Beranda / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 7

Share

Teror Ghaib 7

Penulis: Rani Giza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-31 10:09:44

"Apa?" kata Tony.

Sebenarnya Tony sudah curiga sejak awal Emma menyerangnya. Dia tahu bahwa Emma dirasuki hantu. Dia semakin yakin setelah mengetahui kalau gadis itu juga membuat Dakota takut. Jadi, kini dia tidak perlu takut. Sebab, semasa kecilnya ia sering bermeditasi untuk berhubungan dan berkomunikasi langsung dengan mahluk halus.

“Kamu juga harus dimusnahkan,” kata Emma. Matanya melotot.

Tony tidak peduli, dia berjalan cepat meninggalkan Emma dan mengambil ponselnya. Dia kemudian menghubungi orang tua Emma. Setelah menunggu beberapa detik, Robin mengangkat teleponnya.

"Ada apa, Tony?" tanya Robin, "apa terjadi sesuatu yang buruk sama Emma? Apa dia sakit?"

“Nggak,” jawab Tony, “Dia cuma ….”

"Cuma apa?" tanya Tony. Dia tidak sabar.

"Emma... kayaknya dia kerasukan, Pak Robin," jawab Tony.

"Apa maksudmu?" Robin bertanya. Bukannya dia tidak percaya hantu, dia hanya tidak menyangka dan ingin memastikannya.

Sambil terus berjalan cepat menjauhi Emma yang juga berjalan cepat ke arahnya, Tony menceritakan semua yang terjadi. Dari awal gadis itu mencari ranting hingga kembali dalam kondisi aneh lalu mulai menyerang teman-temannya.

“Kedengarannya buruk,” kata Robin, “sebelum keadaan jadi makin buruk lagi, aku akan menjemputnya pulang.”

Setelah menutup telepon, Tony menoleh ke belakang karena tidak mendengar langkah kaki lagi. Rupanya Emma pingsan. Tony kemudian memanggil beberapa siswa laki-laki yang dikenalnya untuk mengantar Emma ke tenda.

***

Robin datang sekitar dua jam setelah Tony menelepon. Dia bertemu dengan salah satu dosen pendamping perkemahan setelah menelepon. Dosen itu kemudian membawanya ke tenda Emma.

"Emma, ​​Ayah sangat khawatir," ucap Robin saat melihat Emma duduk di tenda ditemani Tony. Dia kemudian memeluk putrinya.

"Apa yang kamu bilang ke ayahku?" Emma bertanya pada Tony setelah Robin melepaskan pelukannya.

Sebelum Tony sempat menjawab, Emma berbicara lagi. “Kamu pasti terlalu banyak cerita yang nggak-nggak ke ayahku sampe dia dateng ke sini,” katanya, “aku cuma pingsan. Aku bukan anak SD yang harus terlalu dikhawatirkan.”

“Emma, ​​Tony cuma peduli sama kamu,” kata Robin, “Ayah juga. Aku tidak ingin hal buruk terjadi ke kamu, makanya Ayah datang untuk jemput kamu pulang."

"Tapi perkemahannya baru selesai sore ini, Ayah," kata Emma, ​​"dan lagian kalau aku pulang, aku nggak bisa naik bus lagi bareng temen-temen yang lain kayak pas aku berangkat."

"Tidak apa-apa kalau kamu pulang dulu, Emma," kata dosen itu, "istirahatlah dulu di rumah agar kondisimu membaik."

Emma sebenarnya tidak ingin pulang. ia belum menemukan batu tersebut. Dia sangat ingin mencari dan menemukan batu itu. Tapi pulang ke rumah adalah pilihan terbaik. Apalagi mengingat tubuhnya terasa sangat lemas setiap kali pingsan. Dengan enggan, dia akhirnya mengikuti Robin pulang.

***

Lily sedang menyiapkan makan siang ketika Emma dan Robin tiba di rumah. Wanita itu berjalan cepat menuju pintu untuk menyambut putrinya dan suaminya.

