Tiara terus berlari menuju jalan Raya mencari taksi yang bisa mengantarkan dirinya untuk pulang. Tepat saat sebuah taksi berhenti di depan Tiara, Dina sahabatnya memanggilnya.
"Tiara! Kamu mau kemana?" Dina berlari mendekati Tiara.Wanita itu khawatir Tiara akan berbuat nekat dengan melakukan sesuatu yang tidak-tidak. Ia langsung menutup kembali pintu taksi sebelum Tiara benar-benar masuk."Kamu mau ke mana, Ra? Jangan pergi dalam kondisi seperti ini. Ayo kita ke sana dulu agar kamu tenang." Dina menunjuk sebuah cafe yang masih buka di seberang jalan."Tidak, Din anakku di rumah sendirian. Aku harus pulang." Tiara kembali membuka pintu taksi dan masuk meninggalkan sahabat.Dina tak mau terjadi apa-apa di jalan sehingga gadis itu ikut masuk menemani Tiara pulang."Aku temani kamu pulang, ya?" Tiara mengangguk.Sepanjang jalan tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Tiara. Ibu satu anak itu memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Semua bayangan kebersamaan dengan suaminya selama 2 tahun ini berkelebat begitu saja. Membuka memeri indah tapi terasa menyakitkan sekarang. Tidak pernah ada pertengkaran di antara mereka hingga rasanya apa yang baru saja ia lihat adalah sebuah mimpi."Sabar ya, Ra. Kalau kamu tidak kuat menanggungnya kamu boleh kok menangis. Kamu juga boleh meminjam bahuku untuk bersandar." Dina mengelus lengan atas sahabatnya.Tiara menoleh lalu menyandarkan kepalanya di bahu Dina. Tangis wanita itu pecah. Bahunya bergetar hebat menumpahkan rasa sesak yang menghimpit. Masih nggak habis pikir suaminya ketika melakukan ini."Apa kurangku selama ini, Din? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Melepaskan karirku demi menuruti kata Mas Damar untuk fokus mengurus rumah tangga saja. Nyatanya, dia punya wanita lain di luar sana," ujar Tiara sembari menghirup udara bercampur ingus di hidungnya.Sesampainya di rumah, Tiara langsung berlari masuk rumah. Lalu mengambil sebuah koper dan memasukkan baju-bajunya dan dan baju putri kecilnya asal. Dina terus mengikuti gerak-gerik Tiara dengan tatapan sendu."Kamu mau kemana, Ra? Ini sudah larut malam," cegah Dina. Wanita itu tak tega melihat sahabatnya pergi malam-malam begini tanpa arah tujuan."Kemana saja asal tidak bertemu dengannya, Din. Aku mau menenangkan diri," jawab Tiara sembari memakaikan jaket untuk putri kecilnya."Tapi ini sudah larut. Kasihan anakmu." Dina menatap sendu sahabatnya yang sudah terlihat berantakan.Tiara berbalik menghadap sahabatnya. Lalu menghela napas panjang sebelum berbicara."Boleh aku numpang di rumahmu semalam, Din? Aku janji besok akan pergi dari sini." Tatapan memohon Tiara membuat Dina tak bisa menolak.Lagipula kalau tidak ke rumahnya, mau ke mana lagi sahabatnya itu akan pergi. Pikirannya sedang tidak tenang sekarang. Jadi dia butuh teman untuk berbicara."Tentu saja, Ra. Kamu bisa tinggal di rumahku selama yang kamu mau. Tapi ... apa tidak sebaiknya kamu pamit dulu sama suamimu?" tanya Dina hati-hati.Tiara membuka mulutnya mendegar pertanyaan sahabatnya. Bagaimana mungkin dia harus izin suaminya sedangkan dia saja ingin kabur dari rumah. Kalau izin pasti ketahuan ke mana dia pergi."Tidak. Jangan sampai dia tahu aku pergi bersamamu, Din. Aku mohon." Tiara sudah tak tahu lagi harus berbuat apa. Hatinya benar-benar sakit sakit saat ini. Melihat wajah suaminya hanya akan membuat luka di hatinya semakin menganga."Baiklah kalau itu keputusanmu. Ayo kita ke rumahku." Dina tak lagi mendesak sahabatnya. Saat ini yang dibutuhkan Tiara adalah ketenangan. Pelan-pelan nanti dia akan memberinya nasehat jika Pikirannya sudah jernih.