MasukTiba saatnya di mana Ken berhadapan langsung dengan sang Kakek. Selepas kejadian di perusahaan tadi, ia terpaksa menemui si pria tua itu yang selalu saja memaksanya untuk menikah.
"Gimana, Ken? Kapan kamu bawa perempuan itu ke rumah?" tanya sang Kakek sudah seperti menuntut saja. Ken yang duduk di sofa ruang tamu itu langsung menarik napas panjang. Andai Jenna tidak asal bicara di depan Naomi, pasti si cerewet Naomi tidak akan mengadu seperti ini. "Itu cuma salah paham, Kek," jawab Ken memandang serius sang Kakek. "Salah paham gimana? Naomi bilang perempuan itu sedang hamil. Kamu jangan lari dari tanggung jawab, Ken," ucapnya dengan tegas. Pria itu memejamkan matanya sebentar. "Ken nggak bohong. Itu cuma salah paham. Perempuan yang Naomi bilang—" "Cukup. Kakek nggak mau dengar alasan kamu." Sorot matanya berubah menjadi lebih tajam. "Segera bawa perempuan itu ke hadapan Kakek atau Kakek sendiri yang datangin dia." "Kalau bener perempuan itu hamil, Kakek sendiri yang akan mengurus pernikahan kalian," tegasnya seperti ancaman. Jelas Ken tidak bisa berkutik sama sekali. Ia bahkan membuang wajahnya ke arah lain karena berdebat dengan pria tua itu tidak akan ada habisnya. Lantas, Ken berdiri dari tempat duduknya, merapikan jas yang ia pakai dan menatap Kakeknya dengan senyum yang tampak dibuat-buat. "Ken pamit pulang dulu, Kek." Pria tua itu langsung mencegah. "Eh, tunggu dulu! Sekarang kamu tinggal di mana? Kenapa apartemen kosong?" "Berikan alamat tempat tinggal kamu itu ke Kakek," paksa pria itu sampai berdiri tegak menatap cucunya tajam. Tidak ingin menjawab, Ken hanya mampu tersenyum dan menunduk sebagai tanda penghormatan, kemudian melangkah pergi dari rumah gedong tersebut. Mengabaikan sang Kakek yang murka di belakang sana. Selang beberapa menit, akhirnya ia sampai di rumahnya. "Kak Ken!" teriak bocah SMP kala ia melihat mobil yang tidak asing masuk ke dalam rumah besar di depannya. Gina menatap Zio sebentar. "Itu mobilnya Kak Ken, Zio." "Mobil abang kamu? Bang Ken?" tanya Zio memastikan. Gina mengangguk semangat. "Iya. Tapi kenapa dia masuk ke rumah itu?" "Mau lihat?" ajak Zio. Alhasil kedua bocah ingusan itu menyeberangi jalan dan tampak terdiam sebentar di depan rumah. "Beneran yang tadi itu abang kamu, Gina?" tanya Zio kembali memastikan. "Iya. Aku hapal plat mobilnya." Zio kemudian menatap pagar rumah itu dengan pandangan bingung. "Gimana cara kita masuk ke dalam? Pagarnya tinggi. Aku nggak mungkin manjat. Nanti disangka maling." Gina mulai berpikir jernih. Tidak mungkin rumah segede ini tidak memiliki bel bukan? Ia pun mencari dan akhirnya ketemu. "Itu ada bel. Pencet aja, Zio!" kata Gina terlalu semangat. Tiga kali bel berbunyi, tetapi si pemilik rumah tidak kunjung keluar. "Satpamnya ke mana, perasaan tadi bukain gerbang?" tanya Gina keheranan. Zio menoleh pada Gina. "Udah. Mending kita balik ke rumahku aja. Nggak mungkin abang kamu tinggal di sini, Gina." Anak itu terdiam sejenak. Masa iya salah lihat? Jelas mobil tinggi gagah itu mirip sekali dengan punya sang Kakak. Akhirnya Gina menyerah dan keduanya kembali ke rumah dengan tujuan utama, yaitu kerja kelompok. — Saat ini Jenna sudah berada di rumah. Ia berada di dapur membantu sang Ibu mengangkat kue dari open. "Tumben bikin