Share

Teror Kapak Keluarga Tuan Tanah
Teror Kapak Keluarga Tuan Tanah
Author: Bulan Purnama

Bab 1 : Kepergian Wulan

Tangis pilu memenuhi seluruh penjuru ruangan. Seorang gadis tengah memeluk jasad yang tengah terbujur kaku. Tangisannya begitu menyayat hati. Bagaimana tidak? Wulan kakak satu-satunya ditemukan warga di sebuah perkebunan singkong yang tak jauh dari pemukiman warga. Kondisi yang sangat mengenaskan, dengan banyaknya luka sayatan di mana-mana.

"Kak Wulan kenapa harus secepat ini ...."

Ressa, terus memeluk jasad itu. Ini seperti mimpi baginya. Andin, selaku sahabat Ressa terus menenangkannya.

"Ini sudah takdir Ress, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu yang iklhas, biar Kak Wulan tenang di sana," kata Andin memeluk Ressa.

"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang Kakak. Setelah Ibu pergi terlebih dahulu, kini giliran Kakaku yang pergi! Kamu tahu Andin, mereka meninggalkanku untuk selamanya bukan sementara!" teriak Ressa mendorong Andin begitu kuat.

"Kamu bisa berkata iklhas, tapi aku tidak. Iklhas itu berat bagiku, apalagi ini yang kedua kalinya aku merasa kehilangan," sambung Ressa dalam keadaan setengah sadar, karena rasa sedih yang begitu dalam.

Andin, hanya diam saja sambil menundukkan kepalanya. Memang kehilangan orang yang kita sayang bukanlah hal yang mudah, Andin pun pernah di posisi itu.

"Maaf dek, kakaknya harus segera dimakamkan waktu sudah semakin sore," kata Pak Ustadz menghampiri Ressa yang masih memeluk jenazah tersebut. Bukannya menjauh, tangan Ressa tambah begitu erat memeluk tubuh kakaknya.

"Ressa, aku pernah di posisi mu, aku juga lemah tidak kuat menghadapi kenyataan pahit ini. Tapi, kita harus kuat, harus ikhlas, biar Kak Wulan tenang di alam sana. Kasihani Kak Wulan," tutur Andini lembut, memeluk Ressa yang mulai kendor memeluk jasad Wulan.

Pak Ustadz dan yang lainnya mulai bersiap mengangkat jasad itu. Namun tiba-tiba saja, Ressa bangkit dan menghadang mereka yang sudah mengangkat jasad Wulan.

"Tidak! Tidak ada yang boleh menguburkannya sebelum pembunuh itu ketemu!" teriak Ressa lantang, "siapa orang sudah tega membunuh kakakku, siapa!?" lanjut Ressa menatap nyalang para pelayat yang ada di sana.

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Ressa, semua terdiam karena memang tidak ada yang tahu.

"Ressa, biarkan Kak Wulan tenang di alam sana, kamu tidak boleh egois, kasihan Kak Wulan, sudah sejak tadi Kak Wulan ...."

"Tidak, sebelum aku menemukan pelakunya, ingat itu!" potong Ressa cepat, menatap nyalang Andini.

Andini terdiam, Ressa terlalu keras untuk di nasehati. Zaki, selaku ayahnya Ressa pun menghampirinya.

"Ressa, cobalah untuk iklhas bukan hanya kamu yang merasa kehilangan Wulan, tapi Ayah pun sama," kata Zaki sambil memeluk putrinya.

"Ayah, kematian mereka itu tidak wajar, minggu lalu Ibu meninggal hanya karena minum teh, dan teh itu buatan Ibu sendiri. Mana mungkin ibu meracuni dirinya sendiri!" hardik Ressa hilang kendali.

"Kamu pikir Ayah tidak terpukul dengan semua ini. Ikhlaskan mereka ini sudah takdir, Ressa." Zaki memelas, memeluk putrinya dengan air mata yang terus mengalir.