***Kondisi Lela semakin menurun sejak kedatangan Tiara tadi. Wanita itu harus kembali menjalani perawatan intensif.Damar terlihat sangat gelisah di luar menunggu kabar dari dokter. Pikiran lelaki itu bercabang dua antara Tiara dan Lela. Dua tahun membina rumah tangga dengan Tiara Baru kali ini dia harus menghadapi kemarahannya."Kenapa harus terbongkar pada saat seperti ini?" gumam Damar.Pria itu mengusap wajahnya kasar. Entah siapa yang memberitahu Tiara kalau dirinya sedang berada di rumah sakit ini. Andai Tiara tidak tahu keberadaannya saat ini mungkin kehidupan rumah tangganya akan baik-baik saja. Kalau boleh jujur Damar benar-benar sangat mencintai Tiara. Dia adalah wanita yang lembut dan penyayang. Selain itu Tiara juga sudah memberinya seorang anak yang sangat lucu.Namun demikian bukan berarti dia tidak mencintai lelah. Perasaannya pada lelah sama besarnya dengan Tiara. Dia tidak bisa memilih satu diantara keduanya. Karena masing-masing memiliki tempat di ruang hati Damar. Lela memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Tiara begitupun sebaliknya. Ada keistimewaan lain yang dimiliki oleh Tiara yang tidak dimiliki oleh Lela. Keduanya saling melengkapi dalam hidup Damar.Di saat pikirannya sedang kacau tiba-tiba pintu ruang ICU terbuka. Seorang dokter keluar dan segera disambut oleh Damar."Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Damar panik.Dokter menghela nafas panjang sebelum menjawab. Pria berjas putih itu menatap Damar dengan serius."Alhamdulillah istri bapak sudah melewati masa kritisnya. Tapi tolong jangan buat dia banyak berpikir. Kankernya sudah menyebar ke organ lain. Hanya keajaiban dari Allah yang bisa menyembuhkan."Ucapan dokter bagaikan seember air es yang disiramkan ke tubuh Damar. Dia tidak berharap lelah mengalami hal ini. Damar masih ingin membina rumah tangga dengan Lela seumur hidupnya. Berdampingan bersama Tiara sebagai adik madunya.Damar telah mengabulkan keinginan Lela untuk menikah lagi dan memiliki seorang putri yang cantik. Harusnya Lela sekarang bahagia karena kehadiran anak yang ditunggu-tunggu sudah ada di depan mata."Apa saya boleh melihatnya, Dok?""Silakan Pak. Tapi jangan diajak berbicara. Biarkan pasien istirahat dengan tenang."Damar mengangguk lalu berjalan masuk menuju ruang ICU. Dia harus memakai pakaian khusus sebelum menemui istrinya yang terbaring lemah di atas bramkar dengan berbagai alat-alat penunjang kehidupan menempel di tubuhnya.Lela sudah sadar dari pingsannya. Ketika melihat suaminya masuk senyum wanita itu terbit. Meskipun wajah dan pipinya terlihat sangat pucat tapi tidak mengurangi kecantikan dari wanita yang sangat dicintai oleh Damar itu."Mas, kenapa kamu ada di sini? Di mana Tiara, Mas?" tanya Lela lirih.Damar terkuku di samping ranjang sang istri. Bahkan di saat seperti ini rela masih memikirkan perasaan Tiara. Bagi wanita lain mungkin Lela sudah menyerah. Dengan kondisinya yang semakin memburuk dia harus melihat suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Namun Lela terlihat sangat bahagia menyaksikan suaminya menikah lagi."Dia pulang karena si kecil di rumah sendirian. Kamu istirahat, ya jangan banyak