Tiara memasuki rumah yang selama ini ia tinggali bersama Damar. Lelaki yang selalu memperlakukan dirinya bak ratu sekaligus menorehkan luka mendalam karena memiliki wanita lain dalam hidupnya.
Menghela nafas panjang, Tiara memindai seluruh ruangan yang penuh kenangan. Tak terasa air mata mengalir membasahi pipi. Setiap sudut ruangan ini menyimpan banyak kenangan. Entah apa yang terjadi selanjutnya dalam hidup Tiara. Mampukah dia menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini?Sekali lagi Tiara menarik nafas panjang. Mengisi paru-parunya dengan udara sebanyak-banyaknya agar sesak yang menghimpit dada perlahan memudar. Sentuhan lembut dari tangan mungil Ara membuat wanita itu tersadar. Dalam sedihnya, ia mengulas senyum untuk sang buah hati tercinta. Dia tak mau putri kecilnya yang masih kecil ikut merasakan kesedihan yang ia rasa."Ibu sudah pulang? Rumah ini sangat sepi tanpa Ibu," ucap Marni, ART yang mengurusi seluruh kebersihan rumah ini."Bibik, apa Bapak pernah pulang selama saya pergi?" tanya Tiara sembari menjatuhkan bobot tubuhnya di atas sofa ruang tamu."Pulang sekali, Bu. Mau saya buatkan minum, Bu?" tawar Marni.Tiara menggeleng. Sekuat apapun ia mencoba melupakan suaminya, tetap saja ia tak mampu menepis rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya. Kekecewaan Tiara memang begitu besar. Namun rasa cintanya jauh lebih besar."Ibu ... terlihat kurang sehat. Apa perlu Bibik buatin ramuan kesehatan? Bibik punya resep turun temurun dari nenek moyang. Selama ini cukup ampuh untuk menghilangkan pegal-pegal, capek dan kurang bertenaga." Marni tersenyum simpul saat mengatakannya.Tiara menatap sang ART sekilas lalu mengangguk. Nggak ada salahnya menerima tawarannya. Bisa jadi ramuan itu menjadi wasilah kesehatan untuknya. Tiara memang tidak sedang sakit secara fisik. Namun kecewa dan sakit hati rupanya cukup menguras energi sehingga tubuhnya terasa lemah dan mudah lelah.Tiara memberikan Ara pada baby sitter yang baru saja datang setelah ia hubungi. Selama di apartemen Dina memang Tiara meliburkan baby sitter-nya untuk sementara. Dan kini setelah dia kembali, tentu dia membutuhkannya lagi. Ada banyak hal yang akan dia urus sehingga tidak memungkinkan untuk mengurus Ara sendirian. Terlebih bayi kecil itu sedang aktif-aktifnya bergerak."Ini, Bu ramuannya," ucap Marni sembari meletakkan secangkir minuman herbal buatan tangannya sendiri.Aroma jahe bercampur sereh, kayu manis, dan secang menguar menciptakan rasa tenang. Sebelum meminum, Tiara menghirup aroma itu dalam-dalam sehingga paru-parunya terasa lebih longgar.Perlahan ia menyesap minuman hangat itu hingga membasahi kerongkongan yang semula kering. Perpaduan rasa pedas, manis, dan asam dari perasan jeruk lemon membuat lidahnya terasa lebih nikmat.Suara deru mobil berhenti di halaman. Dari suaranya saja Tiara susah tahu kalau itu mobil suamiya. Lelaki yang sudah membuat harapan dan impiannya hancur.Derap langkah kaki tergesa-gesa terdengar di rungu Tiara. Namun sedikitpun wanita satu anak itu tidak menoleh pada sumber suara karena dia tahu siapa yang baru saja datang."Sayang, akhirnya kamu pulang," ucap Damar sembari mempercepat langkahnya.Pria itu segera memeluk tubuh sang istri ketika jarak mereka sudah tak terpisahkan lagi. Tubuh Tiara menegang saat bersentuhan dengan suaminya.'Dulu dada ini memberiku rasa aman dan nyaman, tapi sekarang rasanya seperti hilang. Dulu detak jantung