Jenazah pun siap di makamkan, di waktu yang sudah hampir gelap. Diiringi isak tangis Ressa yang tak kunjung berhenti.

***

Seminggu setelah kepergian Wulan ....

Srek Srek Srek

Ressa terbangun, suara itu persis saat sebelum kakaknya menghilang dari kamar.

Ressa memeluk bantalnya erat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.

Tepat di balik jendela kamarnya, Ressa melihat bayangan hitam yang sepertinya memegang senjata tajam.

Ressa meringkuk sambil mengintip di balik selimutnya.

Tok tok tok

Ketukan pintu membuyarkan semuanya, bisa Ressa lihat bayangan hitam tadi berlari dan menghilang di balik jendelanya.

"Non, apa sudah tidur?"

Suara di balik pintu membuat Ressa kembali ke bawah alam sadarnya.

"Iya Bi, tunggu sebentar," jawab Ressa buru-buru bangkit dan membukakan pintu.

"Non kenapa? kok kayak orang ketakutan gitu?" tanya Rosmi, asisten rumah tangga Ressa.

"Tidak ada apa-apa Bi, ada apa Bibi kesini?" tanya Ressa dengan suara bergetar karena menahan rasa takut.

"Ini saya mengantar susu hangat untuk Non." Rosmi menyodorkan nampan yang dia bawa.

"Terimakasih, Bibi boleh kembali."

Ressa pun kembali ke dalam kamarnya, sambil membawa susu.

Prang

"HAH!" Ressa terkejut di balik jendelanya kini tampak lagi bayangan hitam dengan kapak di tangannya.

"Si-si-si-apa ka-mu?" Ressa memberanikan diri bicara.

Namun, bukan jawaban yang Ressa dapatkan melainkan sebuah kapak yang mengayun-ayun ke udara.

Ressa terduduk lemas di antara pecahan gelas dengan berlinang air mata, tubuhnya menggigil menahan rasa takut.

'Apa sekarang adalah giliranku,' batin Ressa ketakutan.

Ressa beringsut mundur, tangannya meraba raba ke dinding tembok, perlahan tubuhnya berdiri.

Dan ....

Cetrek

Saklar lampu berhasil Ressa nyalakan, setidaknya dengan keadaan terang benderang seperti ini makhluk pembawa kapak sudah tidak terlihat lagi.

Ressa, teringat dengan mendiang kakaknya. Sebelum kakaknya berpulang, Ressa melihat manusia pembawa kapak itu muncul di balik kamar jendela kakaknya. Namun, saat itu Ressa berpikir kalau itu hanyalah halusinasinya saja, tapi kini Ressa merasakannya.

"Aku harus bisa membongkar semunya, tidak mungkin hantu berkeliaran tanpa sebab yang jelas," tekad Ressa menatap gorden, yang di baliknya ada seseorang yang membawa kapak menyunggingkan senyuman.

***

"Kamu tau, dia membawa kapak. Saat aku lihat di pagi harinya tembok rumahku di sayat-sayat sama dia, mungkin sama kapaknya itu. Andini, tolong bantu aku memecahkan kasus ini, aku hanya punya kamu, entah ada masalah apa dia sama keluargaku. Kamu bisa kan nanti malam nginap di rumahku?"

Ressa menceritakan kejadian yang menimpanya.

"Akan aku usahakan ya Ress. Tapi, aku tidak janji," jawab Andini.

"Sebelumnya aku ucapkan terimakasih, tapi aku mau kamu kerumahku," kata Ressa sedikit pemaksaan.

"Baiklah demi sahabat ku aku kesana. Walaupun aku tidak percaya kalau hantu itu ada," ucap Andini sambil mengunyah makanannya.

"Kamu memang sahabat terbaikku, Andini."

Ressa memeluk Andini sebentar, kemudian kedua sahabat itu melanjutkan makan siangnya. Ressa dan Andini adalah siswa SMA yang sudah menginjak kelas 3.

