Share

Kedatangan Aldi

Suara rintihan Reyna yang berada di balik selimut membuat Adit makin kalut. Pasalnya sejak semalam Reyna kembali pingsan di dalam kamar, saat tersadar tubuh wanita muda itu demam tinggi. Semalaman Adit terjaga, sebab sang istri kerap menjerit histeris tiba-tiba.

Pagi harinya, lelaki berbadan kurus itu segera menelepon sang kakak dan meminta datang ke rumah bersama dokter pribadi keluarga Pak Broto.

“Kak, bisa cepat tidak? Istriku kondisinya makin parah!” Adit terus-menerus menghubungi Aldi, meski Aldi menjawab sudah sampai di depan kompleks tetap saja bagi Adit itu sangat lama.

Adit terlihat gelisah menanti di teras, sambil sesekali meremas rambutnya yang sudah panjang. Tubuhnya pun lusuh tak terurus, sangat kontras dengan penampilannya beberapa bulan lalu.

Suara klakson mobil terdengar dari arah gerbang, Pak Kas pun sigap membukakan pintu gerbang. Mobil Pajero hitam melesat membuat daun kering seketika berhamburan saat terkena embusan angin. Mobil itu pun berhenti tepat di depan Adit, pintu depan kemudi terbuka menampilkan pria berbadan tegap berotot dengan pakaian serba hitam.

Pria itu membukakan pintu penumpang sebelah kanan, tubuhnya sedikit membungkuk saat pria berpakaian formal dan berkacamata hitam keluar dari dalam mobil. Dari arah kiri, terlihat pria yang usianya tak lagi muda dan memakai jas putih serta tas hitam berjalan mendekat.

Tanpa menyapa sang kakak terlebih dahulu, Adit segera menarik lengan Dokter Ferdi ke dalam agar segera memeriksa sang istri.

“Ayo, Dok! Kamarnya ada di sebelah sini,” ucap Adit saat ia dan dokter tersebut sudah melewati tangga.

Tanpa ia sadari ada sepasang mata yang sejak tadi menatapnya tak suka.

***

“Nona Reyna hanya syok dan kelelahan saja, tidak ada gejala yang mengkhawatirkan,” tutur Dokter Ferdi setelah memeriksa kondisi Reyna.

“Maksudnya syok kenapa, Dok?”

Baru saja sang dokter akan menjawab, tiba-tiba datang seseorang menyela ucapan Dokter Ferdi.

“Mungkin istri kamu syok dengan keadaannya yang sekarang, Dit.”

Adit terdiam sambil memejamkan matanya, ia sangat hafal suara siapa yang ada di belakangnya. Melihat ada gelagat yang tidak baik, Dokter Ferdi pamit keluar terlebih dahulu setelah memberikan vitamin untuk Reyna. Tak lupa pula Adit mengucapkan terima kasih pada dokter yang usianya hampir setengah abad itu.

“Adit, bagaimana tinggal di sini? Betah?” tanya Siska—istri Aldi—sambil berjalan menghampiri kedua adik iparnya.

 Wanita yang memakai dres berwarna merah muda itu tersenyum sinis sambil mengamati kamar yang kini di tempati oleh Adit dan istrinya. Sementara Adit setengah mati menahan kesal, ia tidak mau membuat keributan karena Reyna sedang sakit.

“Jika kamu ke sini hanya mencari keributan, sebaiknya tinggalkan rumah saya!” Adit berdiri sambil menatap Siska dengan penuh kebencian.

“Apa? Rumah kamu?” ucap Siska dengan ekspresi seolah-olah terkejut. “Kamu punya kaca nggak, sih, Dit? Kamu lupa, siapa yang udah lunasi hutang kamu? Belum lagi denda yang jumlahnya tidak sedikit. Itu semua belum sebanding dengan harga rumah tua ini. Bahkan, bunganya pun tidak cukup. Jadi, selama kamu belum mengembalikan uang yang kamu pinjam, rumah ini dan seluruh tanahnya adalah milik aku dan Mas Aldi. Paham!” lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk wajah adik iparnya.

