“Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola mata yang hendak keluar. ‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ “Zi ....” ucap Om Zuan dengan gemeletuk giginya.“Iya, Om.”“Kamu apakan dapurku? Bukankah aku pernah bilang kalau aku gak suka dapurku kotor?” “Akan saya bersihkan, Om.”“Di mana makan siangku, Zi? Ha?" tanya Om Zuan masih dengan giginya yang saling gemeletuk, terlihat ia beberapa kali membuang nafas kasar.“Maaf, Om. Ini takdir, Om!" Jawabku sambil meringis, tak berani menatap lelaki di depanku."Bukankah semua yang telah terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah? Sama seperti aku yang tak sengaja menumpahkan kuah ini, itu karena takdir. Om tahan marahnya ya! Zi pernah baca sebuah artikel, tiap kali marah, beberapa sambungan syaraf ke otak itu menegang dan memutus. Itu gak baik Lo, Om.
Bab 10Aku benapas lega ketika keluar dari kamar kecil. Untung saja, aku tak harus keluar ruangan hanya untuk membuang hajatku. Pandangan mereka ke arahku, benar-benar membuatku ngeri. Tatapan sinis.“Kamu menjijikkan sekali, Zi!” ucap lelaki itu sambil sekilas menatapku. Pandangannya kembali mengarah ke layar di depannya, sedangkan tangan kirinya masih ia gunakan untuk menutup Indra penciuman. “Ini semua karena, Om. Jika Om tak memintaku untuk berdiam diri semua tak akan seperti ini.”“Zi,” ucap lelaki itu sambil mendelik ke arahku. Hingga sebuah panggilan terdengar di indra. Ia meraih ponsel dalam layarnya, melihat nama di dalamnya, dan membiarkan panggilan tersebut begitu saja.“Siapa, Om? Kenapa tidak diangkat?” tanyaku. Selintas bayangan wanita cantik tergambar di ponsel Om Zuan.“Bukan urusanmu.”Aku diminta Om Zuan untuk duduk menjauh darinya, di sebuah sofa sudut, yang sepertinya digunakan untuk Om menjamu rekan kerjanya. Hanya duduk, tak boleh berbuat apa-apa, termasuk bicar
“Dasar, wanita bodoh. Apa kamu gak membaca kemasannya?”“Tulisannya bahasa asing, Om. Aku gak bisa mengartikannya.”“Dasar kamu, Zi!” ucap Om Zuan sambil menatapku dengan membulatkan dua bola matanya.**POV Zuan.“Dasar kamu, Zi!”“Om, jangan marah-marah. Tau tidak kalau tiap Om marah tingkat kegantengannya bertambah.”Aku tersenyum mendengar pengakuan wanita kecil itu. Tak aku pungkiri, ketampananku memang melebihi rata-rata.“Diam, Zi! Kamu itu lagi gak waras!”“Siapa yang gak waras, Om. Zi itu tidak gila. Zi bisa berpikir sehat, dan yang terpenting, Zi bisa jatuh cinta. Tidak seperti Om. Berarti siapa yang tidak waras?” Wanita ini sepertinya memang sudah terpengaruh dengan alkohol dari minuman tersebut. Kenapa aku lupa kalau ada wine di lemari itu. “Om, apa karena wanita tadi ya? Om tidak mau menyentuhku. Padahal cantikan aku Lo, Om. Apalagi kalau aku dandan, sudah pasti tuh wanita itu kalah jauh.”‘Apakah seperti ini perasaan seorang wanita? Bukankah aku sudah pernah berpesan j
“Om Zuan, kenapa aku memakai pakaian haram seperti ini? Apa yang sedang terjadi? Kamu tidak ...?”Aku menutup belahan dadaku yang terbuka dengan menyilangkan tanganku sedangkan kakiku yang terekspose karena pakaian pendek ini aku tutup dengan jaket milik om Zuan. “Jangan berpikir aneh-aneh, Zi! Kamu menanggalkan semua pakaianmupun aku tak akan tertarik. Lihat saja, ukuran dadamu saja standar. Siapa juga yang mau melirik?” ucap Om Zuan dengan senyum tipis. Benar-benar merendahkanku.“Om.”Aku mendelik ke arahnya, sedangkan ia seakan tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia memasukkan sebuah alat kecil ke telinganya, lalu menggeser layar pipih miliknya.“Iya, Ma. Zuan jemput sekarang ya!” Aku menatap lelaki itu, ketika kata “Ma” keluar dari bibirnya. Apakah Ma yang dimaksud adalah ibunya?“Siapa yang telfon, Om!”“Bukan urusanmu.”Ish, benar-benar menyebalkan. “Nanti kalau bertemu Mama kamu harus bersikap sopan, jaga sikapmu, dan ingat jangan banyak bicara.”“Bukan urusanku.”“Ini urusan