ini akan selalu menjadi kidung rindu pengantar tidurku. Namun kini kenapa rasanya begitu hambar. Dulu hatiku selalu dipenuhi oleh ledakan kembang api setiap kali kamu memelukku, tapi sekarang berubah menjadi bom waktu yang siap untuk meledakkan jalinan rumah tangga kita,' batin Tiara.Dalam sekejap mata semuanya telah berubah. Tiara tak lagi tersenyum sembari merengek manja seperti dulu. Damar tersenyum kecut kala pelukannya tak mendapatkan respon sama sekali dari sang istri. Ingin bertanya apakah wanita yang dicintai itu merindukannya atau tidak tapi lidah Damar terasa kelu."Maafkan Mas, Dek. Mas benar-benar salah. Tapi tolong jangan hukum Mas dengan cara seperti ini. Mas tidak bisa hidup tanpamu. Karena kamu adalah separuh nafasku."Jika dulu Tiara mendengarkan setiap kalimat romantis yang keluar dari mulut suaminya ini pasti dia akan berbunga-bunga. Jiwanya seolah melayang hingga langit ketujuh tapi ketika mengetahui ternyata ada wanita lain yang juga mendapatkan ucapan romantis dari lelaki yang mendekatnya ini rasanya Tiara ingin sekali memukuli dada bidang itu."Dek, bicaralah jangan seperti ini. Lebih baik kamu memaki-makiku daripada mendiamkanku seperti ini, Dek." Damar mengelus punggung sang istri lembut.Tiara memberontak berusaha untuk melepaskan pelukan itu. Namun semakin ia mencoba untuk melepaskan diri, semakin kuat Damar mendekapnya. Lelaki itu seolah tak mau melepas samb istri sedetik pun karena khawatir akan pergi lagi dari kehidupannya.Diperlakukan seperti itu Tiara merasa semakin sakit. Ia masih bisa merasakan kasih sayang suamiya begitu besar padanya. Namun sekali lagi kelebat bayangan wanita lain yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit membuat dirinya semakin sakit."Lepas, Mas!" Akhirnya lolos juga dua kata dari bibir Tiara."Tidak, Sayang. Mas merindukanmu. Tolong jangan pergi lagi."Mendengar ucapan itu membuat Tiara serasa ingin muntah. Suaminya ini pandai sekali merayunya. Andai dia belum tahu kalau suaminya mendua, mungkin dirinya akan bersemu merah mendapatkan perlakuan seperti ini. Namun sekarang, semua tak lagi sama. Tubuhnya bereaksi sebaliknya sekarang.Sekali lagi Tiara memberontak hingga mau tak mau pria yang sudah menjadi imamnya selama dua tahun belakangan ini melepasnya perlahan.Damar mencoba untuk menatap mata sang istri. Sedangkan Tiara membuang muka karena tak ingin melihat wajah suaminya.Tak ingin berlama-lama dengan suaminya, Tiara memilih bangkit meninggalkan lelaki itu. Namun sepertinya Damar juga tak ingin menyerah begitu saja. Lelaki bertubuh tegap itu mengikuti Tiara dari belakang hingga ketika sampai di depan kamar mereka, Tiara menutup pintu dari dalam lalu menguncinya.Damar hanya bisa mendesah pasrah dengan sikap Tiara. Dirinya juga tak bisa menyalahkan sang istri atas sikap tak sopannya itu. Karena bagaimanapun dialah yang salah. Sejak awal dia tak berani jujur kalau Tiara bukanlah satu-satunya istri yang dimiliki.Tiara bersandar di pintu sembari menutup mulutnya agar isakan tangisnya tidak terdengar dari luar. Meski Damar tidak berkata apa-apa tapi Tiara bisa merasakan kalau lelaki itu masih berdiri di depan pintu."Sayang, aku benar-benar minta maaf karena tidak berani jujur padamu. Kuakui aku lelaki pengecut yang tidak berani menghadapi kemarahanmu. Tapi percayalah, apa yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita jni adalah takdir." Damar berusaha menjelaskan dengan suara lirih karena