ログインMendengar suara batuk seseorang, Jenna mulai membuka matanya perlahan. Saat mengedarkan pandangan ke segala sisi, ia baru menyadari bahwa ruangan ini bukan kamar miliknya.
Spontan tubuhnya langsung terduduk di atas ranjang. "Pak Ken!" pekik Jenna membulatkan matanya. Pria itu membalikkan badan dan menatap tajam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana miliknya. Refleks Jenna menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan berdiri dengan perasaan campur aduk. Sial. Ia bahkan tidak bisa mengingat kejadian semalam. "S-saya ... saya minta maaf, Pak." Jenna langsung membungkukkan badannya. "Rapikan baju kamu, setelah itu keluar dari kamar saya," ucap Ken cukup tegas. Kontan Jenna menurunkan pandangan ke bawah. Acak-acakan sekali. Untungnya pakaian tersebut masih menempel sesuai tempatnya. Sungguh memalukan, Jenna! batinnya terus berteriak tanpa henti. Ia pun keluar dari rumah Ken dengan perasaan gelisah. Tuhan, bilang kalau ini adalah mimpi. Sungguh, ia malu sekali. Rasanya sudah tidak ada muka lagi di hadapan pria itu. —Kembali pada aktivitas bekerja. "Jenna!" panggil Tasya di lorong perusahaan. Jenna menoleh dan bertanya, "Kenapa, Sya?" "Kamu dicari Pak Ken di ruangannya," ucap Tasya memberitahu. Mendadak perempuan itu kebingungan sendiri. "Aku?" "Iya. Semalam aku liat kamu diantar pulang sama Pak Ken. Kalian ada hubungan apa?" Jiwa penasaran Tasya keluar. "H-hah? Oh itu ... aku nggak diantar sama Pak Ken. Itu nggak bener, Sya." "Masaaa?" Tasya terus menggoda. "Jangan-jangan kamu sama Pak Ken—" Jenna langsung memelotot. "Jangan sebar gosip. Kami nggak ada apa-apa." Tasya tertawa pelan. "Astaga. Lucu banget muka kamu, Jen. Ya sudah sana. Kalau kena omel, pura-pura budek aja." Setelah itu Jenna langsung berjalan menuju ruangan Ken dan mengetuk pintu di sana, lalu masuk ke dalam setelah dipersilakan masuk. "Pagi, Pak." Jenna menyapa terlebih dahulu. Ken menatap Jenna sebentar kemudian mengeluarkan kertas putih yang ditaruh di atas meja kerjanya. Jenna langsung terdiam di tempat. Mungkinkah itu surat pemecatannya? "Pak—" "Surat pelanggaran buat kamu. Silakan dibaca," ucap Ken tanpa ekspresi. Siapa yang tidak terkejut mendapat surat putih tersebut? Meski bukan surat pemecatan, tetapi surat pelanggaran di depan matanya cukup mengerikan. Jenna menatap Ken meminta penjelasan setelah membaca 3 Point Pelanggaran yang ditunjuk untuk dirinya. "Maksud dari masa coba selama 3 bulan apa, ya, Pak?" tanya Jenna. "Hukuman. Keberuntungan kamu tergantung sikap kamu gimana ke depannya." Enak saja. Ia sudah bekerja 2 tahun di sini. Bisa-bisanya pria itu memberikan kompensasi yang ah—menyebalkan! "Tapi Pak ... kesalahan saya—" "Jenna." Ken memotong. "Dari tiga kesalahan kamu, yang nomor dua paling fatal." Jenna mengerutkan keningnya. "Maksud Bapak—point saya membohongi keluarga, Bapak?" Tunggu dulu, letak ia membohonginya di mana? "Karena ulah kamu yang bicara sembarangan. Saya harus menanggung semuanya," ucap Ken menatap tajam bawahannya itu. Jangan bilang— Jenna yang tersadar pun langsung berkata, "Saya pasti akan bertanggung jawab, Pak. Saya bisa klarifikasi—" "Mereka mau kita menikah, Jenna. Apa masih bisa kamu bertanggung jawab?" potong Ken dengan cepat. Mendengar itu, Jenna langsung menutup mulutnya rapat-rapat. Menikah? Ngeri sekali rasanya. * Beberapa jam kemudian. Waktunya istirahat. "Wah, denger-denger Mbak Karin mau dipromosikan, ya?" ucap Tasya tersenyum senang. Jenna yang tidak tahu apa-apa pun bertanya, "Beneran, Mbak?" Dengan malu-malu Karin mengangguk pelan. "Wah. Selamat! Makin sibuk, dong," ujar Jenna. Tasya menyenggol