langkah kaki Om Zuan terlalu besar dan cepat, sehingga aku tertatih untuk mengekorinya.Langkah kami terhenti ketika seorang wanita paruh baya melambaikan tangan ke arah kami, memakai pakaian panjang dengan jilbab menjuntai sampai bawah.“Ingat, jangan banyak bicara. Jawab seperlunya saja,” bisik Om Zuan ke arah indraku. Aku hanya mengangguk.Lelaki itu tampak meraih lengan Mamanya dan mencium punggung tangan itu, dan di sambut oleh wanita berparas cantik itu dengan ciuman di keningnya, tampak seperti anak kecil yang di cium sayang oleh ibunya. “Ini, mantuku?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatapku, matanya berbinar dengan penuh kebahagiaan.‘Ya Allah, Mama Om Zuan semua auratnya tertutup. Sedangkan aku?’ Aku menatap tubuhku yang terbalut pakaian minim. Benar-benar membuatku minder.“Iya, Ma.” Lelaki itu mengambil alih koper yang dibawa Mamanya, sedangkan wanita paruh baya itu kini memeluk tubuhku dan mencium pipi kanan dan kiri ku.“Aku harap kamu bisa tahan dengan sikap dingi
Aku menatap lelaki yang kini berbaring di sebelahku, mungkin karena ketidaksengajaan ia merubah posisinya menghadap ke arahku, bahkan mampu kurasakan hembusan nafasnya dari dengkuran lembut miliknya. Lelaki yang menikahiku, tanpa boleh ada kata cinta di dalamnya. “Zi, kamu belum tidur? Ha?” Matanya terbuka dan membuatku salah tingkah. Bagaimana kalau Om Zuan menyadari tingkah konyolku tadi? Menatap wajahnya dengan sendu.“Ayo tidur.” Tangannya ia lingkarkan ke tubuhku, sedangkan dua pelupuk matanya kembali menyatu. Tangan kekar dengan sedikit bulu itu kini naik ke rambutku, ia mengelus rambut panjangku, mendekap tubuhku ke dalam pelukannya. Dan aku benar-benar terperanjat ketika sebuah ciuman hangat mampir di keningku. ‘Ciuman? Apa maksud sentuhan ini? Zi, kenapa mendadak jantungmu berdesir hebat? Apakah ini yang dinamakan cinta? Ingat perjanjian, Zi. Ingat posisi. Kamu tak lebih dari wanita yang terbeli oleh Tuannya.’ Aku bermonolog kepada diriku sendiri. “Om.” Aku menatapnya le
Mama kini terkekeh. “Pintar sekali kamu cari istri, Nak. Dia periang sekali,” ucap wanita berjilbab itu sambil menatap ke arah anak lakinya. Sedangkan aku yang mendengar sanjungan itu kini menahan malu. Apakah sikapku memang masih ke kanak-kanakan yang seperti orang bilang?Aku mengoles selai nanas untuk Om Zuan, lalu memberikan roti yang sudah siap di makan itu di piringnya. Ia menatap tajam ke arahku, sambil melirik ke arah wanita di sebelahnya, seperti memberikan kode kepadaku. Aku yang langsung paham bergegas mengambil roti dari tangan Mama mertuaku dan mengoleskan selai untuknya.“Biar mama sendiri, Zi!” ucap wanita itu sambil berusaha meraih roti yang ku pegang.“Jangan, Ma. Ini sudah kerjaan, Zi! Menyiapkan sarapan pagi dan makan siang,” ucapku sambil memamerkan senyum.“Kamu rajin sekali, Zi! Mama sayang sekali denganmu,” ucap wanita itu sambil meraih punggunggku. Diusapnya punggung itu sambil memamerkan senyum indahnya.“Gimana kabar, Mama? Kenapa mendadak sekali pulangnya?”
“Om, jalannya pelanan dikit,” protesku, ketika lelaki di depanku melangkah begitu cepat. Apalagi jarak langkah nya begitu lebar, berbeda sekali denganku.“Kamu yang terlalu lelet.”Aku tertatih mengimbangi jalannya Om Zuan.“Selamat pagi, Pak Zuan.”Seorang lelaki cukup umur menyapa, berseragam rapi dengan jas warna Dongker.“Selamat pagi juga, Pak.”“Ada yang bisa saya bantu?”“Tidak, Pak. Saya hanya ingin mampir saja.”Om Zuan kembali melangkah dan aku terus mengekori di belakangnya.“Kelasmu di mana, Zi?”Aku menggeleng.“Zi?” “Aku beneran gak tahu, Om. Waktu Rendra mengantarku ia buru-buru. Aku belum sempat lihat tempat ini, habisnya Om sih, wajibin bikin makan siang jam dua belas tepat. Aku gak punya banyak waktu.”“Zi, bisa gak sih kalau jawab sesingkat-singkatnya saja. Aku gak tanya rumus luaa, yang harus dijelaskan panjang kali lebarnya.”“Maaf, Om!”“Di mana kelasmu?”“Gak tahu, Om!”“Mata kuliahmu apa hari ini?”“Jam delapan ada kelas bahasa, jam sepuluh ada kelas akutansi.