"Apa yang terjadi, Sayang?" katanya. Dia kemudian memeluk Emma, ​​"kamu baik-baik saja kan, Nak?" ucapnya lagi setelah melepaskan pelukannya.

“Aku baik-baik saja, Bu,” kata Emma. Dia kemudian duduk di salah satu kursi.

“Gimana perkemahannya?” tanya Lily sambil membawakan sepiring spageti untuk Emma, ​​"pasti menyenangkan ya?"

Emma mengambil piring dari Lily lalu mulai memakan spagetinya. "Akan menyenangkan kalo Ayah nggak jemput aku pulang lebih awal," jawabnya.

"Ayah melakukan ini demi kebaikanmu, Emma," kata Robin. Dia menuangkan jus ke dalam gelas.

"Ayah, Ayah nggak lihat apa aku baik-baik aja?" kata Emma, ​​“pengalaman berkemah kayak gitu sayang banget dilewatin.”

"Kamu baik-baik saja, tapi temanmu nggak," kata Robin, "berapa banyak orang yang sudah coba kamu sakiti?"

Emma membanting sendoknya ke piring. Dia kemudian berdiri dan berjalan cepat keluar kamar. Dia menuju ke kamarnya. Setelah menngunci pintu kamar, Emma berjalan cepat menuju wastafel. Dia melihat ke bawah dan menangis di sana. Emosi kesal karena tidak bisa menemukan batu dan disuruh pulang lebih awal berpadu membuat hatinya sangat sakit.

Emma mendengar suara dari ponselnya setelah beberapa menit menangis di wastafel. Dia kemudian mengeluarkan benda itu dari saku celananya. Rupanya ada chat dari Tony.

Antony:

Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud buruk. Aku cuma khawatir sama keadaanmu. Menurutku kamu perlu menenangkan diri di rumah lebih dulu.

Emma membalas chat Tony dengan cepat.

Emma:

Aku paham. Aku cuma kesel karena ada sesuatu yang belum aku selesaiin di sana.

Tony membalas chat Emma dalam hitungan detik.

Antony:

Nggak apa-apa, Emma. Walaupun kamu nggak ikut nyelesaiin tugas ini, aku jamin nilai tim kita tetep akan bagus. Kamu nggak perlu khawatir.

Emma tersenyum. Dia tahu Tony salah paham. Dia membalas chat Tony lagi.

Emma:

Bukan itu maksudku. Aku kehilangan sesuatu di sana dan aku harus nyariin itu. Tapi sebelum aku nemuin benda itu, Ayah udah jemput aku pulang.

Tony menjawab lagi dengan cepat.

Antony:

Apa yang kamu cari? Apa benda itu berharga banget? Biar aku cariin. Mungkin jatuh di dalam tenda. Semoga sebelum aku pulang aku bisa nemuin buat kamu.

Emma mengetik dengan cepat.

Emma:

Aku menemukan batu yang sangat indah di hutan. Kayak permata. Aku bakalan menghasilkan banyak uang kalo aku jual batu itu. Dengan uang itu, aku akan membeli barang-barang mahal biar nggak ada lagi yang bisa ngejek aku dan bully aku. Tapi batu itu hilang. Aku nggak tahu persis di mana batu itu jatohnya. Tapi kayaknya itu di tengah hutan.

Tony membalas lagi beberapa detik kemudian.

Antony:

Astaga, Emma, ​​hutan itu luas banget. Aku pikir barang-barang pribadmu yang hilang di tenda. Emangnya nggak bisa kamu ikhlasin aja? Kalo ada yang ngejek kamu di kampus, aku akan bela kamu. Kalau laki-laki, aku akan tendang pantatnya sampe dia nyungsep.

Emma membalas lagi.

Emma:

Makasih.

Emma kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celananya. Dia kemudian melihat ke cermin wastafel. Dia bermaksud untuk mencuci wajahnya. Bersamaan dengan itu, dia menjerit keras.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status