faza keluar kamar.
Ya Allahhh... Salahkah aku bila aku membenci adikku. Mungkin bukan benci tapi marah karena tak berkata jujur tentang hubungan dia sebelumnya dengan laki-laki yang sekarang menjadi suamiku.
Kukeluar setelah merasa perutku keroncongan, bau masakan ibu sedari tadi mengobok-obok perutku. Terlebih dari kemarin tak ada makanan yang masuk, pantas saja ASI-ku seolah kering.
"Masak apa, Bu?" tanyaku pada wanita yang tengah memegangi spatula.
Ibu tersenyum dan kembali fokus pada masakan.
"Wah... Sayur buncis kesukaanku." Aku menajamkan hidung menghirup wangi sayuran ibu.
"Mau kubantu apa, Bu?" tanyaku lagi.
"Ini usah selesai. Kamu bantu siapkan piring saja mumpung Faza sama Dian anteng."
Kubergegas menyiapkan apa yang ibu perintahkan, mempersiapkan segala sesuatunya. Membawa masakan keatas meja makan. Terlihat Ayah keluar kamar dengan pakaian kerjanya. Ayahku seorang pekerja di sebuah koperasi jadi biasa tampil rapi.
"Pagi, Ayah," sapaku yang hanya di balas dengan ucapan yang bergumam.
Makanan telah siap ketika aku mulai mendengar rengekan Faza. Dibawanya Faza menuju meja makan dan aku mengambil dari Dian tanpa terucap sepatah katapun. Kulirik dia seolah bingung dengan sikapku. Masa bodoh! Pikirku.
Mereka semua menuju meja makan aku kembali masuk kekamar untuk menyusui Faza.
"Sarapan sekalian, Dah!" perintah Ibu.
"Nanti aja, Bu. Menyusui Faza dulu, nanti setelah ibu selesai gantian."
Ibu langsung beranjak pergi, mungkin kembali kemeja makan. Aku menyusui Faza dengan perasaan sedih. Entahlah! Kenapa pernikahanku harus kandas sampai di sini.
***
Sore menjelang ketika telah memandikan Faza, aku dan Ibu bermain-main dengan Faza di teras. Bercengkerama sambil sekali tertawa melihat ulah Faza yang mengemaskan.
Motor berhenti tepat di depan teras. Seseorang yang aku paham betul siapa kedua manusia itu. Mas Akbar dengan Dian.
Dilepasnya helm Mas Akbar setelah Dian turun dari jok motor. Seketika hatiku panas mengingat dia dulu mempunyai hubungan. Kuberanjak bangkit ketika Dian menghampiri kami untuk sekedar salim.
"Dek, tunggu!" Mas Akbar berusaha mencegahku masuk.
"Mbak, kalau ada masalah bicarakan saja baik-baik." Kali ini Dian yang berucap. Membuat seketika aku menghentikan langkah.
Apa maksudnya, bukankah dia juga termasuk sumber masalah dari semua ini.
"Ini urusan keluarga, Mbak. Kamu tak perlu ikut campur!" cetusku pada Dian yang sudah mendekat.
"Sekarang ini juga urusanku, Mbak, karena aku ada diantara masalah ini."
"Oh... Jadi Mas Akbar sudah cerita tentang apa yang menjadi masalahku! Terus kenapa baru sekarang kamu mau ikut bicara? Harusnya dulu sebelum pernikahan ini terjadi."
"Semua bisa kujelaskan, Mbak. Jangann pakai emosi."
"Jelaskan! Apa yang perlu dijelaskan. Aku tahu semuanya dan yang lebih menyakitkan bagiku aku dihina oleh mertuaku hanya karena aku dinikahi pacar adikku!"
Aku mulai luruh menangis. Tak dapat lagi kubendung air mata menahan sesaknya di dada. Rasa sakit ini begitu mendalam melebihi tahu kalau suaminya dulu pernah berbuat zina dengan pacarnya. Lebih sakit dari mengetahui itu!
