Share

bab. 4

“Om, bangun, Om. Ini sudah subuh. Mari kita jamaah dulu,” ucapkan sambil menggoyangkan tubuhnya. Entah mulai kapan lelaki ini tertidur di sini, tepatnya di sofa panjang sebelah meja kerjanya. Aku tertidur ketika ia masih sibuk menghadap tumpukan kertas di meja kerja itu.

“Aku masih ngantuk,” ucapnya masih dengan mata tertutup. Kini ia mengubah posisi dengan membelakangiku. 

“Om bangun, adzan sudah selesai berkumandang dari tadi. Jangan seperti anak SD yang susah dibangunkan untuk berangkat sekolah.”

“Apa? Kamu bandingkan aku dengan anak SD?”

“Maaf, Om. Tapi memang itu benar. Aku biasanya membangunkan ponakanku selalu pakai drama, sama seperti membangunkan om!”

“Zi,” ucap lelaki itu dengan menaikkan nadanya.

“Kamu tahu, itu baru jam setengah lima pagi?” ucapnya sambil menunjuk jam di sudut kamar.

“Tahu, Om.”

“Kenapa kamu bangunkan aku jam segini? Ini bukan jamku untuk bangun, nanti pukul enam aku akan bangun sendiri, jangan lupa kamu harus sudah menyiapkan sarapanku,” ucap lelaki berparas tampan berahang simetris itu kembali terbaring di posisi semula.

“Tapi, Om.”

“Apalagi, Zi? Ha?”

“Bukankah Om yang memintaku untuk tetap melayani Om sepeti selayaknya seorang istri seperti  biasa?”

“Hm,”

“Ya sudah bangun. Ayo, Om kita jamaah. Aku tak ingin kamu tertinggal di neraka,”” ucapku dengan menarik lengan bertubuh kekar itu. Sekuat apapun aku menariknya, rasanya tubuh itu tak bergeser sedikitpun.

“Om. Ayo solat, Om. Aku takut terseret ke neraka karenamu,” ucapku masih terus menarik lengannya.

“Cukup, cukup, bawel kamu, Zi. Mimpi apa aku semalam, harus ketemu wanita sepertimu.”

Lelaki itu beranjak ke kamar mandi, sedangkan kini terdengar suara kran yang menyala. 

“Om, kenapa gerakannya seperti itu? Itu salah, Om. Berwudhu itu harus tertib. Dari doa, lalu ...”

“Zi, hentikan. Aku membawamu ke sini bukan untuk ceramah di depanku. Ingat itu. Oh ya, jangan lagi ganggu aku. Tugasmu hanya yang aku sebutkan seperti kemarin, gak ada bangunkan tidur, gak ada meminta berwudhu. Gak ada lagi memintaku untuk ini dan itu, sebatas menyiapkan sarapan dan makan siang,” ucapnya dengan rahang yang mengeras  serta tangan yang mengepal. Ia melihatku dengan pandangan yang tajam, sangat mengerikan.

Kini ia kembali menjatuhkan tubuhnya dan tertidur kembali. 

Aku berlalu menuju dapur seusai menjalankan rakaatku, untung sekali kemarin aku menyempatkan mengelilingi rumah ini ditemani Simbok jadi aku tidak bingung mencari lokasi dapur ada di mana. Rumah yang terlalu besar, ternyata begitu menyusahkan.  

“Simbok, bagaimana komposisi yang tepat untuk membuatkan kopi Om Zuan” 

Simbok mengajari aku bagaimana membuat kopi, berapa suhu air yang harus aku gunakan. Juga bagaimana mengoles roti yang benar sesuai kesukaan Om galak itu.

“Ribet sekali ya, Mbok! Terlalu perfeksionis ia,” ucapku menggerutu.

“Hus, nanti kalau tuan dengar,” ucap Simbok sedikit berbisik.

“Aku sudah mendengar, lain kali aku tak ingin mendengar gosip seperti ini lagi,” ucapnya sambil duduk di bangku ujung meja makan. Lelaki bidang berpawakan tinggi serta jas hitam berdasi yang dikenakannya, membuat lelaki itu terlihat begitu keren. Keren? Sepersekian detik aku baru menyadari batinku yang salah itu.

“Sana, Non. Antar kopi dan roti selainya ke depan, Tuan,” ucap Simbok sambil menunjuk kopi hangat dan roti selai yang sudah berada di nampan. Perlahan aku membawa makanan tersebut di depan Om Zuan. Dua bola matanya tampak memperhatikan makanan yang kusajikan.

“Zi,” teriak si Om saat aku hendak berlalu.

“Lihatlah, lain kali aku tak mau minum kopi yang di sajikan dengan berantakan seperti ini. Karena ini hari pertamamu jadi aku maklumi, tidak untuk besok,” ucap lelaki itu sambil menunjuk cangkir kopi di depannya. Ya, kopi beralaskan cawan bening itu sedikit tumpah dan mengenai cawan. Mungkin karena tubuhku yang gemetaran, hingga minuman tersebut bisa seperti itu.

“Ba-baik, Om.”

Lelaki berahang simetris tanpa jambang maupun kumis itu tampak menyeruput kopinya. 

Srupp 

Ia tampak mengecap setelah kopi tersebut melewati bibirnya, bahkan meninggalkan bekas hitam kopi di bibir tersebut.

“Zi, kopi buatanmu ini terlalu manis,  aku tak suka,” ucapnya dengan menatapku dengan tatapan elang.

Ia meletakkan kopi yang terlihat masih utuh begitu saja.

“Karena Om meminumnya sambil melihatku, jadi perasa gulanya semakin bertambah.”

“Ini kesalahan fatal, Zi. Jangan anggap bercanda,” ucap lelaki itu yang kini mengunyah roti selainya. Sedangkan Simbok tampak mendekatiku dan memberiku kode untuk tak berkomentar apapun.

‘Dasar lelaki kaku, tak memiliki selera humor sedikitpun,' batinku.

“Ingat, komposisi kopi nya diperbaiki. Jangan lupa siapkan makan siangku,” ucap lelaki itu sambil mengangkat tas kerja warna hitamnya. Meninggalkan kopi panas yang masih terlihat utuh, serta roti selai yang hanya berkurang dua gigitan

**

Tak banyak yang aku lakukan selain rebahan di kamar, sambil membaca beberapa koleksi buku di rak sudut ruang ini. Selera lelaki ini payah sekali, tak ada Novel roman ataupun Komix. Hampir sebagian besar rak ini terisi dengan buku sains, buku akutansi dan sejenisnya. Pantas saja ia kaku dan tak memiliki selera humor.

“Non, ada tuan Rendra datang, ia ingin bertemu Nona Zi” terdengar suara dari balik pintu kamar. 

Bergegas aku membuka pintu dan bertemu seorang lelaki berjas hitam dengan sepatu mengkilat.

“Maaf Nona Zi, saya membutuhkan beberapa dokumen anda untuk menyelesaikan administrasi di universitas,”

“Ha, a-aku ku-kuliah?” tanyaku setelah menelan salivaku kasar. Rasanya ini benar-benar mimpi.

Aku bahkan sampai mencubit lenganku, untuk memastikan apakah ini nyata.

Lelaki itu tampak tersenyum lepas ketika melihat tingkahku, berbeda sekali dengan bos nya yang kaku dan dingin. Apalagi parasnya terlihat lebih muda, serta memiliki lesung Pipit yang membuat ia terlihat manis. 

‘Seperti ini nih, yang menjadi pasangan idamanku,’ batinku sambil menatap lelaki bawahan Om Zuan tersebut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
si Zi mw di kuliahin biar g katrok kali y..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status