Tiara menatap sahabatnya dengan tatapan sendu. Lalu beralih pada buah hatinya yang mengerjap-ngerjap lucu. Ia peluk Ara erat-erat dalam dekapannya, berharap semua rasa sakit yang ia rasa sekarang terobati.
"Tiara, aku bukannya mau bela siapa-siapa. Aku juga nggak ada niat mengusirmu dari sini. Aku senang bisa membantumu. Tapi ... aku juga nggak mau melihatmu seperti ini. Aku yakin kamu paham seorang wanita bersuami tidak boleh keluar rumah tanpa izin. Apa tidak sebaik-""Aku tahu!" sahut Tiara cepat. Aku ... akan pulang," putus Tiara akhirnya.Setelah memikirkan masalah yang membeli rumah tangganya selama beberapa hari ini akhirnya Tiara memutuskan untuk pulang sementara demi anaknya. Dia masih butuh klarifikasi dari suamiya. Meski dalam hati merasa kecewa tapi Tiara tidak mau hawa nafsunya menang.Tiara bukanlah wanita yang tidak paham hukum syariat sama sekali. Bahkan orang tuanya senantiasa menasehatinya agar tidak mempertirutkan hawa nafsu.Dina tersenyum mendengar jawaban sahabatnya. Lalu mengambil alih Ara dari pangkuan Tiara dan menggodanya hingga membuat bayi berumur satu tahunan itu tergelak."Bicarakan masalahmu dengan kepala dingin, Ra. Aku tahu hatimu hancur saat ini. Tapi kamu juga harus mendengar alasan suamimu menikah lagi. Jika setelahnya kamu merasa tetap tidak bisa bertahan, percayalah, aku ada di sampingmu."Dina adalah satu-satunya teman Tiara yang bisa mengerti dan selalu ada dalam kondisi apapun.Tiara menarik nafas dalam-dalam mengisi paru-parunya hingga penuh berharap rasa sesak yang menghimpit dadanya segera hilang. Jujur saja wanita itu sangat penasaran dengan wanita yang mengaku sebagai istri suamiya itu. Namun ketika mengingat sang suami ternyata bukan miliknya seorang membuat hati Tiara serasa terbakar."Bagaimana mungkin Mas Damar yang begitu penyayang dan lembut ternyata membohongiku selama ini, Din. Bayangkan betapa hancurnya hatiku ketika tahu ada wanita lain yang juga berstatus istri Mas Damar," ucap Tiara sembari menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Meski sudah mengatakan akan pulang, tapi Tiara masih enggan untuk berdiri. Dia masih belum sanggup untuk bertemu dengan lelaki yang sempat ia kagumi dan ia puja."Ra," panggil Dina lagi."Iya, iya, aku akan pulang. Kenapa sih kamu sepertinya membela Mas Damar? Apa jangan-jangan selama ini kamu juga sudah tahu tapi menutupinya dariku?" tuduh Tiara membuat Dina membelalakkan matanya."Kamu sahabatku, Ra. Mana mungkin aku bisa menutupi rahasia darimu." Dina menatap sendu sahabatnya."Maaf," lirih Tiara.***"Gimana, Mas sudah ada kabar dari Tiara?" tanya Lela lemah.Wanita itu masih berbaring di ranjang ruang sakit meskipun sudah tidak di ruang ICU lagi. Wajahnya juga tak sepycat sebelumnya lantaran sudah ada makanan yang bisa masuk ke perut. Pasca kemoterapi, ia mengalami gejala mual muntah hingga tak bisa makan.Damar menyugar rambutnya ke belakang. Menatap Lela dengan lembut sembari menggeleng. Terlihat sekali gurat lelah di wajah pria tampan itu. Tidak, tidak ada penyesalan dalam dirinya karena memiliki dua istri. Karena baginya Lela dan Tiara memiliki tempat masing-masing di hatinya. Rasa cintanya pada dua wanita itu juga memiliki porsi yang sama.Tamak? Serakah? Mungkin sebagian orang akan menilainya begitu. Namun bagi Damar kehidupan rumah tangganya ini merupakan bagian dari takdir yang telah Allah tetapkan padanya.Dia mencintai Lela karena dialah wanita pertama yang membersamainya menapaki terjalnya kehidupan saat dirinya masih belum punya apa-apa dan belum menjadi siapa-siapa. Lelaki itu juga mencintai Tiara karena berkat dia, keluarganya mendapatkan anak yang lucu. Menutupi kekurangan Lela yang tidak bisa memberikan momongan untuknya. Meski awalnya dia tak setuju menikah lagi di saat tahu kalau Lela sedang berjuang menghadapi kanker yang mulia menggerogoti, lama-kelamaan dia menyukai kehidupan barunya bersama Tiara.Bahkan Lela tak pernah menuntut dirinya untuk selalu berada di sampingnya. Wanita yang sudah menjadi istrinya sejak 5 tahun lalu itu dengan ikhlas menerima madu yang dipilihkan mertuanya padanya.Sakit hati, kecewa, sudah pasti ia rasakan. Namun dia juga harus realistis dengan keadaan. Dirinya tidak bisa menjadi istri yang sempurna untuk suami tercinta. Merelakan dimadu, adalah jalan yang ia pilih setelah meminta petunjuk kepada-Nya. Ya, Lela senantiasa melibatkan Allah dalam segala hal. Sehingga dia selalu merasa tenang meski badai rumah tangganya sering terguncang oleh ketidaksukaan mertuanya."Maafkan aku, Mas. Ini semua gara-gara aku. Kalau saja aku tak memintamu untuk menjagaku di sini, Tiara tidak akan pernah curiga dan memilih untuk pergi," lirih Lela.Damar menggeleng tak