"Kamu pikir, Mbak ngga laku hingga kamu tawarkan aku pada pacarmu!"
Dian bergeming dengan tatapan yang entah apa, matanya mulai berembun.
"Kamu pikir apa, Hah!" emosiku mulai meluap.
"Cinta bisa datang seiring waktu dan pernikahan ini terjadi bukan salah dia, tapi ini semua atas kehendakku!"
Tiba-tiba Ayah sudah berada di teras rumah dan berucap sedemikian. Apa maksudnya ini?! Apa maksud Ayah dari kehendak ini.
"Tak usah berkata demikian, aku sudah memaafkan dan melupakan semua yang terjadi dulu, hidupku sekarang hanya ingin menatap kedepan dengan baik." Aku berkata tanpa menatapnya."Ndah ... Apa kamu tak ingin Faza punya ayah lagi?" tutur Mas Akbar."Tentu, tapi mungkin belum saatnya. Nanti tiba waktunya pun, Faza akan memiliki ayah lagi." Aku menjawab dengan baik."Bukan itu, maksudku, apa kamu tak ingin ayahnya Faza kembali padamu?" Seketika aku menoleh, kenapa ia begitu percaya diri mengatakan hal demikian?"Apa? Aku ngga salah dengar kan, Mas? Tak pernah terfikir olehku sedikitpun hal itu, kamu sudah berkeluarga, lebih baik urus saja istrimu dengan baik, perlakuan dia dengan baik dan jangan pernah buat kecewa!" Aku berkata dengan tegas."Tapi, Ndah?""Sudah, Mas. Jika tujuan kamu kesini hanya untuk memgemis kembali padaku, lebih baik sekarang kamu pulang! Aku tak punya pintu untuk kamu lagi!" Aku mulai ngegas, rasanya benar-benar tak tahu malu itu orang.Dia pun akhirnya pergi setelah
"Ya sudah, Sus, bawa Faza masuk!Sepertinya dia ketakutan." Aku menyuruh babysitter untuk membawa Faza.Kalau begini niat aku menenangkan pikiran dikampung ini rasanya sia-sia.Aku pun memilih untuk masuk, hari sudah sore langit mendung dan kabut sepertinya akan turun. Jika sudah begini, dingin akan mengerayap.Beberapa kali aku bersin, mungkin karena sudah terbiasa dengan udara kota, jadi sekarang terkena dingin sedikit saja menjadi flu.Alhamdulilah Faza akhirnya tertidur setelah berdrama ingin minta pulang ke kota.Aku merebahkan diri di atas sofa, air jahe sudah terhidang. Mbak Saras tetangga sebelah rumah lah yang membantu aku selama disini.Pagi ini aku memilih untuk berjalan-jalan. Menghabiskan waktu dengan menikmati kuliner yang biasanya ada di pasar pagi, pasar kaget yang ada setiap pagi dengan menjual berbagai makanan khas daerahku.Ternyata masih banyak yang mengenali aku, walau mereka bilang aku makin glowing, mereka menyapa aku ramah."Indah? Indah kan ya?" ujar Teh Lusi,
Rasanya kata-kata yang baru keluar dari mulut Pak Riki bagai sebuah belati! Apa seperti inikah sikap yang sebenarnya? Apa hanya karena rasa cemburu yang mendalam hingga tanpa sadar dia mengatakan hal yang begitu melukai, tanpa dengan baik-baik menanyakannya? "Pak... Saya memang seorang janda dan saya juga bukan manusia suci. Saya memang masih luput dari dosa, tapi asal bapak tahu saya tak serendah seperti apa yang bapak katakan. Terima kasih atas penilaian bapak tanpa tahu sebenarnya!" tanpa terasa air mata ini mengalir begitu saja. Sakit ini membuat aku lemah. Terlebih lagi aku masih trauma bila teringat peristiwa di mana aku diperlakukan tak baik oleh Irwan. Seketika aku berlari keluar, tanpa lagi peduli pada Pak Riki yang memanggil. Ketika membuka pintu aku berpapasan dengan Agung yang juga akan masuk kedalam. "Mbak!" sapanya. Aku tak berani menatapnya karena air mata ini masih merembas di pipiku. Secepatnya aku berlalu dari sana. Kuberlari tanpa melihat kedepan, aku sibuk menu
"Tanyakan saja pada dia, Pak! Apakah yang aku ucapkan bohong atau sebuah kebenaran! " cetusku lagi. Seketika mata Pak Riki membulat tajam pada Tanti. "Kalau memang dia anaknya Irwan, tuntut saja untuk bertangung jawab! Dia itu laki-laki. Kalau masih mengelak, coba buktikan dengan tes DNA. Jangan jadi laki-laki pengecut yang maunya meniduri wanita hanya dengan bermodalkan pamer kekayaan!" cetusku lagi membuat Tanti terkaget. "Ka-kamu kenal Irwan?" tanya Tanti. "Yah... Kenal, karena aku hampir saja jadi korban nafsu bajingan tengik itu!" emosiku berapi-api mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. "Indah! A-apa maksud kamu?" tanya Pak Riki dengan terbata. Aku menatap sekilas wajah Pak Riki. Kenapa karena emosi aku sampai keceplosan tentang hal ini. Segera aku berlari keluar, tak lagi kupedulikan Pak Riki yang terus memanggil namaku. Aku sakit bila mengingat peristiwa itu. Bagaimana aku di lecehkan untuk pertama kalinya oleh laki-laki. Aku berjalan menuju taman rumah sakit, men
Aku berjalan mendekat ketempat di mana Pak Riki terbaring, mencoba mengulas senyum walau ekor mataku tetap menangkap pada sosok Tanti yang terlihat tak senang. "Maaf, Pak. Kemarin HPku lowbatt dan ketinggalan di rumah, jadi tak tahu tentang kecelakaan bapak," ucapku. Pak Riki terlihat tersenyum, "Ngga papa, Ndah. Alhamdulillah masih di beri umur walau kondisinya seperti ini.""Alhamdulillah... Semoga lekas pulih ya, Pak.""Hai... Dia itu kakinya patah dua-duanya karena terkencet bodi mobil!" ucap Tanti tiba-tiba. Aku memandangnya aneh,"hanya patah tulang kan, Pak?" tanyaku pada Pak Riki tanpa menatap kearah Tanti. "Iya, Ndah, hanya patah tulang, insya Allahh kalau telaten dan benar-benar hati-hati masih bisa jalan. Cuma butuh waktu," ucap Pak Riki dengan sedih. "Kemungkinannya fivety-fivety. Lagi Tanti menyela.""Itu masih besar kok, Tan. Masih bisa di usahakan sembuh."Kali ini terlihat Tanti mulai geram, mungkin dia kesal karena menghadapiku yang masih saja sabar menerima semua
Aku makin sibuk dengan segala pekerjaan kantor, hingga tak ada waktu untuk sekedar bermain HP. Kadang Pak Riki memang kirim chat dan hanya kujawab sekali dua kali. Bukan tanpa respon tapi aku sendiri benar-benar sibuk dengan semua urusan kantor. "Mbak, Aku boleh izin pulang, Nggak?" tanya Shinta takut-takut. Aku dapat melihat raut wajah ketakutannya. Mungkin dia tak enak karena baru sebulan lebih bekerja di sini. "Ada apa, Shin? Apa kamu tak betah?" tanyaku kemudian. "Nggak, Mba. Aku dapat kabar dari Dea kalau ibu sakit dan sampai masuk rumah sakit," jawabnya sambil menunduk, ada bulir bening yang hampir jatuh di sana. "Ya Allah... Sekarang kamu pesan tiket pulang!" "Iya, Mbak." kulihat Shinta segera meraih HPnya. "Kalau gitu, aku pamit, Mbak. Nanti kalau ibu sudah sembuh aku usahakan berangkat lagi secepatnya." "Baik, Shin. Salam buat Ibu. Oh, Ya... Ambil gajimu ke Sekretaris ya. Bilang saja aku sudah suruh siapkan." "Iya, Mba. Makasih banyak, maafkan semua kesalahan Ibuku di
