Share

Teror Ghaib 6

Emma meraba-raba saku celananya, dia ingin memberitahu Tony tentang batu yang dia temukan. Namun, setelah beberapa menit mencari, Emma tidak dapat menemukan batu tersebut. Sakunya rata. Setelah membuka saku celananya, dia menyadari bahwa sakunya berlubang. Batu itu pasti terjatuh.

Emma bingung. Dia ingin mencari batu itu, tapi langit masih gelap. Hutan juga pasti sangat gelap. Akhirnya Emma memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, Emma mengatakan bahwa dia mengalami sedikit demam sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan. Setelah semua mahasiswa pergi, dia kemudian berjalan melewati hutan. Dia harus menemukan batu itu.

Batu itu menjadi benda yang sangat berharga bagi Emma. Karena dengan uang yang didapat jika batu itu dijual, Emma bisa membeli apapun yang diinginkannya. Dia bisa membeli sepatu mahal, tas dan pakaian mahal. Dengan begitu, dia tidak akan diremehkan dan di-bully lagi di kampus.

Emma merasa kelelahan ketika sudah berjalan sejauh lima ratus meter dari lokasi perkemahan. Dia memutuskan untuk beristirahat. Saat itulah dia melihat seorang siswi dari tim lain sedang meneliti tanaman. Tak ingin ketahuan, Emma pun berdiri. Dia harus pergi dan melarikan diri.

Sayangnya rencana Emma tidak berjalan mulus. Gadis itu memergokinya.

“Hai, Emma si bocah culun,” kata gadis pirang itu, “waktu dosen bilang kamu sakit, aku tahu kamu bohong. Kamu nggak ikut tugas karena pengen jalan-jalan, kan?”

“Aku nggak bohong,” bantah Emma, ​​“aku beneran sakit. Aku lagi nyari sumber air sekarang. Timku kehabisan air minum.”

Gadis pirang itu tertawa. “Bohong,” katanya, “lihat aja, aku akan laporkin kamu ke dosen.”

Gadis pirang itu kemudian mengambil ponselnya dari saku celananya. Namun sebelum sempat menelpon, Emma berhasil merebut ponselnya. Emma kemudian melempar ponsel gadis itu.

"Kamu apaan sih?!" kata gadis pirang itu, “hapeku mahal. Nggak kayak hapemu yang sampah. Kalo rusak, emaangnya kamu bisa ganti?”

"Siapa yang peduli?" kata Emma. Suaranya menjadi lebih dalam, “Kamu yang pertama gangguin aku.”

“Kenapa kamu ngomong gitu kayak aku yang nakal?” ucap gadis pirang itu, "Kamu yang bolos kegiatan. Wajar kalo aku laporin kamu ke dosen."

“Aku nggak suka orang yang terlalu banyak ngomong,” kata Emma. Dia kemudian meraih rambut gadis pirang itu.

Gadis pirang itu menjerit kesakitan. Tangan Emma sangat kuat menarik rambutnya. Kulit kepalanya terasa sakit seolah-olah akan mengelupas.

“Lepasin tangan kamu,” kata gadis pirang itu.

Tapi Emma mengabaikannya. Dia malah menggunakan tangannya yang lain untuk menarik rambut gadis itu. Melihat gadis di depannya semakin kesakitan, Emma pun tertawa terbahak-bahak. Suaranya menjadi lebih berat. Seperti suara orang lain.

Gadis pirang itu tidak kehilangan akalnya. Dia meludah tepat ke mata Emma untuk membuat gadis itu berhenti. Usahanya berhasil. Emma melepaskan tangannya lalu menyeka air liur gadis pirang yang ada di matanya yang menetes ke pipinya.

Saat Emma lengah, gadis pirang itu berlari menjauh. Dia mencoba melarikan diri. Namun usahanya tidak membuahkan hasil dalam jangka waktu lama. Dalam hitungan detik, Emma menyusulnya. Emma menarik dan mencengkeram tangan kanan gadis pirang itu dengan sangat erat.

Gadis pirang itu ketakutan. Apalagi saat melihat wajah Emma berubah. Bukan wajah Emma yang dia kenali. Saat melihat mata Emma melotot, gadis pirang itu menarik tangannya kuat-kuat.

“Aduh, sakit!” kata gadis pirang itu, “tolong.”

Emma tidak peduli dengan permintaan gadis itu. Dia menyeringai. Tangannya yang lain mencakar pipi gadis pirang itu.

“Arrgh!” gadis pirang itu berteriak. Pipinya terasa panas karena kulitnya mengelupas. Dalam hitungan detik kulitnya berdarah.

Melihat itu, Emma tertawa puas. Ia kemudian mencoba mencakar sisi lain wajah gadis pirang itu. "Tidak ada yang bisa menindas saya," katanya. Suaranya masih berat dan semakin menakutkan.

“Lepasin aku,” kata gadis pirang itu, “aku janji nggak akan ngasih tau siapa pun kalo kamu bohong.”

“Nggak,” kata Emma, ​​“aku akan bikin kamu nyesel karena sudah gngguin aku.”

"Hei, ada apa?!"

Itu adalah suara Tony yang tidak sengaja lewat. Tak ingin terjadi hal yang lebih buruk, ia kemudian berlari menghampiri Emma dan gadis pirang itu. Dengan sekuat tenaga ia meraih tangan Emma. “Hentikan bodoh,” katanya. Dia mengatakan itu untuk mengalihkan perhatian Emma.

Emma melepaskan tangannya dan menoleh ke Tony. "Apa katamu?"

"Kamu bodoh," ulang Tony. Tangannya melambai, memberi isyarat agar gadis pirang itu pergi.

Emma melotot. Dia menyeringai dan menatap Tony dengan penuh kebencian. "Kamu ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status