Home / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 6

Share

Teror Ghaib 6

Author: Rani Giza
last update Last Updated: 2023-10-30 19:07:01

Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh.

Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu.

Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus.

Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan. Dia memutuskan untuk beristirahat. Saat itulah dia melihat seorang siswi dari tim lain sedang meneliti tanaman. Tak ingin ketahuan, Emma pun berdiri. Dia harus pergi dan melarikan diri.

Sayangnya rencana Emma tidak berjalan mulus. Gadis itu memergokinya.

“Hai, Emma si bocah culun,” kata gadis pirang itu, “waktu dosen bilang kamu sakit, aku tahu kamu bohong. Kamu nggak ikut tugas karena pengen jalan-jalan, kan?”

“Aku nggak bohong,” bantah Emma, ​​“aku beneran sakit. Aku lagi nyari sumber air sekarang. Timku kehabisan air minum.”

Gadis pirang itu tertawa. “Bohong,” katanya, “lihat aja, aku akan laporkin kamu ke dosen.”

Gadis pirang itu kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Namun sebelum sempat menelpon, Emma berhasil merebut ponselnya. Emma kemudian melempar ponsel gadis itu.

"Kamu apaan sih?!" kata gadis pirang itu, “hapeku mahal. Nggak kayak hapemu yang sampah. Kalo rusak, emaangnya kamu bisa ganti?”

"Siapa yang peduli?" kata Emma. Suaranya menjadi lebih dalam, “Kamu yang pertama gangguin aku.”

“Kenapa kamu ngomong gitu kayak aku yang nakal?” ucap gadis pirang itu, "Kamu yang bolos kegiatan. Wajar kalo aku laporin kamu ke dosen."

“Aku nggak suka orang yang terlalu banyak ngomong,” kata Emma. Dia kemudian meraih rambut gadis pirang itu.

Gadis pirang itu menjerit kesakitan. Tangan Emma sangat kuat menarik rambutnya. Kulit kepalanya terasa sakit seolah-olah akan mengelupas.

“Lepasin tangan kamu,” kata gadis pirang itu.

Tapi Emma mengabaikannya. Dia malah menggunakan tangannya yang lain untuk menarik rambut gadis itu. Melihat gadis di depannya semakin kesakitan, Emma pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya menjadi lebih berat. Seperti suara orang lain.

Gadis pirang itu tidak kehilangan akalnya. Dia meludah tepat ke mata Emma untuk membuat gadis itu berhenti. Usahanya berhasil. Emma melepaskan tangannya lalu menyeka air liur gadis pirang yang ada di matanya yang menetes ke pipinya.

Saat Emma lengah, gadis pirang itu berlari menjauh. Dia mencoba melarikan diri. Namun usahanya tidak membuahkan hasil dalam jangka waktu lama. Dalam hitungan detik, Emma menyusulnya. Emma menarik dan mencengkeram tangan kanan gadis pirang itu dengan sangat erat.

Gadis pirang itu ketakutan. Apalagi saat melihat wajah Emma berubah. Bukan wajah Emma yang dia kenali. Saat melihat mata Emma melotot, gadis pirang itu menarik tangannya kuat-kuat.

“Aduh, sakit!” kata gadis pirang itu, “tolong.”

Emma tidak peduli dengan permintaan gadis itu. Dia menyeringai. Tangannya yang lain mencakar pipi gadis pirang itu.

“Arrgh!” gadis pirang itu berteriak. Pipinya terasa panas karena kulitnya mengelupas. Dalam hitungan detik kulitnya berdarah.

Melihat itu, Emma tertawa puas. Ia kemudian mencoba mencakar sisi lain wajah gadis pirang itu. "Tidak ada yang bisa menindas saya," katanya. Suaranya masih berat dan semakin menakutkan.

“Lepasin aku,” kata gadis pirang itu, “aku janji nggak akan ngasih tau siapa pun kalo kamu bohong.”

“Nggak,” kata Emma, ​​“aku akan bikin kamu nyesel karena sudah gngguin aku.”

"Hei, ada apa?!"

Itu adalah suara Tony yang tidak sengaja lewat. Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk, ia kemudian berlari menghampiri Emma dan gadis pirang itu. Dengan sekuat tenaga ia meraih tangan Emma. “Hentikan bodoh,” katanya. Dia mengatakan itu untuk mengalihkan perhatian Emma.

Emma melepaskan tangannya dan menoleh ke Tony. "Apa katamu?"

"Kamu bodoh," ulang Tony. Tangannya melambai, memberi isyarat agar gadis pirang itu pergi.

Emma melotot. Dia menyeringai dan menatap Tony dengan penuh kebencian. "Kamu ...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status