Elara berdiri di depan rumah besar berlantai dua di hadapannya.
Tidak ada pilihan lain bagi Elara saat ini, selain meminta bantuan dari ayah tirinya, Tony White.
Ia masuk dan tepat di depan sana, di ruang keluarga, ia bisa melihat Tony dan Tina --adiknya, duduk bersantai.
“Kamu baru pulang heh?!” Suara lengkingan memekakkan telinga, langsung menggema seantero ruangan.
Elara menghentikan langkah dan menoleh pada wanita yang mengeluarkan suara melengking, Tina Palmer --bibi tiri Elara.
Wanita paruh baya itu memang tidak pernah menyukai kehadiran Elara dalam keluarga White.
Elara hanya menatap datar sang bibi, ia tidak bisa menghabiskan waktu berdebat dengan Tina, sementara neneknya memerlukan penanganan segera.
Ia pun memutar langkah, mendekati ayah tirinya.
“Ayah…” Elara berhenti di samping Tony duduk. “Aku butuh bantuan ayah.”
“Hah! Benar-benar anak tak tahu diri!” umpat Tina. “Dari kecil sudah merepotkan, sekarang pun masih ingin merepotkan!”
“Bantuan apa?” Suara dalam Tony begitu datar dan dingin.
“Nenek… nenek butuh transfusi darah. Bisakah.. bisakah ayah membantu mencarikan pendonor Rh-Null?” pinta Elara. Matanya tak berkedip, menyorotkan harapan yang begitu tinggi.
Tina menyambar lagi. “Sudah banyak uang yang dikeluarkan kakak ku untuk mengurus anak orang sepertimu! Apa kau tidak punya sedikit rasa malu?!”
Elara mengabaikan Tina dan tetap menatap penuh permohonan pada sang ayah.
“Ayah… nenek adalah ibunya ibuku. Kau pernah mencintai ibuku. Tolonglah nenekku.. Aku yakin jika ibu masih hidup, ia akan berterima kasih pada ayah…”
Genggaman Tony pada sandaran tangan di sofa yang ia duduki, mengerat.
“Jangan bawa-bawa Annie! Dia sudah mati! Kau hanya memanfaatkan kasih sayang kakak ku pada Annie yang sudah tiada! Jangan memanipulasi kakak ku lagi, hingga mengeluarkan uang untukmu, anak kurang ajar!” Tina berteriak marah.
Kalimat Tina kali ini bukan tanpa efek pada Elara.
Elara menoleh pada Tina dan menatapnya tajam. “Apa salahnya ayah mengeluarkan uang untukku? Bukankah bibi tahu, bahwa perusahaan yang ayah pegang saat ini, tidak lepas dari peran ibuku? Secara tidak langsung, aku --sebagai putri kandung ibuku, juga berhak atas perusahaan itu!”
Tina menggeram penuh amarah. “Apa kamu bilang? Dasar anak tidak tahu diri! Kamu hanya parasit yang menggerogoti kakak ku! Kamu--”
“Sudahlah Tina!” Tony bersuara untuk menghentikan Tina.
“Tapi kak! Dia--”
“Ku bilang, sudah!”
Tina pun akhirnya berhasil terbungkam. Ia duduk dengan mengerutkan wajah.
“Berapa yang kau butuh?” tanya Tony pada Elara.
“Ayah, aku bukan butuh uang. Aku butuh koneksi ayah untuk mendapatkan pendonor darah itu. Aku--”
“Aku tidak ingin direpotkan hal semacam itu. Sebutkan saja berapa aku harus mengeluarkan uang, dengan syarat kamu tidak akan pernah meminta atau menyebut tentang perusahaan lagi padaku. Apa kamu bisa?”
Wajah Elara menjadi pias. Kedua telapak tangannya dingin dan berkeringat.
Kalimat ayah tirinya sungguh menusuk hati.
“Ayah…” Suara Elara bergetar.
“Berapa? Aku tidak akan terlalu berbaik hati menawarkan ini lain kali,” tukas Tony dingin.
Tina yang semula cemberut, menjadi sumringah begitu mendengar bahwa kakaknya memberikan syarat itu pada Elara.
Ia melirik Elara yang wajahnya tampak pucat.
Gadis itu terlihat mengepalkan kedua tangannya. “Kalau begitu, berikan aku satu juta dolar!”
“Apa kau gila?!” pekik Tina tak terima.
Tina sungguh tak sudi melihat Elara mendapatkan uang dari Tony.
Perusahaan yang dikelola Tony, akan menjadi miliknya.
Tony tidak memiliki penerus sedarah, perusahaan itu ia pastikan akan jatuh pada anaknya kelak. Bagaimana mungkin ia rela Tony mengeluarkan uang sebanyak itu?
“Itu terlalu banyak. Akan mengganggu cash flow perusahaan,” tolak Tony. “Lima ratus ribu. Dan kamu tidak pernah mengungkit lagi soal perusahaan di hadapan kami.” Itu adalah keputusan final.
Elara menarik napas dalam-dalam.
Amarah yang berkumpul dan mengendap di dalam hatinya, akan ia simpan dan ia ingat baik-baik.
Elara mengangguk. “Kirimkan ke rekeningku. Aku tidak akan meminta bantuan kalian lagi setelah ini.”
“Asistenku akan menyerahkan satu berkas untuk kau tandatangani, sebelum aku mengirimkan uang itu.”
Kedua kalinya, Elara mengangguk. “Kirimkan saja ke rumah sakit. Aku akan berada di sana.”
Usai mengucapkannya, gadis itu pun memutar tubuh dan keluar dari kediaman White.
“Kau keterlaluan, Kak! Itu jumlah yang banyak!” Tina menggeram marah dan menatap Tony dengan tidak puas.
“Itu jumlah yang wajar. Satu juta pun masih sangat wajar, karena dulu Annie mengeluarkan banyak uang untuk modal awal perusahaan.” Tony mengembus napas. “Masih untung dia tidak meminta separuh saham perusahaan, sebagai ahli waris Annie.”
Tina kemudian hanya mendengkus kasar, merasa tidak puas tentunya.
Di luar kediaman White, Elara berdiri kaku di teras depan dengan hati yang berselimut hawa dingin.
Seseorang datang mendekati Elara dengan hati-hati dan memanggilnya pelan.
“Nona Elara.”
Elara menoleh dan mendapati pelayan berusia enam puluhan yang sangat ia kenali. “Bibi Ruth.”
“Tadi pagi bibi melihat Nyonya Willow datang ke sini, pasti ingin menengok Nona Elara. Namun Nyonya Tina mengusirnya dengan kejam dan mengatakan hal-hal buruk tentang Nona.”
“Apa?!” Tangan Elara seketika mengepal kuat, saking kuatnya, hingga telapak tangannya tertusuk dalam oleh kuku-kuku Elara.
Namun gadis bermata zamrud itu sama sekali tidak mempedulikan rasa sakit itu. Jauh lebih sakit mendengar bahwa neneknya datang dan diusir oleh Tina!
“Tuan Tony melihatnya. Namun Tuan tidak menghentikan pengusiran dan tidak mencegah kata-kata buruk yang diucapkan Nyonya Tina kepada Nyonya Willow. Lalu Nyonya Willow keluar dari rumah dengan wajah tampak kaget dan sedih.”
Ruth melanjutkan. “Saya melihat Nyonya Willow melamun saat berjalan menuju gerbang keluar. Mungkin…” Pelayan tua itu tidak meneruskan kalimatnya, namun Elara dapat menangkapnya dengan baik.
Neneknya, datang jauh-jauh dari desa ke sini dan mengalami pengusiran. Nenek Elara hanya tahu bahwa selama ini Elara dibesarkan dalam keluarga White, dengan baik.
Ia mungkin menjadi shock mengetahui bahwa Elara ternyata diperlakukan dengan tidak baik dalam keluarga ini.
Rasa dingin mengguyur seluruh tubuh gadis bermata zamrud itu. Membekukan seluruh sendi dan saraf-saraf nya.
Betapa tega keluarga White!
Ia tidak akan memaafkan mereka, jika sampai hal terburuk terjadi pada neneknya!
* * *
Aveline menjerit keras, suaranya memenuhi lorong sempit yang hanya diterangi lampu jalanan buram.Tubuhnya gemetar saat sebuah tangan kuat tiba-tiba meraih pinggangnya."Apa maksudnya ini?!" Aveline berteriak lagi, mencoba melawan, tapi tak ada yang mendengarnya.Udara malam yang dingin membuatnya semakin waspada, namun pria di depannya begitu cepat.Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, bibirnya langsung tertutup oleh sesuatu yang hangat dan mendesak—bibir pria yang kini mencengkeramnya erat.Aveline meronta-ronta, hatinya dipenuhi kepanikan.Tubuhnya kaku saat pria itu memeluknya dengan kuat, membuka jaket kulit hitamnya seolah bersiap melakukan sesuatu yang lebih buruk.Mata Aveline melebar ketakutan.‘Tidak mungkin,’ pikirnya, ‘Apakah dia akan memperkosaku?’Ia semakin panik, berusaha membebaskan diri dari genggaman pria itu.Namun, pria itu begitu kuat.Semua tenaga Aveline seolah menguap, terjebak dalam dekapannya yang erat.Lalu, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan.Sekelo
Langit sore yang kemerahan menyelimuti San Francisco Bay, tempat di mana sebagian besar kehidupan cinta sepasang insan berkisah.Suara ombak yang berdeburan pelan di pantai menciptakan melodi yang damai, selaras dengan angin sepoi-sepoi yang menyapu lembut permukaan laut.Elara berdiri di ujung dermaga kayu, menatap cakrawala yang tampak tanpa batas, tempat di mana langit bertemu lautan.Matanya menerawang, namun wajahnya kini memancarkan ketenangan yang baru.Dalam dekapan hangatnya, bayi kecil mereka terlelap, wajahnya damai seperti ibunya.Sudah lama sejak pertarungan hidup dan mati di acara peresmian Imera Sky Tower, dan sejak saat itu, kehidupan Elara dan Arion berubah drastis.Banyak hal yang telah dilalui—pengkhianatan, luka, cinta yang terlupakan dan kemudian dipulihkan.Namun hari ini, di bawah cahaya senja yang lembut, semuanya terasa sempurna.Tiba-tiba, langkah kaki yang berat namun mantap terdengar dari belakangnya.Elara tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.A