suka mendengar ucapan istrinya."Tidak, Sayang. Ini bukan salahmu. Sudah menjadi kewajjbanku untuk berada di sampingmu saat begini. Kalau ada orang yang harus disalahkan di sini adalah aku. Aku yang tidak bisa menjadi pemimpin untuk kalian berdua," bantah Damar.Lelaki itu sebenarnya sangat baik. Tidak pernah berkata kasar dan main tangan. Dia selalu memperlakukan dua istri ya dengan sangat lembut. Semua kebutuhan keduanya tercukupi tanpa kecuali."Bagaimana kalau Tiara tidak mau pulang, Mas?" Lela menunduk sedih.Dari cerita suamiya, Tiara adalah perempuan yang baik dan penurut. Dia bahkan rela meninggalkan puncak karirnya demi keluarga. Lela tidak pernah merasa diduakan meski nyatanya diduakan. Karena ia percaya bahwa suaminya hanya titipan. Allah yang berhak menentukan untuk siapa suaminya. Dia juga tidak egois dengan menahan suaminya untuk dirinya saja meski dalam keadaan sakit. Bahkan dia rela suaminya lebih banyak menghabiskan waktu dengan Tiara karena dirinya tak mampu melayani suaminya lagi."Entahlah. Itu biar aku yang memikirkannya. Tugasmu hanya berusaha untuk tetap sehat, ok?" Damar meraih tangan sang istri lalu menciumnya.Ada getaran-getaran aneh yang menguasai hatinya. Damar masih bisa merasakan adanya cinta dalam hatinya. Ya, meskipun dia sudah menikah lagi, tapi cintanya pada Lela tak pernah pudar."Tapi, Mas. Bolehkah aku minta sesuatu?"Damar mendongak, menatap netra sang istri yang tampak berkaca-kaca."Kalau seandainya Tiara memintamu untuk memilih antara aku atau dia tolong pilihlah dia, Mas," lirih Lela tanpa beban. Namun hal itu seperti ribuan belati yang sengaja menusuk jantung Damar.Fajar menyingsing, memercikkan jingga keemasan di ufuk timur. Tiara memandang deretan pegunungan yang tampak seperti lukisan, siluetnya berpadu dengan kabut tipis yang masih enggan beranjak. Kalimat singkat yang ia kirimkan pada Damar terasa seperti batu yang baru saja dilepaskan dari dadanya, ringan sekaligus membebani. Apakah ia terlalu cepat? Ataukah justru terlambat?Suara gemerisik daun kelapa yang tertiup angin pagi mengisi keheningan. Tiara memutuskan untuk berjalan-jalan kecil di sekitar desa, menghirup udara pegunungan yang segar. Langkah kakinya membawanya menyusuri jalan setapak berbatu, melewati sawah terasering yang hijau membentang bagai permadani. Aroma tanah basah dan embun pagi menenangkan jiwanya yang bergejolak.Saat melewati sebuah warung kopi sederhana, Tiara mendengar sayup-sayup obrolan dari dalam. Sesuatu tentang “wanita kota” dan “pria mencari” menggelitik telinganya. Jantungnya berdesir. Ia mempercepat langkah, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menusuk.
Malam datang dengan sunyi yang menyesakkan. Di rumah kecil yang hanya diterangi lampu gantung temaram, Tiara masih belum juga bisa memejamkan mata. Putri semata wayangnya sudah tidur sejak dua jam lalu, tapi gelisah dalam dada sang ibu terus bergejolak. Sudah hampir enam purnama ia pergi dari rumah. Meninggalkan semua kenangan buruk yang membuatnya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan suaminya. Hingga saat ini tak ada sedikit pun kabar dari rumah. Bahkan Tiara yakin suaminya kini sedang sibuk mengurusi istri satunya. Mengingat wanita yang mengaku bernama Lela itu sedang sakit parah, Tiara meyakini lelaki yang pernah membuatnya seperti dicintai dengan sangat itu mencarinya hanya karena rasa bersalah dan takut kehilangan. Kehilangan cinta dan wanita yang memujanya.Tiara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan pandangannya menerawang ke jendela yang tak tertutup rapat. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menyelimuti malam dengan irama al
Namun bukan wajah Tiara yang menyambut pandangannya. Damar tercekat. Yang menatapnya dengan mata penuh iba adalah Rani—keponakannya yang sejak tadi membantu Wina beres-beres halaman belakang. "Om... nggak apa-apa?" Rani bertanya pelan, setengah ragu. Ia menggigit bibir bawah, tak tahu harus ikut bicara atau membiarkan sang paman dengan kesedihannya sendiri. Damar buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah dan frustasi, tapi juga malu. “Om nggak papa,” ujarnya cepat, lalu berdiri, menepis debu di celananya. Rani menunduk, lalu berkata pelan, “Om cari Tante Tiara, ya?” Damar hanya menatap gadis itu. Pandangan matanya sayu, penuh tanya yang tak terjawab. “Kamu tahu di mana dia?” Rani menggeleng cepat. “Nggak tahu pasti, Om. Tapi waktu terakhir Tante ke sini, dia sempat ngobrol lama sama Mama di gazebo belakang. Setelah itu... Tante pamit pergi, sendiri.” Damar mengerutkan alis. "Sendiri?" Rani mengangguk. “Iya. Kayaknya Tante bawa mobil sendiri, sam
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta