Belum sempat aku menghampiri tubuh Om Zuan, kini pak rektor datang dan membawa Om Zuan pergi.“Zi, kenapa kamu bengong?” tanya Aga sambil menatapku. Aku melirik ke arah Tama, lagi-lagi ucapannya tempo lalu membuat ku merasa iba kepada Aga.“Aga kena kanker, Zi. Hidupnya di vonis dokter sudah tak lama lagi. Apalagi Aga seperti kehilangan semangat untuk hidup. Ia bahkan menolak semua pengobatan. Hanya kamu yang mampu membuat Aga semangat, bahkan aku kembali melihat sorotan binar dari mata Aga ketika menatapmu. Bantulah Aga untuk sembuh, setidaknya berikan ia kebahagiaan di waktu-waktu akhirnya.”Ucapan Tama saat itu benar-benar mengusikku. Aku hampir tak percaya mendengarnya. Aga yang terlihat terlalu ceria dan tersenyum itu ternyata memiliki kondisi kesehatan yang begitu memprihatinkan.“Zi, kamu mendengar suaraku kan?” tanya Aga sambil menggoyangkan bahuku“I-iya, Ga. Maaf.”“Seperti yang aku ucap tadi, aku tak ingin mendengar jawabanmu, Zi! Aku tak ingin mendengar penolakan mu. Aku h
“Bahan makanannya habis, Om.” Aku menggigit bibir bawahku, sedangkan mataku kupejamkan, takut melihat ekspresi marah lelaki di depanku.Aku kembali membuka mata, ketika kudengar suara tawa dari lelaki di depanku ini. Ia terkekeh bahkan sampai keluar air bening di sudut matanya. Sungguh terasa begitu aneh.“Ayo belanja. Aku antar,” ucap Om Zuan sambil merapikan jas nya.“Tapi, Om!”Aku masih ternganga, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.Tanpa basa-basi lelaki itu menggandeng tanganku dan membawaku masuk ke dalam mobilnya, memasangkan sabuk pengaman seperti biasanya dan ...Tatapan mata kami saling bertemu dengan jarak yang sangat dekat, deruan nafas Om Zuan benar-benar terasa hangat menghampiri wajahku, ditambah dengan aroma nafas yang terasa di indraku. Jantungku kembali berdesir dengan hebat, kenapa kamu terus saja membuat Zi jatuh cinta, Om? Maafkan Zi yang sepetinya tak ingin jauh dari Om Zuan, “Ma-maaf, Zi!” ucap Om Zuan dan kembali duduk di tempatnya.Benarkah aku t
“Tambahkan lagi cabainya, Zi!” ucap Om Zuan sambil mengambilkan beberapa cabai dari kulkas.“Tapi, nanti Om Zuan kepedasan. Zi sudah banyak masukin cabai di bumbunya ini,” ucapku sambil mengulek bumbu yang sudah ku racik, beberapa butir bawang merah, bawang putih, dan beberapa cabe. “Aku memang suka pedas, sangat pedas.”Aku mendelik ke arah Om Zuan. “ Mulai kapan, Om? Aku bahkan tak pernah melihat Om Zuan mengambil sambal sedikit pun tiap kali makan.”“E, itu- aku mulai menyukai pedas sejak saat ini,” ucap Om Zuan sambil menggaruk kepalanya yang kuyakin tak gatal.“Ini semua, Om?” tanyaku heran sambil menatap cabai di atas meja.“Iya.”Aku memasukkan ke dalam cobek, kembali mengulek bumbu dan menghaluskannya. Entah, Om Zuan kesambet apa, dia mau membantu Zi masak malam ini.“Zi, aku ingin berbicara kepadamu. Penting,.”Aku begitu terkejut ketika ada tangan melingkari tubuhku, sedangkan suara manja itu terdengar begitu indah di dekat telinga.“Hm,” jawabku sambil tersenyum. Aku memas
“Pak Tejo, Pak Tejo...” teriakku.Pak Tejo dan simbokpun datang.“Pak, tolong antar Om Zuan ke rumah sakit!”“Tapi, Non.”“Buruan, Pak. Gak ada tapi-tapian. Ini darurat,” ucapku sambil menunjuk kunci mobil di atas meja.“Tejo gak bisa nyupir, Non,” ucap Simbok.Ya Allah Ya Robbi, kenapa anak buah Om Zuan payah sekali. Di sela rasa bingungku, ponsel Om Zuan berdering, Simbok dengan sigapnya mengambilkan benda tersebut dan memberikannya kepadaku, yang tengah duduk dengan memangku kepala Om Zuan.Tertulis nama “Mama” di layar pipih itu, aku tak mengindahkannya dan membiarkan panggilan itu berlalu begitu saja. Aku takut harus berbicara apa kepada Mama jika ia tahu kondisi Om Zuan sekarang.Kini aku meraih ponsel dalam sakuku, nama Rendra menjadi daftar pencarian, bergegas kutekan tombol hijau dalam panggilan tersebut.“Selamat malam, Nona Zi. Ada yang bisa saya bantu?”“Kesini sekarang, Ren! Om Zuan sedang sekarat.”Panggilan itu terputus dengan sepihak, sedangkan aku membawa tubuh Om Zu