pikiran," bujuk Damar."Apa Tiara marah, Mas?" Lela menatap lekat wajah suaminya yang tertutup masker sebagian.Damar membuang muka agar tidak bertatapan dengan Lela. Sungguh jika harus ada yang disalahkan di sini adalah dirinya yang telah membuat dua wanita yang ia cintai terlihat menderita."Tidak, dia hanya masih shock menerima kenyataan ini. Kamu tenang saja. Mas pasti bisa mengatasinya." Damar mengelus puncak kepala Lela membuat wanita itu merasakan nyaman sehingga matanya tertutup dan akhirnya kembali terlelap.Damar membungkukkan badannya dan meletakkan kepala di samping lengan Lela. Tangannya menggenggam jemari Lela yang dingin lalu memejamkan mata. Tiba-tiba ponsel desakunya berdering membuat Damar kembali menegakkan tubuhnya. Kedua matanya membola melihat nama yang tertera di ponselnya.Fajar menyingsing, memercikkan jingga keemasan di ufuk timur. Tiara memandang deretan pegunungan yang tampak seperti lukisan, siluetnya berpadu dengan kabut tipis yang masih enggan beranjak. Kalimat singkat yang ia kirimkan pada Damar terasa seperti batu yang baru saja dilepaskan dari dadanya, ringan sekaligus membebani. Apakah ia terlalu cepat? Ataukah justru terlambat?Suara gemerisik daun kelapa yang tertiup angin pagi mengisi keheningan. Tiara memutuskan untuk berjalan-jalan kecil di sekitar desa, menghirup udara pegunungan yang segar. Langkah kakinya membawanya menyusuri jalan setapak berbatu, melewati sawah terasering yang hijau membentang bagai permadani. Aroma tanah basah dan embun pagi menenangkan jiwanya yang bergejolak.Saat melewati sebuah warung kopi sederhana, Tiara mendengar sayup-sayup obrolan dari dalam. Sesuatu tentang “wanita kota” dan “pria mencari” menggelitik telinganya. Jantungnya berdesir. Ia mempercepat langkah, mencoba mengabaikan rasa penasaran yang menusuk.
Malam datang dengan sunyi yang menyesakkan. Di rumah kecil yang hanya diterangi lampu gantung temaram, Tiara masih belum juga bisa memejamkan mata. Putri semata wayangnya sudah tidur sejak dua jam lalu, tapi gelisah dalam dada sang ibu terus bergejolak. Sudah hampir enam purnama ia pergi dari rumah. Meninggalkan semua kenangan buruk yang membuatnya memutuskan untuk menghilang dari kehidupan suaminya. Hingga saat ini tak ada sedikit pun kabar dari rumah. Bahkan Tiara yakin suaminya kini sedang sibuk mengurusi istri satunya. Mengingat wanita yang mengaku bernama Lela itu sedang sakit parah, Tiara meyakini lelaki yang pernah membuatnya seperti dicintai dengan sangat itu mencarinya hanya karena rasa bersalah dan takut kehilangan. Kehilangan cinta dan wanita yang memujanya.Tiara duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Tubuhnya bersandar pada dinding, dan pandangannya menerawang ke jendela yang tak tertutup rapat. Di luar sana, suara jangkrik bersahutan, menyelimuti malam dengan irama al
Namun bukan wajah Tiara yang menyambut pandangannya. Damar tercekat. Yang menatapnya dengan mata penuh iba adalah Rani—keponakannya yang sejak tadi membantu Wina beres-beres halaman belakang. "Om... nggak apa-apa?" Rani bertanya pelan, setengah ragu. Ia menggigit bibir bawah, tak tahu harus ikut bicara atau membiarkan sang paman dengan kesedihannya sendiri. Damar buru-buru menyeka air matanya. Wajahnya memerah, bukan hanya karena amarah dan frustasi, tapi juga malu. “Om nggak papa,” ujarnya cepat, lalu berdiri, menepis debu di celananya. Rani menunduk, lalu berkata pelan, “Om cari Tante Tiara, ya?” Damar hanya menatap gadis itu. Pandangan matanya sayu, penuh tanya yang tak terjawab. “Kamu tahu di mana dia?” Rani menggeleng cepat. “Nggak tahu pasti, Om. Tapi waktu terakhir Tante ke sini, dia sempat ngobrol lama sama Mama di gazebo belakang. Setelah itu... Tante pamit pergi, sendiri.” Damar mengerutkan alis. "Sendiri?" Rani mengangguk. “Iya. Kayaknya Tante bawa mobil sendiri, sam