"Siapa yang membawa aku kerumah sakit dan bagaimana kondisiku saat di temukan?" aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi padaku. Ibu tersenyum, "Sebaiknya besok saja ya ibu ceritakan. Setidaknya Allah masih menyayangimu." Ibu membawaku masuk kekamar, perasaan itu masih berkecambuk. Benarkah aku sudah di nodai ketika aku pingsan? Rasanya aku jijik sekali dengan tubuhku. Kenapa ini harus terjadi! Aku memeluk Faza, rasanya kangen sekali beberapa hari tak bertemu. Hanya dia yang membuat aku semangat menjalani hari-hari berikutnya. Hpku berdering, di layar ponsel tertera nama Pak Riki. Aku ragu untuk mengangkatnya. Benarkah dia sudah tahu apa yang aku alami, malu sekali rasanya. "Hallo... " kuucapkan setelah memencet tombol dial. "Hallo, Ndah! Gimana kabarmu?" tanya Pak Riki di seberang sana. "Alhamdulillah baik, Pak." "Kenapa beberapa hari tak pernah akrif HPmu?" tanyanya lagi. "Maaf, Pak. Aku terlalu sibuk." "Oh... Baiklah. Kalau sudah dengar kamu baik-baik saja, rasan
Segera kuberusaha melepaskan tangan satu dari pinggangnya. Secepatnya aku berusaha berlari menuju keluar, tapi naas kerudungku di tariknya. "Mau lari kemana, Cantik! Aku takakan menyakitimu kalau kamu nurut! Tenanglah, akan kubuat kamu mabuk kepayang dan selalu terbayang-bayang." Rasanya muak sekali mendengar ucapannya. "Lepaskan aku!" sergahku."Tak usah munafik, Sayang. Ayahmu saja sudah percaya padaku. Bahkan dia mendukung kita menikah!" Kugelengkan kepala cepat. Aku rasa tak mungkin Ayah membiarkan aku menikahi laki-laki brengsek itu. "Lepaskan! Aku tak sudi punya suami piktor macam kamu!" "Hhaaa... Ha... Baru kali ini aku bertemu wanita yang bilang begitu! Biasanya mereka justru bilang aku lelaki sempurna, romantis, gagah dalam ranjang dan juga kaya! Apalagi yang di cari dari laki-laki seperti diriku ini."Cuihh! Aku ludahi dia dengan penuh emosi, "Tak semua wanita gila harta! Aku jijik dengan laki-laki sepertimu!" Plakk!! Satu tamparan mendarat di pipiku, aku terhuyung jat
Aku masih terbengong dengan ucapan Pak Riki. Sungguh aku tak punya pikiran sampai sejauh itu. Terlebih ketika kejadian kemarin di restoran. Rasanya enggan untuk tertarik padanya, karena aku bukan tipe pelakor. Asal nyaman dan suka tak peduli sudah ada pemiliknya. "Ma-maaf, Pak! Aku tak punya pikiran sejauh itu. Aku tak mau menjalin hubungan, aku bukan lagi ABG atau anak gadis yang berpacaran." Kuucapkan dengan tegas. "Maaf jika tadi kata yang aku ucapkan salah, Ndah! Maksud aku juga begitu. Entah keberanian dari mana aku dapat ungkapkan ini sekarang. A-aku tak ingin jawabanmu sekarang tapi setidaknya aku sudah ungkapkan sekarang dan aku bisa pergi dengan tenang." Kali ini dia meremas tangannya. Aku masih terdiam, ketika tiba-tiba Ayah Beni datang dan mengajak ngobrol Pak Riki. Mereka membahas tentang kepergian Pak Riki yang ke Sidney untuk urusan kemenangam tender dan pembelian sebagian saham yang di lelang. "Berapa lama kamu di sana?" tanya Ayah Beni. "Belum tahu, Pak. Sekiranya