kue banyak banget, Bu?" tanya Jenna. "Buat temennya Zio yang lagi kerja kelompok." Rani pun memisahkan satu kotak kue dan dibungkus rapi di dalam box. "Yang ini buat Ken. Nanti kamu kasih ke dia, ya." "Bu—nggak usahlah ngasih-ngasih ke tetangga sana. Dia itu nggak suka kue," celetuk Jenna asal. "Kata siapa? Tadi pagi Ken bilang dia suka sama kue buatan Ibu yang kamu kasih kemarin." Wanita itu melirik tajam Jenna. "Nggak usah banyak alasan, Jenna. Masih untung Ibu baik supaya kamu bisa cepat pindah ke perusahaan Ken." "Bu ...," protes Jenna dengan cepat. "Udah sana pergi. Sekalian bawain kue itu ke ruang tamu buat temannya Zio," perintah Rani tidak bisa diganggu gugat. Dengan gontai ia berjalan dan memenuhi perintah Kanjeng Ratu. "Makasih Kak Jenna," ucap Gina dengan sopan. Hal itu hanya dibalas dehaman dan senyum kecil oleh Jenna. Zio langsung bertanya pada sang Ibu yang barusan lewat. "Bu, Kak Jenna mau ke mana?" "Antar kue ke rumah depan." Gina langsung ternotis. "Zio ayo ikutin!" "Ke mana?" "Itu. Kakak kamu. Dia mau ke rumah abang aku." Ternyata Gina masih kekeh. Zio hanya bisa pasrah dan mengangguk pelan. Kedua bocah itu kemudian mengikuti Jenna dari belakang. Sedangkan Jenna, ia sengaja memperlambat langkah kaki, rasanya seribu tahun pun tidak masalah asalkan ia tidak bertemu dengan Ken. Diam sebentar di depan gerbang, Jenna memejamkan matanya sebelum akhirnya menekan bel itu dengan lesu. Pintu itu terbuka menampilkan Pak Satpam. "Mohon maaf, cari siapa, Bu?" Sedangkan Zio dan Gina mengintip dari pagar rumah sana. Tidak mengikuti Jenna sampai ke depan rumah Ken. "Ini, ada titipan kue dari Ibu saya. Rumah kami di depan sana," tunjuk Jenna. Refleks Zio dan Gina bersembunyi dengan cepat. Hampir saja ketahuan. Satpam tersebut menerima kue itu dengan hati-hati. "Buat Pak Kendrick?" Jenna langsung mengangguk cepat. Berhasil. Ia tidak perlu bertemu dengan pria itu. Untung ada satpam, kemarin-kemarin masih seorang diri makanya kenapa ia sampai berhadapan langsung dengan Ken. "Siapa, Pak?" tanya Ken dari dalam. Sial. Kenapa pria itu harus muncul sekarang si? Satpam itu menoleh ke arah sumber suara, berbeda dengan Jenna yang enggan melihat sama sekali. "Ini, Pak. Ada titipan kue dari rumah depan," balas Satpam tersebut. Ken mengerutkan keningnya heran. "Rumah depan?" Kemudian kakinya berjalan menghampiri. Saat Jenna sadar langkah seseorang mulai mendekat, ia pun pamit pada penjaga rumah tersebut dan— "Saya duluan, Pak," ucapnya buru-buru. Hal itu langsung dicegah oleh Ken. "Jenna." Satpam itu pun pergi bergegas ke dalam karena dipanggil ART untuk mencicipi masakannya, sebab wanita setengah paruh baya itu tengah puasa. Sedangkan Jenna yang merasa dipanggil pun refleks membalikkan badan dan tersenyum kuda. "Sore, Pak." "Itu bener Kakakku, Zio!" kata Gina di belakang sana. Keduanya masih mengintip dan memutuskan kembali kerja kelompok ke dalam rumah. Guk! Guk! Guk! Mata Jenna sontak melotot. Anjing itu! Anjing tetangga rumah sebelah yang menyebalkan! Suaranya makin mendekat dan alangkah terkejutnya Jenna saat hewah mengerikan itu berlari ke arahnya. "Aaa ... tolong saya, Pak!" teriak Jenna refleks langsung naik ke gendongan Ken. Ia bahkan memeluk erat leher pria itu. "Hus! Hus! Sana kamu! Heh, Anjing