"Hey cupu bayarin makanan punya kita dong. Lo kan anak orang kaya. Ibu dan kakak lo juga udah dijadikan tumbal pesugihan, pasti uangnya semakin banyak dong hahaha ...."

Sekar, salah satu siswa primadona di sekolah itu meninggalkan kantin bersama kedua temannya, tanpa merasa bersalah.

Andini, memegang tangan Ressa berusaha menenangkannya agar dia tidak tersulut emosi. Hampir saja Ressa menggebrak meja.

"Sabar Ress, kita tinggalin aja biar dia sendiri nanti yang bayar," kata Andini.

"Tapi ...."

"Udah biar mereka tau rasa, sudah lama kamu di jadikan alat oleh mereka. Sampai Sekar menyebut ibu dan kak Wulan kamu jadikan tumbal. Apa itu kurang cukup sakit di hati kamu, Ress?" kata Andini penuh tekanan.

Ressa termenung, apa yang di katakan Andini memang benar.

"Baiklah, akan aku beri pelajaran sesekali." Ressa menyunggingkan senyumannya. Untuk pertama kalinya Ressa akan mengerjai Sekar squad.

Setelah membayar makanan mereka, dengan perlahan Andini mengajak Ressa berdiri menuju kelasnya.

***

"Udah berani lo ya sama gue, udah gue bilangin bayar makanan gue ngeyel banget sih. Puas lo, udah bikin gue di suruh cuci piring sama Mbak Ati?!" hardik Sekar, menghentikan langkah Ressa dan Andini yang hendak pulang.

"Makananmu tanggung jawabmu, bukan tanggung jawabku," jawab Ressa dengan tangan bersedekap.

"Kamu!" Sekar menunjuk wajah Ressa, sambil menahan amarahnya.

"Iya, aku, kenapa?" tantang Resa, manaik turunkan sebelah alisnya.

"Udah berani lo ya sama gue?" Sekar menghampiri Ressa dengan sorot mata yang begitu tajam.

"Jelas aku berani, karena semut pun jika terus di injak bukannya dia akan mengigit? begitupun aku Sekar, aku sudah muak dengan kelakuan kamu!"

Andini dan Ressa pun pulang meninggalkan Sekar yang terus bersungut-sungut mengatai Ressa.

Mobil yang menjemputnya sudah lama berada di depan sekolah. Ressa dan Andini langsung menaikinya. Andini, sudah terbiasa karena memang Ressa selalu mengajaknya pulang bersama.

"Aaahh apa ini?" teriak Ressa panik.

Ciiiiiitttt

Jeduk

Mobil yang mereka kendarai berhenti secara tiba-tiba. Tio, selaku supir dari keluarga Herlambang menoleh ke belakang.

"Ada apa, Non" tanyanya heran.

"Ke-na-pa ada darah di kursi ini?" tanya Ressa ketakutan, memperlihatkan darah yang tidak sengaja mengenai tangannya.

"Da-darah," gumam Andini dan Tio bersamaan.

Mereka celingukan melihat tempat di mana mereka berhenti. Ternyata, jalanan sepi yang di sampingnya terdapat pepohonan besar. Ya, tempat di mana Ressa tinggal memanglah masih berada di perkampungan.

Saat Ressa melihat ke arah belakang tiba tiba ....

"Aaahh." Ressa menjerit menutup wajahnya. Sebuah kapak di balik pohon besar melambai-lambai ke arahnya. Kapak itu berlumuran darah dan sepertinya darah itu masih segar terlihat dari banyaknya darah yang menetes ke bawah.

"Ada apa Ress?" tanya Andini cemas.

"Tidak ada," jawab Ressa singkat. Ressa tidak mau memperkeruh suasana.

Detak jantungnya tidak beraturan, kapak itu memenuhi isi pikirannya.

"Pak bisa jalan sekarang," kata Andini memecah keheningan.

"Sepertinya mobilnya mogok," ucap Tio pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status