Arion duduk di ujung ranjang, pandangannya terpaku pada sosok mungil yang ada dalam dekapannya.Bayi perempuan itu terlelap dengan tenang, tubuhnya begitu kecil dan lembut seperti boneka porselen.Pipinya yang kemerahan tampak menggemaskan, kulitnya sehalus sutra dengan bulu-bulu halus yang masih tersisa di atas kepalanya.Mata bayi itu masih tertutup, namun ketika sempat terbuka sesaat, Arion melihat dengan jelas iris matanya yang kelabu, warna yang sama seperti miliknya—sebuah tanda tak terbantahkan bahwa bayi itu adalah darah dagingnya.Bibir kecilnya bergerak perlahan, seakan sedang menghisap udara, dan tangannya yang mungil mengepal erat, menggenggam sepotong kain selimut.Arion tersenyum kecil, hatinya penuh dengan rasa takjub yang tak pernah ia sanggup perkirakan sebelumnya.Di dalam ruangan itu, hanya suara napas lembut bayi perempuannya yang terdengar, membuatnya seperti terhanyut dalam keajaiban kecil yang ia pegang.Sudah lebih dari setengah jam, namun Arion tak bisa melepa
Arion mengangguk pelan, melanjutkan penjelasannya. “Selama aku menjalankan peranku sebagai The Draven, orang itu mengambil peran menjadi diriku, Arion Ellworth. Sehingga tidak ada yang curiga. Kecelakaan di Sunol itu terjadi pada doppelganger-ku.”Elara terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. “Jadi... orang itu? Apakah dia tewas dalam kecelakaan itu? Bagaimana aku bisa membedakan kalian? Bagaimana jika suatu saat aku salah mengenali orang itu sebagai dirimu?”Arion tersenyum melihat kepanikan sang istri. “Jangan khawatir, Honey. Orang itu berhasil selamat oleh orang-orangku. Wajahnya tidak sepenuhnya mirip denganku. Hanya postur tubuh dan perilakunya yang serupa. Aku membuatnya menjalani operasi plastik untuk mengubah beberapa bagian, seperti rahang dan hidung saja. Namun, saat dia menjalankan peran sebagai aku, dia menggunakan prosthetic mask yang dibuat menyerupai wajahku.”Elara memandang Arion, dengan sorot kompleks. “Astaga… sampai seperti itu kau m
Elara dan Arion berdiri di tengah keheningan, menghadap sebuah makam dengan batu nisan marmer yang megah. Di atasnya terukir dengan indah: Imelda Ellworth. Satu buket mawar putih mewah yang segar ditempatkan rapi di atas pusara, memberikan sentuhan penuh penghormatan. Pemakaman ini, yang terletak di Cypress Lawn Memorial Park, San Francisco—tempat peristirahatan terakhir para keluarga kaya dan terpandang—dikelilingi oleh pohon-pohon ek yang menjulang tinggi. Jalanan berkerikil putih menghubungkan setiap makam, dan di kejauhan terlihat pemandangan laut yang tenang, menambah suasana damai nan elegan. Udara pagi terasa sejuk, disertai suara angin yang membelai lembut pepohonan. Elara memandang ke sekeliling area pemakaman yang tampak megah, penuh dengan nisan-nisan yang terbuat dari batu marmer putih dan hitam. Di antara semua itu, nisan Imelda berdiri sebagai salah satu yang paling indah, seperti sebuah karya seni yang mencerminkan kehidupan seseorang yang telah meninggalkan jejak
Arthur Ellworth, atau Clay Mallory, kini duduk di sudut sel gelap penjara federal, matanya kosong menatap dinding dingin yang tak lagi bergema dengan wibawa yang pernah ia miliki.Hanya bayangan suram yang tersisa, menggantung di antara kesadaran dan kehancuran. Di penjara ini, waktu seolah-olah melambat, setiap detik menjadi siksaan yang tidak berujung.Hari ini, seorang penjaga penjara menghampiri pintu selnya.Wajah penjaga itu datar, tidak ada belas kasihan, tidak ada penghormatan.Hanya secarik kertas yang dilempar ke lantai di depan Arthur, yang langsung mengenal lambang Ellworth di atasnya.Tangannya yang dulu perkasa sekarang gemetar ketika meraih kertas itu.Di dalamnya, satu pesan singkat yang menghantamnya dengan kejam: "Semua aset, kekayaan, dan perusahaan yang pernah kau curi telah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah—Aiden Ellworth."Arthur meremas kertas itu dengan tangannya yang gemetar, rasa panas menjalar da