Adit kian tak kuasa menahan kesedihannya, tetapi ia pun tak suka jika Siska terlalu ikut campur masalah dirinya dengan sang kakak. Menurut Adit, rumah itu sudah menjadi haknya, sebab Aldi lebih dulu menjual tanah miliknya pada Adit untuk modal usaha. Namun, kehidupan seseorang siapa yang tahu. Kini Adit yang harus menjual seluruh hartanya demi menutup kerugian yang telah dibawa kabur oleh klien yang tidak bertanggung jawab.

“Kenapa diam saja? Masih belum bisa menerima kenyataan jika sekarang kamu sudah jatuh miskin?” Lagi-lagi Siska terus memojokkan Adit, seakan-akan dengan sengaja memancing emosi pria berbadan kurus itu.

“Sebaiknya kamu keluar! Sebelum kesabaran saya habis!” ucap Adit dengan suara pelan, tetapi penuh tekanan.

Saat Siska akan kembali berbicara, tiba-tiba Reyna kembali histeris dan menunjuk-nunjuk wajah cantik Siska.

“Jahat! Dia jahat! Aku benci dia.”

Adit yang terkejut menatap wajah kakak iparnya, tetapi saat Adit akan bertanya dokter Ferdi datang kembali bersama Aldi.

“Ada apa? Kenapa Reyna teriak-teriak?” tanya Aldi yang terlihat bingung saat memasuki kamar tersebut.

“Aku nggak tahu, Mas, tiba-tiba Reyna teriak-teriak bilang jahat sambil nunjuk wajah Adit,” ucap Siska pelan. Ia tak ingin Adit mendengar kebohongannya, Siska sangat suka jika kedua saudara kandung itu bertengkar dan salah paham.

Dokter Ferdi sigap memberi suntikan penenang pada Reyna, agar ia bisa kembali tenang. Adit yang sudah kacau makin kacau saat teringat Reyna menyebut Siska orang jahat. Saat ia akan menemui Siska, Aldi lebih dulu memanggilnya.

“Adit, bisa kita bicara sebentar?”

“Iya, Kak.”

Adit mengikuti Aldi ke halaman belakang rumah. Tempat yang waktu itu menjadi tempat favorit mereka berdua. Namun kini, tempat yang dulu penuh kehangatan dan kasih sayang sudah tiada lagi. Kini hanya keheningan dan kehampaan yang menyelimuti rumah dia lantai itu.

Mereka duduk di bangku taman, sambil memandangi langit yang cerah dan matahari yang hampir berada di puncaknya.

“Apa yang sebenarnya terjadi dengan Reyna? Mengapa dia bisa seperti itu. Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?” tanya Aldi sesaat setelah ia menyesap kopi yang sebelumnya sudah disediakan oleh Mbok Sun.

“Aku juga nggak tahu, Kak. Semalam kami masih mengobrol dan bercanda, tapi saat aku keluar untuk mengambil air minum tiba-tiba saja Reyna teriak histeris dan aku menemukan dia pingsan di lantai. Hingga malamnya demam tinggi sampai sekarang Reyna masih belum juga sadar.” Matanya berkaca-kaca saat mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami.

“Apa Reyna pernah bercerita tentang kejadian hal mistis di rumah ini?” Aldi menyugar rambutnya seraya menarik napas panjang.

“Tidak ada, Kak. Semua terlihat normal dan baik-baik saja. Mana ada hantu di rumah ini.” Adit berkata sambil tertawa. Namun, tawanya tak bertahan lama saat sebuah ranting pohon jatuh tepat di depan kedua kakak beradik itu.

Adit terdiam, begitu juga dengan Aldi.

“Mungkin kayunya sudah lapuk, Dit,” ucap Aldi seraya mengambil ranting tersebut. Akan tetapi, pria berpakaian rapi itu refleks melempar ranting tersebut ke sembarang arah saat melihat darah menetes di ujung ranting kayu itu dan mengenai telapak tangannya.

“Kenapa, Kak?” Adit merasa heran saat melihat Aldi ketakutan.

Tanpa menjawab, Aldi memperlihatkan tangan yang terkena noda darah. Saat tangannya menengadah, setetes darah jatuh dari atas tepat di tangan Aldi. Refleks keduanya melihat ke atas dan seketika mereka berteriak sambil berlarian masuk ke rumah.

“Hantu!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status