Arga menahan napasnya. Dada naik-turun dengan cepat, tapi mulutnya tak mampu membentuk kata.Matanya membelalak, namun kehilangan sorot percaya diri. Kata-kata Kirana terlalu tajam—dan terlalu benar. Seakan semua pertahanan yang ia bangun runtuh dalam satu dorongan emosi.Keheningan menggantung sebentar, tegang dan berat, sampai akhirnya suara pelan terdengar dari arah tangga.Langkah ringan namun terdengar disengaja. Lalu muncul sosok Alya, berdiri di ujung tangga dengan daster tipis berwarna pastel.Rambutnya digerai seadanya, matanya tampak merah dan sembab, entah karena benar-benar menangis atau sengaja dibuat seperti itu.Wajahnya memelas, seperti seekor anak kucing yang tak sengaja mengganggu dua induk singa.“Maaf,” ucap Alya dengan suara lirih, nyaris tercekat. Nada bicaranya pelan namun cukup nyaring untuk menarik perhatian.“Aku ... nggak bermaksud bikin kalian ribut terus tiap hari. Kehadiran aku ... mungkin cuma jadi beban.”Kalimat itu seperti anak panah yang melesat ke u
Jam menunjukkan pukul 10 malam saat Kirana membuka pintu rumah.Arga duduk di sofa dengan tangan bersilang di dada. Posisi duduknya kaku, seperti seseorang yang menahan emosi sejak lama.Matanya menatap tajam ke arah pintu, seolah sudah mengantisipasi suara kunci yang berputar sedari tadi.Televisi di depannya menyala, menampilkan tayangan berita larut malam, tapi volumenya dikecilkan dan tak ada tanda-tanda kalau tayangan itu benar-benar ditonton.Aura di ruangan itu pekat oleh amarah yang belum sempat diluapkan.Begitu Kirana masuk dan menutup pintu dengan pelan, suara Arga langsung terdengar, tajam, dingin, dan penuh tuntutan.“Kamu dari mana aja?” tanyanya tanpa basa-basi.Langkah Kirana terhenti sejenak. Tangannya masih menggenggam clutch bag warna krem yang serasi dengan gaunnya.Ia menatap Arga sejenak—pandangan yang penuh kejenuhan dan kepedihan yang tertahan.Lalu ia menoleh ke arah jam dinding yang menggantung di dekat televisi, seolah menekankan bahwa ia memang sadar betul
Pagi itu matahari baru saja mengintip malu-malu dari balik tirai langit, namun suasana di rumah Kirana terasa dingin dan hampa.Di meja makan, aroma teh hangat dan roti panggang tidak mampu menghangatkan hati Kirana yang sudah membeku semalaman.Alya datang dengan langkah pelan namun pasti, mengenakan gaun tidur longgar yang menonjolkan perutnya yang mulai membesar.Senyumnya manis, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kirana bersiap.“Kak Kirana,” ucap Alya lembut lalu duduk di seberang meja makan. “Maaf ya... aku tahu ini mendadak, tapi aku rasa... akan lebih baik kalau aku tidur satu kamar dengan Mas Arga. Aku sering mual tengah malam, dan aku butuh dia di dekatku.”Kirana menghentikan sendoknya. Pandangannya jatuh ke wajah Alya, lalu ke perutnya, lalu kembali ke cangkir tehnya yang mulai kehilangan uap.Belum sempat ia menjawab, Arga datang dari arah dapur, menyusul percakapan yang belum selesai.“Kirana, aku pikir... kamu bisa tidur di kamar tamu dulu ya,” katanya ta
Arga dan Kirana masih saling berhadapan di dalam kamar yang kini penuh ketegangan.Udaranya serasa panas meski kipas langit-langit berputar pelan di atas mereka.Wajah Arga memerah menahan emosi, sementara Kirana berdiri tegak, menatap suaminya dengan sorot penuh kekecewaan dan kemarahan yang sudah lama membeku di dasar hatinya.“Kamu tuh egois, Kirana!” bentak Arga dengan suara serak yang menahan amarah.“Kamu nggak pernah coba ngerti posisiku. Kamu selalu mikirin perasaanmu sendiri, tanpa pernah peduli gimana rasanya jadi aku!”Kirana mendengus sinis. “Oh ya? Aku egois?” Ia sontak tertawa getir. “Aku cuma membela diriku, Mas. Karena kalau bukan aku, siapa lagi? Kamu? Kamu lebih dulu memutuskan untuk membawa wanita lain ke dalam rumah ini!”Arga mengatupkan rahangnya. “Alya ada di sini karena dia sedang mengandung anakku!”“Anak yang kamu buat dari pengkhianatan!” balas Kirana, matanya mulai memerah menahan air mata yang ingin jatuh.“Aku tahu aku belum bisa kasih kamu keturunan, tap
“Eh, Kak Kirana udah pulang,” sapa Alya dari balik pintu dengan suara yang dibuat ceria, lengkap dengan senyum tipis yang tak bisa menyembunyikan nada manipulatifnya.Tubuhnya bersandar santai di kusen pintu, tangan kirinya masih memegang cangkir teh yang belum habis. Tatapannya penuh penilaian saat melihat Kirana membuka sepatu di depan pintu.“Aku pikir Kak Kirana mau nginep di luar. Ternyata balik lagi ke sini,” lanjutnya lagi dengan nada sinis yang dibungkus basa-basi.Kirana menatap sekilas, hanya satu detik, sebelum kembali menunduk dan berjalan masuk tanpa sepatah kata pun.Tidak ada sapaan, tidak ada balasan. Hanya diam, yang jauh lebih tajam daripada kalimat apa pun.Alya menoleh ke arah ruang tengah, memastikan Arga mendengar semua kalimatnya, lalu menggeleng pelan seperti korban yang baru saja menerima perlakuan buruk.Kirana masuk ke kamarnya, membuka pintu dengan pelan lalu menutupnya rapat tanpa membanting, tapi cukup tegas untuk menegaskan batas.Tak lama setelah itu, A
Arga berdiri di ambang ruang tamu yang lengang, lampu gantung kristal memantulkan cahaya senja yang temaram ke seluruh sudut ruangan.Napasnya tertahan, bola matanya menelusuri setiap pintu dan lorong seakan‑akan Kirana bisa muncul dari balik bayangan mana saja.Dua hari belakangan ruang ini terasa lebih dingin, sepi, dan asing tanpa tawa ceroboh wanita itu.Alya, yang baru saja keluar dari dapur sambil membawa nampan berisi teh melati hangat langsung menangkap kegelisahan suaminya.Gaun rumah berwarna pastel yang dia kenakan berkibar pelan tertiup hembusan AC.“Cari siapa, Mas?” tanyanya lembut, walau sorot matanya meneliti.Ia tahu persis jawaban Arga sebelum pria itu sempat membuka mulut.“Kirana. Di mana dia? Sudah dua hari ini aku tidak melihatnya,” Arga berbisik, tapi nada cemasnya jelas terdengar.Sekilas, rahang Alya mengeras. Bibirnya menipis menahan rasa tak sudi yang mendidih.“Nggak tahu. Mungkin lagi semedi di kamarnya,” jawabnya ketus sambil meletakkan nampan di atas mej