Saat ini Jenna seperti orang bodoh, duduk di sofa milik keluarga Halim. Rumah Kakek pria itu benar-benar mewah. Tidak salah jabatannya sebagai Presdir di kantor, kekayaan yang melimpah tampak di depan mata Jenna.Sesekali ia melirik ke segala sisi. Sayangnya, meski besar rumah tersebut terasa sepi. Bahkan penghuni rumah yang terlihat hanya pelayan saja.Tiba-tiba Ken datang bersamaan dengan Kakeknya. Jenna yang melihat itu sontak berdiri tegak. Mencoba tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya sebagai sapaan. Wah, gila. Jantungnya berdebar sangat kencang. Bahkan lindahnya mendadak kelu."Duduk aja, nggak apa," ucap pria tua itu ikut duduk di sofa yang lain.Ken bergabung dan duduk di hadapan Jenna. Ketiganya duduk secara terpisah."Seperti saya pernah liat kamu." Pria itu menjeda kalimatnya, "Kamu kerja di perusahaan kami?"Jenna hanya mampu mengangguk lirih. Ia memainkan jari-jemarinya dengan gugup. "Kamu yang waktu itu zoom meeting pas presentasi bulan lalu, ya?" ucapnya kembali
Mendengar suara batuk seseorang, Jenna mulai membuka matanya perlahan. Saat mengedarkan pandangan ke segala sisi, ia baru menyadari bahwa ruangan ini bukan kamar miliknya.Spontan tubuhnya langsung terduduk di atas ranjang. "Pak Ken!" pekik Jenna membulatkan matanya.Pria itu membalikkan badan dan menatap tajam dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana miliknya. Refleks Jenna menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan berdiri dengan perasaan campur aduk. Sial. Ia bahkan tidak bisa mengingat kejadian semalam."S-saya ... saya minta maaf, Pak." Jenna langsung membungkukkan badannya."Rapikan baju kamu, setelah itu keluar dari kamar saya," ucap Ken cukup tegas.Kontan Jenna menurunkan pandangan ke bawah. Acak-acakan sekali. Untungnya pakaian tersebut masih menempel sesuai tempatnya.Sungguh memalukan, Jenna! batinnya terus berteriak tanpa henti.Ia pun keluar dari rumah Ken dengan perasaan gelisah. Tuhan, bilang kalau ini adalah mimpi. Sungguh, ia malu sekali. Rasanya sudah tidak
—Hari Senin.Melupakan kejadian Anjing tempo lalu, kini Jenna sudah kembali pada pekerjaan yang menyibukkannya. Bersyukur karena hari ini ia belum bertemu dengan Ken. Katanya, malam ini akan ada Night Party sebagai perayaan Ken yang telah menjadi Direktur Utama pengganti sang ayah. "Eh, Jenna. Malam ini mau ikut night party sama anak-anak lain?" tanya Tasya disela kesibukannya. Jenna langsung menoleh. "Kalau ada Pak Ken, kayanya aku nggak ikut, Sya.""Loh, 'kan ini acaranya Pak Ken. Masa dia nggak ikut, Jen. Yang bener aja," ucap Tasya aneh sendiri dengan ucapan sahabatnya. "Ya ... kalau gitu berarti aku nggak ikut," putus Jenna asal."Kenapa?" Tasya memandang Jenna penuh. Jenna mengulum senyumnya. "Nggak apa-apa. Liat nanti aja."Setelah obrolan kehabisan topik pembicaraan, Jenna dan Tasya kembali melanjutkan fokus pada layar komputer di depannya. Budak korporat yang selalu mengusahakan segalanya."Jenna, kamu dipanggil Mas Henry di rooftop," ucap Karin yang tidak sengaja lewat
Tiba saatnya di mana Ken berhadapan langsung dengan sang Kakek. Selepas kejadian di perusahaan tadi, ia terpaksa menemui si pria tua itu yang selalu saja memaksanya untuk menikah."Gimana, Ken? Kapan kamu bawa perempuan itu ke rumah?" tanya sang Kakek sudah seperti menuntut saja.Ken yang duduk di sofa ruang tamu itu langsung menarik napas panjang. Andai Jenna tidak asal bicara di depan Naomi, pasti si cerewet Naomi tidak akan mengadu seperti ini. "Itu cuma salah paham, Kek," jawab Ken memandang serius sang Kakek."Salah paham gimana? Naomi bilang perempuan itu sedang hamil. Kamu jangan lari dari tanggung jawab, Ken," ucapnya dengan tegas.Pria itu memejamkan matanya sebentar. "Ken nggak bohong. Itu cuma salah paham. Perempuan yang Naomi bilang—""Cukup. Kakek nggak mau dengar alasan kamu." Sorot matanya berubah menjadi lebih tajam. "Segera bawa perempuan itu ke hadapan Kakek atau Kakek sendiri yang datangin dia.""Kalau bener perempuan itu hamil, Kakek sendiri yang akan mengurus per
-Usai meeting.Saat ini Jenna sudah berada di hadapan Ken dengan pria itu duduk menyilangkan kakinya di kursi kerjanya.Sudah hampir lima belas menit ia berada di ruangan Direktur, Jenna tidak tahu harus berbuat apa, selain menunggu Ken dengan panggilan teleponnya.Kemudian, Ken memberi isyarat bahwa ia haus. Jenna yang tidak mengerti hanya mampu menelaah dan mengerutkan kening, kebingungan. "Minum," ucap Ken singkat langsung kembali berbicara dengan si penelepon. Ia pun membuka mulutnya. "Ah ... minum. Sebentar, Pak." Buru-buru ia mengambil minum untuk sang atasan.Tidak lama, Jenna kembali dengan gelas berisikan air. Menaruhnya di atas meja. Mempersilakan pria itu untuk meminumnya."Sudah berapa lama kamu kerja di sini?" tanya Ken usai mengakhiri panggilan tersebut. "Hampir 2 tahun, Pak."Pria itu terus melihat data diri milik Jenna. Astaga, ia benar-benar gugup sekarang. Tuhan, ini bukan hari terakhir ia bekerja, 'kan?"Kamu anak terakhir?" Ken memandang Jenna tidak percaya.Ia
Keesokan paginya.Hari libur untuk bersantai-santai? Oh tentu tidak. Hal itu tak berlaku bagi Jenna. Libur diharuskan tetap bekerja. Bukankah Jenna sudah seperti budak korporat? "Ibu ke mana?" tanya Jenna kepada Zio yang tengah menonton televisi.Zio menoleh sebentar. "Nggak tau. Tadi ke depan. Mungkin lagi cari sayuran.""Ya udah. Kalau Ibu nanyain, bilang aja Kak Jenna udah berangkat kerja."Zio hanya menganggukkan kepalanya dan menjawab iya.Jenna pun berusaha mengeluarkan motornya dari bagasi dan melihat gerbang rumah sudah terbuka lebar. Syukurlah ia tidak harus bersusah payah membuka gerbang itu, sebab di rumahnya tidak ada satpam."Astaga!" ujar Jenna benar-benar terkejut. Kalian tahu? Saat ia berhasil menjalankan motornya sampai depan rumah, betapa kagetnya melihat sang Ibu sedang mengobrol dengan Kendrick. Catat, Kendrick! Bosnya sendiri."Nah, itu Jenna. Anaknya memang gila kerja. Nggak heran hari libur aja dia masuk," ucap Rani ketika sang anak berhenti di hadapan ia dan