Ucapan Tania terus terngiang-ngiang di kepala Tiara. Wanita itu tak bisa mengabaikan kalimat yang sederhana tapi sangat mengerikan jika dipahami dengan benar. Ya, dia terlalu gegabah dengan pergi tanpa pamit. Ia yakin saat ini suami dan mertuanya pasti sudah sadar kalau dirinya pergi. "Tapi ... kalau memang Mas Damar sudah menyadari kalau aku pergi, kenapa tidak ada usaha untuk mencariku? Apa dia terlalu sibuk dengan istrinya sampai tidak butuh aku? Ah, bukankah aku sendiri yang memilih untuk mundur?" Tiara berperang dengan batinnya sendiri. Satu sisi dia kasihan pada madunya dan bertekad untuk tidak kembali ke rumah, tapi di sisi lain dia takut dosa karena pergi tanpa pamit. Perlahan wanita yang baru memiliki satu buah hati itu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan wajah yang segar karena terkena air wudhu. Selanjutnya Tiara menggelar sajadah dan menunaikan qiyamul lail dengan khusyuk. Mohon petunjuk kepada Allah agar
Damar spontan berdiri. Menghadang salah satu perawat yang ikut berlari. "Suster, ada apa?" tanya Damar cemas. Tak bisa dipungkiri, hati Damar disapu badai kecemasan. Di dalam ruang ICU hanya ada 2 pasien dan salah satunya Lela. Meski demikian ia berharap bukan istrinya yang saat ini sedang dalam kondisi bahaya."Pasien atas nama Nyonya Lela mengalami henti nafas," jawab perawat sambil berlalu. Seperti disambar petir mendengar jawaban itu. Mendadak tubuh Damar limbung. Lututnya terasa lemas. Bobot tubuhnya tak mampu ditopang oleh dua kakinya yang gemetar. Pria beristri dua itu ambruk dan bersimpuh di lantai. "Allah, jangan kau panggil Lelaki secepat ini. Aku belum bisa membahagiakannya ya Allah. Aku masih ingin melihatnya akur dengan Tiara."Damar menjambaki rambutnya sendiri. Walau ia tau saat seperti ini pasti akan tiba, tapi tetap saja ia belum siap saat tiba-tiba Lela meninggalkannya. Dalam hati lelaki tampan itu berharap sang istri pertama bisa bertahan."Sayang, bukankah kamu
Tiara menyingkap sedikit korden untuk mengetahui siapa gerangan yang mengetuk pintu. Dahinya mengernyit melihat sosok wanita tak dikenal berada di depan pintu rumah kontrakannya. Dengan sedikit ragu-ragu Tiara membuka pintu. "Ya? Cari siapa ya, Mbak?" tanya Tiara seramah mungkin. Wanita berhijab maroon yang berdiri di depan pintu mengulas senyum. Menatap Tiara teduh lalu mengucap salam. "Maaf, Mbak kalau menganggu. Kenalkan saya Rania, tinggal di seberang jalan. Saya dengar dari Abi ada tetangga baru jadi saya ke sini untuk mengenalkan diri." Wanita itu mengulurkan tangan pada Tiara.Tiara menyambut uluran tangan itu lalu ikut tersenyum. "Mari masuk! Maaf saya belum sempat berkenalan dengan para tetangga di sini. Tapi saya sudah lapor pak RT." Tiara menyilakan tamunya duduk di sofa yang sudah tersedia sebagai fasilitas dari rumah kontrakan ini. Beruntung Tiara mendapatkan rumah kontrakan yang nyaman dan sudah lengkap dengan perabotannya. Meskipun minimalis, tapi Tiara merasa beta