galak jangan! Aaaa—Pak Ken, tolong!" heboh Jenna padahal ia sudah berada di atas gendongan Ken. Jenna belum sadar. Ia masih heboh sendiri dengan anjing di bawahnya yang terus menggonggong. Padahal anjing tersebut tidak ngapa-ngapain, tapi reaksi Jenna benar-benar membuat Ken syok. "Matthew, bawa Anjing kamu itu. Cepet!" perintah Jenna melihat Matthew berjalan ke arah mereka. Anak remaja yang masih duduk di bangku kuliah itu datang menghampiri dan mengambil hewan peliharaannya, lalu meminta maaf pada mereka. Jenna baru bisa bernapas lega ketika si hewan mengerikan itu sudah diambil oleh pemiliknya. Tersadar dengan tindakannya yang semberono itu, Jenna sontak membulatkan matanya, lalu turun dari gendongan Ken dengan gerakan cukup cepat sehingga pendaratan itu tidak stabil dan akhirnya .... Cup! Ia malah mengecup bibir Ken tidak sengaja, faktor kehilangan keseimbangan saat turun dan berakhir memegang lengan Ken. Entah bagaimana, pria itu malah menundukkan kepala dengan Jenna yang mendongak ke atas sehingga bibir mereka bertemu. "M-maaf, Pak ...," ucapnya gugup. Setelah itu, Jenna yang sudah malu ke ubun-ubun langsung ngibrit ke rumahnya. Ia memejamkan dan mengutuk dirinya sendiri. Astaga, memalukan sekali, Jenna! teriak perempuan itu dalam hati.Adegan panas itu berlanjut sampai ke apartemen, Ken sengaja tidak membawa Jenna ke rumahnya. Lumatan yang makin dalam menjalar sampai ke tengkuk leher milik Jenna, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Perempuan itu sedikit mengeluh karena Gio bukan hanya mengecup, melainkan menggigit cukup keras. "Pak .... " Jenna melenguh pelan. Mendorong dada sang atasan dengan kepala menggelng pelan. Napasnya terengah. Sedangkan Gio langsung memeluk tubuh Jenna dengan dekapan erat, merasa bersalah karena hampir kelepasan malam ini. Tangannya kemudian merapikan helaian rambut Jenna yang sedikit berantakan, juga menghapus lipstik merah perempuan itu yang sudah tidak tersisa."Kamu udah makan?" tanya Ken melepas cekalannya. "Di apartemen nggak ada bahan masakan. Paling ada mi instan aja."Usai merapikan pakaiannya, Jenna pun membalas. "Bapak lapar? Kalau iya, saya buatkan mi instan mau?" "Saya risih sekali dipanggil seperti itu."Keningnya mengerut sempurna. "Risih gimana?""Saya nggak suka sama p
Pukul 7 malam.Saat ini Jenna sudah rapi dengan baju berwarna merah ati dipadukan rok pendek di atas lutut berwarna hitam. Ia tersenyum di depan cermin seraya merapikan rambutnya yang dikeriting lurus."Let's go, Jenna!" kata wanita itu mengambil tas selempangnya dan turun ke bawah.Di ruang televisi ada Zio dan sang Ibu yang tengah duduk santai, keduanya kompak menatap Jenna dengan pandangan aneh."Mau ke mana kamu?" Itu suara sang Ibu yang bertanya. Jenna memegang tasnya ragu. "Keluar sebentar makan sama temen, Bu.""Bukan temen itu, Bu. Tapi pacar barunya," kata Zio sengaja kompor.Wanita itu langsung melirik sinis. "Diem kamu, ya, Zio." "Pacar baru?" Buru-buru Jenna menggeleng. "Bukan, Bu. Jangan dengerin Zio. Dia suka sebar hoax.""Loh, bener, kok. Kak Jenna sama Bang Ken udah putus bukan? Aku pernah liat kalian berdua berantem di depan rumah."Sial. Zio benar-benar tak bisa di-rem mulutnya. Ia berbicara seperti itu seakan tak melihat situasi. "Bener kamu udah putus sama Ken?
"Mas Kendrick?"Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Jenna melihat mata wanita itu berbinar, kemudian melirik Ken yang tampak terkejut setelahnya."Aku pikir salah orang." Wanita yang belum diketahui namanya itu tersenyum lebar. "Lama nggak ketemu, Mas."Pria itu tiba-tiba berdiri dan menyambut sapaan hangat itu dengan tubuh kaku. "Angel?" Kebingungan melanda di tengah-tengah kecanggungan kedua manusia yang rupanya baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Angel. Wanita yang dulu pernah mengisi hati Ken."Pacar kamu?" tanya Angel melirik ke arah Jenna.Merasa namanya disebut Jenna langsung berdiri hendak menyangkal kalimat wanita di depannya. Namun, jawaban Ken justru membuat kedua bola matanya membulat sempurna. "Iya. Dia pacar saya, namanya Jenna."Jenna buru-buru menggeleng kuat. Tak mau Angel salah paham, sebab ia merasakan sesuatu yang aneh dari kedua manusia itu. "Ah ... Jenna? Sorry, ya, jadi ganggu makan siang kalian. Kebetulan aku ada janji sama temen juga di sini
"Kamu kasih saya waktu satu bulan?" tanya Ken kembali memastikan. Jenna mengangguk lirih.Lantas, Ken pun sedikit menjauh dan menahan senyum di sana. Ia senang sekali, tetapi tak ingin menunjukkan pada Jenna karena gengsinya yang setinggi langit."Ya sudah, sana kamu kembali kerja. Saya harus mikirin sesuatu supaya kamu makin tertarik."Lucu sekali. Jenna ingin tertawa, tetapi ia tahan karena melihat perubahan ekspresi pria itu yang cukup signifikan. Setelahnya ia pun keluar dari ruangan dengan perasaan hangat."Horor banget keluar dari ruangan Pak Bos malah senyum-senyum sendiri," celetuk Tasya memandang heran.Dewi yang baru datang pun langsung menyahut, "Ngapain pagi-pagi dipanggil Pak Bos?""Biasa Pak Bos terbakar api cemburu karena Jenna deket sama mantan gebetannya dulu." Ia yang sedang membereskan meja kerjanya sontak berhenti. "Aduh, pertanda nggak aman, nih, kerja hari ini.""Mulai, deh, gosip." Jenna akhirnya membuka suara."Nggak apa-apa kali, Jen. Kita gosip juga di dep
—Pagi hari."Jenna." Liam memanggil dengan sebuah kantong makan di tangannya.Perempuan itu menoleh. Menghentikan langkahnya kala melihat Liam berlari kecil menghampiri."Saya dengar roti di lobi bawah enak. Kebetulan saya beliin satu buat kamu," ujar Liam seraya meyodorkan roti tersebut. Jenna merasa tidak enak. Ia menerimanya dengan perasaan ragu. "Makasih, Mas.""Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya Liam.Perempuan itu kemudian menggeleng lirih. "Itu bisa buat ganjal perut kamu," ucapnya memberi kode pada roti yang sudah beralih tangan.Lagi lagi Jenna tersenyum dan mengangguk kecil. Ting.Suara lift terbuka. Liam menoleh dan berkata, "Kalau gitu saya pergi dulu. Semangat kerjanya.""Iya, Mas. Terima kasih rotinya," balas Jenna sedikit kaku.Liam tersenyum penuh arti dan memasuki lift sampai pintu itu kembali tertutup.Jenna pun melanjutkan jalannya. Sesekali bersenandung kecil dan menebarkan senyum pada beberapa orang yang lewat."Roti?" Seseorang merebut paksa kantong makanan ters
—Di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis. "Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun." Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya." Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan. "Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya. "Laki-lak