lengan Karin. "Makin deket juga sama Pak Ken. Iya nggak, Mbak?" Mendengar itu raut wajah Jenna langsung berubah persekian detik. Ada getaran tidak biasa. Namun, ia masih belum tahu itu apa. "Oh, iya, kemarin kamu diantar pulang sama Pak Ken. Kamu nggak apa-apa, 'kan, Jen?" tanya Karin. Ia menggeleng cepat. "Ah, nggak. Aku pulang sendiri, Mbak." Jenna sengaja berbohong. "Santai aja, Mbak Karin. Jenna nggak pulang bareng sama Pak Ken, kok," ujar Tasya menambahkan. "Bukan begitu," balas Karin tidak enak. ‐ Tidak terasa jam berjalan begitu cepat. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Jenna dan yang lain bergegas keluar dari perusahaan dan merenggangkan otot-ototnya. "Jen, hati-hati, ya!" ucap Tasya yang pulang bersama Henry. Juga Karin tersenyum hangat padanya. Ia membawa mobil pribadi. Mereka pun berpisah di lobi. Tersisa Jenna seorang diri. Namun, saat hendak pergi menuju parkiran seseorang memanggil namanya dari arah yang berlawanan. "Ikut saya," ucap Ken terdengar seperti paksaan. Karena respons Jenna yang lambat, pria itu terpaksa menarik lengan Jenna dan membawa ke parkiran. "Masuk," perintah Ken di hadapan mobilnya. "Pak, saya bawa motor sendiri," ucap Jenna sengaja menolak. Ia bahkan menunjuk kendaraan beroda dua tersebut. Tidak peduli. Ken membukakan pintu untuk Jenna, bahkan mendorong perempuan itu masuk ke dalam mobil. Menutupnya kembali dengan keras. Ia bergegas masuk ke bangku pengemudi dan melirik Jenna sekilas. "Pakai sabuk pengaman kamu." "Kita mau ke mana, Pak?" tanya Jenna was-was sendiri. "Mempertanggungjawabkan perbuatan kamu," ucap Ken dengan nada dingin.Adegan panas itu berlanjut sampai ke apartemen, Ken sengaja tidak membawa Jenna ke rumahnya. Lumatan yang makin dalam menjalar sampai ke tengkuk leher milik Jenna, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Perempuan itu sedikit mengeluh karena Gio bukan hanya mengecup, melainkan menggigit cukup keras. "Pak .... " Jenna melenguh pelan. Mendorong dada sang atasan dengan kepala menggelng pelan. Napasnya terengah. Sedangkan Gio langsung memeluk tubuh Jenna dengan dekapan erat, merasa bersalah karena hampir kelepasan malam ini. Tangannya kemudian merapikan helaian rambut Jenna yang sedikit berantakan, juga menghapus lipstik merah perempuan itu yang sudah tidak tersisa."Kamu udah makan?" tanya Ken melepas cekalannya. "Di apartemen nggak ada bahan masakan. Paling ada mi instan aja."Usai merapikan pakaiannya, Jenna pun membalas. "Bapak lapar? Kalau iya, saya buatkan mi instan mau?" "Saya risih sekali dipanggil seperti itu."Keningnya mengerut sempurna. "Risih gimana?""Saya nggak suka sama p
Pukul 7 malam.Saat ini Jenna sudah rapi dengan baju berwarna merah ati dipadukan rok pendek di atas lutut berwarna hitam. Ia tersenyum di depan cermin seraya merapikan rambutnya yang dikeriting lurus."Let's go, Jenna!" kata wanita itu mengambil tas selempangnya dan turun ke bawah.Di ruang televisi ada Zio dan sang Ibu yang tengah duduk santai, keduanya kompak menatap Jenna dengan pandangan aneh."Mau ke mana kamu?" Itu suara sang Ibu yang bertanya. Jenna memegang tasnya ragu. "Keluar sebentar makan sama temen, Bu.""Bukan temen itu, Bu. Tapi pacar barunya," kata Zio sengaja kompor.Wanita itu langsung melirik sinis. "Diem kamu, ya, Zio." "Pacar baru?" Buru-buru Jenna menggeleng. "Bukan, Bu. Jangan dengerin Zio. Dia suka sebar hoax.""Loh, bener, kok. Kak Jenna sama Bang Ken udah putus bukan? Aku pernah liat kalian berdua berantem di depan rumah."Sial. Zio benar-benar tak bisa di-rem mulutnya. Ia berbicara seperti itu seakan tak melihat situasi. "Bener kamu udah putus sama Ken?
"Mas Kendrick?"Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Jenna melihat mata wanita itu berbinar, kemudian melirik Ken yang tampak terkejut setelahnya."Aku pikir salah orang." Wanita yang belum diketahui namanya itu tersenyum lebar. "Lama nggak ketemu, Mas."Pria itu tiba-tiba berdiri dan menyambut sapaan hangat itu dengan tubuh kaku. "Angel?" Kebingungan melanda di tengah-tengah kecanggungan kedua manusia yang rupanya baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Angel. Wanita yang dulu pernah mengisi hati Ken."Pacar kamu?" tanya Angel melirik ke arah Jenna.Merasa namanya disebut Jenna langsung berdiri hendak menyangkal kalimat wanita di depannya. Namun, jawaban Ken justru membuat kedua bola matanya membulat sempurna. "Iya. Dia pacar saya, namanya Jenna."Jenna buru-buru menggeleng kuat. Tak mau Angel salah paham, sebab ia merasakan sesuatu yang aneh dari kedua manusia itu. "Ah ... Jenna? Sorry, ya, jadi ganggu makan siang kalian. Kebetulan aku ada janji sama temen juga di sini
"Kamu kasih saya waktu satu bulan?" tanya Ken kembali memastikan. Jenna mengangguk lirih.Lantas, Ken pun sedikit menjauh dan menahan senyum di sana. Ia senang sekali, tetapi tak ingin menunjukkan pada Jenna karena gengsinya yang setinggi langit."Ya sudah, sana kamu kembali kerja. Saya harus mikirin sesuatu supaya kamu makin tertarik."Lucu sekali. Jenna ingin tertawa, tetapi ia tahan karena melihat perubahan ekspresi pria itu yang cukup signifikan. Setelahnya ia pun keluar dari ruangan dengan perasaan hangat."Horor banget keluar dari ruangan Pak Bos malah senyum-senyum sendiri," celetuk Tasya memandang heran.Dewi yang baru datang pun langsung menyahut, "Ngapain pagi-pagi dipanggil Pak Bos?""Biasa Pak Bos terbakar api cemburu karena Jenna deket sama mantan gebetannya dulu." Ia yang sedang membereskan meja kerjanya sontak berhenti. "Aduh, pertanda nggak aman, nih, kerja hari ini.""Mulai, deh, gosip." Jenna akhirnya membuka suara."Nggak apa-apa kali, Jen. Kita gosip juga di dep
—Pagi hari."Jenna." Liam memanggil dengan sebuah kantong makan di tangannya.Perempuan itu menoleh. Menghentikan langkahnya kala melihat Liam berlari kecil menghampiri."Saya dengar roti di lobi bawah enak. Kebetulan saya beliin satu buat kamu," ujar Liam seraya meyodorkan roti tersebut. Jenna merasa tidak enak. Ia menerimanya dengan perasaan ragu. "Makasih, Mas.""Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya Liam.Perempuan itu kemudian menggeleng lirih. "Itu bisa buat ganjal perut kamu," ucapnya memberi kode pada roti yang sudah beralih tangan.Lagi lagi Jenna tersenyum dan mengangguk kecil. Ting.Suara lift terbuka. Liam menoleh dan berkata, "Kalau gitu saya pergi dulu. Semangat kerjanya.""Iya, Mas. Terima kasih rotinya," balas Jenna sedikit kaku.Liam tersenyum penuh arti dan memasuki lift sampai pintu itu kembali tertutup.Jenna pun melanjutkan jalannya. Sesekali bersenandung kecil dan menebarkan senyum pada beberapa orang yang lewat."Roti?" Seseorang merebut paksa kantong makanan ters
—Di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis. "Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun." Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya." Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan. "Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya. "Laki-lak