Om Zuan sudah dipindahkan ke kamar rawat, tangan kanannya terpasang jarum infus, sedangkan matanya belum saja membuka sejak saat di bawa ke sini.“Nona Zi silahkan istirahat dulu, biar saya yang menjaga tuan,” ucap Rendra yang dari tadi berdiri di belakangku. “Aku masih ingin menjaga Om Zuan, setidaknya aku ingin melihatnya tersadar lebih dulu,” ucapku dengan mata yang mengembun.“Ini sudah larut, Non. Tuan pasti tidak suka kalau Nona bergadang seperti ini, apalagi kalau nona Zi sampai sakit, pasti saya yang akan disalahkan oleh Tuan.”Rendra menyentuh bahuku, mempersilahkanku tidur di sofa sudut ruangan. Ruangan rumah sakit ini memang cukup besar, mungkin sama dengan kamar hotel berbintang, Ada 1 kamar pasien, dan satu sofa untuk keluarga yang menunggu. Di sini juga ada kamar mandi dan kulkasnya.“Tak apa, Ren. Aku masih ingin menunggu Om Zuan. Kamu saja yang istirahat. Jika Zi sudah lelah barulah kami yang menggantikan.”“Baik, Non.”Terdengar suara langkah yang menjauh, hingga akh
“Sabar, Zi! Kamu harus menata nafasmu,” ucapku sambil memegang dada yang naik turun tak karuan.“Semoga Om Zuan tak menyadari apa yang kulakukan tadi!” Setelah deru nafasku mulai normal, aku berjalan seakan tak terjadi apa-apa. Sedangkan mata Om Zuan terus saja menatapku tanpa menoleh ke arah lain sedikitpun. “Om Zuan sudah sadar?” tanyaku basa-basi.“Kamu ngapain ke kamar kecil, Zi? Kenapa tidak ada keran yang menyala? Aku juga mendengar suaramu di sana. Kamu sedang berbicara dengan siapa?” “E ... Itu, Om.” Aku menggigit bibir bawahku sambil memutar otak dengan alasan yang masuk akal.“Om salah dengar saja, Zi hanya merapikan baju Zi saja.”“Katanya kebelet pipis?“Gak jadi, Om. Sudah Om istirahat lagi. Kata dokter harus banyak istirahat.”Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.Dua bola mata Om Zuan tampak menatap jam dinding yang menempel di ruangan, entah ia memikirkan apa, sorot matanya terlihat kosong.“Om, tadi Mama telepon,” ucapku sambil meraih ponsel disakuku.“Kamu bilang a
“Zi.”Terdengar teriakan dari Om Zuan.“Bentar, Om.”Aku bergegas ke luar masih dengan rambut yang acak-acakan. “Ada apa, Om?”“Kenapa mandi lama sekali? Bukankah aku sudah berpesan jangan kelamaan?”Aku melihat jam yang menempel di dinding atas.“Lama dari mana, Om? Aku mandi hanya lima menit.”“Sudah jangan protes. Sini temani aku duduk di sini,” ucap Om Zuan sambil menunjuk kursi di sebelahnya.Aku menurut.Hening“Om ...”“Iya. Ada apa?”“Gak ada apa-apa.”Hening“Zi!”“Iya, Om.”HeningKenapa situasi mendadak tegang seperti ini. Ayolah Zi, ini bukan seperti kamu. “Om, kenapa gak pernah cerita kepada Zi kalau Om menderita penyakit lambung?”Aku mencoba angkat bicara, melepas situasi yang mendadak tegang.“Kata siapa, Zi? Aku hanya belum terbiasa makan pedas. Mungkin nanti malam juga sudah pulang ke rumah.”“Jangan bohongin Zi, Om! Zi gak suka. Terus kenapa Om harus konsumsi obat tiap hari?”“Kamu hanya salah dengar.”“Hah, susah bicara sama kamu, Om.”“Memangnya kamu peduli jika
Aku memapah Om Zuan untuk ke kamar mandi, merangkul tubuhnya serta membawa kantung infusnya. Ia berjalan perlahan, sambil meringis menahan pipisnya.“Kenapa pintunya tidak di tutup, Om?” tanyaku dari balik pintu. Mengalihkan pandangan ke ruangan kamar ini.“Kalau di tutup yang ada selang infusnya macet, Zi.” Terdengar jawaban dari dalam.Benar juga kata Om Zuan. Aku kan berdiri di luar dengan membawa kantung infusnya.“Apa kamu mau masuk juga? Biar pintunya bisa ditutup?”“Om, kenapa kamu mendadak mesum?”“Mesuman mana sama yang mau menciumku tadi?”Aku terperanjat, bergegas aku menarik tubuhku menjauh dari daun pintu, menata nafasku yang tak karuan. Apakah Om Zuan tahu apa yang sedang kulakukan tadi? Bodoh kamu, Zi! Aku menutup wajah dengan telapak tangan, aku yakin sekarang wajahku yang justru berubah menjadi merah.“Au, sakit, Zi!” teriak Om Zuan.Aku bergegas masuk, mendapati Om Zuan yang meringis kesakitan, dengan menatap punggung tangannya yang berdarah. Jarum infus itu terlepas