takut ada orang lain yang mendengarkan."Aku tahu kamu pasti kecewa dan sakit hati. Tapi percayalah, Dek aku selalu berusaha untuk bersikap adil pada kalian berdua."Bahu Tiara semakin terguncang. Tangisnya semakin pecah. Sekuat tenaga ia mencoba untuk tidak meloloskan isakannya agar tidak terdengar dari luar."Dek, tolong, buka pintunya. Mas akan jelaskan semuanya dari awal!"Fajar menyingsing, memercikkan jingga keemasan di ufuk timur. Tiara memandang deretan pegunungan yang tampak seperti lukisan, siluetnya berpadu dengan kabut tipis yang masih enggan beranjak. Kalimat singkat yang ia kirimkan pada Damar terasa seperti batu yang baru saja dilepaskan dari dadanya, ringan sekaligus membebani. Apakah ia terlalu cepat? Ataukah justru terlambat?Suara gemerisik daun kelapa yang tertiup angin pagi mengisi keheningan. Tiara memutuskan untuk berjalan-jalan kecil di sekitar desa, menghirup udara pegunungan yang segar. Langkah kakinya membawanya menyusuri jalan setapak berbatu, melewati sawah terasering yang hijau membentang bagai permadani. Aroma tanah basah dan embun pagi menenangkan jiwanya yang bergejolak.Saat melewati sebuah warung kopi sederhana, Tiara mendengar sayup-sayup obrolan dari dalam. Sesuatu tentang “wanita kota” dan “pria mencari” menggelitik telinganya. Jantungnya berdesir. Ia mempercepat langkah, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menusuk.
Malam datang dengan sunyi yang menyesakkan. Di rumah kecil yang hanya diterangi lampu gantung temaram, Tiara masih belum juga bisa memejamkan mata. Putri semata wayangnya sudah tidur sejak dua jam lalu, tapi gelisah dalam dada sang ibu terus bergejolak. Sudah hampir enam purnama ia pergi dari rumah. Meninggalkan semua kenangan buruk yang membuatnya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan suaminya. Hingga saat ini tak ada sedikit pun kabar dari rumah. Bahkan Tiara yakin suaminya kini sedang sibuk mengurusi istri satunya. Mengingat wanita yang mengaku bernama Lela itu sedang sakit parah, Tiara meyakini lelaki yang pernah membuatnya seperti dicintai dengan sangat itu mencarinya hanya karena rasa bersalah dan takut kehilangan. Kehilangan cinta dan wanita yang memujanya.Tiara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan pandangannya menerawang ke jendela yang tak tertutup rapat. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menyelimuti malam dengan irama al
Namun bukan wajah Tiara yang menyambut pandangannya. Damar tercekat. Yang menatapnya dengan mata penuh iba adalah Rani—keponakannya yang sejak tadi membantu Wina beres-beres halaman belakang. "Om... nggak apa-apa?" Rani bertanya pelan, setengah ragu. Ia menggigit bibir bawah, tak tahu harus ikut bicara atau membiarkan sang paman dengan kesedihannya sendiri. Damar buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah dan frustasi, tapi juga malu. “Om nggak papa,” ujarnya cepat, lalu berdiri, menepis debu di celananya. Rani menunduk, lalu berkata pelan, “Om cari Tante Tiara, ya?” Damar hanya menatap gadis itu. Pandangan matanya sayu, penuh tanya yang tak terjawab. “Kamu tahu di mana dia?” Rani menggeleng cepat. “Nggak tahu pasti, Om. Tapi waktu terakhir Tante ke sini, dia sempat ngobrol lama sama Mama di gazebo belakang. Setelah itu... Tante pamit pergi, sendiri.” Damar mengerutkan alis. "Sendiri?" Rani mengangguk. “Iya. Kayaknya Tante bawa mobil sendiri, sam
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta