LOGIN—Hari Senin.
Melupakan kejadian Anjing tempo lalu, kini Jenna sudah kembali pada pekerjaan yang menyibukkannya. Bersyukur karena hari ini ia belum bertemu dengan Ken. Katanya, malam ini akan ada Night Party sebagai perayaan Ken yang telah menjadi Direktur Utama pengganti sang ayah. "Eh, Jenna. Malam ini mau ikut night party sama anak-anak lain?" tanya Tasya disela kesibukannya. Jenna langsung menoleh. "Kalau ada Pak Ken, kayanya aku nggak ikut, Sya." "Loh, 'kan ini acaranya Pak Ken. Masa dia nggak ikut, Jen. Yang bener aja," ucap Tasya aneh sendiri dengan ucapan sahabatnya. "Ya ... kalau gitu berarti aku nggak ikut," putus Jenna asal. "Kenapa?" Tasya memandang Jenna penuh. Jenna mengulum senyumnya. "Nggak apa-apa. Liat nanti aja." Setelah obrolan kehabisan topik pembicaraan, Jenna dan Tasya kembali melanjutkan fokus pada layar komputer di depannya. Budak korporat yang selalu mengusahakan segalanya. "Jenna, kamu dipanggil Mas Henry di rooftop," ucap Karin yang tidak sengaja lewat divisi perempuan itu. Jenna pun langsung bergegas menuju rooftop yang Karin bilang tadi. Biasanya jika seperti ini, Henry pasti membutuhkan bantuannya. "Mas?" panggil Jenna setelah sampai dan bertemu dengan Henry. Dilihat dari raut wajahnya, Henry terlihat lebih murung dari biasanya. Wajah pria itu tampak lelah. Kantung mata dengan lingkaran hitam itu terlihat jelas. Seperti, ia kurang waktu istirahat. "Kenapa, Mas?" tanya Jenna lebih dulu. "Lily sakit, Jen. Saya harus bawa dia ke Singapore," ucap Henry seperti orang yang sudah putus aja. Lily itu anak kandung Henry yang umurnya baru menginjak 2 tahun. Anak kecil itu ditinggal sang Ibu saat melahirkan dirinya. Saat ini, status Henry adalah duda anak satu. "Tasya tau, Mas?" tanya Jenna. Pria itu terdiam. Sudah dapat Jenna tebak bahwa Tasya tidak tahu menahu soal Lily yang sedang sakit parah. "Saya sudah banyak merepotkan Tasya. Tolong rahasiakan masalah ini dari dia," pinta Henry. Setelah satu setengah tahun ditinggal sang istri, Henry mulai membuka hati lagi dan hatinya tertuju pada Tasya, rekan kerjanya. Berharap Lily tidak kekurangan kasih sayang. Mereka menjalin hubungan dengan Tasya yang tidak keberatan dengan status Henry saat ini. Akhirnya Jenna mengangguk pelan. "Saya nggak bisa bantu banyak, Mas. Tapi lebih baik Mas Henry terus terang sama Tasya. Karena gimanapun juga, Lily sudah seperti anak sendiri bagi Tasya." Henry lagi-lagi membisu. Karena merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lebih lanjut, Jenna memutuskan pergi dari hadapan pria itu. Saat membalikkan badan ia terkejut karena di sana sudah ada Ken yang berdiri tegak dengan tangan dimasukan ke dalam saku celana. Jenna pun menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya seolah tidak ada Ken di depan sana. "Jenna .... " Ken terus memanggil di belakang sana. Mengikuti langkah Jenna yang makin cepat. "Ciuman kamu yang kemarin—" "Pak Ken!" potong Jenna langsung memelotot. Ia sampai membalikkan badan menghentikan langkahnya. Ken tertawa di dalam hati. Reaksi perempuan itu lucu sekali. Kepanikannya terlihat jelas dengan pupil mata yang membesar, juga tatapan tajam yang ia berikan. "Kenapa? Kamu takut orang-orang tau?" tanya Ken terdengar menggoda. Jenna memejamkan matanya sebentar. "Saya minta maaf soal kejadian kemarin. Itu murni di luar dugaan. Saya harap Pak Ken bisa memaafkan saya dengan tulus." Satu detik. Dua detik. Hingga lima detik, ia tidak kunjung mendapat jawaban. Kepala yang tadi sempat menunduk dengan mata terpejam pun sontak mendongak ke atas. Keduanya langsung beradu pandang. "Maaf kamu diterima kalau kamu mau ikut saya ketemu Kakek," ujar Ken, setelahnya pergi meninggalkan Jenna yang mematung di tempat. *Beberapa jam kemudian. —Night Party dimulai. "Selamat kepada Pak Kendrick karena menjadi Direktur baru di perusahaan kita," ucap Karin memimpin dengan segelas minuman beralkohol di tangannya. Ken tersenyum hangat. "Terima kasih semuanya. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik dan perusahaan kita makin berkembang ke depannya!" Mereka yang hadir pun melakukan cheers dengan menyatukan segelas secara bersamaan. Fyi, perayaan diangkatnya Ken menjadi Direktur Utama sengaja tidak besar-besaran karena Ken sendiri yang tidak mau. Ia lebih nyaman merayakan seperti ini, mengakrabkan diri dengan para karyawan yang akan bekerjanya beberapa tahun ke depan. "Enjoy guys!" ucap Ken kembali duduk dan menikmati penjamuan makan malam ini. Tiga puluh menit pun berlalu. Ken keluar dari ruangan karena tiba-tiba ada panggilan masuk. Ia terus berbicara dalam telepon, sesekali melirik jam tangan juga matanya ikut menelusuri keadaan sekitar. Kakinya tidak bisa diam, ia berjalan ke sana ke mari menghilang rasa jenuh. Sudah hampir setengah jam ia meninggalkan ruangan. "Baik, Pak. Terima kasih," ucap Ken setelahnya panggilan pun terputus. Tiba-tiba saat hendak kembali ke ruangan, seseorang menubruk tubuhnya dengan cengiran tidak berdosa. "Jenna," ucap Ken sedikit kaget. Jenna tersenyum lebar. Perempuan itu tidak menjawab hanya cengengesan seperti orang gila. "Tunggu di sini, saya ambil tas kamu. Kita pulang," ucap Ken langsung diangguki Jenna. Ken pun datang dan langsung mengambil tas Jenna. "Loh, Pak. Jenna-nya ke mana?" tanya Karin satu-satunya yang masih waras di dalam. "Dia mabuk. Saya antar pulang. Kamu urus yang lain, ya, Karin." Karin yang kebingungan pun hanya bisa mengangguk pelan. Mau bertanya, tetapi pria itu sudah lebih dulu pergi. *Skip perjalanan pulang di dalam mobil. Ken menghela napas panjang sambil melirik perempuan di sampingnya. Jenna si perempuan aneh yang kerjaannya bikin orag-orang geleng kepala, kini duduk di kursi penumpang dengan kepala bersandar di jendela mobil. Mabuk berat. "Kalau nggak kuat minum, nggak usah minum terlalu banyak, Jenna," ucap Ken memperingati. Tiba-tiba Jenna mengangkat kepalanya dan menatap Ken dengan sungguh-sungguh. "Pak Ken .... " suaranya menggantung, "Bapak kok keliatan makin ganteng, ya?" Setelah mengatakan itu Jenna kembali ke posisi semula, bibirnya tidak lepas dari senyuman. Ken yang melihat itu hanya mampu menggelengkan kepala saja. Mobil akhirnya berhenti di depan rumah Jenna. Ken membuka sabuk pengaman hendak turun, tiba-tiba tangannya dicekal oleh Jenna. Perempuan itu memberi tatapan penuh arti. "Kenapa? Ayo saya antar sampai ke pintu," ucap Ken. Jenna menggeleng kuat. Entah setan mana yang merasukinya, dengan secepat kilat ia mendekatkan wajahnya dan mencium Ken tanpa aba-aba. Setelah beberapa detik yang seperti selamanya, Jenna melepas pungutan itu dan terkikik pelan. "Enak. Bibir Pak Ken lembut." Ken sontak menelan ludahnya sendiri. "Jenna, kamu mabuk." Tidak peduli, perempuan itu malah menyenderkan tubuhnya di dada milik Ken, melupakan status pria itu di kantor. "Hangat. Peluk saya lebih erat, Pak." Ken memalingkan wajah saking bingungnya harus bereaksi seperti apa. "Kamu harus pulang, Jenna. Ayo?" Medengar itu, Jenna sontak berdiri tegak. Menggelengkan kepalanya kuat. "Saya nggak mau pulang. Hari ini nginap di rumah Bapak. Ayo!" Setelah mengatakan itu, Jenna turun dari mobil dan disusul Ken karena perempuan jalannya sempoyongan. "Itu rumah kamu, Jenna. Ayo saya antar pulang," ucap Ken menarik perempuan itu. Jenna pun langsung menepisnya kasar. "Saya nggak mau pulang!" Akhirnya hembusan napas kasar keluar dari mulut dan hidung Ken. Ia melihat tubuh Jenna yang menekan bel rumah dan masuk setelah satpam membukakan untuknya. Tidak banyak berkata-kata Ken menyusul dengan kepala hampir meledak. "Ah, nyamannya!" ucap Jenna langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa. "Jangan tidur di situ." Ken menarik tangan Jenna agar berdiri. Ia pun membawa perempuan itu ke kamarnya. Sesampainya di kamar. "Eh, Pak Ken mau ke mana?" tahan Jenna karena pria itu malah hendak pergi. "Temani saya tidur di sini," pintanya dengan wajah memelas. Tiba-tiba perempuan itu menggeser tubuhnya ke sisi ranjang dan menarik Ken agar bergabung dengannya. Setelah itu, ia memeluk pria itu dan tidur lelap di dada bidang atasannya sendiri. Ken? Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Selain mengutuk perempuan itu karena telah menyusahkannya. "Kita harus bahas ini setelah kamu sadar, Jenna," ucap Ken memandang penuh arti wajah Jenna dengan helaan napas teratur dan mata tertutup sempurna itu.Adegan panas itu berlanjut sampai ke apartemen, Ken sengaja tidak membawa Jenna ke rumahnya. Lumatan yang makin dalam menjalar sampai ke tengkuk leher milik Jenna, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Perempuan itu sedikit mengeluh karena Gio bukan hanya mengecup, melainkan menggigit cukup keras. "Pak .... " Jenna melenguh pelan. Mendorong dada sang atasan dengan kepala menggelng pelan. Napasnya terengah. Sedangkan Gio langsung memeluk tubuh Jenna dengan dekapan erat, merasa bersalah karena hampir kelepasan malam ini. Tangannya kemudian merapikan helaian rambut Jenna yang sedikit berantakan, juga menghapus lipstik merah perempuan itu yang sudah tidak tersisa."Kamu udah makan?" tanya Ken melepas cekalannya. "Di apartemen nggak ada bahan masakan. Paling ada mi instan aja."Usai merapikan pakaiannya, Jenna pun membalas. "Bapak lapar? Kalau iya, saya buatkan mi instan mau?" "Saya risih sekali dipanggil seperti itu."Keningnya mengerut sempurna. "Risih gimana?""Saya nggak suka sama p
Pukul 7 malam.Saat ini Jenna sudah rapi dengan baju berwarna merah ati dipadukan rok pendek di atas lutut berwarna hitam. Ia tersenyum di depan cermin seraya merapikan rambutnya yang dikeriting lurus."Let's go, Jenna!" kata wanita itu mengambil tas selempangnya dan turun ke bawah.Di ruang televisi ada Zio dan sang Ibu yang tengah duduk santai, keduanya kompak menatap Jenna dengan pandangan aneh."Mau ke mana kamu?" Itu suara sang Ibu yang bertanya. Jenna memegang tasnya ragu. "Keluar sebentar makan sama temen, Bu.""Bukan temen itu, Bu. Tapi pacar barunya," kata Zio sengaja kompor.Wanita itu langsung melirik sinis. "Diem kamu, ya, Zio." "Pacar baru?" Buru-buru Jenna menggeleng. "Bukan, Bu. Jangan dengerin Zio. Dia suka sebar hoax.""Loh, bener, kok. Kak Jenna sama Bang Ken udah putus bukan? Aku pernah liat kalian berdua berantem di depan rumah."Sial. Zio benar-benar tak bisa di-rem mulutnya. Ia berbicara seperti itu seakan tak melihat situasi. "Bener kamu udah putus sama Ken?
"Mas Kendrick?"Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Jenna melihat mata wanita itu berbinar, kemudian melirik Ken yang tampak terkejut setelahnya."Aku pikir salah orang." Wanita yang belum diketahui namanya itu tersenyum lebar. "Lama nggak ketemu, Mas."Pria itu tiba-tiba berdiri dan menyambut sapaan hangat itu dengan tubuh kaku. "Angel?" Kebingungan melanda di tengah-tengah kecanggungan kedua manusia yang rupanya baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Angel. Wanita yang dulu pernah mengisi hati Ken."Pacar kamu?" tanya Angel melirik ke arah Jenna.Merasa namanya disebut Jenna langsung berdiri hendak menyangkal kalimat wanita di depannya. Namun, jawaban Ken justru membuat kedua bola matanya membulat sempurna. "Iya. Dia pacar saya, namanya Jenna."Jenna buru-buru menggeleng kuat. Tak mau Angel salah paham, sebab ia merasakan sesuatu yang aneh dari kedua manusia itu. "Ah ... Jenna? Sorry, ya, jadi ganggu makan siang kalian. Kebetulan aku ada janji sama temen juga di sini
"Kamu kasih saya waktu satu bulan?" tanya Ken kembali memastikan. Jenna mengangguk lirih.Lantas, Ken pun sedikit menjauh dan menahan senyum di sana. Ia senang sekali, tetapi tak ingin menunjukkan pada Jenna karena gengsinya yang setinggi langit."Ya sudah, sana kamu kembali kerja. Saya harus mikirin sesuatu supaya kamu makin tertarik."Lucu sekali. Jenna ingin tertawa, tetapi ia tahan karena melihat perubahan ekspresi pria itu yang cukup signifikan. Setelahnya ia pun keluar dari ruangan dengan perasaan hangat."Horor banget keluar dari ruangan Pak Bos malah senyum-senyum sendiri," celetuk Tasya memandang heran.Dewi yang baru datang pun langsung menyahut, "Ngapain pagi-pagi dipanggil Pak Bos?""Biasa Pak Bos terbakar api cemburu karena Jenna deket sama mantan gebetannya dulu." Ia yang sedang membereskan meja kerjanya sontak berhenti. "Aduh, pertanda nggak aman, nih, kerja hari ini.""Mulai, deh, gosip." Jenna akhirnya membuka suara."Nggak apa-apa kali, Jen. Kita gosip juga di dep
—Pagi hari."Jenna." Liam memanggil dengan sebuah kantong makan di tangannya.Perempuan itu menoleh. Menghentikan langkahnya kala melihat Liam berlari kecil menghampiri."Saya dengar roti di lobi bawah enak. Kebetulan saya beliin satu buat kamu," ujar Liam seraya meyodorkan roti tersebut. Jenna merasa tidak enak. Ia menerimanya dengan perasaan ragu. "Makasih, Mas.""Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya Liam.Perempuan itu kemudian menggeleng lirih. "Itu bisa buat ganjal perut kamu," ucapnya memberi kode pada roti yang sudah beralih tangan.Lagi lagi Jenna tersenyum dan mengangguk kecil. Ting.Suara lift terbuka. Liam menoleh dan berkata, "Kalau gitu saya pergi dulu. Semangat kerjanya.""Iya, Mas. Terima kasih rotinya," balas Jenna sedikit kaku.Liam tersenyum penuh arti dan memasuki lift sampai pintu itu kembali tertutup.Jenna pun melanjutkan jalannya. Sesekali bersenandung kecil dan menebarkan senyum pada beberapa orang yang lewat."Roti?" Seseorang merebut paksa kantong makanan ters
—Di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis. "Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun." Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya." Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan. "Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya. "Laki-lak







